Pages

Friday, July 28, 2017

Jasa Buat Skripsi: download Skripsi Psikologi:Hubungan spiritualitas dengan resiliensi survivor remaja pasca bencana erupsi Gunung Kelud di Desa Pandansari-Ngantang-Kabupaten Malang

Abstract

INDONESIA:
Pasca bencana erupsi gunung Kelud yang dialami oleh survivor remaja di Desa Pandansari,Ngantang-Malang menimbulkan permasalahan psikologis. Tinggi rendahnya resiliensi survivor remaja dipengaruhi beberapa faktor, salah satunya spiritualitas. Spiritualitas berkorelasi positif dengan resiliensi survivor remaja pasca bencana erupsi gunung Kelud. Spiritualitas merupakan usaha individu dalam pemaknaan pribadi dengan sadar akan kematian yang dirangkai dalam motivasi diri sendiri, dengan kekuatan umum memilih beragam tingkah laku individu berupa pengamalan ibadah merupakan hubungan dengan Tuhan, hubungan diri sendiri dengan alam semesta, dan keterkaitan pola hubungan sesama manusia. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui spiritualitas survivor remaja, tingkat resiliensi survivor remaja pasca bencana erupsi gunung Kelud dan ada tidaknya hubungan spiritualitas dengan resiliensi survivor remaja pasca bencana erupsi gunung Kelud di Desa Pandansari, Ngantang-Malang.
Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif dan jenis penelitian korelasional dengan spiritualitas sebagai variabel bebas dan resiliensi pasca bencana erupsi gunung Kelud sebagai variabel terikat. Instrumen pengumpulan data menggunakan metode observasi, wawancara, dan angket berupa skala psikologi yang terdiri dari skala spiritualitas mengacu pada Spiritual Transcendence Scale (STS) yang dikembangkan Piedmont, dan resiliensi pasca bencana erupsi gunung Kelud mengacu pada skala resiliensi dikembangkan Grotberg, disesuaikan dengan fenomena bencana erupsi gunung Kelud, masing- masing 28 aitem didasarkan pada teori Piedmont dan teori Grotberg. Analisa data menggunakan analisis korelasi product moment untuk mengetahui hubungan spiritualitas dengan resiliensi pasca bencana erupsi gunung Kelud.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa 80% atau 32 survivor remaja memiliki spiritualitas tinggi, 20% atau 8 survivor remaja yang sedang, dan 0% atau tidak ada survivor remaja memiliki tingkat spiritualitas rendah. Kemudian, terdapat 85% atau 34 survivor remaja memiliki tingkat resiliensi pasca bencana erupsi gunung Kelud yang tinggi, dan 15% atau 6 survivor remaja yang sedang, 0% atau tidak ada survivor remaja yang rendah. Berdasarkan hasil analisis data bahwa terdapat hubungan positif antara spiritualitas dengan resiliensi pasca bencana erupsi gunung Kelud dengan rxy = .603 dengan p = 0,000, artinya semakin tinggi atau baik spiritualitas maka akan semakin tinggi tingkat resiliensinya, begitu juga sebaliknya, semakin rendah spiritualitasnya maka semakin rendah pula tingkat resiliensinya.
ENGLISH:
Post Kelud eruption experienced by adolescent survivors in the village Pandansari, Ngantang-Malang cause psychological problems. High and low resilience of survivors of adolescent influenced by several factors, one of which spirituality. Spirituality was positively correlated with post-disaster resilience teenage survivor Kelud eruption. Spirituality is an individual effort in a personal meaning to be aware of the deaths were arranged in self motivation, with a general power of choosing a variety of individual behavior in the form of religious practice is a relationship with God, a relationship yourself with the universe, and linkage patterns of human relationships. The purpose of this study was to determine adolescent survivors spirituality, resilience level of post-adolescent survivors Kelud eruption and the relationship of spirituality with adolescent survivors of post-disaster resilience Kelud eruption in the village Pandansari, Ngantang-Malang.
This study used a quantitative approach and the type of correlational research with spirituality as the independent variable and post-disaster resilience Kelud eruption as the dependent variable. Instrument data collection using observation, interviews, and a questionnaire consisting of a psychological scale spirituality scale refers to the Spiritual Transcendence Scale (STS) developed Piedmont, and post-disaster resilience Kelud eruption resilience refers to the scale developed Grotberg, adapted to the eruption phenomena Kelud, each 28-item based on the theory of Piedmont and Grotberg theory. Analysis of the data using product moment correlation analysis to determine the relationship of spirituality to the post-disaster resilience Kelud eruption.
The results showed that 80% or 32 survivors adolescents have high spirituality, 20% or 8 survivors teenager, and 0% or no adolescent survivors have low levels of spirituality. Then, there is a 85% or 34 survivors adolescents have high levels of post-disaster resilience Kelud eruption is high, and 15% or 6 survivors teenager, 0% or no survivors low teens. Based on the results of data analysis that there is a positive relationship between spirituality with post-disaster resilience Kelud eruption with rxy = .603 with p = 0.000, meaning that the higher or better the higher spirituality resiliensinya level, and vice versa, the lower the spirituality, the lower Similarly resiliensinya level.

BAB I
PENDAHULUAN
A.      Latar Belakang Masalah
 Siapapun di dunia ini tidak pernah memiliki keinginan tertimpa atau mengalami kemalangan atau kesusahan didalam hidupnya. Segala sesuatu yang tidak sesuai dengan harapan atau merusak tatanan yang ada akan dianggap sebagai bentuk musibah atau bencana. Bencana dapat terjadi kapanpun dan dimanapun, ada dua penyebab terjadinya bencana yakni faktor alam dan ulah manusia. Bencana alam adalah bencana yang dikarenakan oleh suatu kekuatan alam dan peristiwanya tidak dapat dikontrol oleh manusia. (Iskandar, 2013:32) Bencana dapat mengakibatkan kerusakan fisik (korban dan infrastruktur) dan gangguan psikologis (trauma, stres, depresi, kecemasan, dan sebagainya). Seringkali setelah terjadinya bencana, yang menjadi titik pusat perhatian hanya penanganan fisik semata, namun penanganan psikis korban bencana yang selamat (survivor) terabaikan Pendapat peneliti di atas didukung oleh Hawari (2011:85-86) yang mengemukakan bahwa pada umumnya ,asyarakat dan pemerintah dalam menyikapi korban berbagai macam peristiwa, lebih menitikberatkan pada aspek yang sifatnya fisik; misalnya bantuan pengobatan, sandang, pangan dan papan. Aspek kejiwaan/mental/psikologik yang mengarah pada gangguan stress pasca trauma kurang diperhatikan. Stres pasca trauma itu sendiri bila tidak ditangani dengan sungguh-sungguh dan professional 2 dapat berlanjut pada gangguan jiwa seperti kecemasan, depresi psikosis (gangguan jiwa berat) bahkan sampai pada tindakan bunuh diri. Salah satu bencana alam yang terjadi dalam kurun waktu terakhir ini ialah, Erupsi Gunung Kelud. Gunung Kelud yang terletak di Kabupaten Kediri dan Kabupaten Malang, Jawa Timur, meletus. Gunung yang memiliki tinggi 1.731 meter dari permukaan air laut itu memuntahkan material vulkanik hingga setinggi 17 kilometer ke udara. (http://www.tempo.co) Diketahui, Badan Penanggulangan Bencana Nasional (BNPB) memastikan Gunung Kelud, Jawa Timur (Jatim) telah meletus pada pukul 22.50 WIB, Kamis 13 Februari 2014, malam. (http://daerah.sindonews.com) Meski status Gunung Kelud sudah turun ke Siaga, ribuan pengungsi di wilayah Ngantang, Kabupaten Malang, hanya bisa gigit jari. Jika pengungsi lainnya bisa kembali pulang ke rumah, warga Desa Pandansari, Ngantang, tetap tinggal di pengungsian. Warga Pandansari adalah korban terdampak erupsi Gunung Kelud cukup parah. Kondisi rumah di 7 dusun yakni Dusun Klangon, Sedawun, Sambirejo, Plumbang, Wonorejo, Munjung dan Ngadirejo semuanya hancur. (http:www.beritajatim.com) Dari sekian banyaknya peristiwa yang survivor (korban bencana selamat) alami pasca erupsi gunung Kelud, dan nasib mereka yang 3 terkatung-katung pasca erupsi Kelud memunculkan gejala masalah psikologis seperti stres dan resah. Dalam penelitian ini difokuskan pada survivor remaja di Desa Pandansari, Ngantang, Malang, yang mana mereka sedang mengalami proses pertumbuhan dan peralihan dari masa kanak-kanak menuju dewasa. Ketika peneliti melakukan pengamatan pada beberapa survivor yang banyak berasal dari Desa Pandansari di empat posko penyangga terdekat (posko 1,3,5,8) dengan Posko Induk Lebak Sari-Pujon, Kabupaten Malang (16-21 Februari 2014), penulis melihat langsung kondisi mereka. Dalam jangka waktu sebentar, beberapa survivor berjatuhan sakit karena permasalahan psikologis yang mereka alami, ada yang emosional, merasa sakit di beberapa bagian tubuh karena khawatir atau cemas terhadap binatang ternak yang ditinggal. Sebagian besar survivor remaja merasa cemas dan stres karena rumah mereka rusak bahkan hancur yang merupakan hasil tabungan orangtua atau sanak saudara mereka selama bertahun-tahun dari bekerja di luar kota atau luar negeri bahkan masih ada yang dari pinjaman yang belum terlunasi, dan ternak sebagai investasi pendidikan atau kehidupan mereka ada yang mati dan cacat sehingga dijual murah. Bahkan, survivor remaja dipaksa diajak pulang ayahnya untuk membantu memberi makan ternak. 4 Terlebih lagi aktifitas sekolah mereka menjadi terhambat bahkan berhenti total, buku-buku sekolah banyak yang rusak terkena hujan, pasir dan abu vulkanik. Kemudian, mereka tidak dapat bermain dan bersosialisasi dengan teman sebaya atau lingkungan seperti biasanya. Sehingga, selama di pengungsian terpaksa bercampur baur dengan pengungsi lain. Ditambah lagi dengan kegiatan trauma healing yang kurang menjadikan mereka sebagai subjek penanganan karena lebih banyak diarahkan pada balita-anak usia sekolah SD, dan orangtua mereka. Kalaupun ada kegiatan pemulihan trauma berupa permainan psikologi melibatkan mereka dan orangtua. Beberapa dari mereka terutama perempuan remaja merasakan gejala-gejala trauma sampai ada yang terbawa ke psikosomatik dan merespon stressor atau pemicu trauma, seperti sakit di bagian perut, pusing, dan tegang, selalu terkejut dan takut mendengar suara ambulans, hujan, dan gemuruh. Mereka takut kejadian yang mereka alami terulang kembali. Sebagaimana dinyatakan oleh Stinchcomb (2004), bahwa sebuah insiden yang melibatkan kekerasan, kematian, dan menyebabkan hilangnya properti akan mengakibatkan seseorang mengalami tingkat stres yang tinggi dalam kaitannya dengan trauma. (dalam Faturrochman, dkk.2012:169) Pada remaja korban bencana yang mengalami masalah psikologis, di dalam pendidikan menunjukkan adanya penurunan prestasi di sekolah. 5 Hal ini dimungkinkan oleh karena permasalahan yang berat, menekan, hingga menjadikan ia mengalami stress. Bahkan reaksi emosional sering ditampilkan oleh remaja korban bencana. Selain itu pula, fase remaja yang ditandai dengan emosi yang bergejolak, maka dengan adanya bencana yang menimpa dirinya, stabilitas emosinya semakin kurang baik. (Iskandar, 2013:50) Pengamatan dilanjutkan (18-26 Maret 2014) di beberapa dusun kawasan Desa Pandansari, Ngantang-Malang. Ada perbedaan atas terjadinya erupsi Kelud dan Merapi. Erupsi Gunung Kelud di kabupaten Malang tidak terlalu banyak menyebabkan korban berjatuhan sampai meninggal dunia, akan tetapi kondisi psikis korban bencana (terutama remaja) yang tidak pernah mengalami bencana erupsi gunung Kelud sebelumnya menjadi semakin labil. Orang yang selamat (survivor) dari peristiwa-peristiwa kehidupan yang merupakan stressor traumatis dapat memperlihatkan gejala-gejala klinis yang tergolong stress pasca trauma yaitu : terdapat stressor traumatis yang berat dan jelas, yang menimbulkan gejala penderitaan yang berarti bagi hampir setiap orang, penghayatan yang berulang dari trauma itu yang dibuktikan paling sedikit satu dari tiga hal (ingatan, mimpi, perasaan traumatik), penumpulan respon terhadap dunia luar, atau berkurangnya hubungan dengan dunia luar (psychic numbing or anesthesia emotional), yang mulai beberapa waktu setelah trauma, dan yang dinyatakan paling 6 sedikit satu dari tiga hal (minat berkurang, perasaan terasing, afek yang menyempit), kewaspadaan, gangguan tidur, perasaan bersalah, kesukaran konsentrasi, penghindaran diri, peningkatan gejala apabila dihadapkan pada peristiwa yang mensimbolisasikan atau yang menyerupai peristiwa traumatik itu. (Hawari, Dadang.2011:86-89) Dalam kondisi psikis yang tidak stabil pasca bencana dan mengalami kejadian yang tidak pernah terbayangkan sebelumnya tersebut akhirnya tergantung pada resiliensi (daya lentur) survivor remaja. Individu yang resilien menunjukkan kemampuan adaptasi yang lebih dari cukup ketika rnenghadapi kesulitan, karena resiliensi merupakan keberhasilan dalam penyesuaian diri. Resiliensi bagian dari perkembangan seseorang. Ketika manusia atau individu mengalami suatu kejadian yang tidak menyenangkan, segi resiliensi menjadi salah satu ukuran dalam mengetahui kualitas ketahanan jiwa seseorang dalam menghadapi cobaan. Terlebih lagi apabila individu yang masih menjalani masa perkembangan remaja yang rentan terkena masalah. Remaja yang mengalami kondisi yang tidak menyenangkan mempengaruhi kebahagiaannya. Karena, pada dasarnya masa remaja merupakan masa transisi individu tersebut mampu bertanggungjawab, termasuk ketika menghadapi kondisi yang tidak menyenangkan. Jika dia bisa mengambil hikmah dari kondisi tak menyenangkan yang menimpanya, bisa jadi kemalangan atau kesengsaraan akan membuatnya semakin kuat, begitu juga sebaliknya. 7 Resiliensi tidak hanya penting sebatas dikenalkan pada saat kondisi tak menyenangkan itu terjadi, akan tetapi faktanya dapat dikembangkan dalam mengantisipasi kondisi tak menyenangkan yang tak terelakkan. (Grotberg, 1997:4) Grotberg (2004:12-13) menjelaskan tanda atau gejala pembentuk resiliensi dalam diri individu yang mampu beresilien berdasarkan hasil penelitiannya seperti di atas. Pertama, I HAVE representasi dari dukungan eksternal. Kedua, I AM merupakan representasi kekuatan internal dalam diri individu. Ketiga, I CAN, merupakan representasi kemampuan interpersonal dan penyelesaian masalah Dalam komponen I can (hal-hal yang diperoleh dan dipelajari), resiliensi merupakan suatu proses yang alamiah terjadi dalam diri individu. Hanya saja, seberapa waktu yang diperlukan oleh seseorang untuk melewati proses tersebut bersifat individual. Resiliensi adalah kapasitas untuk merespon secara sehat dan produktif ketika berhadapan dengan kesengsaraan atau trauma, yang diperlukan untuk mengelola tekanan hidup sehari-hari (Herlina, Maria.2011:1). Kebanyakan orang telah memiliki ketiga faktor sumber resiliensi tersebut di dalam dirinya, hanya saja mereka tidak memiliki cukup pengetahuan atau tahu cara menggunakan kemampuan ketiga faktor itu untuk berdamai dengan kondisi yang tidak menyenangkan. Dan, ada beberapa individu yang mampu beresilien dalam suatu situasi dan sebaliknya. Perbedaan inilah yang selalu terdapat pada mereka yang lebih 8 familiar resiliennya,sedikit mengancam situasi, tapi bukan resilien dalam situasi berbeda yang baru atau dramatis, ketika mereka merasa lepas kontrol terhadap apa yang sedang terjadi. (Grotberg, 2003: 19-22) Selanjutnya resiliensi juga ditemukan memiliki hubungan dengan masalah psikologis survivor remaja pasca bencana. Hubungan tersebut terletak pada pengalaman traumatis individu dan kemampuan individu tersebut untuk bangkit kembali. Apalagi, remaja merupakan bagian dari korban bencana yang selamat, maka permasalahan lebih kompleks akan muncul setelah terjadinya bencana. Bagaimanapun juga, menurut Grotberg (1991), resiliensi begitu penting karena merupakan kemampuan dasar manusia untuk berhadapan, mengatasi, mencegah kondisi yang tidak menyenangkan yang menimpanya yang kemudian dapat semakin membuat lebih kuat, atau berubah menjadi lebih baik. (dalam Pizzolongo&Hunter, 2011:67) Teori resiliensi menawarkan model konsep peneliti dan praktisi untuk dipahami bagaimana anak-anak dan anak muda mengatasi kondisi yang tak menyenangkan dan bagaimana pengetahuan ini dapat digunakan untuk meningkatkan kekuatan dan membangun karakter positif atau kehidupan mereka. (Zolkoski&Bullock, 2012:7) Islam juga mengajarkan bahwa sebagai seorang muslim yang tunduk kepada Allah SWT, seharusnya ketika menghadapi cobaan hidup seperti perubahan hidup pasca bencana alam yang menimpanya, Islam menganjurkan untuk bersabar, bertawakkal, dan ikhtiar tanpa batas untuk 9 bangkit dan memperbaiki hidup. Karena, sesungguhnya dibalik kesulitan hidup maka nanti akan ada kemudahan, sesuai janji Allah. Dan orangorang yang bersabar adalah orang-orang yang mendapat ridho Allah SWT. Sabar dalam Islam bukan berarti berpasrah begitu saja pada Allah SWT dan tidak melakukan apa-apa dalam kondisi yang tidak menyenangkan, akan tetapi terus mandiri dalam ikhtiar meningkatkan kualitas hidup dan keimanan. Masyarakat yang menjadi survivor dari suatu bencana cenderung memiliki masalah penyesuaian perilaku dan emosional. Perubahan mendadak sering membawa dampak psikologis yang cukup berat. Beban yang dihadapi oleh survivor tersebut dapat mengubah pandangan mereka tentang kehidupan dan menyebabkan tekanan pada jiwa mereka. (Adami, 2006:2) Untuk tahap rehabilitasi tersebut, tentunya tidak lepas dari pemahaman konkret mengenai kondisi wilayah dan masyarakat yang meliputi kondisi pra bencana alam dan pasca bencana alam. Dalam hal ini, tentunya penting untuk diperhatikan pula bagaimana kondisi psikis dan spiritual masyarakat, terutama mereka yang secara langsung menjadi survivor. Idealnya, ketika seseorang mengalami kejadian yang tidak menyenangkan maka dia akan merasa bahagia karena semakin dekat dengan Tuhannya, peduli dengan lingkungan dan lebih komitmen terhadap 10 komunitasnya, mengalami kesadaran transendental dengan mengalami pengalaman spiritual. Ada beberapa remaja laki-laki menunjukkan tingkat stres-nya meniru orang dewasa laki-laki untuk ikut menjarah barang bantuan, mencegat mobil-mobil bantuan yang datang dan langsung menurunkan barang bantuan sebagai akibat muncul rasa curiga antarwarga terkait distribusi bantuan yang tidak merata. Sekilas menurut hasil pengamatan penulis, kejadian erupsi gunung Kelud seperti berpengaruh sesaat kondisi spiritual mereka sebagai makhluk Tuhan. (Observasi, 16-24 Maret 2014) Pasca kepulangan survivor dari posko pengungsian, mereka kembali ke aktifitas seperti biasa, bedanya remaja lebih nyaman berkutat dengan aktifitas yang kurang dalam pengembangan diri bahkan hilang semangat sekolah. Sebagian melanjutkan sekolah namun menjadikan rutinitas menggugurkan kewajiban. Kegiatan di masjid (representasi religiusitas sebagai bagian spiritualitas), yang muncul beberapa perilaku negatif (merokok di usia belum mencapai 21 tahun, bolos sekolah, minum minuman keras) yang sebelum kejadian bencana sudah terjadi. (16-24 Maret 2014) Dengan landasan pengembangan ukuran spiritualitas dalam taksonomi berbasis sifat, secara eksplisit, Piedmont melihat spiritualitas sebagai sifat motivasi, adanya kekuatan afektif nonspesifik yang mendorong, mengarahkan, dan memilih perilaku. (Piedmont, 2001:7) 11 Pendapat tersebut didukung oleh Emmons bahwa sebagai sumber motivasi intrinsik, spiritualitas akan terbangun relatif stabil dari waktu ke waktu dan akan mendorong individu menuju tujuan yang data teridentifikasi. (dalam Piedmont, 2001:7) Menurut perspektif Piedmont, sebagai manusia erat menyadari kefanaan diri sendiri. Dengan demikian, kita berusaha untuk membangun hasrat terhadap tujuan dan makna bagi memimpin kehidupan kita. Piedmont mempertanyakan tujuan eksistensi manusia dan nilai hidup yang diterapkan di dunia yang ditinggali. Jawaban atas pertanyaan-pertanyaan tentang eksistensi manusia membantu kita untuk merajut „benang‟ bagi kehidupan kita yang beragam bagi lebih berarti dampaknya yang memberikan kemauan dalam diri dan hidup produktif. Jawaban-jawaban ini juga menuntun kita untuk mengembangkan rasa transendensi spiritual, atau kapasitas individu untuk berdiri dari waktu dan tempat diluar yang mereka rasakan secara langsung, untuk melihat kehidupan dari yang lebih besar , perspektif yang lebih obyektif. Perspektif transenden ini adalah salah satu di mana orang melihat kesatuan fundamental yang mendasari aspirasi beragam alam. (dalam Piedmont, 2001: 7) Aitem-aitem yang ada dianalisis dalam konteks teori Piedmont berdasarkan model lima faktor kepribadian dan diwujudkan dalam faktor tunggal secara keseluruhan terdiri dari tiga segi, yaitu: Pengamalan Ibadah (Prayer Fulfillment) artinya perasaan sukacita dan kepuasan yang dihasilkan dari pertemuan pribadi dengan realitas transenden atau 12 pengalaman perasaan sukacita dan kepuasan yang dihasilkan dari doa dan atau meditasi (misalnya, “Saya menemukan kekuatan batin dan atau damai sejahtera dari doa-doa saya”) ; Universalitas (Universality) yakni keyakinan bahwa satu bagian dalam sifat kesatuan dan tujuan hidup (misalnya, “Saya merasa bahwa pada tingkat yang lebih tinggi kita semua berbagi ikatan yang sama.”) : dan Keterhubungan (Connectedness) yakni keyakinan bahwa satu bagian dari realitas terbesar manusia melintasi generasi dan seluruh kelompok atau tanggungjawan pada pribadi ataupun oranglain.(misalnya, “Saya prihatin tentang orang-orang yang datang sesudah saya dalam kehidupan.”). (Piedmont, 2001:7-8) Spiritualitas merupakan dimensi yang berbeda dari perbedaan individu. Sebagai dimensi yang berbeda, spiritualitas membuka pintu untuk memperluas pemahaman kita tentang motivasi manusia dan tujuan kita, sebagai makhluk, mengejar dan berusaha untuk memuaskan diri. Kita tidak harus menjadi terlalu antusias tentang kemampuan spiritualitas untuk memberikan jawaban akhir untuk pertanyaan kami tentang kondisi manusia. (Piedmont, 9-10) Pendapat di atas senada dengan signifikansi prediksi perilaku spiritual transenden tentu ada hubungannya dengan fungsi spiritualitas, bahwa terdapat beberapa fungsi spiritualitas bagi individu, salah satunya adalah sebagai faktor yang mendorong resiliensi. Terdapat dua hal yang harus dimiliki oleh seseorang yang resilien. Pertama adalah recovery, yaitu kembali mendapatkan keseimbangan fisiologis, psikologis, dan sosial 13 setelah mengalami kejadian yang menekan (Zautra et al., 2010). Hal kedua adalah sustainability, yaitu kapasitas untuk terus maju meskipun mengalami kesulitan (Bonanno, dalam Zautra et al., 2010). (dalam Sidabutar, 2011: 3) Pendapat di atas didukung juga pendapat Crowther (2002) bahwa aspek positif dari spiritualitas juga turut membantu individu dalam memulihkan perasaan kontrol diri yang saat sakit, dan membantu perkembangan adaptasi saat sakit kronis dan tidak seimbang. (dalam Iqbal, 2011:29) Pada suatu hasil penelitian oleh Costanzo, spiritualitas memiliki hubungan dengan resiliensi pada orang yang selamat dari penyakit kanker, meskipun individu tersebut memiliki resiko lebih dalam mengembangkan depresi dan kecemasan, tetapi tingkat spiritualitas dan personal mereka tumbuh lebih baik setelah pemulihan. (dalam Iqbal,2011:29) Gerakan tak terelakkan menuju kematian memulai suatu dialektika yang menyertainya dalam orang untuk mendekati pertanyaan yang lebih luas dari makna pribadi dan nilai diri. Aspek seseorang mungkin lebih disepakati untuk mengarahkan intervensi psikologis daripada domain kepribadian yang lebih stabil. Pada akhirnya, rehabilitasi dapat menemukan efisiensi tambahan dan nilai layanannya dengan mengembakan pengobatan yang berdampak pada dimensi spiritual dari orang tersebut. (Piedmont, 2001:11) 14 Para penyintas bencana erupsi tampak mengalami transformasi spiritual yang cukup besar setelah terjadinya bencana. Para penyintas meyakini bahwa segala sesuatu termasuk terjadinya bencana ini merupakan kehendak Tuhan. Mereka yakin tidak ada yang lebih berhak lagi untuk membuat Merapi meletus selain Tuhan, dan mereka yakin bahwa jika Tuhan berkehendak demikian tentu Dia juga akan menjadi penolong mereka. (Faturrochman, 2012:179) Maddi menjelaskan bahwa spiritualitas membutuhkan suatu pencarian di alam semesta, suatu pandangan bahwa dunia lebih luas daripada diri sendiri, spiritualitas juga berarti ketaatan pada suatu ajaran (agama) yang spesifik. Penelitian tentang ketabahan, keberagamaan dan spiritualitas menunjukkan kualitas-kualitas yang membantu individu dalam mengatasi kondisi stres dalam hidup dan menyediakan perlindungan pada individu dalam menghadapi depresi dan stres. (dalam Iqbal, 2011:29) Dalam Islam sendiri, antropologi spiritual islam memperhitungkan empat aspek dalam diri manusia: upaya dan perjuangan psiko-spiritual demi pengenalan diri dan disiplin, kebutuhan universal manusia akan bimbingan dalam berbagai bentuknya, hubungan individu dengan Tuhan, dan dimensi sosial individu manusia. (Schaalman et al.2000:6) Pada taraf emosional-psikologis, manusia mendambakan kedamaian dan ketenangan dan menolak kecemasan dan ketakutan. Dari 15 sisi intelektual, manusia menginginkan pencerahan lewat pencapaian pengetahuan dan menolak kebodohan. (Mahpur&Habib, 2006:47) Menurut pandangan peneliti, sumber resiliensi I AM milik Grotberg searah dengan teori spiritualitas Piedmont tentang Pemenuhan Do‟a (Prayer Fulfillment) yang juga berasal dari internal diri sendiri untuk berusaha membahagiakan atau menyembuhkan kesedihan individu dari kondisi yang tak menyenangkan yang telah dialami melalui manifestasi kekuatan batin dengan meningkatkan intensitas ibadah. Karena, intensitas ibadah merupakan salah satu manifestasi atau bentuk kesadaran terhadap spiritualitas individu, berasal dari rasa keinginan atau kesadaran dalam diri sendiri. Survivor remaja yang memiliki spiritualitas yang baik atau tinggi maka akan mampu bangkit kembali dari keterpurukan atas bencana erupsi gunung yang dihadapi yang mana dalam seketika meluluhlantakkan kemapanan yang telah ada sebelumnya. Sebab, seorang remaja yang dalam perkembangan menuju dewasa setidaknya berproses membentuk pola pikir abstrak walaupun dikembalikan lagi dengan daya lentur (resiliensi) dan kepribadian masingmasing. Idealnya, seorang remaja seharusnya mampu mengambil hikmah atau berpikir realistis bahwa kemalangan yang terjadi padanya adalah ujian Tuhan. Begitu juga sebaliknya, apabila survivor yang memiliki spiritualitas kurang baik atau rendah, maka akan kurang lentur dalam 16 menghadapi kenyataan yang ada, bahkan kembali pada realita adalah suatu kesukaran baginya. Akibatnya adalah permasalahan psikologis yang dihadapi menjadi laten dan mengganggu aktivitas sehari-hari, mempengaruhi stabilitas hidup seperti biasannya. Dari hasil wawancara yang peneliti lakukan pada salah satu survivor remaja sebagai subjek penelitian didapat bahwa ketika mengalami evakuasi, dia merasa takut mati dan mengingat Tuhan. Akan tetapi, setelah lewat masa darurat, narasumber kembali berperilaku seperti sebelum masa krisis, diperlihatkan juga oleh teman-teman sebaya di lingkungannya. Dia meyakini adanya Tuhan, dan bencana alam yang dialaminya merupakan cobaan Tuhan. Setelah bencana, dia masih suka berkata kurang sopan, dan merasa seperti dulu yang malu berbicara dengan oranglain namun peduli dengan tetangga. Dia masih sering bolos sekolah, kadang setelah pulang sekolah pergi ke sungai Sambong untuk mencari plonto. (Feri (15th), nama samaran, 26 Maret 2014) Selanjutnya, dia mengemukakan bahwa tidak memiliki kondisi keluarga yang stabil karena dari kecil sudah ditinggalkan ibunya. Di rumah hanya bersama ayah, ketika mengungsi mereka sempat terpisah. Dia selalu mencari perhatian dari orang-orang sekitar sejak sebelum Kelud meletus. Dengan melakukan ibadah, dia merasa senang tapi masih merasa malu ketika memasuki masjid di sekitar. Selai itu, dia sudah tidak berminat melanjutkan sekolah lagi karena merasa tidak akan naik kelas. 17 Namun, dari hasil wawancara tersebut menunjukkan hasil yang berbeda dengan teori, bahwa spiritualitas yang baik atau tinggi pada subjek penelitian tidak selalu berbanding lurus dengan kenyataan di lapangan dalam kaitannya dengan resiliensi pasca bencana erupsi gunung Kelud. Subjek menyatakan ketidakpercayaan diri sendiri pada beberapa faktor dalam spiritualitas salah satunya kepedulian terhadap sesame bahwa oranglain juga peduli dengannya, walaupun bantuan bencana yang didapat hanya sesaat. Kemudian, subjek juga tidak menunjukkan perilaku berusaha bangkit dari kondisi yang tidak menyenangkan yang dialaminya. Subjek menunjukkan merasa nyaman dengan kesengsaraan yang dihadapi karena tidak ada motivasi untuk bangkit, menilai oranglain jauh lebih hebat darinya. Sehingga, dapat diambil asumsi bahwa survivor remaja dengan spiritualitas yang tinggi tentu memiliki resiliensi yang tinggi pula. Pengamalan ibadah, hubungan diri dengan semesta alam, dan hubungan interpersonal mampu secara otomatis meningkatkan resiliensi pasca bencana erupsi gunung yang telah dialami. Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka penelitian ini dimaksudkan untuk menguji teori Piedmont dan teori Grotberg, serta mengetahui dengan jelas “hubungan spiritualitas dengan resiliensi survivor remaja pasca bencana erupsi gunung Kelud di Desa Pandansari, Ngantang, Malang”. 18 B. Rumusan Masalah Dari pemaparan latar belakang di atas dapat dirumuskan masalah yaitu: 1. Bagaimana tingkat spiritualitas survivor remaja di Desa Pandansari, Ngantang, Malang? 2. Bagaimana tingkat resiliensi survivor remaja di Desa Pandansari, Ngantang, Malang? 3. Adakah hubungan antara spiritualitas dengan resiliensi survivor remaja di Desa Pandansari, Ngantang, Malang? C. Tujuan Penelitian 1. Untuk mengetahui spiritualitas survivor remaja di Desa Pandansari, Ngantang, Malang. 2. Untuk mengetahui tingkat resiliensi survivor remaja di Desa Pandansari, Ngantang, Malang. 3. Untuk mengetahui ada tidaknya hubungan antara spiritualitas dan resiliensi survivor remaja di Desa Pandansari, Ngantang, Malang. D. Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan akan memberikan manfaat dan kegunaan sebagai berikut : 1. Secara Teoritis Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi dan memperluas khasanah keilmuan dalam disiplin ilmu psikologi. Khususnya psikologi klinis, psikologi perkembangan, dan psikologi 19 sosial. Terutama dalam proses mental recovery atau penanganan mental korban bencana di daerah rawan bencana gunung meletus, khususnya di Desa Pandansari, Ngantang, Malang. 2. Manfaat Praktis a. Diharapkan hasil penelitian ini dapat dijadikan bahan pertimbangan para pakar keilmuan, praktisi, pimpinan, relawan bencana dan masyarakat umum. b. Memberikan gambaran dan pemahaman baru bagi survivor remaja sejauh manakah spiritualitas dan resiliensi yang mereka miliki, dan masukan bagi survivor remaja untuk meningkatkan spiritualitas dan mengembangkan resiliensi mereka agar lebih cepat bangkit kembali setelah mengalami bencana alam. c. Sebagai masukan dan memberikan kontribusi bagi pihak perangkat Desa Pandansari bahkan kecamatan Ngantang, kabupaten Malang dalam menyusun program pembinaan psikologis dan spiritualitas bagi warga desa paling berdampak erupsi gunung Kelud. d. Memberikan masukan kepada masyarakat akan pentingnya memiliki spiritualitas yang baik dan resiliensi dalam menghadapi bencana alam maupun sosial yang tidak terduga waktu kejadiannya.

Untuk Mendownload Skripsi "Skripsi Psikologi" :Hubungan spiritualitas dengan resiliensi survivor remaja pasca bencana erupsi Gunung Kelud di Desa Pandansari-Ngantang-Kabupaten Malang" Untuk Mendownload skripsi ini silakan klik link dibawah ini
DOWNLOAD

Jasa Buat Skripsi: download Skripsi Psikologi:Strategi peningkatan kemandirian anak usia dini di TK. Dharma Wanita Brumbung I Kediri.

Abstract

INDONESIA:
Manusia akan selalu dihadapkan pada situasi dan dinamika kehidupan yang terus berubah dan berkembang. Ketergantungan disiplin pada kontrol luar dan bukan dari niat sendiri yang ikhlas akan menghambat etos kerja dan etos kehidupan yang mapan. Oleh karena itu perkembangan kemandirian seseorang menuju ke arah kesempurnaan menjadi sangat penting untuk diupayakan sejak dini, lebih serius, sistematis dan terprogram. Hal tersebut mungkin dapat dicapai dengan menerapkan strategi yang tepat dan jitu dalam peningkatan kemandirian terhadap anak usia dini di masa sekarang, yang nantinya anak tersebut merupakan generasi penerus di masa yang akan datang. Seperti yang telah di upayakan oleh ibu guru di TK. Dharma Wanita Brumbung I dalam rangka peningkatan kemandirian anak usia dini. Oleh karena itu, peneliti tertarik melakukan penelitian dengan tema “Strategi Peningkatan Kemandirian Anak Usia Dini di TK. Dharma Wanita Brumbung I Kediri”.
Pendekatan penelitian dalam penelitian ini adalah bersifat kualitatif, yang digunakan untuk mengeksplorasi dan memahami makna sejumlah masalah sosial atau kemanusiaan. Teknik pengambilan data dalam penelitian ini yaitu dengan teknik wawancara, observasi dan dokumentasi. Analisis data menggunakan Reduksi data, Penyajian data, Penarikan kesimpulan dan Verifikasi data. Subjek dalam penelitian ini yaitu 4 orang guru TK.Dharma Wanita Brumbung I, dimana guru yang memegang tanggung jawab penuh pada anak, saat anak berada di sekolah.
Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa, strategi yang dilakukan para guru di TK. Dharma Wanita Brumbung I meliputi (1) Memberikan pemahaman positif pada diri anak usia dini, yaitu memberikan kepercayaan dan tanggung jawab kepada anak,(2) Mendidik anak usia dini terbiasa bersih dan rapi, menyiapkan penyimpanan, memberi contoh, dan menjelaskan konsekuensi hidup jika tidak rapi dan tidak bersih, (3) Memberikan permainan yang dapat membentuk kemandirian anak usia dini, permainan terdapat dua jenis yaitu, permainan aktif dan permainan pasif. Permainan aktif adalah, permainan yang berfungsi untuk melatih motorik kasar anak sedangkan permainan pasif adalah, berupa permainan yang lebih melibatkan imajinasi anak, (4) Memberi anak usia dini pilihan sesuai minatnya, (5) Membiasakan anak usia dini berperilaku sesuai dengan tata krama, (6) Memotivasi anak supaya tidak malas-malasan, (7) Memberi pujian terhadap hasil yang dicapai anak, (8) Mengadakan program parenting.
ENGLISH:
Humans will always be faced with the situation and the dynamics of life are constantly changing and evolving. Dependence on external control and discipline are not of its own intentions will hamper sincere work ethic and ethos established life. Therefore, the development of one's independence toward perfection becomes very important to be pursued since the early, more serious, systematic and programmed. This may be achieved by implementing the right strategy and a sharpshooter in an increased independence to early childhood in the present, the future of the child is the next generation in the future. As has been trying to do by the teacher in kindergarten. Dharma Wanita Brumbung I in order to increase the independence of children aged dini. Oleh Therefore, researchers interested in conducting research on the theme "Independence Strategy Increase Of Early Childhood In Kindergarten Dharma Wanita Brumbung I Kediri".
The research approach in this research is qualitative, which is used to explore and understand the meaning of a social or humanitarian issues. Techniques of data collection in this study is by interview, observation and documentation. Data analysis using data reduction, data presentation, drawing conclusions and verification of data. Subjects in this study is 4 Women Brumbung I TK.Dharma teachers, where teachers who hold full responsibility for the child, while the child is in school.

The results showed that the strategy pursued in kindergarten teachers. Dharma Wanita Brumbung I includes (1) Provide positive self-understanding early childhood, which gives confidence and responsibility to the child, (2) Educate young children accustomed to clean and tidy, preparing deposit, give examples, and explain the consequences of life if not neat and clean, (3) Provide a game that can establish independence early childhood, there are two types of games, the game active and passive games. The game is active, the game serves to train children's gross motor skills while passive game is, the more a game involving the child's imagination, (4) Providing early childhood choices according to their interests, (5) Allowing young children to behave in accordance with the manners, (6) Motivating children to not be lazy, (7) Give praise to child outcomes, (8) Hold a parenting program.

BAB 1
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
B.     Manusia akan selalu dihadapkan pada situasi dan dinamika kehidupan yang terus berubah dan berkembang. Terlebih lagi ditunjang oleh laju perkembangan teknologi dan arus gelombang kehidupan global yang sulit atau tidak mungkin untuk dibendung. Sehingga tata nilai yang sudah mapan banyak diguncang oleh nilai – nilai baru yang belum tentu positif bagi kehidupan. Ketidakmandirian dan ketergantungan disiplin pada kontrol luar dan bukan dari niat sendiri yang ikhlas akan menghambat etos kerja dan etos kehidupan yang mapan (kompasiana.com, diakses pada tanggal 10/05/2014). Problem di atas semakin meresahkan jika dikaitkan dengan situasi masa depan yang diperkirakan akan semakin kompleks dan penuh tantangan. Dan tantangan itu memberikan dua alternatif, yaitu pasrah pada nasib atau mempersiapkan diri sebaik mungkin. Oleh karena itu perkembangan kemandirian seseorang menuju ke arah kesempurnaan menjadi sangat penting untuk diupayakan lebih serius, sistematis dan terprogram. Karena perubahan tatanilai yang terjadi dalam generasi dan antar generasi akan tetap memposisikan kemandirian dalam perkembangan manusia, sehingga alangkah baiknya jika mempersiapkannya sedini mungkin. Misalnya dengan menanamkan kemandirian terhadap anak yang merupakan generasi penerus di masa yang akan datang. 2 Salah satu hak dasar anak adalah hak untuk tumbuh dan berkembang. Artinya anak memperoleh kesempatan seluas-luasnya untuk tumbuh secara fisik dan berkembang secara psikologis. Ini semua akan terjadi bila lingkungan sangat kondusif sehingga memungkinkan perkembangan jiwa mereka dapat terlaksana dengan optimal (Seto Mulyadi dalam Dariyo, 2007:v). Pada usia anak mencapai dua sampai tiga tahun, tugas utama perkembangan anak adalah untuk mengembangkan kemandirian. Kebutuhan untuk mengembangkan kemandirian yang tidak terpenuhi pada usia sekitar dua sampai tiga tahun akan menimbulkan terhambatnya perkembangan kemandirian yang maksimal. Kemandirian baru akan tercapai sebagian, jika perkembangan pada masa awal anak tidak di beri dasar yang baik. Kemandirian bukanlah ketrampilan yang muncul tiba-tiba, melainkan perlu diajarkan kepada anak. Tanpa diajarkan, anak-anak tidak akan tahu bagaimana mereka harus membantu dirinya sendiri. Kemampuan membantu diri sendiri itulah esensi dari karakter mandiri (Wiyani, 2013:35-36). Pada usia dua sampai tiga tahun adalah masa usia prasekolah. Menurut Lichtensein & Ireton (1984) ada 7 (tujuh) persyaratan yang harus dipenuhi oleh seorang anak agar berhasil dalam mengikuti pendidikan prasekolah,
C.     antara lain : (1) kemampuan kognitif yang memadai
D.    ,(2) ketrampilan berbahasa lisan dan ketrampilan menulis,
E.      (3) artikulasi bahasa yang jelas dan dipahami oleh orang lain,
F.       (4) memiliki ketrampilan motorik yang memadai,
G.     (5) mampu menolong diri sendiri dengan baik,
H.    (6) memiliki ketrampilan 3 psikososial yang memadai,
I.        (7) kemampuan proses persepsi dan integrative. Salah satu dari persyaratan di atas adalah memiliki ketrampilan menolong diri sendiri yang artinya adalah anak diharapkan mampu bersikap mandiri. Pada anak-anak yang telah diajar dan terlatih dengan baik oleh orang tua dirumah akan dapat melakukan kegiatan yang bertujuan untuk memenuhi kebutuhan diri sendiri dinamakan (self-help skill), sedangkan anak-anak yang tidak dilatih dengan baik oleh orang tua dirumah belum tentu dapat melakukan kegiatan yang bertujuan untuk memenuhi kebutuhan diri sendiri. Dengan menguasai ketrampilan ini maka seorang anak tidak akan merepotkan orang lain. Kemampuan menolong diri sendiri ini antara lain: memakai baju, sepatu, sandal, menggosok gigi, mandi, menyisir rambut, makan atau minum sendiri. Berbagai ketrampilan tersebut sangat penting bagi seorang anak ketika dia sudah memasuki pendidikan prasekolah (Dariyo,2007:169-172). Masa anak-anak merupakan gambaran awal seseorang sebagai manusia (Haim Ginost, dalam Wiyani, 2013:53). Pada masa sekarang ini sangat sering terdengar tentang pendidikan karakter yang salah satu tujuannya menumbuhkan kemandirian.
 Tujuannya ialah menghasilkan anak didik yang mampu secara mandiri meningkatkan dan menggunakan pengetahuan, mengkaji dan menginternalisasikan serta mempersonalisasikan nilai-nilai karakter yang terwujud melalui perilaku sehar-hari (Wiyani, 2013:134). Hal tersebut mengungkapkan betapa pentingnya kemandirian ditanamkan dalam diri anak sejak dini. Peran orang tua dan guru sangatlah diperlukan untuk mengajarkan anak tentang kemandirian. 4 Di satu pihak, mereka memahami bahwa anak-anak usia dini masih berada dalam tahap dimana mereka bisa menikmati kebebasan untuk bermain. Di pihak lain, mereka harus disiapkan untuk memenuhi tuntutan itu, tidak sedikit pendidik dan orang tua yang memilih menjejali anak-anak dengan berbagai lembar kerja setiap hari sejak dini. Bahkan hal ini dialami oleh anakanak usia playgroup (Shoba, 2006:1). Dalam membentuk kemandirian pada anak usia dini, diperlukan rangsangan serta dorongan untuk mengeksplorasi secara berulang agar rasa tanggung jawab dalam diri anak bisa terbentuk dengan baik. Mengajari anak untuk mandiri bukan berarti membiarkan mereka melakukan aktivitas tanpa pengawasan, justru disini lah peran orang tua dan guru PAUD sangat penting dalam proses pembentukan kemandirian anak. Peran orang tua dan guru nantinya akan memunculkan inisiatif anak untuk mampu menggunakan setiap potensi nya, sehingga mereka tahu harus berbuat apa dan bagaimana menolong dirinya sendiri dikemudian hari. Umumnya anak-anak yang memperoleh kesempatan dan tanggung jawab dari orang tua, untuk melakukan aktivitas yang seharusnya sudah bisa mereka lakukan sendiri akan tumbuh menjadi anak yang berinisiatif, sosiabel, adaptif, berani, percaya diri optimis dan kreatif. Sebaliknya, anak-anak yang selalu dikontrol, diawasi, dan tak dipercaya/diberi tanggung jawab, akan tumbuh menjadi anak yang minder, ragu-ragu, kurang percaya diri, pasif dan tak kreatif (Dariyo, 2007:172). Selain perlu disayangi dan dilindungi, anak usia dini juga perlu dihargai, anak akan merasa dihargai jika ia boleh ikut berperan aktif dalam 5 kegiatan keluarga sehari-hari seperti ikut memasak, mencuci mobil, membersihkan meja dan sebagainya. Namun sebagian orang tua, cenderung melarang anak intuk ikut dalam kegiatan dirumah, karena ingin pekerjaan cepat selesai (Shoba, 2006:21). Padahal, orang tua memiliki peranan yang amat penting dalam upaya mendukung perkembangan anak khususnya saat mereka berada pada tahapan usia dini. Namun permasalahan sering kali muncul, manakala orang tua sering kurang memahami teori perkembangan anak.

 Tidak adanya pendidikan khusus untuk mempersiapkan seseorang menjadi orang tua juga semakin mempersulit tugas orang tua dalam menangani berbagai permasalahan perkembangan anak (Seto Mulyadi dalam Dariyo, 2007,hlm:v). Hal di atas membuktikan bahwa pentingnya untuk para orang tua dan guru untuk menumbuhkan sikap mandiri pada anak, tentunya dengan menggunakan strategi yang tepat dan sesuai, agar salah satu tugas utama perkembangan ini dapat terwujud yaitu kemandirian. Kesimpulan yang dapat diambil dari penjelasan di atas, Tujuan orang tua memberi kepercayaan dan tanggung jawab untuk melakukan aktivitas tanpa bantuan orang lain, karena anak-anak yang memperoleh kesempatan tersebut akan menjadi anak mampu mandiri dalam menjalani kegiatan seharihari, karena anak-anak yang memperoleh kesempatan dan tanggung jawab dari orang tua akan tumbuh menjadi anak yang berinisiatif, sosiabel, adaptif, berani, percaya diri optimis dan kreatif. Hal-hal yang telah disebutkan di atas melatar belakangi pemikiran peneliti bahwa betapa pentingnya menumbuh kembangkan sikap kemandirian pada diri anak sejak usia dini, namun hal ini 6 disesuaikan dengan dorongan sendiri (motivasi), kompetensi, inisiatif dan kreativitas dari anak tersebut. Pada masa kanak-kanak adalah masa-masa bermain dan bersenangsenang, jadi untuk menumbuh kembangkan kemandirian anak tidak perlu dipaksakan, dan harus menggunakan strategi yang sesuai.

 Dalam upaya pembinaan terhadap pendidikan anak usia dini tersebut diperlukannya sebuah upaya dan strategi dalam peningkatan kemandiriannya. Pada tanggal 4-6 November 2013 peneliti melihat kegiatan belajar dan bermain di lokasi penelitian, tepatnya di TK. Dharma Wanita Brumbung I. Peneliti menemukan hal-hal yang menarik untuk diteliti di lokasi penelitian, banyak peserta didik yang dianggap sudah mandiri. Hal ini dibuktikan dengan adanya keterangan yang peneliti peroleh yaitu hampir 50% wali murid yang menyatakan bahwa guru di TK.Dharma Wanita lumayan berhasil dalam mengajarkan kemandirian pada anaknya, anak bisa lebih mandiri dari yang sebelumnya. Upaya-upaya guru untuk mengembangkan atau meningkatkan kemandirian anak begitu beragam, yang peneliti peroleh melalui keterangan yang dipaparkan salah satu guru di TK. Dharma Wanita yang bernama Bu Darmi : “Untuk peningkatan kemandiriannya di sekolah, biasanya disini mengadakan lomba antar kelas mbak, mengajarkan anak terbiasa rapi, menguji hasil kerja, mengajarkan anak terbiasa disiplin, karena biasanya mereka yang sudah mandiri itu mintanya disiplin yaitu tepat waktu mbak berangkatnya ke sekolah, tapi nggak cuma itu aja, banyak upaya lain. Di TK sini rata-rata anak-anaknya sudah pada mandiri semua kok mbak. Mandiri ne rata-rata dalam hal bisa menolong diri sendiri, salah satune ya misale ngambil dan ngembaliin peralatan tulis e sendiri mbak” 7 Beberapa kegiatan yang telah dipaparkan Bu Darmi tersebut adalah beberapa upaya meningkatkan kemandirian pada anak. Berdasarkan latar belakang di atas, maka peneliti tertarik melakukan telaah lebih dalam tentang strategi yang tepat dan sesuai dalam meningkatkan kemandirian anak usia dini. Anak kecil bukanlah orang dewasa yang berbentuk mini, jadi dalam upaya meningkatkan kemandiriannya tidak sama dengan bagaimana meningkatkan kemandirian pada orang dewasa.
 Bagi orang tua maupun guru pasti lah tidak mudah meningkatkan tugas perkembangan yang satu ini yaitu kemandirian, karena pada usia dini adalah masa-masa bermain dan tidak seharusnya dituntut untuk mandiri. Peneliti mengangkat permasalah tersebut untuk diteliti di TK. Dharma Wanita Brumbung I, dengan judul Strategi Peningkatan Kemandirian Anak Usia dini di TK. Dharma Wanita Brumbung I, Kecamatan Kepung, Kabupaten Kediri. Kemandirian dalam penelitian ini adalah kemampuan seorang anak dalam menyelesaikan segala kegiatan sehari-hari di sekolah, berdasarkan kemampuan sendiri dilihat dari aspek afektif, kognitif dan psikomotor, sesuai dengan indikator usia anak tersebut, yaitu 4-6 tahun. B. Rumusan Masalah 1. Bagaimana kemandirian anak usia dini di TK. Dharma Wanita Brumbung I? 2. Apa strategi yang dilakukan untuk peningkatan perkembangan kemandirian anak usia dini di TK.Dharma Wanita Brumbung I? 8 3. Apa sajakah faktor yang mempengaruhi kemandirian anak usia dini di TK.Dharma Wanita Brumbung I? C. Tujuan Penelitian 1. Mendeskripsikan bagaimana bentuk kemandirian anak usia dini di TK. Dharma Wanita Brumbung I 2. Mendeskripsikan strategi yang dilakukan dalam peningkatan kemandirian anak usia dini di TK.Dharma Wanita Brumbung I 3.
 Menganalisa faktor yang mendukung dan menghambat dalam peningkatan kemandirian anak usia dini di TK. Dharma Wanita Brumbung I D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoritis Dengan adanya penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran dan dapat di jadikan bahan studi banding bagi mahasiswa di waktu yang akan datang khususnya mahasiswa fakultas psikologi dan diharapkan mampu memberikan sumbangan pada ilmu pengetahuan pada umumnya. 2. Manfaat praktis Dari hasil penelitian ini nantinya, diharapkan dapat memberikan masukan kepada guru serta orang tua dalam mendidik anak dan mengasuh anak sangat perlu ditanamkan kemandirian sejak pada usia dini, agar di masa mendatang para anak yang mulai beranjak dewasa mampu membawa diri tanpa berpangku tangan pada orang lain.

Untuk Mendownload Skripsi "Skripsi Psikologi" Strategi peningkatan kemandirian anak usia dini di TK. Dharma Wanita Brumbung I Kediri" Untuk Mendownload skripsi ini silakan klik link dibawah ini
DOWNLOAD

Jasa Buat Skripsi: download Skripsi Psikologi:Analisis faktor penyebab stres pada wasit sepakbola di asosiasi PSSI Kota Blitar

Abstract

INDONESIA:
Stres merupakan keseluruhan proses yang meliputi stimulasi, kejadian, peristiwa dan respon, interpretasi individu yang menyebabkan timbulnya ketegangan yang diluar kemampuan individu untuk mengatasinya (Rice, 1994). Tugas seorang wasit selalu menghadapi tekanan langsung yang berasal dari lingkungan. Pada tahun 2010 di pertandingan sepakbola internal Asosiasi PSSI terjadi tindakan pemukulan seorang pemain yang kecewa akan keputusan wasit mengakibatkan tidak dilanjutkannya kompetisi internal kelompok umur 23 dan mengganggu jalannya roda kompetisi Assosiasi PSSI Kota Blitar. Tekanan yang dialami oleh wasit ini memiliki gejala stres yang mampu memberikan dampak pada keputusannya. Keputusan wasit yang salah merupakan akibat dari salah satu faktor penyebab stres seperti takut gagal, takut akan agresi fisik, masalah pengaturan waktu dan konflik interpersonal (Rainey,1995).
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui tingkat stres yang dialami wasit sepakbola saat bertugas diwilayah Assosiasi PSSI Kota Blitar dan untuk mengetahui faktor penyebab stres yang dialami oleh wasit saat bertugas diwilayah Assosiasi PSSI Kota Blitar.
Jenis penelitian ini adalah penelitian explanatory. Adapun tujuan dari penelitian ini adalah menerangkan faktor-faktor penyebab stres wasit secara apa adanya. Dalam pengolahan data digunakan analisis yang berupa angka-angka. Penelitian dilaksanakan dari tanggal 20 mei 2014 - 02 Juni 2014 di Asosiasi PSSI Kota Blitar yang berlokasi di Jalan Kelud (ruko barat Stadion Soeprijadi). Dengan mengambil sampel sebanyak 30 orang wasit.
Berdasarkan hasil penelitian dapat diketahui bahwa stres yang dialami wasit sepakbola di Asosiasi PSSI Blitar yang paling dominan adalah faktor agresi fisik. Dengan nilai faktor agresi fisik sebesar 0,935,
ENGLISH:
Stress constitutes a whole process which involves stimulation, events, and responds, individual interpretation that cause the pressure appearance out of the individual capability to overcome (Rise, 1994). A referee always faces a direct pressure from the surrounding. In 2010 on the PSSI internal Association football match, happened a great deal of heat between a referee and a player. The player was disappointed in the referee’s decision that became the problem causing the match of the 23 years old group stopped and disturbed the smoothness time of the game set in Blitar PSSI Association. This pressure toward the referee had become the stressing main problem that cause the feeling of being afraid to fail, of physical aggression, time formation matter and international conflict (Rainey, 1995).
The purpose of this study is to know the level of stress experienced by the football referee when being of it in Blitar PSSI Association and to know the factor which cause the stress experienced by the referee.
Explanatory is the kind of this research. The purposes are involved explaining the causing factors of the referee’s stress as the way they are. In analyzing the data, the researcher used numeral analysis. This research was performed from May, 20 to 02 June 2014 in Blitar PSSI Association at Kelud Street (west of Soepriadi Stadium). By having 30 referees as the samples.
From the result of the study, it shows stress experienced by the football referee in Blitar PSSI Association, which is most dominant is physical aggression factor in value about 0,935.
BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
B.      Masalah Kehormatan suatu bangsa dalam forum internasional salah satunya ditentukan oleh prestasi olahraga dari para atlet yang berhasil memperoleh medali pada event-event olahraga baik regional maupun internasional.
 Hal ini ditunjukkan oleh adanya pengibaran bendera Merah Putih diluar negeri selain pada saat kunjungan presiden di negara sahabat, juga pada saat atlet memperoleh medali emas. (KONI, 2013:1) Sepakbola merupakan salah satu cabang olahraga yang paling populer di dunia. Sejarah mencatat, sepakbola di Indonesia awal mulanya digunakan sebagai salah satu alat perjuangan kemerdekaan untuk menunjukkan konsistensi bangsa dan sebagai alat pemersatu bangsa. (www.wikipedia.com/sepakbola) Sepakbola bukan hanya sebagai cabang olahraga yang ditujukan sematamata untuk menjaga kesehatan jasmani dan olahraga prestasi, namun diera modern ini sepakbola merupakan salah satu cabang olahraga yang dikembangkan menjadi olahraga industri. Pada UU No 3 Tahun 2005 pasal 79 yang menyebutkan Industri olahraga dapat berbentuk jasa penjualan kegiatan cabang olahraga sebagai produk utama yang dikemas secara profesional dimana diproduksi, diperjualbelikan dan/atau disewakan untuk masyarakat. (KONI 2013:45) Agar sepakbola di Indonesia bisa berkembang menjadi sepakbola industri perlu adanya kualitas dan kuantitas dalam olahraga sepakbola. Kualitas dan kuantitas cabang olahraga yang dikembangkan sebagai olahraga industri harus mumpuni baik dari segi prasarana dan sarana. Salah satu aspek dalam 2 berkembangnya olahraga sebagai industri yang perlu disoroti adalah pelaku olahraganya. Menurut UU no 3 tahun 2005 pelaku olahraga ini meliputi olahragawan, pembina olahraga dan tenaga keolahragaan (KONI, 2013:38) Wasit merupakan bagian dari tenaga olahraga dimana tugas utamanya mengatur jalannya pertandingan sesuai aturan yang berlaku yang telah ditetapkan oleh badan olahraga yang menaungi olahraga tersebut. Wasit yang bertugas dalam sepakbola adalah seseorang yang telah menjadi anggota badan yang menaungi cabang olahraga sepakbola. Di Indonesia wasit sepakbola yang telah lulus tes dan mendapatkan sertifikat sesuai jenjangnya dilindungi penuh oleh badan yang menaungi sepakbola dalam hal ini PSSI. (Statuta PSSI). Semua manusia yang hidup tanpa terkecuali akan mengalami berbagai persoalan, berbagai konflik dan problematika yang sangat kompleks dimulai dari orang baik yang kaya, miskin dan berbagai macam budaya masyarakat sehingga menjadi penyebab munculnya stres. Kepribadian idividu terdiri dari berbagai macam karakter dimana tidak semuanya dapat mengembalikan macam-macam ketegangan dan konflik yang dialami, termasuk stress (Ardani, 2005:2) Stres merupakan hal yang melekat pada kehidupan. Siapa saja dalam bentuk tertentu, dalam kadar berat ringan yang berbeda dan dalam jangka panjang pendek yang tidak sama, pasti pernah mengalaminya. Tak seorang pun bisa terhindar daripadanya. Bayi bisa terkena stres. Balita bisa kedatangan stres. Kaum remaja tak mungkin terhindar. Orang dewasa pasti mengalami. Apalagi kelompok lansia (lanjut usia). Keinginan dan kebutuhan yang dialami semua individu tidak selalu sesuai dengan apa yang diharapkan dan diinginkan. Penyesuaian diri manusia terhadap 3 segala hal yang dihadapi merupakan suatu kuwajiban yang harus dilakukan manusia agar bisa melanjutkan kehidupannya. Masalah yang dihadapi manusia sangatlah beragam bisa ditimbulkan dari masalah yang berasal dari diri manusia itu sendiri (internal) maupun masalah yang berasal dari luar manusia (eksternal). Masalah dari luar biasanya berasal dari proses interaksi antara seseorang dalam pekerjaan dengan aspek-aspek dilingkungan pekerjaanya. Adanya perbedaan keinginan atau harapan dengan hasil pecapaian yang diraih dapat menimbulkan stress.(Rivai & Mulyadi, 2013:307) Hidup dan stres saling berkaitan. Hal ini tergantung bagaimana seseorang memandang hidup dan stres mempengaruhi seseorang. Stres dapat didefinisikan sebagai respon nonspesifik tubuh dalam beradaptasi. Beberapa orang mampu beradaptasi pada berbagai situasi dengan baik, baik secara mental maupun fisik. (Arora, 2008:1) Stres adalah segala masalah atau tuntutan untuk menyesuaikan diri, yang karena tuntutan itulah individu merasa terganggu keseimbangan hidupnya. Stres merupakan keadaan menekan, khususnya psikologis. Keadaan ini dapat ditimbulkan oleh berbagai sebab seperti frustasi, konflik nilai dan tekanan hidup.(Supratiknya, 1995:35). Tuntutan yang mampu menimbulkan stres pada kehidupan era modern ini sangatlah kompleks. Dalam tingkatannya stres memiliki tingkatan yang beragam mulai dari tingkat stres yang ringan hingga tingkat stres tinggi (kronis) hingga dapat menimbulkan perubahan yang sangat jelas dalam perilaku manusia tersebut. Stres merupakan satu abstraksi. Orang tidak dapat melihat pembangkit stres (stressor). Yang dapat dilihat ialah akibat dari pembangkit stress. Menurut Dr. 4 Hans Selye sejumlah organisme yang beradaptasi terhadap berbagai macam tuntutan (stres) mengalami serangkaian perubahan yang dinamakan general adaptation sindrome yang terdiri dari tiga tahapan yaitu tahap pertama merupakan tahap alarm (tanda bahaya) dimana seseorang berorientasi terhadap tuntutan yang diberikan lingkungan dan menghayatinya sebagai ancaman, tahapan ini tidak tahan lama. Seseorang mengalami tahap kedua yaitu tahap resistensi (perlawanan). Seseorang memobilisasi sumber supaya mampu menghadapi tuntutan dan bila tuntutan berlangsung lama, maka sumber ini akan mulai habis dan mencapai tahap terakhir yaitu exaustion (kehabisan tenaga). (Munandar, 2012:372) Stres biasanya dipersepsikan sebagai sesuatu yang negatif, padahal tidak, seseorang yang mengalami stres karena sebuah jabatan disebut sebagai eustres. Terjadinya stres dapat disebabkan kondisi dirinya serta kondisi pikiran. Dalam pengertian stres itu sendiri juga dapat dikatakan sebagai stimulus dimana penyebab stres dianggap sebagai sesuatu hal yang biasa. Stres juga dikatakan sebagai respon artinya dapat merespon apa yang terjadi juga disebut sebagai transaksi yakni hubungan antara stressor dianggap positif karena adanya interaksi individu dengan lingkungan. (Hidayat, 2011:55) Umumnya, stres disebabkan oleh adanya masalah yang belum dapat diselesaikan. Masalah yang telah diselesaikan tidak akan menimbulkan stres. Masalah yang muncul sering kali disebabkan oleh adanya kesalahan diri atau kesalahan lingkunganyang mempengaruhi diri sendiri. Kesalahan lingkungan ada yang dapat dikendalikan dan ada pula yang tidak dapat dikendalikan. Kesalahan lingkungan yang tidak dapat dikendalikan tidak akan mudah diselesaikan, dan 5 untuk menyelesaikannya diperlukan kerja sama dengan banyak pihak yang mempunyai perasaan, harapan, solusi dan sudut pandang yang sama, dan hal ini cukup berat untuk dilakukan. (Agies, Kusnadi dan Candra 2003:17) Standar dan tujuan personal yang tinggi dapat berakibat pada pencapaian kepuasan diri. Akan tetapi, saaat manusia menempatkan suatu tujuan yang terlalu tinggi, mereka memiliki kemungkinan untuk gagal yang lebih tinggi. Dari kegagalan menimbulkan stres dan mengakibatkan kesedihan kronis, perasaan tidak berharga, perasaan tidak memiliki tujuan. (Jess & Gregory, 2011:225) Diberbagai negara, gejala stres sangat menonjol, dimana faktor kompetitif merupakan faktor yang menonjol. Di negara yang sedang berkembang, terutama dikota besar, penyebab stress juga tidak banyak bedanya dengan negara maju, sedangkan didaerah terbelakang, dimana perjuangan hidup masih merupakan target yang utama, stres juga merupakan gejala yang cukup banyak mempengaruhi kesehatan masyarakat. Apalagi stres yang dialami orang didaerah konflik, dimana keamanan merupakan faktor penting yang bila tidak segera diatasi menimbulkan stres. (Wangsa, 2011:17) Bagi beberapa orang kerja keras, tuntutan yang ada tiada henti dan kompetisi yang intensif merupakan hal yang menekan dan tidak sehat. Meskipun demikian ada orang yang tetap sehat dan bahkan tetap berjuang ketika dihadapkan dengan situasi-situasi yang banyak tuntutannya. Perbedaan respon ini dapat meningkat jika terdapat kondisi medis. Misalnya orang yang memiliki penyakit diabetes saat mengalami stres menimbulkan tingkat gula darah yang semakin tinggi. (Stabler dkk 1987 dalam Friedman & Schustak, 2008:49) 6 Pengadil pertandingan atau wasit merupakan pekerjaan yang sangat menarik dan salah satu pekerjaan yang mampu menimbulkan stres. Dalam setiap keputusannya wasit selalu mendapat umpan balik dari pemain, pelatih official pertandingan bahkan supporter yang dapat menimbulkan respon berupa stres pada diri seorang wasit. Stres yang dialami wasit ini akan berpengaruh pada kinerja wasit dilapangan. Oleh karena itu kondisi mental memiliki peran penting dalam kinerja wasit dalam suatu pertandingan. (Reihani, 2012:347) Dalam setiap menjalankan tugasnya, wasit wajib mempersiapkan segala aspek, tidak hanya dari segi fisik saja akan tetapi mereka juga harus menyiapkan diri dalam menghadapi tekanan psikologis yang berasal dari lingkungan tempat dia bekerja. Segala persiapan ini akan berpengaruh pada kepemimpinan seorang wasit, hal ini dikarenakan wasit yang sudah mempersiapkan kondisi fisik dan psikologisnya akan lebih siap dalam menghadapi segala stressor yang mungkin terjadi dilapangan. Hal-hal inilah mengapa stres yang di alami seorang wasit yang bertugas lebih dari stres yang dialami pelatih maupun pemain/olahragawan. (Mirjamai, Ramzaninezhad, Rahmaninia & Reihani, 2012:347) Penelitian yang menunjukkan gejala stres yang dialami wasit telah dilakukan khususnya pada wasit sepakbola, bola voli, basketdan bola tangan oleh E.Mirjamali, Ramzaninezhad, Rahmaninia & Reihani pada tahun 2012 dengan hasil penelitian yang menunjukkan bahwa stres yang dialami wasit terindikasi berasal dari tiga faktor yaitu faktor stres kemampuan teknik, evaluasi penampilan and ketakutan akan kesalahan Dalam melaksanakan tugasnya seorang wasit selalu menghadapi tekanan langsung yang berasal dari lingkungan tempat pelaksanaan tugasnya. Tekanan 7 yang dialami oleh wasit ini memilki gejala stres yang mampu memberikan dampak pada keputusan, yang terkadang keputusan itu masih bisa dipertanyakan kebenaran keputusan itu. keputusan yang kadang keliru ini mampu memicu amarah dari pemain yang terlibat langsung. pemain dalam suasana kompetitif akan berusaha untuk menjadi bagian yang diuntungkan. Suasana dari lingkungan ini memberikan efek terhadap individu tersebut. Pada situasi ini terdapat pola-pola hubungan yang mengatur perilaku orang didalamnya. (Rakhmat, 2000:45) Tidak jarang wasit mendapat perlakuan yang tidak menyenangkan dari pemain, pelatih, official dan supporter. Bahkan dalam keadaan yang extreme wasit sepakbola bisa menjadi sasaran empuk pemain, pelatih, official dan supporter. Wasit bisa menjadi korban agresi dari pemain, pelatih dan official tim sepakbola seperti di dorong, di kerumuni, ditendang, dikejar bahkan terkadang mendapat pukulan. (Wolfson & Neave, 2011:233) Russell (1993) mengatakan bahwa diluar peperangan, olahraga merupakan salah satu wahana bagi tindakan agresi yang ditoleransi oleh sebagian besar masyarakat. Perilaku agresi tidak hanya terjadi pada pemain terhadap wasit tetapi juga terjadi pada penonton. Fenomena pemukulan atau agresi terhadap wasit di Indonesia bukanlah sesuatu hal yang baru. Di Indonesia sering terjadi tindakan dari pemain yang bisa membahayakan wasit. Yang paling sering terjadi adalah agresi pemain terhadap wasit karena terlibat langsung didalam lapangan. Perilaku agresi selalu didahului oleh adanya kekecewaan pada seseorang. (Samanhudi, 1986:64). Dari tahun 2007 hingga tahun 2013 media baik cetak maupun elektronik mencatat dan menerbitkan berita tentang agresi berupa pemukulan terhadap wasit 8 telah terjadi dikompetisi nasional sepakbola di Indonesia. Dari semua agresi yang dilakukan oleh pemain terhadap wasit ini terjadi akibat ketidakpuasan terhadap keputusan wasit yang kontroversi atau memang terkadang tidak tepat. Salah satu agresi yang paling terbaru hingga dunia internasional menyoroti, tepatnya pada kasus pemukulan yang terjadi dalam kompetisi Indonesia Super League antara Pelita Bandung Raya melawan Persiwa Wamena Pemukulan dari pemain terhadap wasit terjadi akibat keputusan wasit dalam menentukan pelanggaran. Mediamedia internasional yang menerbitkan berita ini adalah The Sun, The Guardian, Telegraph dan yang lainnya. (www.okezone.com, akses: 20 Mei 2013) Keputusan wasit yang salah merupakan akibat dari salah satu faktor penyebab stres seperti yang dijelaskan oleh Rainey dalam Hoedaya (2007:19) menurut penelitiannya menyebutkan bahwa faktor penyebab stres pada wasit ada empat yaitu 1. Takut Gagal misalnya takut kehilangan konsentrasi 2. Takut akan Agresi Fisik, misalnya agresivitas yang dilakukan pemain lawan. 3. Masalah Pengaturan Waktu, misalnya konflik waktu, menyangkut kepentingan keluarga dan tugas perwasitan. 4. Konflik Interpersonal, misalnya menghadapi pelatih yang mudah tersinggung. Fakta dilapangan yang menyebutkan tentang agresi berupa pemukulan yang timbul/dipicu karena keputusan yang dibuat, ditingkat daerah pemukulan terhadap wasit pernah terjadi di Asosiasi PSSI Blitar tepatnya saat berlangsung kompetisi internal Kelompok Umur (KU) U-23. Hal ini diutarakan oleh Heri 9 selaku ketua komisi wasit yang bertugas. Dalam penuturannya salah seorang wasit bernama Ali pernah menjadi korban pemukulan sampai mendapatkan luka jahitan dipelipis matanya pada tahun 2007. Akibat pemukulan inimengakibatkan tidak dilanjutkannya kompetisi Kelompok Umur (KU) 23 pada tahun itu padahal pada tahun itu kompetisi yang diadakan cuma kelompok umur (KU) 23 yang dipersiapkan untuk pencarian pemain yang akan dimainkan dalam kompetisi divisi dua nasional. Keputusan untuk menghentikan kompetisi internalini dibuat langsung oleh Ketua Asosiasi PSSI Blitar. (Observational Fieldnotes, 15 mei 2014) Pemukulan terhadap wasit ini di benarkan oleh wasit yang menjadi korban pemukulan. Tepatnya dalam sebuah diskusi dirumah wasit yang menjadi korban. Wasit yang menjadi korban pemukulan membenarkan bahwa pernah mengalami insiden pemukulan. Menurut penuturannya pemukulan itu terjadi karena pemain yang melakukan tindakan pemukulan itu tidak terima atas keputusan yang dibuatnya. (Wawancara,16 Mei 2014) Selain hal diatas, fakta dilapangan membuktikan faktor akan agresifitas dari pemain juga menjadi faktor penyebab stres yang dialami wasit di Asosiasi PSSI Blitar saatbertugas pada suatu pertandingan. Dalam observational fieldnotes dengan partisipan penuh 15 Mei 2014 peneliti mendapati salah satu wasit sebut saja Heri, dalam pertandingan kompetisi internal Asosiasi PSSI Blitar yaitu saat hendak memberikan kartu kuning pemain salah satu tim yang berlaga, pemain mengerumuni wasit, mendorong dan memegang wasit sampai wasit terdorong hingga mundur beberapa langkah dan tidak bisa mengeluarkan kartu kuningnya. 10 Heri telihat berubah raut mukanya telihat pucat, mengeluarkan keringat berlebih seketika. Saat kondisi pertandingan sudah kondusif dan bisa dilanjutkan wasit tidak jadi memberikan kartu kuning kepada pemain yang melakukan pelanggaran yang sebenarnya layak mendapatkan kartu kuning karena pelanggaran yang dilakukan pemain tersebut. (Observational Fieldnotes II). Konflik interpersonal dalam sepakbola di kompetisi internal Asosiasi PSSI Kota Blitar juga pernah terjadi antara wasit dan pelatih. Adu argumen saat pertandingan berlangsung hingga wasit pun terpengaruh dan memberikan ancaman kepada pelatih (Observational Fieldnotes IV). Dalam keadaan lelah, kurang istirahat, atau tertekan perasaan, biasanya orang yang mengalami stress lebih mudah terpengaruh suasana. (Derajat, 1998:234). Keputusan yang tidak benar dalam suatu pertandingan merupakan salah satu faktor penyebab stres yang lain yaitu faktor takut gagal dimana indikatornya berupa konsentrasi. Ketika konsentrasi menurun seorang wasit bisa saja melakukan kelalaian dalam menentukan keputusan dalam suatu pertandingan. Hampir dalam setiap pertandingan, wasit yang bertugas sebagai asisten wasit salah memberi isyarat suatu pelanggaran. Salah memberikan tanda isyarat arah lemparan kepada timyang seharusnya tidak berhak melempar. Pada pertandingan kompetisi internal PSSI Blitar kelompok umur (KU-21). Saat pertandingan berlangsung Ali yang bertugas sebagai asisten wasit salah memberi isyarat kepada wasit utama. Hingga membuat lemparan yang seharusnya diberikan kepada tim Surya Muda menjadi lemparan untuk tim Gajah Mada. (Observational Fieldnotes, 15 Mei 2014) 11 Dari beberapa paparan mengenai hal yang dialami wasit yang bertugas dilapangan yang mampu menimbulkan faktor penyebab stres dan berdampak pada kesuksesan sebuah pertandingan dan bisa mempengaruhi hal lainnya, peneliti akhirnya tertarik untuk meneliti tentang stres yang dialami wasit dengan judul “Analisis Faktor Penyebab Stres Pada Wasit Sepakbola Di Asosiasi PSSI Kota Blitar” 12 B. Rumusan Masalah Untuk memudahkan berlangsungnya penelitian maka perlu dirumuskan masalah apa yang menjadi fokus penelitian. Dalam penelitian ini peneliti merumuskan masalah dalam bentuk pertanyaan sebagai berikut: 1. Bagaimana tingkat stres yang dialami wasit sepakbola saat bertugas di wilayah Assosiasi PSSI Kota Blitar? 2. Apa yang menjadi faktor dominan penyebab stres yang dialami oleh wasit sepakbola diwilayah Assosiasi PSSI Kota Blitar? C. Tujuan Penelitian Berdasarkan rumusan masalah yang telah dirumuskan diatas maka tujuan penulisan penelitian ini adalah untuk: 1. Untuk mengetahui tingkat stres yang dialami wasit sepakbola yang bertugas diwilayah Assosiasi PSSI Kota Blitar. 2. Untuk mengetahui faktor penyebab stres yang dialami oleh wasit yang bertugas diwilayah Assosiasi PSSI Kota Blitar. D. Manfaat Penelitian Dengan pencapaian tujuan penelitian ini, hasil penelitian diharapkan bisa dapat memberikan manfaat yang baik dari segi teoritis maupun segi praktis. Adapun manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah: 1. Secara teoritis Manfaat penelitian ini diharapkan mampu memberi sumbangsih dalam pengembangan ilmu psikologi pada umumnya dan khususnya bagi pengembangan psikologi olahraga khususnya. Selain itu, penelitian ini diharapkan memperkaya 13 sumber kepustakaan mengenai psikologi olahraga sehingga hasil penelitian dapat dijadikan penunjang bagi peneliti selanjutnya. 2. Secara Praktis a. Bagi wasit Manfaat hasil penelitian mampu memberikan informasi bagi wasit mengenai stres yang dialami wasit. b. Bagi masyarakat Manfaat hasil penelitian mampu memberikan informasi kepada masyarakat mengenai kendala-kendala yang dihadapi wasit saat bertugas sehingga lebih menghormati profesi wasit. c. Bagi pengurus Assosiasi PSSI Kota Blitar Manfaat hasil penelitian mampu dijadikan informasi baru bagi pengurus Assosiasi PSSI Kota Blitar agar lebih memperhatikan wasit dan memberikan pelatihan untuk membentuk mental psikologis wasit d. Bagi peneliti selanjutnya Manfaat hasil penelitian dapat dijadikan bahan bagi peneliti selanjutnya yang berminat meneliti mengenai faktor penyebab stres pada wasit sepakbola.


Untuk Mendownload Skripsi "Skripsi Psikologi" :Hubungan konsep diri dengan prokrastinasi akademik siswa kelas XI SMA Al- Rifa’ie Gondanglegi Malang" Untuk Mendownload skripsi ini silakan klik link dibawah ini
DOWNLOAD

Jasa Buat Skripsi: download Skripsi Psikologi:Agresivitas mahasiswa suku Madura, Minang, Gorontalo dan Jawa di Malang



Abstract

INDONESIA:
Orang Indonesia dikenal dengan sifatnya yang ramah, bersahabat, hangat, dan baik hati. Namun, beberapa tahun terakhir ini kita sering melihat, mendengar, ataupun membaca dari berbagai media massa berita tentang kerusuhan, pembunuhan, penganiayaan, kekerasan pada perempuan dan anak, pemukulan, dan banyak lagi kasus yang menunjukkan perilaku agresif di Indonesia. Indonesia memiliki beragam suku. Setiap suku memiliki karakteristik budaya yang berbeda- beda. Kondisi negara dengan komposisi multi budaya rentan terhadap konflik dan kesenjangan sosial. Sebagai salah satu unsur dasar dalam kehidupan sosial, budaya mempunyai peranan besar dalam memicu konflik. Konflik-konflik yang terjadi inilah yang kemudian dapat memicu perilaku agresif. Penelitian ini bertujuan untuk melihat perbedaan agresivitas pada mahasiswa suku Madura, Minang, Gorontalo dan Jawa.
Agresivitas adalah tingkah laku manusia yang dilakukan dengan tujuan untuk menyakiti manusia lain ataupun terhadap objek benda, baik itu secara fisik maupun secara non fisik.
Penelitian melibatkan 100 responden dengan rincian 25 subyek dari mahasiswa suku Madura, 25 subyek dari mahasiswa suku Minang, 25 subyek dari suku Gorontalo dan 25 subyek dari suku Jawa. Pengukuran preferensi agresi, terdiri dari 20 item, aitem yang diterima 12 dan yang gugur
8. validitas dari yang terkecil 0,286 sampai 0,668 dan reliabilitas sebesar 0,772.
Hasil dalam penelitian ini menunjukkan adanya perbedaan agresifitas antara mahasiswa suku Madura, Minang, gorontalo dan Jawa. Pernyataan tersebut didasarakan pada hasil uji F dengan menggunakan Anova, hasilnya ditemukan nilai F=8.700 p=0.000 (p < 0.01 = Sangat ignifikan).
ENGLISH:
Indonesian people are popularly known because of their hospitalities. However, in recent years we have informed through watching, reading and listening news from mass media regarding disturbances, embellishments, oppressions, stringencies toward women and children and other cases of aggressive behavior in Indonesia. Indonesia has various ethnics. Each of them has different characteristics of culture. The condition of country which has multiple cultures may lead to conflict and social asymmetries. As one of the fundamental elements in social life, cultures have a role to bring conflicts in society. These conflicts can cause the aggressive behavior. This study is aimed to observe the different of aggressiveness of Madurese, Minangese, Gorontalo and Javanese students.
Aggressiveness is a human behavior that is done with the purpose to harm another human being or object, both physically and non-physically.
This study involves 100 respondents which consists of 25 students of Madurese, 25 students of Minangese, 25 students of Gorontalo and 25 students of Javanese. The measurement preference of aggression consists of 20 items, the validity from 0.286 to 0.668, and reliability is 0.772.

The result shows that there is a different of aggressiveness between Madurese, Mingangese, Gorontalo and Javanese students. This is based on the test result of F using Anova, that is F value= 8.700 p= 0.000 (p < 0.01 = Very Steady).


BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
 Masalah Selama beberapa tahun terakhir ini kita sering melihat, mendengar, ataupun membaca dari berbagai media massa berita atau ulasan tentang kerusuhan, pembunuhan, penganiayaan, kekerasan pada perempuan dan anak, pemukulan, dan banyak lagi kasus yang menunjukkan perilaku agresif di Indonesia. Seperti yang diposting salah satu situs berita di Indonesia (detik.com) menyebutkan bahwa berdasarkan data akhir tahun Polda Metro Jaya terdapat 4 kasus yang mengalami peningkatan di tahun 2013, dua diantaranya yakni pembunuhan meningkat dari 72 kasus di tahun 2012 menjadi 74 kasus di tahun 2013 dan penganiayaan berat meningkat dari 2.041 kasus menjadi 2.234 kasus. Ini hanya kasus-kasus yang terjadi di DKI Jakarta, jika dijumlah dengan kasus yang terjadi di seluruh daerah di Indonesia tentu saja angka tersebut akan menjadi semakin besar. Seperti tawuran yang terjadi pada hari pertama perkuliahan antarmahasiswa Fakultas Teknik (FT) dan Bahasa Seni (FBS) UNM Parangtambung, Makassar pada tahun 2013 yang mengakibatkan gedung Sanggar Seni hangus terbakar (KOMPAS.com). Selain itu ada juga bentrok antarwarga Tatura, Kota Palu dan warga Tinggede, Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah pada tahun 2012. Akibatnya dua kendaraan bermotor dan satu gerobak jualan milik warga menjadi sasaran massa yang terlibat bentrok. Massa juga membakar dua kendaraan bermotor dan satu 2 gerobak tersebut. Satu dari salah satu unit kendaraan roda dua yang dibakar massa adalah milik reporter televisi lokal, Nuansa TV (KOMPAS.com). Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Gamawan Fauzi mengatakan, selama periode 2010 hingga awal bulan September 2013 total keseluruhan tercatat 351 peristiwa konflik. Peristiwa konflik tersebut, menurutnya, antara lain adalah peristiwa kekerasan atau konflik bernuansa Suku, Agama, Ras dan Antargolongan (SARA). (Sindonews.com, 2013) Orang Indonesia dikenal dengan sifatnya yang ramah, bersahabat, hangat, dan baik hati. Senyum, salam, sapa, dan sopan identik dengan sikap orang Indonesia. Orang Indonesia terbuka dan mudah berinteraksi dengan orang lain, baik orang yang dari daerah lain maupun orang asing. Keramahtamahan inilah yang dijadikan andalan untuk bidang pariwisata selain keeksotisan alam tropisnya dan budayanya yang beragam. Namun, belakangan ini seperti disebutkan di paragraf sebelumnya media di Indonesia lebih banyak diwarnai dengan berita tentang kekacauan yang terjadi di negara ini, seperti masalah kerusuhan, pembunuhan, penganiayaan, pemukulan, kekerasan pada perempuan dan anak, serta masih banyak lagi masalah lainnya. Indonesia merupakan negara kepulauan yang memiliki keragaman bentuk muka bumi, baik di daratan maupun di dasar laut. Karena bentuk muka buminya yang beragam, maka masyarakatnya pun beradaptasi sesuai dengan keadaan lingkungan tempat tinggalnya. Hal inilah yang kemudian menjadikan 3 Indonesia memiliki beragam suku. Setiap suku memiliki karakteristik budaya yang berbeda-beda.
Suku Jawa yang dikenal dengan sikapnya yang sopan, segan, menyembunyikan perasaan, menjaga etika berbicara baik secara konten isi dan bahasa perkataan maupun objek yang diajak berbicara. Lain lagi dengan suku Madura, mereka distereotipkan dengan sifat yang mudah tersinggung, mudah curiga terhadap orang lain, temperamental atau mudah marah, pendendam serta suka melakukan kekerasan. Padahal pada kenyataannya salah satu karakteristik orang Madura yang menonjol adalah karakter yang apa adanya. Sifat masyarakat etnik ini memang ekspresif, spontan, dan terbuka. Mereka juga dikenal hemat, disiplin, rajin bekerja, dan mempunyai tradisi Islam yang kuat. Masyarakat suku Gorontalo adalah masyarakat yang memiliki rasa sosial yang tinggi, sehingga hampir tidak pernah terjadi konflik di antara mereka sendiri. Sistem kekerabatan yang sangat erat tetap dipelihara oleh masyarakat Gorontalo. Tradisi gotong royong tetap terpelihara dalam kehidupan masyarakat ini, serta setiap ada masalah akan diselesaikan dengan cara musyawarah. Sementara kebudayaan Minang dianggap sebagai suatu masyarakat dengan sistem kekeluargaan yang ganjil diantara suku-suku bangsa yang lainnya di Indonesia. Inilah yang biasanya dianggap sebagai salah satu unsur yang memberi identitas kepada kebudayaan Minang (Koentjaraningrat, 1999:250). 4 Budaya merupakan salah satu unsur dasar dalam kehidupan sosial. Budaya mempunyai peranan penting dalam membentuk pola berpikir dan pola pergaulan dalam masyarakat, yang berarti juga membentuk kepribadian dan pola pikir masyarakat tertentu. Budaya mencakup perbuatan atau aktivitas sehari-hari yang dilakukan oleh suatu individu maupun masyarakat, pola berpikir mereka, kepercayaan, dan ideologi yang mereka anut. Tentu saja pada kenyataannya budaya antara satu masyarakat dengan masyarakat lainnya berbeda, terlepas dari perbedaan karakter masing-masing kelompok masyarakat ataupun kebiasaan mereka. Realitas yang multi budaya ini dapat kita jumpai di negara-negara dengan komposisi penduduk yang terdiri dari berbagai etnis, seperti Indonesia. Dalam penelitian yang dilakukan oleh Prof. Dr. Suwarsih Warnaen yang meneliti tentang stereotip etnis dalam masyarakat Indonesia subyek terdiri dari 1.291 siswa Sekolah Menengah atas yang duduk di kelas III dan tersebar di seluruh Indonesia. Subjek luar Jakarta sebanyak 700 siswa terdiri dari tujuh suku bangsa masing-masing diwakili 100 siswa dan berada di daerahnya sendiri. Untuk subjek Jakarta sebanyak 591 siswa terdiri dari 12 golongan etnis, tujuh diantaranya adalah golongan etnis seperti pada subjek luar Jakarta, ditambah dengan satu golongan etnis Tionghoa dan satu golongan yang terdiri dari berbagai siswa yang berasal dari berbagai etnis lainnya. Suku bangsa yang menjadi subjek penelitian terdiri dari Sunda, Jawa, Batak, Minangkabau, Minahasa, Maluku, Makassar, Tionghoa, dan berbagai etnis lainnya. 5 Hasil dari penelitiannya menunjukkan stereotip tentang orang Sunda dan Jawa hampir serupa, dan paling jelas untuk sifat khas sopan, jujur, senang menerima tamu, baik hati, penuh perasaan, dan ramah. Terdapat perbedaan mencolok antara stereotip orang Batak dengan orang Sunda dan Jawa, terutama mengenai sifat khas emosional, kasar, ikatan yang keluarga kuat, dan cepat marah. Sedangkan stereotip orang Minangkabau memperlihatkan perbedaan mencolok terutama mengenai sifat licik, ikatan keluarga kuat, dan pelit. Stereotip tentang orang Minahasa dan Maluku juga mengandung dua sifat khas yang berbeda secara mencolok dengan stereotip orang Sunda dan orang Jawa, yaitu suka pesta dan suka kesenangan. (Warnaen, 2002:382) Kondisi negara dengan komposisi multi budaya rentan terhadap konflik dan kesenjangan sosial. Memang banyak faktor yang menyebabkan terjadinya berbagai konflik tersebut, akan tetapi sebagai salah satu unsur dasar dalam kehidupan sosial, budaya mempunyai peranan besar dalam memicu konflik. Konflik-konflik yang terjadi inilah yang kemudian dapat memicu perilaku agresif. Indonesia dengan beragam suku yang memiliki karakteristik budaya masing-masing tentu saja memiliki karakteristik agresif yang berbeda-beda pula.
Walaupun semua orang tampaknya memahami apa itu agresi, namun ada perbedaan pendapat tentang definisinya (Geen, 1998; dalam Taylor dkk, 2009:496). Definisi paling sederhana untuk agresi yang didukung oleh pendekatan behavioris atau belajar, adalah bahwa agresi adalah setiap 6 tindakan yang menyakiti atau melukai orang lain (Taylor dkk, 2009:496). Agresivitas bisa muncul dalam bentuk verbal maupun fisikal. Dalam tingkat paling tidak melukai, agresivitas muncul dalam bentuk gosip (membicarakan/menjelek-jelekan orang yang menyerang individu kepada orang lainnya) dan yang paling parah adalah penyerangan fisik yang dapat menimbulkan kematian. Namun demikian, agresivitas dalam bentuk verbal bukan berarti tidak mampu melukai, menyerang seseorang dengan menggunakan kata-kata yang kasar, hinaan, serta ejekan dapat membuatnya sakit hati dan efeknya jauh lebih menyakitkan dan akan lama menetap dalam ingatan seseorang daripada terkena lemparan batu atau pukulan. Dalam penelitian ini akan meneliti pola agresivitas pada suku Jawa, Madura, Gorontalo, dan Minang. Seperti yang telah dijelaskan di atas ke empat suku tersebut memiliki karakteristik kebudayaan masing-masing sehingga peniliti ingin mengetahui pola agresivitas pada masing-masing suku tersebut. Penelitian ini dilakukan untuk mencoba memahami pola-pola gresivitas dari suku-suku tersebut. Dengan memahami hal tersebut akan memudahkan interaksi antar suku untuk membuat resolusi saat terjadi konflik. Sehingga nantinya dapat meningkatkan rasa aman bagi masyarakat Indonesia.
B. Rumusan Masalah
 1. Bagaimana perbedaan agresivitas pada mahasiswa di Malang yang berasal dari suku Jawa, Madura, Gorontalo, dan Minang?
 2. Bagaimana perbedaan pola agresivitas mahasiswa suku Jawa, Madura, Gorontalo, dan Minang ditinjau dari bentuk agresi, arah pelampiasan agresi, level kendali-diri dan arah agresi?
C. Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui perbedaan tingkat agresivitas pada mahasiswa di Malang yang berasal dari suku Jawa, Madura, Gorontalo dan Minang.
2. Untuk mengetahui perbedaan pola agresivitas pada mahasiswa Malang yang berasal dari suku Jawa, Madura, Gorontalo, dan Minang ditinjau dari bentuk agresi, arah pelampiasan agresi, level kendali-diri, dan arah agresi.
D. Manfaat Penelitian
 Penelitian ini diharapkan dapat mengungkap aspek dan pola kecenderungan agresivitas yang ada pada suku-suku tersebut secara lebih mendalam agar dapat menambah informasi dalam khasanah ilmu pengetahuan khususnya yang berkaitan dengan studi lintas budaya. Sehingga dapat mempermudah interaksi antar suku untuk membuat resolusi saat terjadi konflik.

Untuk Mendownload Skripsi "Skripsi Psikologi" :Agresivitas mahasiswa suku Madura, Minang, Gorontalo dan Jawa di Malang" Untuk Mendownload skripsi ini silakan klik link dibawah ini
DOWNLOAD