Abstract
INDONESIA:
Perceraian merupakan jalan akhir yang harus ditempuh dalam penyelesaian perselisihan dan kemelut rumah tangga, menyelesaiakan keretakan rumah tangga yang tidak mungkin lagi dipulihkan, bahkan jika dibiarkan berlarut dikhawatirkan akan menyebabkan perpecahan keluarga kedua belah pihak. Perceraian menurut undang-undang negara harus melalui pengadilan agama, akan tetapi lain halnya dengan perceraian yang dilakukan oleh masyarakat Dusun Kapal Desa Selong Belanak Kecamatan Praya Barat Kabupaten Lombok Tengah. Adanya fenomena menarik dimana masyarakat desa ini melakukan perceraian dengan menunjuk Kepala Dusun Sebagai Jero Pemutus berdasarkan berbagai alasan. Berdasarkan permasalahan tersebut peneliti mengadakan penelitian ini dengan tujuan untuk mengetahui pendapat para tokoh agama Desa Selong Belanak terhadap Fenomena Kepala Dusun Sebagai Jero Pemutus Perceraian yang masih berlaku di Desa tersebut,serta memahami dampak-dampak hukum pasca perceraian.
Penelitian ini menggunakan jenis penelitian empiris dengan pendekatan kualitatif. Sebagian besar data yang dikumpulkan dengan metode wawancara. Adapun literatur dan dokumentasi yang terkait dengan persoalan ini digunakan sebagai data skunder dan tersier. Setelah terkumpul selanjutnya dianalisis menggunakan metode deskriptif analitis. Kesimpulan yang diproleh dalam penelitian ini ialah bahwa Fenomena kepala kusun sebagai Jero pemutus perceraian di masyarakat pedesaan di Dusun Kapal Desa Selong Belanak Kecamatan Praya Barat Kabupaten Lombok Tengah ini dipengaruhi oleh berbagai alasan. Seperti tidak sahnya suatu perceraian jika belum melalui kepala dusun sebagai jero pemutus, perintah mentaati seorang pemimpin, jarak pengadilan agama dengan desa yang jauh, mahalnya biaya, kesibukan, dan tidak mengerti cara beracara di pengadilan agama. Dampak hukum yang terjadi pasca perceraian ialah tidak jelasnya status suami-istri dalam hal pernikahan selanjutnya dan hal hutang-piutang, tidak jelasnya hak perlindungan anak, mempersulit administrasi kependudukan negara, dan jelasnya harta benda bersama yang diproleh semasa perkawian.
ENGLISH:
Divorce is the last way that must be taken in the settlement of disputes and family brawl, resolving house hold srift that impossible to be recovered, even if allowed to go feared would cause the breakdown of the family of both parties. Divorce under the laws of the country must be through the religious court, but it is different with the community of Kapal of Selong Belanak Village of West Praya of Central Lombok. The existence of an interesting phenomenon in which people of this village have done divorce by appointing the Village Head as Jero breaker based on various reasons. Based on these problems researcher conducted this research to find out the opinion of religious leaders of Selong Belanak village against village head phenomenon as Jeroof breakers of divorce that has prevailed in the village, as well as understanding the effects of law of post-divorce.
This research used empirical research with qualitative approach. Most of the data was collected by interviews. The literature and documentation related to this issue was used as a secondary data and tertiary. Having collected then analyzed using descriptive analytical method. The conclusion was the phenomenon of the village head as Jero of breaker of Divorce in Rural Communities in Kapal of Selong Belanak Village of West Praya of Central Lombok was influenced by a variety of reasons according to religious figures of Belanak Delong Village. Such the invalid of a divorce if it was not through the head of the village as Jero of breaker, obeying the command of a leader, the far distant of religious court with village, high cost, busyness, and misunderstanding how religious court proceedings. The impacts of the law that occurred after the divorce were unclear status of husband and wife in marriage and the debts, lack of clarity about the rights of child protection, complicating the administration of the state population, and unclear status of property acquired during the marriage time.
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Masalah Perkawinan adalah salah satu
sunnatullah yang umum berlaku pada semua makhluk Allah. Perkawinan suatu jalan
yang diberikan Allah bagi manusia untuk berkembang biak, tempat mencurahkan
kasih sayang, dan melestarikan kehidupannya. Allah berfirman dalam al-Qur'an2 :
2Ar-Rūmِ(30):ِ21
Perkawinan di dalam Islam dinamakan dengan nikah. Dalam UU Nomor 1 tahun
1974 tentang Perkawinan dinyatakan bahwa: "perkawinan ialah ikatan lahir
batin antara seorang pria dengan wanita sebagi suami istri dengan tujuan
membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang
MahaEsa"3 . Dari definisi di atas dapat diambil suatu pengertian secara
umum yaitu pernikahan merupakan suatu ikatan yang paling suci dan kokoh melalui
aqad yang membolehkan bergaulnya seorang pria dengan wanita untuk membentuk
keluarga yang sakinah,mawaddah wa rahmah sesuai dengan ajaran Islam.Membina
rumah tangga yang sakinah, rumah tangga yang penuh mawaddah wa rahmah bukan
perkara yang gampang dan bukan persoalan yang mudah, suami istri sebelumnya
harus memiliki bekal pengetahuan yang cukup tentang nilai, norma dan moral yang
benar. Harus siap dengan mental yang kuat untuk menghadapi segala hambatan dan
tantangan serta hem pasan badai rumah tangga.Banyak sekali pasangan suami istri
yang merasa siap dan memiliki bekal yang banyak, namun di tengah jalan mereka
goyah, mereka gagal mencapai tujuan yang telah dicita-citakan sebelumnya,
mereka gagal menciptakan dan membina rumah tangga yang bahagia, sejahtera dan
kekal abadi.Rumah tangga semakin retak, tali perkawinan semakin kendor,
hubungan kasih sayang semakin tidak harmonis, akhirnya kabur dan menghilang.
Ketentraman dan kedamaian rumah tangga yang didambakan berubah menjadi
pertikaian dan pertengkaran, rumahtangga bukan lagi seperti istana dan surga
tetapi berubah bagaikan penjaradan neraka4 . 3Pasal 1, UU No 1 Tahun 1974
4Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Adat, (Bandung: PT Cipta Aditya Bakti,
1990), h. 169. Perceraian merupakan jalan akhir yang harus ditempuh dalam
penyelesaian perselisihan dan kemelut rumah tangga, menyelesaiakan keretakan
rumah tangga yang tidak mungkin lagi dipulihkan, bahkan jika dibiarkan berlarut
dikhawatirkan akan menyebabkan perpecahan keluarga kedua belah pihak5 . Islam
memang tidak melarang umatnya melakukan perceraian, tetapi itu bukan berarti
bahwa Islam membuka jalan selebar-lebarnya untuk melakukan perceraian, dan itu
juga bukan berarti bahwa Islam membolehkan umatnya.melakukan perceraian
semaunya saja, kapan dan dimana saja, tetapi Islam memberikan batasan-batasan
tertentu kapan antara suami istri baru dibolehkan melakukan perceraian.
Batasan-batasan itu di antaranya adalah setiap perceraian harus didasarkan atas
alasan yang kuat dan merupakan jalan terakhir yang ditempuh oleh suami istri
setelah usaha lain tidak mampu mengembalikan keutuhan kehidupan rumah tangga
mereka6 . Dalam kehidupan bernegara masalah perceraian mendapat perhatian
khusus dari pemerintah. Perceraian diatur sedemikian rupa dalam suatu peraturan
perundang-undangan yaitu Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang
kemudian dilengkapi dengan peraturan pelaksanaannya yaitu Peraturan Pemerintah
No. 9 Tahun 1975. Peraturan perundang-undangan ini bersifat umum yaitu berlaku
bagi seluruh rakyat Indonesia. Khusus untuk umat Islam, di samping itu juga
berpedoman pada Undang-Undang no. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama yang
khusus mengatur permasalahan-permasalahan tertentu bagi umat Islam Indonesia,
termasuk di dalamnya masalah perceraian. Maka dengan adanya Undang-Undang
Peradilan Agama ini umat Islam tidak lagi sepenuhnya hanya berpedoman kepada
Undang-Undang perkawinan dan peraturan pelaksanaannya tapi juga didukung oleh
5Soemiati, Hukum Perkawinan Islam dan Undang-Undang Perkawinan, (Yogyakarta:
Liberty, 1986), h.104. 6Soemiati, Hokum perkawinan islam dan undang-undang
perkawinan, (Yogyakarta: Liberty, 1986), h.104 Kompilasi Hukum Islam (KHI)
Pasal 39 Undang-undang no. 1 tahun 1974 menyatakan7. Ayat 1 : Perceraian hanya
dapat dilakukan di depan sidang pengadilan setelah pengadilan bersangkutan
berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak. Ayat 2 : Untuk
melakukan perceraian harus ada cukup alasan, bahwa antara suami istri tidak
akan dapat hidup rukun sebagai suami istri. Dalam pasal 115 Kompilasi Hukum
Islam menyatakan: Perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang Pengadilan
Agama setelah Pengadilan Agama tersebut berusaha dan tidak berhasil mendamaikan
kedua belah pihak. Dari pasal di atas dapat dipahami bahwa perceraian harus
dilakukan di depan sidang pengadilan dengan mengemukakan alasan-alasan
perceraian.Meskipun undang-undang sudah mengatur sedemikian rupa cara
perceraian di Indonesia, namun masih ada di beberapa daerah yang masyarakatnya
belum mengindahkan peraturan yang berlaku, masih banyak masyarakat yang masih
tetap mempertahankan hukum adat mereka. Masih ada masyarakat yang masih tunduk
hanya pada hukum agama serta masih ada masyarakat yang karena faktor-faktor
tertentu terpaksa tidak mentaati peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Persoalan yang muncul adalah bahwa masih banyak terjadi kasus-kasus perceraian
yang dilakukan di luar sidang Pengadilan dan tidak mendapat akta perceraian
yang sah dari Pengadilan.Beberapa kasus banyak sekali warga masyarakat yang
melakukan perceraian hanya cukup dilakukan melalui seorang aparat desa yang
biasa mengurus perceraian warganya atau melalui tokoh dan pemuka agama
setempat. Secara awam masyarakat desa sering diartikan sebagai masyarakat
tradisional dari masyarakat primitif (sederhana). Namun pandangan tersebut
sebetulnya kurang tepat, karena masyarakat desa adalah masyarakat yang tinggal
di suatu kawasan, wilayah, teritorial tertentu 7Abdurrahman, Himpunan Peraturan
Perundang-undangan tentang Perkawwwinan, (Jakarta: Akademi Persindo CV, 1986),
h. 74 yang disebut desa.Sedangkan masyarakat tradisional adalah masyarakat yang
penguasaa sains dan ipteknya rendah sehingga hidupnya masih sederhana dan belum
kompleks. Tidak dapat dipungkiri masyarakat desa dinegara sedang berkembang
seperti Indonesia, ukurannya terdapat pada masyarakat desa yaitu bersifat
tradisional dan hidupnya masih sederhana, karena desa-desa di Indonesia pada
umumnya jauh dari pengaruh budaya asing atau budaya luar yang dapat
mempengaruhi perubahan-perubahan pola hidupnya. Masyarakat desa sederhana dan
primitif tidak lepas dari sifat selalu bersama atau musyawarah dalam setiap
mengambil keputusan dari suatu masalah, gotoroyong dalam bekerja, serta
menyerahkan segala urusan kepada orang yang dianggap tua atau dituakan di desa
itu, seperti masalah perdata perceraian. Tidak semua masyarakat desa mempunyai
sifat tersebut, dikarnakan sudah banyak masyarkat desa yang mulai mengenal
kehidupan modern. Sifat atau ciri-ciri masyarakat di atas adalah sesuai yang
peneliti lihat di Desa Selong Belanak Dusun Kapal Lombok tengah. Masyarkat Desa
Selong Belanak adalah masyarakat desa yang masih tergolong sederhana, Hal ini
dibuktikan dengan dinamika sosial dan cara hidup sehari-hari sebagai petani dan
nelayan. Adapun dalam perdata (percerain) dan pidana selalu diserahkan kepada
kepala dusun (jero), kecuali masalah perkawinan mereka percayakan kepada
penghulu dusun atau penghulu desa, yaitu orang yang dianggap tua dan paham
agama. Jika penghulu dusun tidak berkesempatan menangani maka diserahkan kepada
penghulu desa. Penyerahan masalah percerain kepada kepala dusun ini bukan
berati sepenuhnya, akan tetapi hanya sebagai jero pemutus saja. apabila
suami-istri sudah bercerai dirumah dengan kata talak sudah jelas dari suami,
dan disaksikan oleh tetangga mereka hal ini tidak dianggap sah oleh masyarkat
sebelum melewati kepala dusun. Anggapan masyarakat yang seperti ini hanya
berlandaskan kebiasaan saja karna tidak semua masyarkat desa beranggapan
seperti demikian. Jero pemutus percerain secara umum bukanlah tugas seorang
kepala dusun sebagai pemimpin suatu dusun, melainkan kepala dusun sebagai
perangkat pembantu kepala desa dan unsur pelaksana penyelenggara pemerintah
desa di wilayah dusun. Kepala dusun mempunyai tugas membantu kepala desa dalam
menyelenggarakan pemerintahan, pembangunan, dan kemasyarakatan di wilayah
kerjanya. Selain karena kebiasan, sebagian masyarkat desa juga menyerahkan
urusan percerain kepala dusun sebagai jero pemutus dikarnakan tidak mengerti
cara beracara di pengadilan agama serta jarak yang cukup jauh. Desa yang
menggunakan sistem jero sebagai pemutus perceraian bukan hanya Desa Selong
Belanak melainkan ada beberapa desa lain seperti desa mekarsari, lancing,
tampah dan desa-desa lain yang berada pada wilayah pesisir selatan pulau
lombok. Desa Selong Belanak terletak di Kecamatan Praya Barat Kabupaten Lombok
Tengah. Desa Selong Belanak terletak sekitar 44,5 km dari praya kota dengan
waktu tempuh kurang lebih satu setengah jam. Desa Selong Belanak terdiri dari
beberapa dusun yakni dusun selong, rujak, kapal, tomang-omang, terake, jowet,
segare, serangan, mawi, rowok dan jabon. Jarak Dusun Kapal dengan praya kurang
lebih 49 km. Populasi penduduk Dusun Kapal sekitar 200 kepala keluarga,
pekerjaan mayoritas penduduk adalah petani dan nelayan, masyarakatnya mayoritas
beragama Islam dan sangat taat pada sistem adat. Latar belakang pendidikan
mayoritas hanya lulusan sekolah dasar dan sekolah menengah pertama maka tidak
heran apabila masih banyak masyarakat yang tidak sadar hukum. Berdasarkan
uraian di atas, maka penulis tertarik untuk mengadakan penelitian mengenai
kebiasan masyarkat desa yang jarang ditemukan pada masyarkat desa pada umumnya.
Oleh karena itu penulis merumuskan judul: Fenomena Kepala Dusun Sebagai Jero
Pemutus Perceraian Di Masyarakat Pedesaan (Studi Kasus di Dusun Kapal Desa
Selong Belanak Kecamatan Praya Barat Kabupaten Lombok Tengah). B. Rumusan
Masalah Dari latar berlakang masalah serta bunyi judul di atas, adapun rumusan
masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Bagaimana pandangan
tokoh agama Desa Selong Belanak terhadap Fenomena Kepala Dusun Sebagai Jero
Pemutus Perceraian di Masyarakat Pedesaan di Dusun Kapal Desa Selong Belanak
Kecamatan Praya Barat Kabupaten Lombok Tengah? 2. Bagaimana dampak hukum dari
perceraian yang dilakukan oleh masyarakat pedesaan di Dusun Kapal Desa Selong
Belanak Kecamatan Praya Barat Kabupaten Lombok Tengah melalui Kepala Dusun
Sebagai Jero Pemutus? C. Tujuan Penelitian Adapun tujuan dalam penulisan
penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Untuk mengetahui bagaimana pandangan
tokoh agama Desa Selong Belanak terhadap Fenomena kepala dusun sebagai jero
pemutus perceraian di masyarakat pedesaan. 2. Untuk mengetahui serta memahami
dampak hukum dari perceraian yang dilakukan oleh masyarakat Dusun Kapal Desa
Selong Belanak melalui Kepala dusun sebagai jero pemutus perceraian. D. Manfaat
Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangsih
pemikiran bagi disiplin keilmuan secara umum, dan minimal dapat digunakan untuk
dua aspek, yaitu: 1. Aspek teoritis, diharapkan dapat menambah ilmu
pengetahuan, khususnya tentang Fenomena kepala dusun sebagai jero pemutus
perceraian di masyarkat pedesaan. 2. Aspek praktis, diharapkan dapat dijadikan
sebagai bahan perbandingan bagi peneliti selanjutnya khusunya mengenai
Peceraian di Masyarkat Pedesaan, dan umumnya semua penelitian yang sejenis atau
ada sangkutpautnya.
Untuk Mendownload Skripsi "Skripsi Hukum Bisnis Syariah" : Fenomena Kepala Dusun sebagai jero pemutus perceraian di masyarakat pedesaan: Studi kasus di Dusun Kapal Desa Selong Belanak Kecamatan Praya Barat Kabupaten Lombok Tengah." Untuk Mendownload skripsi ini silakan klik link dibawah ini
No comments:
Post a Comment