Jasa Pembuatan Skripsi

Jasa Pembuatan Skripsi
Jasa Pembuatan Skripsi

Saturday, June 10, 2017

Jasa Buat Skripsi: download Skripsi al-Ahwal al-Syakhshiyyah: Pasal 9 undang undang no 23 tahun 2004 sebagai alasan perceraian di Pengadilan Agama: Studi analisis putusan perkara No 0232/Pdt.G/2013/PA.Mlg di Pengadilan Agama Kota Malang


Abstract

INDONESIA:
Pasal 9 UU Nomor 23 tentang Penghapusan KDRT, yang mayoritas korbannya adalah perempuan ( istri ) dan anak mereka, merupakan implikasi dari semua alasan-alasan perceraian sebagaimana ketentuan Pasal 39 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan Jo. Pasal 19 Peraturan pemerintah Nomor 9 tahun 1975 Jo pasal 116 Kompilasi Hukum Islam ( sebagai contoh : seorang kepala keluarga yang meninggalkan keluarganya 2 tahun berturut-turut tanpa ijin dan alasan yang jelas, secara otomatis pula melalaikan kewajibannya sebagai kepala rumah tangga yang mengantarkan pada kondisi penelantaran ). Maka secara tersirat didapati benang merah antara keduanya ( pasal 9 UU. Penghapusan KDRT / penelantaran rumah tangga dan alasan perceraian pasal 19 PP. 9/1975 Jo. Pasal 116 KHI ), yang mana pada banyak kasus, alasan-alasan tersebut berkaitan langsung, diawali atau bahkan berakibat pada sebuah penelantaran yang muaranya pada syarat mutlak dari pada alasan melakukan perceraian itu sendiri yaitu sebuah ‘ketidak rukunan dalam rumah tangga’ atau ‘sudah tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga’.
Dilihat dari jenis penelitiannya, penelitian ini termasuk penelitian hukum normatif, yang dilakukan dengan cara menelaah data-data sekunder. Penelitian normatif ini termasuk penelitian kepustakaan (library research) atau studi dokumen, karena obyek yang diteliti berupa dokumen resmi yang bersifat publik, yaitu data resmi dari pihak Pengadilan Agama. Penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder belaka, dapat dinamakan penelitian hukum normatif atau penelitian hukum kepustakaan. pendekatan yang digunakan adalah pendekatan perundang-undangan (statute approach). Pendekatan tersebut melakukan pengkajian peraturan perundang-undangan yang berhubungan dengan tema sentral penelitian, yang mana dalam penelitian ini digunakan untuk menganalisa berbagai peraturan hukum perceraian.
Dari hasil penelitian diperoleh sebuah kesimpulan bahwa di Pengadilan Agama Kota Malang ternyata tidak di temukan satupun kasus gugat cerai dengan alasan KDRT yang didalam putusannya hakim, mengintegrasikan dan menerapkan Pasal 9 Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang PKDRT sebagai acuan. Dengan alasan Pengadilan Agama sudah ada Kompilasi Hukum Islam yang mengatur mengenai alasan-alasan perceraian, kebanyakan hakim hanya menggunakan dalil tersebut dalam memutus perkara gugat cerai dengan alasan kekerasan dalam rumah tangga.
ENGLISH:
Article 9 of Law No. 23 on the Elimination of Domestic Violence, in victims the victim majority are female ( wives ) and their children , is an implications of all divorce reasons as it stated in Article 39 Law No. 1 of 1974 concerning Marriage. Article 19 Government Regulation No. 9 of 1975 Jo Article 116 Compilation of Islamic Law (for example : a head of a family who leaves his family during 2 years sucscessively without any permit and obvious reason, reason automatically also neglect his duties as heads of households that leads to neglect condition). Then, implicitly there is a relation between both of them ( Article 9 of Law the Elimination of Domestic Violence / negligence of household and divorce reasons article 19 Government Regulation No. 9 of 1975 Jo . Article 116 KHI), in many cases, those reasons are directly related, preceded or even resulted in a neglect. It finally refers to an absolute requirement for divorce justification that are a ' lack of domestic harmonious ' or ' there is no hope of living in harmony again in the household '. Judging from the type of research , this research includes a normative legal research, which is done by reviewing secondary data. This normative research including literature research.
This research is a normative legal research done by analyzing secondary data. This normative research is a library research or documentary study due to the research object in the form of legal public documents. They are the legal data from Religious Court. The legal research done by only examining library materials or secondary data can be called as normative legal research or library materials or secondary data can be called as normative legal research or library legal research. The approach used is a statute approach. It is done by conducting legislation assessment related to the central theme of the research. This research employs the approach to analyze the regulation of divorce law.

From the results, it can be concluded that in Malang Religious Court there is no divorce case with domestic violence reason. In the decision, the judges integrate and apply Article 9 Law No. 23 of 2004 concerning the Elimination of Domestic Violence as the reference. Because there is an Islamic Law Complication concerning divorce reason, most of the judges only use that reference to decide the case of divorce reason of domestic violence.

BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang Masalah
Data pasangan melakukan perceraian di Indonesia, semakin hari semakin memprihatinkan, fenomena maraknya perceraian dalam rumah tangga di indonesia, perlu mendapatkan perhatian serius,mengingat angka perceraian memperlihatkan tren yang terus meningkat dari tahun ke tahun. Pada tahun 2007, sedikitnya 200.000 1 , bahkan 2 tahun kemudian, tahun 2009 sebagaimana data dari Dirjen Badilag mencatat data perceraian yang masuk ke Pengadilan Agama seluruh Indonesia sebanyak 258.069 perkara, dimana perkara cerai talak berjumlah 86.592 perkara, sedangkan cerai gugat berjumlah 171.477 perkara2 . Dampak buruk perceraian bukan saja menimpa pada pasangan cerai , tetapi meluas terhadap anak-anak mereka yang kehilangan perhatian, kasih sayang, perlindungan, tidak sedikit anak yang kehilangan kasih sayang orang tua akibat perceraian, terlantar dalam hal pemenuhan kebutuhan ekonomi bahkan putus sekolah. Perceraian sangat identik degan penelantaran, namun tidak berarti keluarga yang masih utuh tidak bisa melakukan penelantaran, banyak kasus terjadi di masyarakat adanya penelantaran keluarga yang utuh akibat orang tua tidak bertanggung jawab, pada Desember 2009 lalu terungkap kasus penelantaran anak di Depok, lalu awal Februari 2010 terungkap lagi kasus penelantaran anak di Tangerang, dengan latar belakang yang mirip, yaitu persoalan ekonomi. 1 Prof. Dr. H. Muchsin, SH. Dalam Varia peradilan tahun XXVI No.303 Pebruari 2011, hal 16 2 Ibid. 2 akibat kesulitan finansial orang tua si anak, mereka pergi menelantarkan anak-anaknya.3 Penelantaran juga dapat terjadi bila orang tua tidak bertanggung jawab kepada keluarga karena menjadi pemabuk, penjudi, dan mempunyai wanita lain, sehingga anak dan istrinya ditelantarkan, padahal sebagai ayah dia berkewajiban untuk menafkahi keluarganya. Kondisi tersebut diperburuk dengan persepsi masyarakat, bahwa peristiwa kekerasan dalam rumah tangga, baik dalam bentuk kekerasan fisik maupun penelantaran masih dianggap dalam ranah domestik, dan penyelesaiannya cukup diselesaikan secara internal keluarga tersebut. Namun dengan keluarnya Undang-Undang No.23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak , dan Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (selanjutnya disebut UU Penghapusan KDRT), diharapkan dapat merubah cara pandang, bahwa perkara rumah tangga (domestic violence), bukan lagi persoalan pribadi, internal keluarga, yang penyelesaiannya cukup secara kekeluargaan, namun domestic violence ini telah menjangkau ranah pidana dan perdata, pidana karena telah terjadi tindak pidana, perdata karena ada hak-hak keperdataan yang dilanggar. Penelantaran merupakan salah satu dari jenis kekerasan dalam rumah tangga sebagaimana termaktub dalam pasal 5 huruf (d) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Selanjutnya, penelantaran rumah tangga itu sendiri menurut Pasal 9 UU Penghapusan KDRT adalah : (1) Setiap orang dilarang menelantarkan orang dalam lingkup rumah 3 http://mediaislamnet.com/2010/02/penelantaran-anak, diakses tgl 10/08/2013 3 tangganya, padahal menurut hukum yang berlaku baginya atau karena persetujuan atau perjanjian ia wajib memberikan kehidupan, perawatan, atau pemeliharaan kepada orang tersebut. (2) Penelantaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) juga berlaku bagi setiap orang yang mengakibatkan ketergantungan ekonomi dengan cara membatasi dan/atau melarang untuk bekerja yang layak di dalam atau di luar rumah sehingga korban berada di bawah kendali orang tersebut. Adapun contohnya termasuk juga tidak memberi nafkah kepada istri, membiarkan istrinya bekerja untuk kemudian penghasilannya dikuasai suami, bahkan mempekerjakannya sebagai istri dan memanfaatkan ketergantungan istri secara ekonomi untuk mengontrol kehidupannya.4 Seperti telah disebutkan sebelumnya, bahwa dalam kasus penelantaran ini upaya hukum pihak yang menjadi korban dapat dilakukan upaya hukum perdata dan pidana. Misalnya pada kasus penelantaran karena orang tua telah bercerai, maka sebagaimana hukum postif, bahwasannya meskipun perceraian orang tua terjadi, tetap tidak menggugurkan kewajiban ayah/bapak untuk memenuhi hakhak hidup bagi anak-anaknya, dan kewajiban itu diserahkan kepada ibu bila bapak dianggap tidak mampu. ( lihat Pasal 40 dan 41 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 ) sehingga bilamana orang tua melalaikan kewajibannya untuk memelihara dan memberikan nafkah kepada anak atau dengan konteks ini disebut menelantarkan anak, maka pihak anak dapat mengajukan gugatan perdata ke 4 Ita F. Nadia, 1999 ; Kekerasan terhadap Perempuan, Program Seri Lokakarya Kesehatan Perempuan ; PKKBG ; Yogyakarta ; hal 6 4 pengadilan untuk menuntut hak-hak keperdataan anak yang telah diabaikan.5 Sehubungan dengan penelantaran dalam rumah tangga yang tersebut pada Pasal 9 UU Nomor 23 tentang Penghapusan KDRT, yang mayoritas korbannya adalah perempuan ( istri ) dan anak mereka , merupakan implikasi dari semua alasan-alasan perceraian sebagaimana ketentuan Pasal 39 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan Jo. Pasal 19 Peraturan pemerintah Nomor 9 tahun1975 Jo pasal 116 Kompilasi Hukum Islam ( sebagai contoh : seorang kepala keluarga yang meninggalkan keluarganya 2 tahun berturut-turut tanpa ijin dan alasan yang jelas, secara otomatis pula melalaikan kewajibannya sebagai kepala rumah tangga yang mengantarkan pada kondisi penelantaran ). Maka secara tersirat didapati benang merah antara keduanya ( pasal 9 UU. Penghapusan KDRT / penelantaran rumah tangga dan alasan perceraian pasal 19 PP. 9/1975 Jo. Pasal 116 KHI ), yang mana pada banyak kasus, alasan-alasan tersebut berkaitan langsung, diawali atau bahkan berakibat pada sebuah penelantaran yang muaranya pada syarat mutlak dari pada alasan melakukan perceraian itu sendiri yaitu sebuah „ketidak rukunan dalam rumah tangga’ atau ‘sudah tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga’. sebagaimana doktrin yang dibangun oleh Mahkamah Agung RI. Melalui yurisprudensi nomor 38 K/AG/1990 tanggal 5 Oktober 1991 yang menitik beratkan “pecahnya rumah tangga” (broken marriage) sebagai tolak ukur perkara perceraian, oleh karenanya tidaklah penting untuk mengetahui siapa yang bersalah dan menyebabkan timbulnya perselisihan atau pertengkaran akan tetapi yang 5 Prof. Dr. H. Muchsin, SH. Dalam Varia peradilan tahun XXVI No.303 Pebruari 2011, hal 23 5 terpenting adalah mengetahui keadaan senyatanya yang terjadi dalam rumah tangga para pihak (mengetahui ada tidaknya unsur broken marriage untuk dijadikan acuan bagi hakim). Demikian juga menurut yurisprudensi Mahkamah Agung RI nomor 28 PK/AG/1995, tanggal 16 Oktober 1996, pada intinya yang harus diterapkan dalam memeriksa perkara perceraian bukanlah “matri monial guilt” akan tetapi “broken marriage”.6 Sebagai sebuah pertimbangan yang didasarkan pada hukum positif yang berlaku, maka sudah sewajarnya apabila Pengadilan Agama berpijak pada materi perundang-undangan sebagaimana disebutkan diatas sebagai pertimbangan dalam memeriksa alasan perceraian. Maka sesuai paparan tersebut bisa dipastikan bahwasannya sesuai dengan substansi Pasal 9 UU Nomor 23 tentang Penghapusan KDRT serta substansi Pasal 39 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan Jo. Pasal 19 Peraturan Pemerintah Nomor 09 tahun1975 Jo pasal 116 Kompilasi Hukum Islam, suatu kondisi penelantaran rumah tangga telah jelas memenuhi dan bisa dijadikan alasan yang kuat untuk mengajukan gugatan perceraian. Namun kemudian yang menjadi persoalan adalah jika menilik secara eksplisit, maka tidak akan ditemukan redaksi khusus tentang penelantaran sebagai alasan perceraian di dalam perundang-undangan yang berlaku. Sehingga layak adanya apabila dilakukan kajian terhadap hal tersebut mengingat urgensinya untuk terciptanya sebuah kepastian hukum khususnya pada perkara perceraian. Penelantaran sendiri sebagai bagian dari UU Penghapusan KDRT yang notabene merupakan wilayah sumber hukum pidana yang pada praktek upaya 6 Drs. Sudono, MH ; http://www.palumajang.net/index/artikel/sensitifitas-hakim/ diakses tgl 10/08/2013 6 hukumnya bisa ditempuh melalui perdata pula (jika ada hak-hak keperdataan para pihak yang dilanggar). Berdasarkan itu sudah seharusnya ada mekanisme khusus untuk mengatur upaya hukum yang dilakukan akibat adanya dugaan penelantaran rumah tangga. Maka sudah sepatutnya untuk dikaji lebih dalam lagi terkait mekanisme yang benar tentang upaya hukum dari penelantaran, dimana pada prosesnya menjembatani antar dua ranah hukum yang berbeda (pidana dan perdata) yang mengharuskan kita agar bisa mencermati secara tuntas agar tidak terjadi ketimpangan-ketimpangan yang semakin menjauhkan dari rasa keadilan serta tujuan hukum. Disamping itu dengan diintegrasikannya Undang Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga sebagai alasan perceraian diharapkan dapat meminimalisir adanya tindak kekerasan dalam rumah tangga , karena tindakan kekerasan dalam rumah tangga secara tuntas telah dimasukkan dalam pertimbangan hukum oleh hakim dan terbukti bahwa telah terjadi kekerasan dalam rumah tangganya maka pihak korbanpun dapat menuntutnya secara pidana karena unsur-unsur pidananya telah terbukti. Dikatakan lebih lanjut dalam pasal 49 huruf a dan b Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan KDRT , bahwa ancaman pidana bagi tindakan penelantaran rumah tangga sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 9 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang tersebut adalah pidana penjara paling lama 3 ( tiga ) tahun atau denda paling banyak Rp. 15.000,000,,- ( lima belas juta rupiah )7 .yang demikian ini menunjukkan adanya korelasi bahwa kalau 7 Kementerian Pemberdayaan Perempuan RI. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2004, Jakarta, 2004, halaman 30. 7 sudah terbukti adanya tindakan penelantaran rumah tangga maka mesti dapat diterima sebagai alasan perceraian dan bagi korban disamping dapat menuntut secara perdata , juga dapat menuntut secara pidana Pengadilan agama adalah salah satu institusi penegak hukum yang sangat berhubungan dengan penegakan berbagai perundang-undangan di atas. Meskipun untuk kategori kejahatan atau tindak pidana tetap menjadi kewenangan pengadilan negeri, tetapi laporan Komnas Perempuan yang salah satunya dihimpun dari pengadilan agama adalah pintu pertama terkuaknya berbagai kekerasan dalam rumah tangga yang sebelumnya tertutup rapi di tengah rumah tangga. Karena itu, meskipun Pengadilan Agama tidak mengadili tindak pidananya, pengadilan agama memiliki peranan strategis dalam menguak peristiwa kekerasan yang terjadi. Hal utama yang juga menjadi kewajiban hakim adalah mandate legalnya sebagai pihak yang bertugas memutus perkara. Hakim tidak bisa semata-mata mengacu secara rigid perundang-undangan yang memiliki keterbatasan dalam menangkap setiap spektrum peristiwa KDRT yang kompleks, tapi juga dituntut untuk berkreasi, menelaah, dan terampil membangun argument yang holistik (menyeluruh dan luas) dari berbagai perundang-undangan nasional yang tersedia 8 Meskipun kasus yang disidangkannya merupakan kasus perdata, perceraian misalnya, dalam rangka memenuhi keadilan korban, hakim semestinya menelisik setiap kemungkinan tindak pidana yang terjadi dibalik peristiwa perceraian itu. Jika kemudian ditemukan indikasi tindak pidana, selanjutnya proses pidana dapat dimulai dari sini. Dengan demikian, kualitas putusan hakim tidak hanya 8 Faqihuddin Abdul Kodi , Ummu Azizah Mukarnawati , Referensi bagi Hakim Peradilan Agama tentang Kekerasan dalam Rumah Tangga , Komnas Perempuan,Jakarta,hal. 80. 8 memenuhi standar penyelesaian perdatanya saja tapi juga mendorong dan membuka keadilan baru bagi perempuan korban KDRT. Sehingga melalui putusannya hakim-hakim di pengadilan agama memiliki peran strategis dalam penghapusan KDRT. Sebagai contoh Hakim Pengadilan Agama Jakarta Pusat sudah mengetahui dan menerapkan Pasal 9 Undang Undang No 23 Tahun 2004 walaupun undang undang tersebut tidak dijadikan sebagai dasar hukum melainan hanya sebagai pemberitahuan. Hal tersebut dapat dilihat pada putusan Pengadilan Agama Jakarta Pusat No. 078/Pdt.G/2007/PA.JP dalam perkara ini ada unsur kekerasan baik fisik maupun psikis yang dilakukan suami dan dalam putusannya hakim menerapakan Pasal 9 undang-undang No 23 Tahun 2004 tentang PKDRT sebatas pemberitahuan atau informasi bukan sebagai dasar hukum dalam memutuskan perkara tersebut.9 Dalam pasal 28 (1) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 disebutkan bahwa dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masayarakat. Kutipan pasal ini, jelas menunjukkan bahwa hakim tidak saja hanya patuh pada perundang undangan tertulis, tapi dia bisa melakukan penemuan hukum (rechtsvinding) dalam memutus suatu perkara dengan menggali setiap dinamika yang berkembang di masyarakat, termasuk yang utama adalah peristiwa sesungguhnya yang melatari sebuah perkara. Berdasarkan paparan tersebut diatas, penulis tertarik untuk mengkaji dan menganalisa lebih lanjut mengenai integrasi pasal 9 Undang Undang Nomor 23 9 Rina Septiani, S.Hi ; http://www.pajakartapusat.net/index/skripsi/penerapan-uupkdrt/ diakses tgl 10/08/2013 9 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, yaitu penelantaran rumah tangga kedalam alasan perceraian di Pengadilan Agama serta pertimbangan hukum Pengadilan Agama untuk menerapkan pasal 9 UU. Penghapusan KDRT sebagai alasan perceraian. Yang mana pembahasan tersebut akan disusun sebagai suatu karya ilmiah berbentuk skripsi dengan judul “Pasal 9 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Sebagai Alasan Perceraian Di Pengadilan Agama”. (Studi Analisis Putusan Perkara No 0232/Pdt.G/2013/PA.Mlg Di Pengadilan Agama Kota Malang ) B. Rumusan Masalah Berdasarkan uraian latar belakang diatas, maka permasalahan pokok dalam penulisan skripsi ini dapat dirumuskan sebagai berikut : 1. Bagaimanakah Pertimbangan Hukum Bagi Hakim Pengadilan Agama dapat Mengintegrasikan dan Menerapkan Pasal 9 UU Nomor 23 tahun 2004? 2. Apa yang melatar belakangi pertimbangan hukum Hakim Pengadilan Agama Kota Malang tidak mengintegrasikan dan menerapkan Pasal 9 UU Nomor 23 tahun 2004 kedalam putusan Perkara No 0232/Pdt.G/2013/PA.Mlg, padahal alasan perceraian secara limitatif sudah ada dalam peraturan perundangundangan ? C. Tujuan Penelitian 10 1. Untuk mengetahui sejauh mana Pengadilan Agama dapat menerapakan dan mengintegrasikan pasal 9 UU Nomor 23 tahun 2004 tentang Penghapusan KDRT sebagai alasan perceraian. 2. Untuk mengetahui latar belakang pertimbangan hukum dari Pengadilan Agama tidak mengintegrasikan dan menerapkan Pasal 9 UU Nomor 23 tahun 2004 tentang Penghapusan KDRT sebagai alasan perceraian kedalam putusan Perkara No 0232/Pdt.G/2013/PA.Mlg Di Pengadilan Agama Kota Malang. D. Kegunaan Penelitian 1. Sebagai kajian ilmiah bagaimana pertimbangan hukum dari Pengadilan Agama dalam mengintegrasikan dan menerapkan Pasal 9 UU Nomor 23 tahun 2004 tentang Penghapusan KDRT sebagai alasan perceraian kedalam putusan hakim di Pengadilan Agama . 2. Untuk mengetahui sejauh mana penulis dapat menguasai dan menganalisa penerapan Pasal 9 UU Nomor 23 tahun 2004 tentang Penghapusan KDRT sebagai alasan perceraian kedalam putusan Perkara No 0232/Pdt.G/2013/PA.Mlg Di Pengadilan Agama Kota Malang. 3. Untuk mencari solusi yang tepat dan memberikan rekomendasi kepada pihak yang terkait dengan masalah KDRT, agar di masyarakat tidak ditemukan lagi kekerasan dalam rumah tangga. 4. Sebagai persyaratan bagi penulis untuk memperoleh gelar Sarjana ( S 1 ) pada Fakultas Syari’ah Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang. E. Batasan Penelitian 11 1. Penelitian dalam karya ilmiah ini terbatas pada pertimbangan hukum dari Pengadilan Agama dalam mengintegrasikan dan menerapkan Pasal 9 UU Nomor 23 tahun 2004 tentang Penghapusan KDRT sebagai alasan perceraian kedalam putusan hakim di Pengadilan Agama. kemudian penulis berusaha menganalisanya dengan menuangkan hasil analisa tersebut ke dalam bab IV Skripsi ini. F. Definisi Operasional Dalam setiap usulan atau rancangan penelitian, apapun format penelitian yang digunakan, perlu penegasan batasan pengertian yang operasional dari setiap istilah, konsep dan variable yang terdapat, baik dalam judul penelitian, rumusan masalah, tujuan penelitian, dan hipotesis penelitian. Pendefinisian tersebut bukannya kata per kata, tetapi per “istilahan” yang dipandang masih belum operasional.10 Pemberian definisi operasional terhadap sesuatu istilah bukanlah untuk keperluan mengkomunikasikannya semata-mata kepada pihak lain, sehingga tidak menimbulkan salah tafsir, tetapi juga untuk menuntun peneliti itu sendiri di dalam menangani rangkaian proses penelitian bersangkutan (misalnya di dalam menyusun instrument atau variable-varibel yang hendak diteliti, dan juga dalam menetapkan populasi dan sampel, serta di dalam menginterpretasikan hasil penelitian).11 Berkaitan dengan hal tersebut penulis akan mendeskripsikan beberapa istilah yang digunakan dalam judul karya ilmiah ini, dengan maksud agar penulis 10 Sanapiah Faisal, Format-Format Penelitian Sosial, Rajawali Pers : Jakarta. 1999, hlm.107 11 ibid., hlm. 107 12 lebih terarah terhadap hal yang diteliti. Adapun kata dan istilah tersebut sebagai berikut: 1. Putusan adalah kesimpulan akhir yang diambil oleh majelis hakim yang diberi wewenang untuk itu dalam menyelesaikan atau mengakhiri suatu sengketa antara pihak-pihak yang berberkara dan diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum. Sedangkan menurut Prof. Dr. Sudikno Mertokusumo, S.H Putusan adalah suatu pernyataan oleh hakim sebagai pejabat Negara yang diberi wewenang untuk itu dan diucapkan di dalam persidangan yang terbuka untuk umum dengan tujuan untuk menyelesaikan suatu perkara atau sengketa antara pihak yang berperkara.12 2. Menurut Hurlock perceraian merupakan kalminasi dari penyelesaian perkawinan yang buruk, dan yang terjadi bila antara suami-istri sudah tidak mampu lagi mencari cara penyelesaian masalah yang dapat memuaskan kedua belah pihak, perlu disadari bahwa banyak perkawinan yang tidak membuahkan kebahagiaan tetapi tidak diakhiri dengan perceraian. Hal ini karena perkawinan tersebut dilandasi dengan pertimbangan-pertimbangan agama, moral, kondisi ekonomi, dan alasan lainnya. Perpisahan atau pembatalan perkawinan dapat dilakukan secara hukum maupun dengan diam-diam dan kadang ada juga kasus dimana salah satu pasangan (istri/suami) meninggalkan keluarga (minggat). 13 Menurut Soemiyati Perceraian adalah putusnya ikatan perkawinan antara suami isteri dengan 12 Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata Di Lingkungan Peradilan Agama, Yayasan AlHikmah, Jakarta, 2000, hlm. 173. 13 Hurlock, E. B. (1994). Psikologi Perkembangan, Suatu Pendekatan Sepanjang Rentang Kehidupan. Jakarta : Erlangga. 13 keputusan pengadilan dan ada cukup alasan bahwa diantara suami isteri tidak akan dapat hidup rukun lagi sebagai suami isteri. 14 Sedangkan menurut Abu Yahya Zakariya Perceraian adalah menghilangkan ikatan perkawinan, sehingga setelah hilangnya ikatan perkawinanya itu. Istri tidak halal lagi bagi suaminya. Sedangkan mengurangi pelepasan ikatan perkawinan ialah berkurangnya hak talak bagi suami yang mengakibatkan berkurangnya hak talak bagi suami yang mengakibatkan berkurangnya jumlah talak yang menjadi hak suami dari tiga menjadi dua, dari dua menjadi satu, dan dari satu mejadi hilang hak talak itu. 15 4. Menurut Prof. Dr. H. Muchsin, SH.16 yang dimaksud penelantaran rumah tangga adalah setiap bentuk pelalaian kewajiban dan tanggung jawab seseorang dalam rumah tangga yang menurut hukum seseorang itu telah ditetapkan sebagai pemegang tanggung jawab terhadap kehidupan orang yang berada dalam lingkungan keluarganya. 5. Menurut Hayati menyatakan bahwa kekerasan, pada dasarnya adalah semua bentuk perilaku baik verbal maupun non verbal yang dilakukan oleh seseorang ataupun sekelompok orang terhadap seseorang atau sekelompok orang lainnya, sehingga menyebabkan efek negatif secara fisik, emosional, dan psikologi. bahwa kekerasan dalam rumah tangga adalah perbuatan yang dilakukan oleh seseorang terhadap orang lain yang berupa serangan fisik, 14 Soemiyati. Hukum Perkawinan Islam dan UUP (Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan), Yogyakarta:Liberty. 1982.Hlm. 30 15 Abu Yahya Zakariah al-Anshari, Fath al-Wahhab, Juz II (Singapura: Sulaiman Mar’iy, t.th), hlm. 192. 16 Dalam Varia Peradilan No. 303 edisi Pebruari 2011, IKAHI, Jakarta, hal. 18. 14 seksual, psikologis ataupun ekonomi yang menimbulkan efek negatif secara fisik, emosional, dan psikologis atau menimbulkan rasa sakit dan kesengsaraan pada diri seseorang.17 G. Penelitian Terdahulu Dalam sebuah penelitian diperlukan adanya penelitian terdahulu sebagai acuan bahwa tema peneliti disini belum dilakukan oleh peneliti terdahulu, sehingga keasliannya dapat terjaga dalam penelitian yang berjudul efektifitas penggunaan alat bukti persangkaan dalam persidangan perkara perdata. Dan setelah peneliti menacari data, terdapat 3 peneliti terdahulu yang dapat menjadi acuan untuk diskusi, penelitian terdahulu tersebut adalah : Nama Judul Jenis Penelitian Fata Latukau (2004) Sadisme Seksualitas sebagai Alasan Perceraian (Analisis atas Pasal 39 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974) Jenis Penelitian : normatif-kualitatif. Pendekatan : kepustakaan, content analysis Metode : bahan hukum primer, sekunder, tersier. 17 E.N.Hayati, Derita Di Balik Harmoni, Rifka Anisa Women Crisis Center, Yogyakarta, 2001, hlm. 25. 15 Joko Santoso (2005) Tidak Adanya Tanggung Jawab Suami sebagai alasan Perceraian (di Desa Sumberagung Kecamatan Gandusari Kabupaten Blitar) Jenis Penelitian : empiris-kualitatif. Pendekatan : analisis deskriptif kualitatif Metode : observasi, wawancara dan dokumentasi.. Khusnul maisyarah (2006) Persepsi Hakim Pengadilan Agama Kota Malang Mengenai Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga Jenis Penelitian : empiris-kualitatif. Pendekatan : Deskriptif kualitatif Metode : observasi, wawancara dan dokumentasi. Perlu diketahui, bahwa untuk penelitian tentang kekerasan dalam rumah tangga dan alasan perceraian, penulis untuk sementara menemukan tiga penelitian yakni dari Fata Latukau (2004), Joko Santoso (2005) dan Khusnul maisyarah (2006) namun ada perbedaan mendasar baik dari segi substansi, keberlakuan hukum serta obyek kajian. a. Dalam penelitian yang dilakukan oleh Fata Latukau pada tahun 2004, lebih spesifik kepada kekerasan dalam bentuk sadisme seksualitas sebagai alasan perceraian. Dan yang perlu dicermati lagi, penelitian tersebut menjadikan Pasal 16 39 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 sebagai objek kajian (pada waktu penelitian berlangsung belum diberlakukan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga sebagaimana yang ingin dikaji peneliti sekarang) b. Penelitian oleh Joko Santoso pada 2005 mengkaji secara praktikal tentang faktor tidak adanya tanggung jawab suami dapat mempengaruhi timbulnya perceraian, dan dalam pendekatan data tertulisnya belum menjadikan UndangUndang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga sebagaimana yang ingin dikaji peneliti sekarang sebagai acuan dalam meneliti. c. Penelitian yang dialakukan oleh Khusnul Maisyarah menitikberatkan pada persepsi Hakim Pengadilan Agama Kota Malang mengenai Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga. Namun yang menjadi titik perbedaan dengan penelitian yang akan peneliti lakukan adalah pada substansinya, yang mana secara lebih spesifik peneliti ingin menggali secara lebih mendalam perihal Pasal 9 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga sebagai alasan perceraian di Pengadilan Agama. Yang dapat didefinisikan secara khusus sebagai Pasal penelantaran (sebagai salah satu bentuk kekerasan dalam rumah tangga). H. Metodologi Penelitian a. Jenis Penelitian 17 Dilihat dari jenis penelitiannya, penelitian ini termasuk penelitian hukum normatif, yang dilakukan dengan cara menelaah data-data sekunder. Penelitian normatif ini termasuk penelitian kepustakaan (library research) atau studi dokumen, karena obyek yang diteliti berupa dokumen resmi yang bersifat publik, yaitu data resmi dari pihak Pengadilan Agama.18 Penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder belaka, dapat dinamakan penelitian hukum normatif atau penelitian hukum kepustakaan.19 Penelitian hukum normatif disebut juga penelitian hukum doktrinal. Pada penelitian hukum jenis ini, acapkali hukum dikonsepkan sebagai apa yang tertulis dalam peraturan perundang-undangan (law in books) atau hukum dikonsepkan sebagai kaidah atau norma yang merupakan patokan berperilaku manusia yang dianggap pantas.20 Oleh karena itu, sebagai sumber datanya hanyalah data sekunder,21 yang terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder; atau data tersier.22 b. Pendekatan Penelitian yang objeknya adalah permasalahan hukum, sedangkan hukum adalah kaidah atau norma yang ada dalam masyarakat, maka tipe penelitian yang digunakan adalah penelitian yuridis normatif, yakni penelitian yang difokuskan untuk mengkaji penerapan kaidah atau norma dalam hukum positif. Oleh karena 18 Bambang Waluyo. Penelitian Hukum Dalam Praktek. Jakarta : Sinar Grafika, 2002. hal 13-14. 19 Soerjono Soekanto dan Sri Mamuji. Penelitian Hukum Normatif, Suatu Tinjauan Singkat. Jakarta : PT. RajGrafindo Persada, 2006. hal 13. 20 Amiruddin dan Zainal Asikin. Pengantar Metode Penelitian Hukum. Jakarta : PT. RajaGrafindo Persada. Hal 118. 21 Ronny Hanitijo Soemitro. Masalah-Masalah Sosiologi Hukum. Bandung : Sinar Grafika, 1984. Hal 110. 22 Soerjono Soekanto. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta : UI Press, 1984. hal 54. 18 tipe penelitian yang digunakan adalah tipe penelitian yuridis normatif, maka pendekatan yang digunakan adalah pendekatan perundang-undangan (statute approach).23 Pendekatan tersebut melakukan pengkajian peraturan perundangundangan yang berhubungan dengan tema sentral penelitian, yang mana dalam penelitian ini digunakan untuk menganalisa berbagai peraturan hukum perceraian. c. Sumber Penelitian Sumber-sumber penelitian hukum dapat dibedakan menjadi sumber-sumber penelitian yang berupa bahan-bahan hukum primer dan bahan-bahan hukum sekunder.24 Karakteristik utama penelitian ilmu hukum normatif dalam melakukan pengkajian hukum ialah sumber utamanya adalah bahan hukum bukan data atau fakta sosial, karena dalam penelitian ilmu hukum normatif yang dikaji adalah bahan hukum yang berisi aturan-aturan yang bersifat normatif.25 Bahan-bahan hukum tersebut terdiri dari : 1. Bahan Hukum Primer Bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang bersifat autoritatif artinya mempunyai otoritas, bahan hukum primer terdiri dari perundangundangan, catatan-catatan resmi atau risalah dalam pembuatan perundangundangan dan putusan-putusan hakim. Dalam penelitian ini bahan hukum primernya berupa Pasal 9 UU Nomor 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga. 2. Bahan Hukum Sekunder 23 Johnny Ibrahim. Teori & Metodologi Penelitian Hukum Normatif. Malang : Bayumedia Publishing, 2006. hal 295. 24 Peter Mahmud Marzuki. Penelitian Hukum. Jakarta : Kencana, 2005. hal 141. 25 Bahder Johan Nasution. Metode Penelitian Ilmu Hukum. CV. Mandar Maju : Bandung, 2002, hal 86. 19 Sedangkan bahan hukum sekunder berupa semua publikasi tentang hukum yang bukan merupakan dokumen resmi. Dalam penelitian ini bahan hukum sekunder berupa literatur atau buku-buku referensi ilmiah seputar Hukum Acara Peradilan Agama, buku-buku yang membahas tentang undang undang tentang penghapusan kekerasan dalam rumah tangga dan buku tentang metodologi penelitian. d. Metode Pengumpulan Data untuk memperoleh data yang benar-benar valid dalam penelitian ini perlu ditentukan teknik-teknik pengumpulan data yang sesuai, maka peneliti ini menggunakan metode-metode sebagai berikut: 1. Metode Dokumentasi Metode dokumentasi yaitu mencari data mengenai hal-hal atau varibel yang berupa catatan, transkrip, buku, surat kabar, majalah dan sebagainya.26 Metode pengumpulan data studi kepustakaan atau dokumentasi dilakukan dengan pencatatan berkas-berkas atau dokumen yang berhubungan dengan masalah yang dikaji.27 Data yang diperoleh dengan metode ini berupa datadata yang berkenaan dengan arsip Pasal 9 UU Nomor 23 tahun 2004 dan Putusan Perkara No 0232/ Pdt.G/2013/PA.Mlg. Metode ini juga yang digunakan oleh peneliti dalam mengakses kajian teori berupa buku-buku yang berhubungan dengan materi penelitian. 2. Metode Interview Metode interview atau wawancara yaitu proses Tanya jawab lisan antara dua 26 Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek, PT. Rineka Cipta : Jakarta. 2006, hal.231 27 Soerjono soekanto, sosiologi suatu pengantar, PT. Raja Grafindo : Jakarta. 2005, hal. 66 20 orang atau lebih yang saling berhadapan secara fisik dengan ketentuan yang satu dapat melihat wajah yang lain, juga dapat mendengar dengan telinganya sendiri.28 Fungsi wawancara dalam penelitian ini adalah melengkapi, mengklarifikasi, dan memperkuat dokumen Putusan Perkara No 0232/ Pdt.G/2013/PA.Mlg, guna mengetahui dasar pertimbangan hakim dalam mengintegrasikan Pasal 9 UU Nomor 23 tahun 2004 ke dalam Putusan Perkara No 0232/ Pdt.G/2013/PA.Mlg . e. Metode Analisis Menurut pakar penelitian hukum Soerjono Soekanto, metode analisis data pada hakikatnya memberikan pedoman tentang cara seorang ilmuan mempelajari, menganalisis dan memahami lingkungan yang dihadapinya. Dalam penelitian ini menggunakan metode deskriptif analitis, dimana penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan apa-apa yang berlaku. Didalamnya terdapat upaya mendeskripsikan, mencatat, analisis, dan menginterpretasikan kondisi riil yang sedang terjadi, dengan kata lain penelitian deskriptif bertujuan untuk memperoleh informasi mengenai keadaan saat ini, dan melihat kaitan antara variabel-variabel yang ada. Penelitian ini tidak menggunakan hipotesa melainkan hanya mendeskripsikan apa adanya sesuai dengan variabel yang diteliti.29 Deskriptif disini adalah menjabarkan, menggambarkan kajian tentang perceraian, alasan-alasan pengajuan perceraian, serta hal-hal yang menjadi pertimbangan hakim dalam memutus perkara tersebut secara jelas sesuai yang diatur dalam undang-undang perkawinan. 28 Sutrisno Hadi, Metodologi Research, Andi Offset : Jakarta. hal 192 29 Mardalis. Metode Penelitian Suatu Pendekatan Proposal, Bumi Aksara : Jakarta, 2003. hal 26. 21 Adapun analisa disini adalah kelanjutan dari metode deskriptif yang menganalisa faktor-faktor yang dijadikan dasar pertimbangan hukum dari Pengadilan Agama dalam mengintegrasikan dan menerapkan Pasal 9 UU Nomor 23 tahun 2004 tentang Penghapusan KDRT sebagai alasan perceraian kedalam putusan hakim di Pengadilan Agama . I. Sistematika Pembahasan Untuk mempermudah dalam pembahasan Skripsi ini penulis akan membagi ke dalam lima bab : BAB I : PENDAHULUAN Pada bab ini membahas tentang latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, batasan penelitian, definisi operasional Metodologi penelitian dan sistematika pembahasan . Uraian dalam bab I ini dimaksudkan untuk memberikan gambaran secara umum tentang isi keseluruhan tulisan serta batasan permasalahan yang diuraikan oleh penulis dalam pembahasannya. BAB II : KAJIAN PUSTAKA Pada bab ini membahas tentang peradilan agama yang terdiri dari pengertian perceraian, pengertian alasan perceraian, dasar hukum perceraian, cerai talak dan cerai gugat. Pengertian penelantaran rumah tangga. Korelasi alasan perceraian dalam peraturan pemerintah Nomor 9 Tahun 1975, Kompilasi Hukum Islam dan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 22 BAB III : HASIL PENELITIAN Pada bab ini membahas mengenai hasil penelitian dan analisisnya, membahas tentang Pertimbangan Hukum Pengadilan Agama dapat mengintegrasikan dan menerapkan Pasal 9 UU Nomor 23 tahun 2004, serta dasar pertimbangan hukum Pengadilan Agama Kota Malang tidak mengintegrasikan dan menerapkan Pasal 9 UU Nomor 23 tahun 2004 sebagai alasan perceraian kedalam putusan hakim. Pembahasan pada bab ini dimaksudkan sebagai jawaban terhadap permasalahan yang telah dirumuskan dalam bab pendahuluan. BAB IV: PENUTUP Dalam bab terakhir ini membahas mengenai kesimpulan dari seluruh rangkaian pembahasan dan saran disertai lampiran yang khususnya berkaitan dengan masalah dalam penelitian ini, yang bersifat konstruktif agar semua upaya yang pernah dilakukan serta segala hasil yang telah dicapai bisa ditingkatkan lagi ke arah yang lebih baik.
Untuk Mendownload Skripsi "Skripsi al-Ahwal al-Syakhshiyyah" : Pasal 9 undang undang no 23 tahun 2004 sebagai alasan perceraian di Pengadilan Agama: Studi analisis putusan perkara No 0232/Pdt.G/2013/PA.Mlg di Pengadilan Agama Kota MalangUntuk Mendownload skripsi ini silakan klik link dibawah ini


Artikel Terkait:

No comments:

Post a Comment