Jasa Pembuatan Skripsi

Jasa Pembuatan Skripsi
Jasa Pembuatan Skripsi

Wednesday, June 7, 2017

Jasa Buat Skripsi: download Skripsi al-Ahwal al-Syakhshiyyah:Maqâshid al-Syarî’ah Imâm al-Syâthibiy dan relevansinya dengan pembaruan hukum Islam di Indonesia.

Abstract

INDONESIA:
Maqâshid al-syarî’ah merupakan salah satu tema yang cukup signifikan dalam kajian metodologi hukum Islam (ushûl al-fiqh). Dalam literatur ushul fiqh banyak ditemui pendapat yang menyatakan bahwa Imâm al-Syâthibiy adalah tokoh penting di balik teori yang banyak mengakomodasi pertimbangan-pertimbangan kontekstual tersebut. Melalui pemikirannya tentang maqâshid al-syarî’ah Imâm al- Syâthibiy menginginkan agar kemaslahatan makhluk dijadikan sebagai salah satu pertimbangan utama ketika seorang mujtahid berupaya melakukan inferensi hukum (istinbâth al-hukm).
Maqâshid al-syarî’ah dirumuskan oleh al-Syâthibiy dengan menggunakan metode penalaran istiqrâ’iy. Metode istiqrâ’ atau juga dikenal dengan induksi (induction) merupakan salah satu metode yang digunakan oleh para ulama mantiq dan ushul fiqh dalam berbagai kajian. Metode penalaran tersebut banyak dikembangkan oleh para pemikir Yunani dan ditransfer masuk ke dunia Islam semasa terjadinya pembebasan daerah-daerah (futuhât) yang dilakukan oleh otoritas muslim.
Ketika Pemerintah Indonesia berinisiatif untuk mengadakan pembinaan hukum nasional agar hukum yang ada di Indonesia dapat secara lebih nyata memberikan kemaslahatan bagi masyarakat Indonesia, yang salah satu agendanya adalah dengan melakukan pembaruan dalam bidang hukum Islam, maka isu seputar relevansi ide-ide Imâm al-Syâthibiy tentang maqâshid al-syarî’ah menjadi bahan diskusi yang menarik. Dari sinilah kemudian muncul pertanyaan tentang bagaimana sebenarnya pemikiran maqâshid al-syarî’ah Imâm al-Syâthibiy dan bagaimana pula relevansi antara maqâshid al-syarî’ah tersebut dengan agenda pembaruan hukum Islam di Indonesia.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pemikiran Imâm al-Syâthibiy tentang maqâshid al-syarî’ah serta relevansinya dengan pembaruan hukum Islam di Indonesia. Dengan menggunakan pendekatan kualitatif (dari segi metode analisa datanya) dan ushul fiqh (dari segi ranah disiplin keilmuannya), penelitian yuridis- normatif ini menggunakan buku karangan Imâm al-Syâthibiy, yakni al-Muwâfaqât fi Ushûl al-Ahkâm sebagai bahan rujukan utama. Pembahasan dalam penelitian ini penulis batasi pada relevansi teori maqâshid al-syarî’ah Imâm al-Syâthibiy dengan beberapa metode pembaruan hukum Islam yang digunakan oleh lembaga negara dalam merumuskan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan hukum Islam di Indonesia, yakni Undang-undang nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan yang dirumuskan oleh DPR dan Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang dirumuskan oleh Presiden.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa teori maqâshid al-syarî’ah Imâm al- Syâthibiy memiliki relevansi dengan pembaruan hukum Islam di Indonesia terutama jika dilihat dari sudut metode pembaruan hukum Islam yang digunakan oleh DPR ketika merumuskan Undang-undang nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan dan Presiden ketika merumuskan Kompilasi Hukum Islam. Relevansi tersebut terletak pada adanya kesamaan pada teori maqâshid al-syarî’ah Imâm al-Syâthibiy dan pembaruan hukum Islam di Indonesia yang menempatkan kemaslahatan umat manusia sebagai tujuan sekaligus pertimbangan utamanya





BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang Masalah
 Manusia diciptakan beserta fitrah untuk cenderung mencintai kebaikan. Termasuk dalam kebaikan itu adalah kemaslahatan diri manusia sendiri sebagai makhluk yang, di satu sisi, memiliki berbagai kepentingan individual, namun di sisi lain memainkan peran sebagai bagian dari suatu komunitas sosial. Oleh sebab itu, setiap amal perbuatan manusia semestinya lahir karena latar belakang (because motive) dan bertujuan untuk (in order to motive) suatu kemaslahatan, baik kemaslahatan bagi dirinya sendiri maupun bagi lingkungan sekitarnya.
Syari’at diturunkan bagi umat manusia dalam rangka mewujudkan kemaslahatan (mashlahah) mereka, baik kemaslahatan di dunia maupun di Karena syari’at Islam merujuk kepada al-Qur’an dan Hadits –dua sumber ajaran yang telah terbukukan, maka metode istinbâth (inferensi) hukum (termasuk di dalamnya kaidah-kaidah penafsiran bahasa) berperan sangat besar dalam menjelaskan makna ayat serta merumuskan hukum dari kedua sumber tersebut agar sedapat mungkin sesuai dengan maqâshid al-syarî’ah sehingga dapat mewujudkan kemaslahatan yang diinginkan.
 menguraikan pendapatnya bahwa: “Ketika suatu prinsip atau aturan syari’ah didasarkan pada makna umum atau implikasi yang luas dari suatu teks al-Qur’an dan Sunnah, berbeda dengan aturan langsung dari teks yang jelas dan terinci, maka teks dan prinsip (aturan) syari’ah itu harus dihubungkan melalui penalaran hukum. Bagaimana pun juga sulit dibayangkan suatu teks al-Qur’an dan Sunnah, betapa pun jelas dan rincinya, tidak memerlukan ijtihad untuk interpretasi dan penerapannya dalam situasi yang konkret.”
Bahkan sebelum Ushul Fiqh lahir, yakni pada masa Sahabat dan Tabi’in, maqâshid al-syarî’ah telah dijadikan sebagai sebuah pertimbangan hukum dalam merumuskan fatwa-fatwa dan pendapat hukum. Misalnya, diriwayatkan bahwa ‘Aisyah dan Ibn ’Abbas pernah menolak kesimpulan hukum dari hadits-hadits Âhâd yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah yang menyatakan tentang keharusan membasuh kedua tangan sampai tiga kali bagi seseorang yang baru bangun tidur sebelum memasukkannya ke dalam wadah. ‘Aisyah dan Ibn ’Abbas menilai bahwa hadits tersebut tidak selaras dengan tujuan syari’at karena bertentangan dengan kaidah tentang penghindaran kesulitan (limukhâlafatih liqâ’idat raf’ al-haraj).
Atau keputusan Umar yang tidak lagi menyalurkan zakat 17 17 al-Syâthibiy (w. 790 H./1388 M.), seorang yuris Islam dari Andalusia, agaknya merupakan ulama yang paling berjasa dalam membuat prinsip maqâshid al-syarî’ah tersebut menjadi sebuah rumusan yang lebih komprehensif dan sistematis.6 Pemikiran al-Syâthibiy yang menguraikan maqâshid al-syarî’ah secara panjang lebar dapat ditemukan dalam karya monumentalnya, al-Muwâfaqât fî Ushûl al-Ahkâm (Beberapa Konsensus dalam Dasar-dasar Hukum).7 Imâm al-Syâthibiy menyatakan bahwa syari’at dimaksudkan sebagai upaya untuk mewujudkan kemaslahatan makhluk.8 Kemaslahatan makhluk dapat tercapai apabila lima hal primer dalam hidupnya telah terjamin. Lima hal tersebut antara lain agama (dîn), jiwa (nafs), akal (’aql), keturunan (nasl), dan harta benda (mâl).9 Bagi al-Syâthibiy, upaya melindungi lima hal inilah yang menjadi tujuan (maqâshid) diturunkannya syariat Islam. Dalam kitabnya itu pula, al-Syâthibiy membagi kemaslahatan makhluk menjadi tiga, yakni mashlahat dlarûriyyah (kemaslahatan primer), mashlahat hâjiyyah (kemaslahatan sekunder), dan mashlahat tahsîniyyah (kemaslahatan suplementer). Masing-masing klasifikasi bergantung kepada peran dan urgensinya bagi kehidupan manusia.
Jika suatu kemaslahatan sangat menentukan keberlangsungan hidup manusia dan jika tanpanya akan terjadi ketimpangan dan kepada para muallaf oleh karena ketentuan tersebut dianggap tidak relevan lagi dengan tujuan syari’ah (yang dalam hal ini adalah ta’lîf atau mengambil hati orang-orang yang baru masuk Islam), sekalipun keputusan itu bertentangan dengan nash al-Qur’an Surat al-Taubah ayat 60.

 
ketidakadilan yang mengakibatkan ambruknya tatanan sosial (ikhtilâl al-nidhâm fî al-ummah), maka kemaslahatan itu termasuk dalam kategori mashlahat dlarûriyyah. Jika suatu kemaslahatan berfungsi sebagai pemenuhan kebutuhan sekunder bagi manusia, dalam arti memberikan kelapangan (al-tawsi’at wa daf’ al-dlîq) dalam pelaksanaan hukum, maka kemaslahatan itu termasuk dalam kategori mashlahat hâjiyyah. Dan jika suatu kemaslahatan memberikan perhatian kepada masalah etika (makârim al-akhlâq) dan estetika (mahâsin al-’âdât), maka kemaslahatan tersebut masuk dalam kategori mashlahat tahsîniyyah
 Al-Syâthibiy, dalam kitab dan tema pembahasan yang sama juga menganjurkan agar metodologi hukum Islam (ushûl al-fiqh) yang telah ada ditelaah ulang dengan lebih mengacu kepada maqâshid al-syarî’ah agar dapat menghasilkan produk-produk hukum yang lebih mampu mengakomodasi kemaslahatan umat manusia.11 Hal tersebut perlu dilakukan mengingat rumusan ushul fiqh klasik, seperti juga dikatakan oleh Hasan Turabi, seorang pemikir muslim terkemuka asal Sudan, masih bersifat abstrak dan berupa wacana teoritis yang tidak mampu menuntaskan perdebatan yang tak kunjung selesai,12 terlebih ketika harus berhadapan dengan permasalahan-permasalahan hukum yang muncul sebagai imbas dari kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Persoalan seputar demokrasi, konsep negara-bangsa, kesetaraan gender,
Imam Syaukani (selanjutnya disebut Syaukani), Rekonstruksi Epistemologi Hukum Islam Indonesia dan Relevansinya bagi Pembangunan hukum Nasional (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2006), 106. 19 19 yang lain membutuhkan sarana pemecahan yang berupa kerangka metodologis yang relevan dengan kepentingan umat Islam saat ini. Penelaahan ulang terhadap metodologi hukum Islam tersebut semakin sulit untuk diabaikan mengingat di antara sekian banyak disiplin ilmu yang berkembang dalam agama Islam, fiqh merupakan salah satu bidang keilmuan yang paling banyak diminati oleh masyarakat muslim di dunia. Hal tersebut dikarenakan fiqh, sebagai suatu bidang ilmu yang membahas tentang permasalahan hukum dalam Islam (yang tentunya juga dilengkapi dengan penjelasan tentang konsekuensi hukum yang bersifat konkret), bukan hanya mengatur kepentingan umat Islam dalam ranah publik saja, namun juga ranah privat. Oleh sebab itu bisa dimengerti jika fiqh kemudian menjadi suatu disiplin ilmu yang paling banyak mempengaruhi cara berpikir serta mendominasi pemahaman masyarakat muslim terhadap agama mereka.
Fiqh merupakan disiplin keilmuan yang telah mendapatkan tempat di hati umat Islam, termasuk umat Islam di Indonesia. Akan tetapi, dalam perjalanan sejarahnya fiqh tidak jarang disalahartikan bahkan diidentikkan dengan wahyu dalam hal universalitas dan sakralitasnya. Sebagai konsekuensi dari anggapan tersebut, fiqh lantas diasumsikan bukan hanya sebagai suatu disiplin ilmu yang serba meliputi (syâmil) dan tidak terjamah oleh pengaruh masa (zamân) dan lokalitas tempat (makân), namun juga sebagai suatu tata aturan yang tidak boleh didebat dan dipersoalkan. Namun demikian, seiring munculnya berbagai permasalahan hukum yang ditemui oleh umat Islam pada zaman modern, baik karena faktor internal 13Nurcholish Madjid (selanjutnya disebut Madjid), Islam Doktrin dan Peradaban (Cet. II; Jakarta: Yayasan Wakaf Paramadina, 1992), 235. 20 20 maupun eksternal, maka pemahaman seperti di atas sedikit demi sedikit mengalami pergeseran. Modernisasi dan globalisasi memang menawarkan banyak kemudahan bagi masyarakat, namun keduanya juga telah membawa pada munculnya berbagai kebutuhan baru yang menuntut untuk dipenuhi. Cara yang digunakan oleh manusia dalam memenuhi kebutuhan barunya itulah yang acapkali melahirkan berbagai permasalahan yang belum pernah ditemui oleh umat Islam pada masa-masa sebelumnya.14 Dalam upaya mencari jalan keluar bagi permasalahan-permasalahan tersebut sebagian pemikir muslim menilai bahwa melakukan interpretasi ulang (reinterpretation) terhadap nas-nas suci (al-nushûsh al-muqaddasah) serta merumuskan aturan metodologis dalam bidang hukum yang lebih sesuai dengan perkembangan zaman –sekalipun tidak sepenuhnya baru– adalah lebih relevan dan solutif daripada mengikuti tanpa disertai nalar kritis pendapat kebanyakan ushûliyyûn dan fuqahâ’ klasik.15 Fiqh merupakan hasil ijtihad ulama yang tidak terlepas dari konteks sosial, budaya, politik, dan ekonomi ketika ulama tersebut hidup, selain tentunya juga dari 1 metode istinbâth hukum yang mereka gunakan.16 Oleh karenanya tidak mengherankan jika hasil ijtihad seorang ulama pada suatu masa dan tempat tertentu terkadang menjadi kurang sesuai untuk diterapkan pada masa atau tempat yang berbeda. Memaksakan diri untuk menerapkan seluruh ketentuan fiqh hasil ijtihad ulama terdahulu dan mengabaikan kontekstualitas serta aktualitasnya bagi umat manusia zaman sekarang justru dapat membawa akibat yang kontraproduktif dan mengancam kemaslahatan umat manusia yang menjadi tujuan syari’at.
 Upaya pembaruan hukum Islam dengan menggunakan metode ijtihad yang telah disesuaikan dengan kebutuhan dan problematika masyarakat modern serta konteks sosial-budaya umat Islam Indonesia adalah cara yang dapat ditempuh untuk menjaga kemaslahatan umat Islam di Indonesia dari ancaman yang bisa ditimbulkan dari penerapan fiqh klasik yang dilakukan secara rigid. Pembaruan hukum (tajdîd al-hukm) telah dikenal baik dalam doktrinitas maupun dalam sejarah agama Islam. Terdapat sebuah Hadits Nabi yang memberikan justifikasi akan hal tersebut.17 Hal ini menunjukkan bahwa upaya pembaruan hukum Islam yang tengah digalakkan oleh para pendukungnya di zaman modern ini sebenarnya bukanlah sesuatu yang ilegal dan sama sekali baru, betapa pun gagasan pembaruan hukum Islam seringkali mendapatkan perlawanan dan memicu perdebatan yang berkepanjangan. 16Cik Hasan Bisri (selanjutnya disebut Bisri), Model Penelitian Fiqh: Paradigma Penelitian Fiqh dan Fiqh Penelitian (Cet. I; Jakarta: Prenada Media, 2003), 198. 17Dalam sebuah Hadits yang diriwayatkan oleh Abû Hurairah r.a. Nabi SAW bersabda: .
 Pembaruan hukum Islam di mana ijtihad menjadi sarana yang menyebabkannnya tidak mustahil untuk dilakukan merupakan suatu keniscayaan di tengah problem kemanusiaan yang begitu kompleks. Akan tetapi, problem kehidupan yang sedemikian struktural dan sistemik ini tentu saja membutuhkan sebuah metode ijtihad yang progresif dan brilian agar mampu mengakomodasi segala kebutuhan serta mewujudkan kemaslahatan masyarakat modern saat ini.18 Dalam kerangka pembaruan hukum Islam dengan menggunakan metode istinbath hukum yang dimaksud, seperti dikatakan oleh A. Qodri Azizi, selanjutnya hukum Islam tidak sekadar diarahkan pada upaya pencarian legitimasi legal formal an sich, namun juga pada seberapa banyak hukum Islam mampu menyumbangkan nilai-nilainya dalam rangka kemajuan, keteraturan, ketentraman, dan kesejahteraan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.19 Sebagai upaya untuk memperbarui hukum Islam dan menjadikannya lebih responsif dan solutif bagi umat Islam di Indonesia, maka proyek pembaruan hukum Islam yang tengah digalakkan tentu memerlukan landasan hukum dan basis teoritik yang kokoh. Oleh karena pembaruan hukum Islam tersebut dilakukan sebagai upaya untuk menghasilkan produk hukum yang mampu memberikan perlindungan bagi kemaslahatan umat manusia, maka rumusan al-Syâthibiy tentang tujuan-tujuan syari’at (maqâshid al-syarî’ah) sebagaimana sekilas telah dikemukakan di atas terlihat memiliki korelasi dan keselarasan dengan agenda pembaruan hukum Islam tersebut. Di samping itu, rumusan al-Syâthibiy tersebut juga tampak sesuai dengan mekanisme pembaruan hukum Islam di Indonesia yang, seperti
0 Oleh karena latar belakang di atas, peneliti melihat bahwa penelitian dengan fokus pembahasan tentang relevansi antara maqâshid al-syarî’ah Imâm al-Syâthibiy dan upaya pembaruan hukum Islam di Indonesia ini layak untuk dikaji. B. Batasan Masalah Fokus pembahasan dalam penelitian ini adalah relevansi antara pemikiran Imâm al-Syâthibiy tentang maqâshid al-syarî’ah dengan pembaruan hukum Islam di Indonesia. Terkait pembaruan hukum Islam di Indonesia dibatasi hanya pada metode pembaruan hukum Islam yang dilakukan melalui lembaga negara 21, dalam hal ini adalah lembaga legislatif yaitu Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) ketika merumuskan Undang-undang nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan dan lembaga eksekutif yaitu Presiden ketika merumuskan Kompilasi Hukum Islam (KHI). 20Lebih lanjut keduanya mengatakan: ”Bahwa pembentukan suatu ketentuan hukum atau ajaran harus selalu dirujukkan atau mempertimbangkan kondisi-kondisi lokal dan tingkat peradaban yang dicapai manusia, itu kebutuhan pokok yang tidak bisa diingkari. Sebab itulah, maka sebagian ulama mempersyaratkan bagi seorang mufassir atau mujtahid untuk mengetahui sabab al-nuzûl dari sebuah ayat. Memahami sebuah ayat yang hanya berjangkar pada argumen-argumen gramatikal dengan menepikan peristiwa-peristiwa lokal yang menyertainya telah terjebak pada logosentrisme bahasa secara penuh-penuh. Padahal, dalam kehidupan ini, pada awalnya bukanlah kata, melainkan realitas. Sebuah realitas dilaporkan dengan meminjam perangkat bahasa.” Lihat: Abdul Moqsith Ghazali dan Musoffa Basyir-Rasyad, ”Islam Pribumi: Mencari Model Keberislaman ala Indonesia”, dalam Komaruddin Hidayat dan Ahmad Gaus AF (ed.), Menjadi Indonesia: 13 Abad Eksistensi Islam di Bumi Nusantara (Cet. I; Jakarta: Mizan, 2006), 684-685. 21Seperti dikatakan oleh Cik Hasan Bisri, pengembangan hukum Islam dapat dilakukan melalui tiga jalur, yakni melalui pranata sosial (pranata kekerabatan, ekonomi, pendidikan, keilmuan, keindahan dan rekreasi, keagamaan, politik, dan kebutuhan jasmaniah), organisasi kemasyarakatan (Majelis Ulama Indonesia, Nahdlatul Ulama, Muhammadiyah, Persatuan Islam, dll), dan kekuasaan negara (Pemerintah, DPR, MA, dll).
C. Rumusan Masalah
 1. Bagaimanakah pemikiran Imâm al-Syâthibiy tentang maqâshid al-syarî’ah?
2. Bagaimanakah relevansi maqâshid al-syarî’ah Imâm al-Syâthibiy dengan pembaruan hukum Islam di Indonesia?
D. Tujuan Penelitian
 Tujuan mengadakan penelitian ini antara lain:
1. Memahami pemikiran Imâm al-Syâthibiy tentang maqâshid al-syarî’ah;
2. Mengetahui relevansi maqâshid al-syarî’ah Imâm al-Syâthibiy dengan pembaruan hukum Islam di Indonesia.
 E. Manfaat Penelitian
 Penelitian yang mengambil tema tentang maqâshid al-syarî’ah ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi kalangan luas, baik secara teoritis maupun praktis. Dengan demikian hasil yang nantinya diperoleh melalui penelitian ini tidak hanya dapat memberikan sumbangan positif bagi pihak-pihak dalam skala yang terbatas atau dalam tataran normatif saja. Manfaat teoritis dari penelitian ini adalah sebagai sebuah kajian ilmiah yang diharapkan dapat menghadirkan penjelasan yang memadai tentang relevansi antara pemikiran maqâshid al-syarî’ah hasil rumusan Imâm al-Syâthibiy dengan pembaruan hukum Islam yang dilakukan di Indonesia.
 Sedangkan manfaat praktis yang diharapkan dapat diperoleh dari penelitian ini adalah sebagai pijakan bagi penelitian selanjutnya dalam hal maqâshid al-syarî’ah maupun relevansinya dengan pembaruan hukum Islam di Indonesia sekaligus sebagai bekal, baik bagi peneliti 25 25 sendiri maupun kalangan lain, dalam menganalisa berbagai persoalan terkait hukum Islam yang kemungkinan muncul di sekitar mereka serta dalam mencermati dan mengkritisi ketentuan-ketentuan hukum Islam yang telah ditetapkan oleh para ulama, terlebih yang berkaitan dengan pembaruan hukum Islam dan permasalahan umat manusia modern.


Untuk Mendownload Skripsi "Skripsi Hukum Bisnis Syariah" :  Maqâshid al-Syarî’ah Imâm al-Syâthibiy dan relevansinya dengan pembaruan hukum Islam di Indonesia."Untuk Mendownload skripsi ini silakan klik link dibawah ini
Download




Artikel Terkait:

No comments:

Post a Comment