Jasa Pembuatan Skripsi

Jasa Pembuatan Skripsi
Jasa Pembuatan Skripsi

Friday, June 9, 2017

Jasa Buat Skripsi: download Skripsi al-Ahwal al-Syakhshiyyah,:Upaya mewujudkan keluarga sakinah dalam keluarga karir: Studi pada beberapa dosen wanita di Fakultas Humaniora dan Budaya Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang

Abstract

Pernikahan adalah ikatan suci antara laki­laki dan perempuan sebagai suami istri, yang dengannya diperbolehkan hubungan intim. Sebagai kepala keluarga, suami wajib mencari nafkah untuk keluarga. Sebagai ibu rumah tangga, seorang istri dibutuhkan untuk mendidik dan merawat anak­anak disamping suami. Bagi seorang istri yang sudah dikaruniai anak, hal tersebut akan menjadi permasalahan ketika ia ikut bekerja atau sebagai wanita karir. Ketika suami­istri sibuk bekerja tentunya akan sulit untuk menjalankan kewajiban rumah tangga dan bias berdampak pada keharmonisan keluarga. Fenomena yang demikian terjadi pada dosen Wanita yang ada di Fakultas Humaniora dan Budaya Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang.
Dari fenomena tersebut muncul pertanyaan bagaimana pemahaman dosen wanita yang ada di Fakultas Humaniora dan Budaya Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang tentang keluarga sakinah serta bagaimana upaya yang mereka lakukan untuk menciptakan keluarga sakinah dalam keluarga karir.
Dengan pendekatan deskriptif kualitatif, skripsi ini akan menggambarkan beberapa data yang diperoleh dari lapangan, baik dengan wawancara, observasi, maupun dokumentasi sebagai metode pengumpulan data. Kemudian dilanjutkan dengan proses editing, diklasifikasikan, kemudian dianalisa. Selain itu, proses analisa tersebut juga didukung dengan kajian pustaka sebagai referensi untuk memperkuat data yang diperoleh dari lapangan. Sehingga dengan proses semacam itu, dapat diperoleh kesimpulan sebagai jawaban atas dua pertanyaan diatas.

Dari pertanyaan yang ada, muncul jawaban tentang bagaimana pemahaman dosen wanita yang ada di Fakultas Humaniora dan Budaya Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang tentang keluarga sakinah yaitu sebuah keluarga dimana kondisi keluarga tersebut yang harmonis, tenang, bahagia, nyaman, damai, rukun, tenteram, tidak pernah tengkar, serta semua perbuatan atau aktifitas dalam keluarga tersebut didasarkan pada syari’ah atau aturan­-aturan dan ajaran agama Islam. Sedangkan upaya yang mereka lakukan untuk mewujudkan keluarga sakinah diantaranya menjaga komunikasi, instropeksi diri, menyamakan persepsi, saling terbuka, mengalah, memahami, dan menghargai, peningkatan suasana kehidupan keberagamaan dalam rumah tangga, peningkatkan intensitas romantisme dalam rumah tangga, suami mendukung terhadap karir istri, tetap kosentrasi, mengatur waktu dengan baik, serta bisa menempatkan diri.

BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
 Islam adalah agama  yang  sempurna.  Islam adalah agama  pelengkap  atau  agama  yang  melengkapi aturan atau syariat dari agama sebelumnya. Agama Islam  banyak  mengatur tentang  aturan­aturan (syariat) dalam kehidupan yang  belum  pernah ada atau belum pernah diatur oleh agama sebelum Islam. Seperti dalam hal  pernikahan, Islam mengaturnya bertujuan agar kehidupan sosial masyarakat menjadi  tenteram. Sebelum datangnya  agama  Islam beserta  syari’atnya  yang  dibawa Nabi  Muhammad  saw, di zaman jahiliyah berlaku  pernikahan yang  unik  yang  sangat  merendahkan martabat dan derajat seorang  perempuan. Misalnya seorang  laki­laki  mengirim istrinya  untuk  digauli laki­laki lain  agar  mendapatkan keturunan yang xviii  berkualitas, tukar­menukar  istri, dan lain sebagainya.  1 Namun setelah masa  Rasulullah saw, atas firman dari Allah swt, maka Islam mengatur pernikahan dengan  cara­cara yang baik atau ”memanusiakan” perempuan dan hilang pula kebiasaan atau  adat jahiliyah tersebut. Perempuan  pada zaman dahulu  memang seperti barang  dagangan, diperlakukan seperti binatang, dikasari, dipukuli, karena  dianggap  sebagai kaum  yang lemah. Ketika rumah tanggapun demikian, tidak ada bedanya sekalipun sudah  menikah dan ada suami. Selalu  didiamkan di rumah, tidak  boleh keluar  rumah, apalagi bekerja.  Selain itu, perempuan juga  sebagai tempat untuk  memperbanyak  keturunan. Karena  hanya  berfungsi sebagai alat untuk memperbanyak  anak, ketika  melahirkan anak dan anak tersebut cacat atau lemah, tidak mampu dijadikan tentara  yang kuat, maka anak tersebut akan dibunuh. Tidak ada bedanya antara bangsa barat  dengan jaman jahiliyah. Ketika  agama  Islam datang, sedikit demi sedikit kebiasaan yang  ada pada  jaman dahulu  atau  pada jaman jahiliyyah segera  hilang. Kondosi masyarakatnya  menjadi beradab kembali setelah aturan­aturan agama Islam diterapkan. Perempuan  dilindungi, dihormati derajat dan martabatnya,  hak  dan kewajibannya  dijamin oleh  agama Islam sehingga tidak ada lagi yang merampasnya. Demikian pula dalam hal  kedudukannya  di dalam rumah tangga,  diberikan porsi yang  sama  dengan suami  sesuai tugas dan tanggung  jawabnya.  Hal ini semua  tidak  pernah dilakukan oleh  agama atau syari’at sebelum Islam. Allah swt melihat kedudukan hamba­Nya hanya  melalui ketaatan ibadah atau ketaqwaan kepada­Nya. 2 1 Fajar al­Qalami, Abu, Tuntunan Jalan Lurus Dan Benar ( Gita Media Press: 2004 ), 416. 2 Gymnastiar, Abdulloh, Meraih  Bening Hati Dengan Manajemen  Qalbu, (  Jakarta: Gema Insani, 2002), 66. xix  Sebagai contoh persoalan yang  amat membedakan antara jaman jahiliyyah  dengan masa  pasca Islam adalah pembagian hak  dan kewajiban. Sebalum syariat  Islam ada, peran seorang laki­laki atau suami sangat dominan atau terlalu superrior terhadap perempuan atau istri, lebih­lebih soal urusan rumah tangga.  Salah satu yang merupakan hak dan kewajiban manusia, baik perempuan atau  laki­laki adalah perkawinan. Perkawinan merupakan sunatulloh yang  umum dan  berlaku  bagi semua  makhluk, baik  manusia,  tumbuhan ataupun hewan.3 Allah swt  telah menciptakan semua yang ada di bumi berpasang­pasangan, manusia antara lakilaki dan perempuan yang melakukan pernikahan dan menjadi suami istri secara sah. Dalam Islam, penikahan diartikan sebagai suatu  aqad  atau  perjanjian yang  mengikat antara laki­laki dan perempuan untuk  menghalalkan hubungan badan  antara kedua belah pihak dengan sukarela. 4 Penikahan itu sendiri merupakan sarana  untuk  menyambung  generasi atau  menjaga keturunan. Dalam al­Qur’an surat anNisa’ ayat 1 Allah swt berfirman £ ]t/ur $ygy_˜ryó $pk˜]œB t,n=yzur ; oyâœnºur < ߯ˇ Ø R `œiB /‰3s)n=s{ ìœ% © !$# „N‰3­ /uë (#q‡) Æ ?$# ‚®$® Z9$# $pk ö âr'تtÉ tb%x. © !$# ® bŒ) 4 tP%tnˆëF{$#ur æœmŒ/ tbq‰9u‰!$|°s? ìœ% © !$# © !$# (#q‡) ® ?$#ur 4 [‰!$|°ŒSur # Z éçœWx. Z w%y`Õë $uKÂk˜]œB $Y 6äœ%uë ˆN‰3¯ãn=tÊ artinya:  ”Hai  sekalian  manusia, bertaqwalah  kepada  Tuhan­mu  yang  telah  menciptakan  kamu  dari  diri yang  satu, dan dari  padanya Allah  swt  menciptakan  istrinya, dan  daripada keduanya  Alloh swt  memperkembangbiakkan  laki­laki  dan  perempuan  yang  banyak. Dan  bertaqwalah kepada Allah swt yang dengan (mempergunakan) nama­Nya kamu  saling  meminta  satu  sama  lain, dan  (jagalah) hubungan  silaturrahmi. Sesungguhnya Allah swt selalu mengawasi kamu ”. 3 Fajar al­Qalami, Abu, Op. Cit., 415. 4 La Jamaa, Hadidjah, Hukum Islam Dan UU Anti KDRT ( Surabaya: PT Bina Ilmu, 2008 ), 103. xx  Pernikahan merupakan  pintu  gerbang  munculnya  hak  dan kewajiban antara  laki­laki dan perempuan, antara suami dan istri.5 Mereka telah terikat satu sama lain  dan mempunyai hak  dan kewajiban yang  tidak  dapat  dilepaskan. Setelah menikah, mereka akan mempunyai hak dan kewajiban masing­masing. Suami wajib memenuhi  kebutuhan keluarga, istri dan anak­anaknya sesuai dengan kemampuannya. Kewajiban semacam ini dinamakan kewajiban memberi nafkah. Para  Fuqoha’  menegaskan bahwa pemenuhan nafkah keluarga  merupakan  kewajiban suami. 6 Kewajiban tersebut merupakan  kompensasi dari kewajiban istri  memberikan pelayana seks kepada suami. Dalam  bahasa  yang  lain, hak  istri untuk  mendapatkan nafkah dari suaminya  merupakan nilai tukar  dari hak  suami untuk  menikmati tubuh istrinya  (an­nafaqoh fi muqobalat  al­istimta’). 7 Termasuk  kewajiban suami terhadap  istri dan anak­anaknya diantaranya  adalah menyediakan  sandang, pangan, dan papan. Adapun dalil normatif yang  digunakan para  fuqaha’ tentang kewajiban suami dalam memberikan nafkah diantaranya:  1)  al­Qur’an surat al­Baqarah ayat 233Artinya: ”Para  ibu  hendaklah  menyusukan  anak­anaknya selama  dua  tahun  penuh, yaitu  bagi  yang  ingin  menyempurnakan  penyusuan. dan  kewajiban  ayah  memberi makan dan Pakaian kepada para ibu dengan cara ma'ruf. seseorang  tidak  dibebani  melainkan  menurut  kadar kesanggupannya. janganlah  seorang  ibu  menderita  kesengsaraan  Karena  anaknya  dan  seorang  ayah  Karena  anaknya, dan  warispun  berkewajiban  demikian. apabila keduanya  ingin  menyapih  (sebelum  dua  tahun) dengan kerelaan  keduanya  dan  permusyawaratan, Maka tidak ada dosa atas keduanya. dan jika kamu ingin  anakmu  disusukan  oleh  orang  lain, Maka tidak ada dosa  bagimu apabila  kamu  memberikan  pembayaran  menurut  yang patut. bertakwalah  kamu  kepada  Allah dan  Ketahuilah bahwa  Allah  Maha  melihat  apa yang  kamu  kerjakan.” 2) Surat al­Thalaq ayat 6­7 Artinya : ”Tempatkanlah  mereka  (para  isteri) di  mana kamu  bertempat  tinggal  menurut  kemampuanmu  dan  janganlah kamu  menyusahkan  mereka  untuk  menyempitkan  (hati) mereka. dan  jika  mereka  (isteri­isteri  yang  sudah  ditalaq) itu sedang hamil, Maka berikanlah kepada mereka nafkahnya hingga  mereka  bersalin, Kemudian  jika  mereka  menyusukan  (anak­anak)mu  untukmu Maka berikanlah kepada mereka upahnya, dan musyawarahkanlah  di  antara  kamu  (segala  sesuatu) dengan  baik;  dan  jika  kamu  menemui  kesulitan Maka perempuan lain boleh menyusukan (anak itu) untuknya.” Memberikan nafkah oleh seorang suami kepada seorang  istri telah menjadi  suatu  kelaziman dan merupakan kenyataan umum atau  menjadi adat dalam  masyarakat sejak  dahulu  hingga  kini. Nafkah tersebut merupakan yang  bersifat  meteri. Sedangkan nafkah yang  bersifat non­materi atau nafkah batin diantaranya  kasih sayang, kebutuhan biologis, dan lain sebagainya. xxii  Disamping  itu semua  yang  merupakan kewajiban suami atau  yang  menjadi  hak  istri, istri juga  mempunyai kewajiban atau  sesuatu  yang  menjadi hak  suami. Diantaranya  istri mempunyai kewajiban taat  atau  patuh terhadap  suami, menjaga  harta suami, mengurus rumah tangga serta mendidik anak dan mengasuhnya. Dari penjelasan singkat yang telah dipaparkan tersebut, dapat difahami bahwa  suami bertugas mencari dan  memenuhi nafkah  sedangkan istri bertugas untuk  mengaturnya.  Sebagai penata  ekonomi keluarga  istri harus  mempunyai kecakapan, ketrampilan, kreatifitas agar penerimaan dan penggunaan nafkah dapat mengarah  pada peningkatan ekonomi keluarga. Sebuah tugas yang tidak kalah pentingnya bagi seorang suami adalah menjadi  pemimpin dalam keluarga. Agama  Islam mengakui betapa pentingnya  keberadaan  seorang pemimpin dalam sebuah kelompok, seperti kepemimpinan dalam keluarga. Suami adalah nahkoda  rumah tangga  bagi istri dan anak­anaknya.  Dalam sebuah  hadits, Rasulullah saw bersabda yang artinya : ”sekiranya ada tiga orang atau lebih  dalam sebuah  perjalanan, hendaklah salah seorang  diantaranya  bertindak sebagai  kepala rombongan  (pemimpin)”. Bila  dihubungkan dengan hadits yang  lain, Nabi  mengisyaratkan bahwa rekomendasi menjadi pemimpin selayaknya  jatuh kepada  mereka yang mampu mengantar kelompoknya pada tujuan yang ingin dicapai.8 Rekomendasi menjadi pemimpin dalam rumah tangga  atau keluarga  jatuh  kepada suami. Hal ini didasarkan pada al­Qur’an surat al­Nisa’ ayat 34: Ù`œB (#q‡)xˇRr& !$yJŒ/ur < Ÿ˜Ët/ 4ín?t„ ÛOflgü“˜Ët/ ™ !$# ü@û “s˘ $yJŒ/ œ‰!$|°œiY9$# ín?t„ ö cq„Bºß qs% „A%y`Ãhç9$# ™ !$# x·œˇym $yJŒ/ …=¯ãtÛ˘=œj9 × Mªs‡œˇªym Ï MªtGœZªs% ‡MªysŒ=ª ¢ £9$$s˘ 4 ˆNŒgœ9ºuq¯Br& 8 Mulyati, Sri, Op. Cit., 41. xxiii  Artinya: ”Kaum  laki­laki adalah pemimpin  bagi kaum wanita,  oleh karena  Alloh swt  telah melebihkan sebagian mereka (laki­laki) atas sebagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki­laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. Sebab  itu maka wanita  yang shalehah ialah yang  taat kepada Allah swt  lagi  memelihara  diri  ketika  suaminya  tidak  ada oleh  karena  Allah swt  telah  memelihara (mereka)”. Dari sini dapat diambil sebuah pengertian  bahwa  agama  Islam telah  mensyari’atkan tugas atau kewajiban utama seorang suami adalah mencari nafkah di  luar rumah. Selain itu, ia juga menjadi seorang pemimpin bagi keluaarga atau rumah  tangganya. Sedangkan tugas atau kewajiban bagi seorang  istri kebanyakan bersifat  domestik  atau  di dalam rumah diantaranya  mengatur dan mengurus rumah serta  merawat dan mendidik anak.  Dalam penjelasan diatas telah disebutkan bahwa  kewajiban memberikan  nafkah bagi keluarga  adalah tugas utama  seorang  suami. Kewajiban suami  memberikan nafkah berupa  sandang  dan pangan  kepada  istri adalah logis karena  berkaitan dengan pemenuhan hak  hidup  istri sebagai anggota dalam suatu  rumah  tangga. Keberadaan istri dalam relasinya  dengan suami mengantarnya  dalam relasi  ibu dengan anaknya sehingga istri memiliki status tugas ganda yaitu sebagai istri dan  ibu. Namun demikian apabila  tugas dalam sebuah rumah tangga  dibebankan  kepada suami, tentulah sangat memberatkan. Suami juga manusia yang mempunyai  kekurangan dan kelebihan. Oleh karena  itu, tugas­tugas dalam rumah tangga  hendaknya ditanggung bersama antara suami dan istri. xxiv  Allah swt menciptakan laki­laki dan wanita  masing­masing  lengkap  dengan  software dan hardware.9 Laki­laki dengan ototnya yang mempunyai kekuatan lebih  dari perempuan. Sedangkan wanita  diciptakan dengan perasaannya  yang  lemah  lembut, kegemarannya bersolek, dan lain sebagainya. Semakin hari berjalan dan bertambah, ikut pula  mempengaruhi perubahan  strata sosial, kemajuan peradaban dan IPTEK, serta permasalahan atau realita sosial  semakin kompleks ikut membawa dampak dalam kehidupan rumah tangga. Dimana  kebutuhan ekonomi keluarga  semakin  bertambah atau  semakin  banyak. Ketika  kebutuhan rumah tangga semakin kompleks, maka sebuah keluarga tidak akan cukup  jika  hanya  mengandalkan nafkah kepada suami yang  memiliki penghasilan kurang  dari cukup. Akhirnya semakin banyak pula para wanita atau istri ikut bekerja membantu  suami dalam memenuhi kebutuhan rumah tangga.  Banyak  pula  dalam sebuah  keluarga  yang  akhirnya  dalam hal ekonomi atau  nafkah keluarga  banyak  yang  ditopang oleh istri dari pada pihak suami. Fenomena  seperti  yang  telah dipaparkan sebelumnya,  dimana  istri ikut  menanggung  beban ekonomi keluarga  semakin nyata. Sehingga  pada akhirnya  perempuan atau  istri harus menerima  konsekuensi logis, tugas atau kerja  ganda  sebagai istri. Disamping  harus mengurusi suami  dan anak­anaknya, mereka  juga  harus ikut bekerja. Sudah barang tentu jika hal ini dilakukan oleh seorang istri, maka  akan berdampak pada kekuatan atau tenaganya  yang semakin terkuras, membuat ia  lemas karena perempuan diciptakan tidak sama dengan laki­laki atau suami. 9 Gymnastiar, Abdulloh, Loc. Cit., 65. xxv  Sebuah fakta atau realita sosial dimana perempuan atau para istri ikut bekerja  membantu  ekonomi keluarga  seperti halnya  seorang  laki­laki atau  suami dalam  Agama Islam diperbolehkan. Ketidakmampuan seorang suami memenuhi kewajiban  nafkah lazimnya  memaksa  istri ikut serta  melakukan tugas­tugas produktif secara  ekonomis. Ketentuan diperbolehkannya  istri ikut  membantu suami dalam mencari  nafkah sekiranya  dalam kondisi darurat. Syarat tersebut juga  disebutkan oleh para  fuqoha’. 10 Agama  Islam memang  tidak  melarang  perempuan atau  para  istri untuk  bekerja. Hanya saja persoalan tersebut juga tidak dianjurkan. Agama Islam membenarkan perempuan atau istri bekerja diluar rumah dengan  catatan dalam keadaan darurat. Darurat diartikan sebagai suatu  pekerjaan atau  keadaan yang sangat perlu, mendesak, atas dasar kebutuhan pribadi karena tidak ada yang membiayai atau yang menanggung biaya hidup (suami atau ayah) tidak mampu  untuk mencukupi.11 Ketika perempuan atau wanita ikut bekerja, juga ada syarat yang  lain  diantaranya  adanya  mahram yang  menemani, tidak  berbaur  atau  bercampur dengan laki­laki. Keterlibatan seorang istri dalam mencari nafkah atau bekerja untuk membantu  suami dalam mencukupi kehidupan runah tangga,  akan membawa  dampak  positif. Dengan istri ikut bekerja,  maka beban suami akan lebih ringan. Namun disisi lain, ada akibat negatif yang  sangat fatal apabila  tidak  dipikirkan dengan matang. Kesibukan istri bekerja  atau berkarir akan membawa konsekuensi waktunya  di  rumah akan semakin berkurang. Dengan begitu, akan berdampak  pula  dengan  persoalan yang lain. Kasih sayang terhadap anak yang berkurang, anak menjadi liar  10 Mulyati, Sri, Loc. Cit., 48. 11 Ibid., 50. xxvi  atau  bandel, nakal karena  kurang  perhatian dari orang  tua, pendidikan anak  terlantarkan. Yang  lebih  parah lagi bila  istri sibuk  dengan karirnya, maka dikhawatirkan terjerumusnya  anak­anak  kepada  hal yang  negatif karena  kurangnya  perhatian dari oarang tua seperti tindak kriminal atau narkoba.12 Hal lain yang ditakutkan adalah perceraian antara suami dan istri. Jika hal ini  benar­benar terjadi, maka tentunya dampak negatif yang ditimbulkan bagi anak akan  semakin mengkhawatirkan atau  lebih parah lagi. Dampak  tersebut wajar  terjadi  bilamana sering terjadi cekcok  atau  pertengkaran  antara suami dan istri yang tidak  mau mengalah. Padahal tujuan utama dalam sebuah pernikahan adalah membentuk  keluarga  yang  langgeng, dipenuhi dengan kasih sayang, ketenangan, suasana  nyaman, dan tidak sampai terjadi perceraian. Permasalahan perempuan yang  bekerja  atau berkarir di ranah sosial dan  ekonomi akan semakin  pelik  bilamana  harus dihadapkan pada permasalahan aurat  dan didampingi oleh mahram. Persoalan pembentukan keluarga  sakinah, juga  termasuk permasalahan yang tidak dapat dihindarkan oleh perempuan atau para istri  yang  ingin berkarir. Apapun motifasi atau  alasannya, ketika  wanita  atau  istri ikut  bekerja akan membawa dampak negatif bagi rumah tangga seperti urusan anak yang  terlantarkan, terjerumus pada hal­hal negatif, dan memungkinkan terjadinya  perceraian. Jika  semua  itu  sampai terjadi, maka akan sulit mewujudkan keluarga  yang sakinah. Melihat fenomena  yang  telah dijelaskan sebelumnya, muncul pertanyaan  bagaimana  pandangan dosen Fakultas Humaniora  dan Budaya  Universitas Islam  12 Fanani, Bahrudin, Wanita Islam Dan Gaya Hidup Modern ( Jakarta: Pustaka Hidayah, 1993), 199. xxvii  Negeri Maulana  Malik  Ibrahim Malang  tentang  keluarga sakinah serta  bagaimana  upaya yang dilakukan untuk mewujudkan sakinah dalam keluarga karir. Melihat realitas sosial yang  terjadi sebagaimana telah disebutkan, penulis merasa  tertarik  untuk  melakukan sebuah penelitian dengan judul ”UPAYA  MEWUJUDKAN KELUARGA SAKINAH DALAM KELUARGA KARIR ( Studi  pada Dosen  Wanita  Fakultas Humaniora  dan Budaya  Universitas Islam  Negeri  Maulana Malik Ibrahim Malang )”. B. Batasan Masalah Menurut  hemat penulis, obyek  penelitian  atau permasalahan yang  dibahas disini  perlu  dibatasi dan  ditegaskan agar dalam penelitiannya  bisa  lebih  fokus dan  terarah sehingga nantinya hasil yang diharapkan dari penelitian berkualitas dan jelas. Pada penelitian ini, penulis memfokuskan pada dua hal pokok permasalahan  yang  akan diteliti. Pertama  berkaitan dengan pandangan beberapa  dosen Fakultas Humaniora  dan Budaya  Universitas Islam Negeri Maulana  Malik  Ibrahim Malang  tentang  keluarga sakinah. Kedua berhubungan dengan  upaya  yang  dilakukan oleh  dosen Fakultas Humaniora  dan Budaya  Universitas Islam Negeri Maulana  Malik  Ibrahim Malang untuk mewujudkan keluarga sakinah dalam keluarga karir C. Rumusan Masalah Berdasarkan latarbelakang  masalah yang  telah diungkapkan oleh penulis, maka perlu dibuat rumusan masalah yang berhubungan dengan penelitian ini. Hal ini  dimaksudkan untuk  menjawab semua  permasalahan yang  ada. Adapun rumusan  masalah yang ada dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : xxviii  1. Bagaimana pandangan dosen wanita  yang  ada di Fakultas Humaniora dan  Budaya Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang tentang  keluarga sakinah ?  2. Bagaimana  upaya  dosen wanita  di Fakultas Humaniora  dan Budaya  Universitas Islam Negeri Maulana  Malik  Ibrahim Malang  untuk  mewujudkan keluarga sakinah dalam keluarga karir ? D. Tujuan Penelitian Sehubungan dengan permasalahan yang  diungkapkan oleh penulis didalam  latar belakang, maka tujuan dalam penelitian ini adalah:  1. Untuk  mengetahui  pandangan dosen wanita yang  ada di Fakultas Humaniora  dan Budaya Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim  Malang tentang Keluarga Sakinah. 2. Untuk mendeskripsikan upaya beberapa dosen wanita yang ada di Fakultas Humaniora  dan Budaya Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim  Malang mewujudkan keluarga sakinah dalam keluarga karir. E. Kegunaan Penelitian Manfaat yang dapat diperoleh dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :  1. Teoritis a.  Dapat menambah wawasan atau  pengetahuan  tentang  cara­cara  bagaimana mewujudkan keluarga  yang sakinah sekalipun keluarga itu, suami­istri sama­sama berkarir atau bekerja.  b. Dengan hasil yang  diperoleh dalam penelitian ini diharapkan oleh  penulis dapat memberikan kontribusi pengetahuan atau  teori bagi  Fakultas Syari’ah Jurusan al­Ahwal al­Syakhsiyyah. xxix  c.  Sebagai bahan pustaka atau referensi bagi penelitian selanjutnya.  2. Praktis a.  Dapat dijadikan bahan acuan atau rujukan bagi siapa saja  yang  ingin  menciptakan keluarga  yang  sakinah sekalipun antara  suami dan istri  sama­sama mempunyai kesibukan bekerja.  b. Sebagai sumber  pengetahuan untuk memecahkan  permasalahan dalam  sebuah rumah tangga  ketika  terjadi pertentangan atau  pertengkaran  yang  disebabkan oleh keduanya,  suami­istri yang  mempunyai  kesibukan bekerj
Untuk Mendownload Skripsi "Skripsi al-Ahwal al-Syakhshiyyah" : Upaya mewujudkan keluarga sakinah dalam keluarga karir: Studi pada beberapa dosen wanita di Fakultas Humaniora dan Budaya Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim MalangUntuk Mendownload skripsi ini silakan klik link dibawah ini


Artikel Terkait:

No comments:

Post a Comment