Abstract
INDONESIA:
Proses pengangkatan anak dalam Hukum Islam diatur dalam Pasal 49 huruf a angka 20 Undang-undang No. 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama dalam masalah pengangkatan anak bagi orang Islam. Pengangkatan anak ini menimbulkan dampak kewarisan sebagaimana diatur di dalam pasal 209 Kompilasi Hukum Islam. KHI menggunakan istilah wasiat wajibah yang besarnya 1/3 harta peninggalan orang tua angkat. Namun, dalam realitanya banyak sekali masalah yang ada ketika pembagian harta warisan tersebut dibagikan. misalnya jika harta atau hak wasiat wajibah tersebut telah terhalangi oleh suatu akta hibah otentik (pasal 1870 KUHPerdata). Tujuan dalam penelitian ini adalah: Mengetahui Implikasi legalitas akta hibah terhadap pembagian harta waris, dan mengetahui ketentuan hukum hak wasiat wajibah anak angkat terhadap harta waris yang telah ditetapkan dalam akta hibah.
Metode penelitian yang digunakan adalah jenis penelitian kepustakaan (Library reasearch) dengan bantuan pendekatan perundangundangan dan konsep. Bahan hukum yang digunakan adalah Pasal 209 KHI tentang wasiat wajibah, Pasal 1870 KUHPerdata tentang akta otentik sebagai bahan hukum primer dan didukung oleh literatur-literatur atau tulisan yang sesuai dengan tema yang dibahas. Selanjutnya data diolah dan dianalisis dengan menggunakan metode Deskriptif Analitis.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa Pembagian harta waris melalui akta hibah dinyatakan sah dan berkekuatan hukum apabila didalam harta tersebut tidak terdapat hak ahli waris yang lain. Apabila di dalam akta hibah tersebut terdapat hak ahli waris lainya maka berdasarkan Yurisprudensi Mahkamah Agung RI No. 391. K./Sip/1969, No. 2002. K/Pdt/1986, tanggal 11 Juni 1990, dan No. 1182. K/Pdt/1988, tanggal 22 Desember 1994, akta hibah tersebut di anggap batal demi hukum. Anak angkat dapat memperoleh hak wasiat wajibah apabila pengangkatannya melalui penetapan Pengadilan Agama, yang di dalamnya terdapat ikrar dan akad wasiat wajibah. Selain itu ada faktor lain yang mempengaruhi seperti faktor sosial, yaitu kewajiban timbal balik anak angkat terhadap orang tuanya yang selama ini membesarkan dan mendidik anak angkat mulai dari kecil sampai besar hingga terjalin sebuah kasih sayang yang sangat mendalam antara orang tua angkat dengan anak angkat. Apabila beberapa faktor diatas telah terpenuhi maka hak wasiat wajibah ini tidak dapat dihalangi oleh akta hibah.
ENGLISH:
The process of adoption in Islam is set in the section 49, letter a, numeralm 20 in the law number 3, 2006 about Religion Court in adoption for moslem issue. This adoption creates heritance effect as it is set in section 209 Islamic Law Compilation (ILC/KHI). ILC uses term compulsory testament which takes account 1/3 of inheritance from adoptive parent. But, in reality there are a lot of problem appears when the inheritance is distributed. For example, if the asses or compulsory testament are prevented by an authentic deed of donation (section 1870 civil code). The aim of this research is to find out the implication of legality of deed of donation to the distribution of heritance, and to find out certain law of the right of compulsory testament of an adoptive child to the heritance set in deed of donation.
The research method used is the type of library research with the aid of legislation and the concept of the approach. Materials used are legal KHI Article 209, Article 1870 Civil Code as the primary legal materials and supported by the literature or writings in accordance with the themes discussed. Furthermore, the data were processed and analyzed using descriptive analytical method.
The findings show that the distribution of heritance trough donation is stated legally and has power of law if there is no other heir in the deed of donation. if there is other heir in the deed of donation; so, according to Supreme Court Yurisprudence of RI No. 391. K/Sip/1969, No. 2002.K/Pdt/1986, 11th June, 1990, and No. 1182. K/Pdt/1988 , 22nd December 1994, the deed of donation is considered canceled for the law. An adoptive child can achieve the right of compulsory testament if the process of adoption is through Religion court, which inside it there are compulsory testament promise and settlement. Besides, there is another factor influencing, for example social factor, which is interchange duty of the adoptive child to his parents who has already grown and taught him since his early age until he grows older. And love has already exist deeply between them. if some of the factors above have already been fulfill; so, the right of the compulsory testament cannot be rejected by the deed of donation.
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Keinginan suatu keluarga khususnya suami istri
untuk mendapatkan buah hati adalah keinginan yang sejalan dengan fitrah
kemanusiaan sebagai bapak atau ibu, tidak ada penghalang dari sisi syar'i bagi
keduanya untuk berikhtiar dalam batas-batas kaidah syariat yang suci, namun
terkadang ikhtiar mereka berdua belum juga membuahkan hasil, upaya keras mereka
dibayangi aroma kegagalan, padahal harapan hati akan buah hati sudah sedemikian
menggebu, akhirnya muncul pemikiran untuk menempuh jalan mengadopsi anak,
mengangkat anak yang tidak lahir dari rahim sendiri sebagai anak dan hidup
dalam keluarga tersebut. Dengan mengangkat anak dalam suatu keluarga diharapkan
supaya ada yang memelihara di hari tua, untuk mengurusi harta kekayaan
sekaligus menjadi 2 generasi penerusnya. Mengangkat anak merupakan suatu
perbuatan hukum, oleh kerena itu perbuatan tersebut mempunyai akibat hukum.
Salah satu akibat hukum dari peristiwa pengangkatan anak adalah mengenai status
anak angkat tersebut sebagai ahli waris orang tua angkatnya. Status demikian
inilah yang sering menimbulkan permasalahan di dalam keluarga.
Persoalan yang sering muncul dalam
peristiwa gugat menggugat itu biasanya mengenai sah atau tidaknya pengangkatan
anak tersebut, serta kedudukan anak angkat itu sebagai ahli waris dari orang
tua angkatnya. Pengangkatan anak sudah dikenal dan berkembang sebelum kerasulan
Nabi Muhammad SAW. Tradisi pengangkatan anak sebenarnya jauh sebelum Islam
datang telah dikenal oleh manusia, seperti pada bangsa Yunani, Romawi, India,
Bangsa Arab sebelum Islam (jahiliah). Imam al-Qurtubi (ahli tafsir klasik)
menyatakan bahwa sebelum kenabian, Rasulullah SAW pernah mengangkat Zaid bin
Haritsah menjadi anaknya, bahkan beliau tidak lagi memanggilnya berdasarkan
nama ayahnya (Haritsah), tetapi ditukar oleh Rasulullah menjadi nama Zaid bin
Muhammad. Rasulullah juga mengumumkan pengangkatan Zaid sebagai anak angkatnya
di depan kaum Quraisy dan menyatakan bahwa dirinya dan Zaid saling mewarisi.1
Kutaibah bin Sa’id menceritakan dalam sebuah riwayat: ْب
ُن َس ِعٍٍد تٍَْبَةُ َع ْن ُ قبَةَ ِن ُعْ ِر ُّي َع ْن ُمو َسى ْب لقَا ْ حّدثنا
ق . َحَّدثَنَا ٌَ ْعقُو ُب ْب ُن َعْبِد ال َّر ْحم ِن ا َّيُ َ ا َا ٌَقُو ُو َ ٍ
ِي ِ ب َ ِن َعْبِد ّ ِ َع ْن َزٌْ َد ْب َسالِِ : َن ْب ِالَّ ِرثَةَ إ ا َ ْد
ُعو َزٌْ َد ْب َن َحا َما ُ نَّ ِا ْر ُم َ َّمٍد. قُ ْ َّى َ َس َو ًِ ال َد ّ َحت : } ِ
ِعنْ ُ َ قْ َ َو ا ْا ُعووُ { ْ َِبَااِ ِ ْ وُ Artinya 1 Abdul Aziz
Dahlan (et. al.), Eksiklopedi Hukum Islam (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve,
1996). Jilid 1, 27 3 “Kami tidak memanggil (Zaid Bin Haritsah) melainkan kami
penggil Zaid bin Muhammad, sehingga turun ayat Al-Qur’an “Panggillah mereka
dengan nama ayah kandung mereka. Itulah yang lebih adil di sisi Allah.2 Hal ini
terus berlanjut sampai beliau di angkat menjadi Rasul. Setelah Nabi diangkat
sebagai Rasul, maka turunlah firman Allah surah al-Ahzab (33) ayat 4-5 yang
berbunyi:
? Artinya: “Allah sekali-kali tidak menjadikan bagi seseorang dua
buah hati dalam rongganya; dan dia tidak menjadikan istri-istrimu yang kamu
zhihar itu sebagai ibumu, dan dia tidak menjadikan anak-anak angkatmu sebagai
anak kandungmu (sendiri). yang demikian itu hanyalah perkataanmu dimulutmu
saja. dan Allah mengatakan yang Sebenarnya dan dia menunjukkan jalan (yang
benar). Panggilah mereka (anak-anak angkat itu) dengan (memakai) nama
bapak-bapak mereka; Itulah yang lebih adil pada sisi Allah, dan jika kamu tidak
mengetahui bapak-bapak mereka, Maka (panggilah mereka sebagai) saudara-saudaramu
seagama dan maula-maulamu. dan tidak ada dosa atasmu terhadap apa yang kamu
khilaf padanya, tetapi (yang ada dosanya) apa yang disengaja oleh hatimu. dan
adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”
Berdasarkan kedua ayat ini, jumhur
ulama menyatakan bahwa hubungan antara ayah/ibu angkat dan anak angkatnya tidak
lebih dari hubungan kasih sayang. Hubungan ayah dan ibu angkat dan akan angkat
tidak memberikan akibat hukum yang berkaitan dengan warisan, nasab, dan tidak
saling mengharamkan perkawinan. Dengan demikian, pe-nasab-an Zaid bin Haritsah
menjadi Zaid bin Muhammad dibantah oleh ayat tersebut.4 Dalam perkembangan
hukum di Indonesia proses pengangkatan anak diatur Berdasarkan surat Edaran
Mahkamah Agung tanggal 7 April 1979 No.2 Tahun 1979 tentang Pengangkatan Anak
dikatakan antara lain bahwa; “Pengesahan Pengangkatan Anak Warga Negara
Indonesia hanya dapat dilakukan dengan suatu penetapan di Pengadilan Negeri,
dan tidak dibenarkan apabila pengangkatan anak tersebut dilakukan dengan akta
yang dilegalisir oleh Pengadilan Negeri”.5 Dengan demikian, setiap kasus
pengangkatan anak harus melalui Penetapan Pengadilan Negeri. Dalam
Undang-undang No. 3 Tahun 2006 menyebutkan ada penambahan dalam wewenang
Pengadilan Agama tentang penetapan pengangkatan anak berdasarkan hukum Islam.6
Hilman Hadikusuma menegaskan bahwa anak angkat adalah anak orang lain yang
dianggap anak sendiri oleh orang tua angkat dengan resmi menurut hukum adat
setempat, dikarenakan bertujuan untuk kelangsungan keturunan dan atau
pemeliharaan atas harta kekayaan rumah tangga.
Menurut Hukum Islam, anak angkat tidak dapat
diakui untuk bisa dijadikan dasar dan sebab mewarisi, karena prinsip pokok
dalam kewarisan Islam adalah hubungan darah atau nasab / keturunan.8 kata lain
bahwa peristiwa pegangkatan anak menurut hukum kewarisan Islam, tidak membawa
pengaruh hukum terhadap status anak angkat, yakni bila bukan merupakan anak
sendiri, tidak dapat mewarisi dari orang yang setelah mengangkat anak tersebut.
Hal ini, tentunya akan menimbulkan masalah dikemudian hari apabila dalam hal
warisan tersebut tidak dipahami oleh anak angkat, dikarenakan menurut hukum
Islam, anak angkat tidak berhak mendapatkan pembagian harta warisan dari orang
tua angkatnya, maka sebagai solusinya menurut Kompilasi Hukum Islam adalah dengan
jalan pemberian “Wasiat Wajibah” sebanyak-banyaknya 1/3 (sepertiga) harta
warisan orang tua angkatnya. Sebagaimana telah diatur di dalam Kompilasi Hukum
Islam pasal 209 ayat 2 yang berbunyi : “Terhadap anak angkat yang tidak
menerima wasiat maka diberi wasiat wajibah sebanyak banyaknya 1/3 dari harta
warisan orang tua angkatnya”.9 Pengertian Dalam pasal ini mengandung makna
bahwa anak angkat harus dan tetap mendapatkan wasiat wajibah dari orang tua
angkatnya sebagai pengganti warisan dalam menjaga keseimbangan hak dalam
keluarga. Jadi, dalam hal ini anak angkat tetap mempunyai hak untuk mendapatkan
harta waris dari orang tua angkatnya akan tetapi bukan dalam bentuk warisan
melainkan dalam bentuk Wasiat Wajibah sebagaimana yang telah dijelaskan dalam
Kompilasi 8 Hilman Hadikusuma, op
Hukum Islam Pasal 209 di atas
sebagai wujud keadilan antara sesama anggota keluarga.10 Akan tetapi bagaimana
jika ketetapan Akta Hibah sebagai penghalang bagi seorang anak angkat untuk
mendapatkan hak wasiat wajibah dari orang tua angkatnya. Sebagaimana fenomena
yang terjadi pada salah satu keluarga yang berada pada masyarakat Singosari.
Ini menjadi kasus yang menarik untuk penulis teliti berkaitan dengan
bagaimanakah pembagian hak wasiat wajibah dalam waris anak angkat sedangkan
harta tersebut telah dihibahkan kepada saudara angkatnya dengan bukti ketetapan
dalam Akta Hibah, yang belum kita ketahui bagaimana kekuatan hukum dari Akta
Hibah itu sendiri.Tepatnya di daerah Jl. Rogonoto 11 Kec. Singosari Kab.
Malang, Semua ini berawal dari seorang Bapak A yang hidup sebatangkara tanpa
seorang istri dan tidak mempunyai anak akan tetapi mempunyai harta dan
menariknya disini si Bapak ini tidak mempunyai ahli waris satupun, kemudian
Bapak ini mengangkat dua orang anak yaitu B (Perempuan) dan C (Laki-laki),
berselang beberapa waktu kemudian Bapak A menghibahkan sebuah tanah kepada
kedua anak angkatnya tersebut. Di kemudian hari dengan bertambahnya umur kedua
anaknya tersebut, si Bapak ini ingin menjodohkan anaknya tersebut dengan orang
pilihan si Bapak tersebut, namun hanya Anak C tidak mau dijodohkan oleh si
Bapak tersebut, karena tidak mau dijodohkan oleh Si Babak, kemudian Anak C lari
dari rumah meninggalkan rumah ke Jakarta dan tidak pernah pulang ke rumah bapak
angkatnya lagi. Kemudian karena sakit hatinya dan tidak sukanya si Bapak
terhadap anaknya yang pergi dari rumah 10 A. Sukris Sarmadi, Transedensi
Keadilan Hukum Waris Islam Transformatif, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,
1997), 254. 7 tersebut maka tanah yang dihibahkan kepada Anak C itu di tarik
kembali oleh si Bapak tersebut dan diberikan kepada Anak B dengan Bukti
tertulis ketetapan Akta Hibah. Setelah lima bulan kemudian, si Bapak ini meninggal
dunia. Akhirnya penarikan hibah yang sudah diberikan kepada anak C tersebut
yang dilakukan oleh si Bapak ini terdengar di telinga Anak C. Dari itu,
kemudian Anak C ini ingin menuntut haknya kembali yang semestinya menjadi
miliknya meskipun hak hibah tersebut telah ditarik kembali oleh si Bapak, hak
tuntutan itu seperti hak wasiat wajibah bagi Anak Angkat yaitu sepertiga dari
harta waris yang telah dihibahkan semua kepada Anak B tersebut.11 Berkaitan
dengan harta waris yang sudah ditetapkan dalam Akta Hibah yang terdapat dalam
suatu fenomena yang terjadi di atas, merupakan sebuah bukti tertulis dalam
berperkara di Pengadilan Agama. Dalam Hukum Acara Perdata alat bukti yang sah
atau yang diakui oleh hukum berdasarkan pasal 1866 KUHPerdata terdiri dari ;12
a. Bukti tertulis; b. Bukti dengan saksi-saksi; c. Persangkaan-persangkaan: d.
Pengakuan; e. Sumpah-sumpah. Pembuktian dengan tulisan dilakukan dengan
tulisan-tulisan otentik maupun dengan tulisan-tulisan dibawah tangan, ketentuan
ini berdasarkan padsal 1867, sedangkan akta otentik terdapat pada pasal 1868
sebagai berikut:13 11 Wawancara dengan Ibu LH adik dari Anak B, pada tangga11
Februari 2011. 12 R. Subekti, Kitab Undang-undang Hukum Perdata, (Jakarta:
Pustaka Saint dan Teknologi, 2008), 475. 13 R. Subekti, Op, cit, hlm. 475. 8
“Suatu akta otentik ialah suatu akta yang dibuat dalam bentuk yang ditentukan
undang-undang oleh atau dihadapan pejabat umum yang berwenang untuk itu di
tempat akta itu dibuat.” Pasal 165 HIR sebagai berikut:14 “Suatu akta otentik
ialah suatu akta yang telah dibuat oleh atau di hadapan pejabat umum yang
berwenang untuk itu, memberikan di antara para pihak dan sekalian ahli warisnya
serta semua orang yang memperoleh hak dari mereka, suatu bukti yang sempurna
tentang apa yang di terangkan di dalamnya, bahkan juga tentang apa yang termuat
disitu sebagai suatu penuturan belaka namun mengenai yang terakhir ini hanyalah
sekedar yang dituturkan itu ada hubungannya langsung dengan isi pokok akta.”
Pasal 285 RBG yang berbunyi:15 “Akta otentik adalah akta yang sedemikian rupa
dibuat dalam bentuk yang ditetapkan dalam perundang-undangan oleh atau di
hadapan pejabatpejabat umum yang berwenang di tempat pembuatan surat itu,
menghasilkan pembuktian yang lengkap tentang segala sesuatu yang tercantum di
dalamnya bahkan mengenai segala sesuatu yang secara gamblang dipaparkan di
dalamnya bagi pihak-pihak dan ahli waris serta mereka yang mendapat hak dari
padanya, sepanjang apa yang di paparkan itu mempunyai hubungan yang langsung
dengan masalah pokok yang diatur dalam akta tersebut.” Akta yang merupakan alat
bukti tulisan atau surat juga disebut sebagai alat pembuktian yang utama dan
pertama sekali. Dengan demikian, maka akta sebagai alat bukti persidangan
mempunyai kedudukan yang sangat penting. Menurut bentuknya akta dapat dibagi
menjadi akta otentik dan akta di bawah tangan. Akta otentik adalah akta yang
dibuat oleh pejabat yang diberi wewenang untuk itu oleh penguasa, menurut
ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan, baik dengan maupun tanpa bantuan
dari yang berkepentingan. Akta di bawah tangan ialah akta yang sengaja dibuat
untuk pembuktian oleh para pihak tanpa bantuan dari seorang pejabat. Dalam
versi lainnya dapat dikatakan bahwa Akta otentik adalah akta yang 14 Hari
Sasangka, Perbandingan HIR dengan RBG disertai dengan Yurisprudensi MARI dan
Kompilasi Peraturan Hukum Acara Perdata, (Bandung:Mandar Maju, 2005), hlm. 99
15 Hari Sasangka,Op, cit, hlm. 100 9 dibuat dan dipersiapkan oleh atau pejabat
resmi lainnya (misalnya Camat selaku Pejabat Pembuat Akta Tanah) untuk
kepentingan pihak-pihak dalam kontrak. 16 Akta sebagai akta otentik menurut
pasal 1870 KUH Perdata dan pasal 165 HIR (285 Rbg) mempunyai kekuatan
pembuktian mutlak dan mengikat, apa yang disebutkan dalam akta merupakan bukti
yang sempurna sehingga tidak perlu lagi dibuktikan dengan pembuktian lain
selama ketidakbenarannya tidak dapat dibuktikan. Maka dari uraian latar
belakang di atas peneliti tertarik untuk mengangkat sebagai penelitian Skripsi
dengan perumusan judul; “IMPLIKASI LEGALITAS AKTA HIBAH TERHADAP HAK ANAK
ANGKAT MENDAPATKAN WASIAT WAJIBAH DALAM HARTA WARISAN”. Dalam penelitian ini
peneliti ingin menganalisis bagaimana ketentuan hak wasiat wajibah dalam waris
yang akan didapat oleh seorang anak angkat dari orang tua angkatnya ketika
harta waris itu sudah ditetapkan dalam Akta Hibah sebagai akta yang otentik. B.
Batasan Masalah Dalam penelitian ini agar pembahasannya mudah dipahami dan
tidak terlalu meluas, maka perlu diberikan batasan yang nantinya juga bisa
memudahkan dalam melakukan penelitian ini. Karena kalau dilihat dari pembahasan
ini ada beberapa yang menjadi pembahasan hukum umum seperti kekuatan hukum
Akta. Oleh karena itu batasan ini hanya meliputi ketentuan hak wasiat wajibah
dalam waris bagi anak angkat terhadap orang tua angkatnya, yang mana harta
waris tersebut telah ditetapkan dalam Akta Hibah sebagai akta Otentik.
B.
Rumusan
Masalah
Dari paparan dalam latar belakang masalah
tersebut diatas, dirumuskan pokok masalahnya yakni sebagai berikut : 1.
Bagaimana implikasi legalitas Akta Hibah di dalam pembagian harta waris? 2.
Bagaimana Ketentuan Hukum hak wasiat wajibah Anak Angkat terhadap harta warisan
yang sudah ditetapkan dalam Akta Hibah?
D. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan dalam penelitian ini adalah
sebagai berikut: 1. Untuk mengetahui implikasi legalitas Akta Hibah di dalam
pembagian harta waris. 2. Untuk mengetahui ketentuan hukum hak wasiat wajibah
Anak Angkat terhadap harta warisan yang sudah ditetapkan dalam Akta Hibah.
E. Manfaat Penelitian
Dalam penelitian ini diharuskan
memiliki manfaat penelitian secara praktis serta teoritis, adapun kegunaan
penelitian ini sebagai berikut: 1. Secara praktis dapat dijadikan bahan
referensi bagi masyarakat pada umumnya dan Hakim Pengadilan Agama pada
khususnya dalam kaitannya dengan kewenangan Pengadilan Agama dalam Hukum
Kewarisan. Dan dapat dijadikan salah satu bahan kajian bagi peneliti berikutnya
yang lebih mendalam untuk memperkaya dan membandingkan temuan-temuan dalam
permasalahan yang berkaitan dengan wasiat wajibah anak angkat. 11 2. Secara
teoritis, dapat menjadi sumbangsih khasanah keilmuan dan kepustakaan bagi
mahasiswa yang mendalami hukum yang berkaitan dengan hukum kewarisan Islam
khususnya pada hak wasiat wajibah bagi anak angkat. F. Definisi Operasional
Untuk lebih mudahnya memahami pembahasan dalam penelitian ini, peneliti akan
menjelaskan beberapa kata pokok yang sangat erat kaitannya dengan penelitian
ini. Di antaranya adalah: Akta Suatu surat yang diperbuat demikian oleh atau
dihadapan pegawai umum yang berkuasa untuk membuatnya, menjadi bukti yang cukup
bagi kedua belah pihak dan ahli warisnya dan sekalian orang yang mendapat hak
dari padanya.17 Yang dimaksud dalam akta di sini adalah Akta Hibah harta waris.
Hibah Suatu perjanjian dengan mana si penghibah, di waktu hidupnya, dengan
cuma-cuma dan dengan tidak dapat ditarik kembali, menyerahkan suatu benda guna
keperluan si penerima hibah yang menerima penyerahan ini. Undangundang tidak
mengakui lain- lain hibah selain hibah-hibah di antara orang-orang yang masih
hidup.18 Yang dimaksud dengan hibah dalam masalah ini adalah akta hibah. Anak
Angkat Anak kandung orang lain yang diambil (dijadikan) anak oleh 17 Rapaun
Rambe, Hukum Acara Perdata Lengkap, (Jakarta, Sinar Grafika, 2004), 255. 18
Tjitrosudibio, R, dan R. Subekti Kitab Undang-undang Hukum Perdata (Cet. 34;
Jakarta: Pradnya Paramita, 2004), 436. 12 seseorang. Pengangkatan anak orang
lain oleh seseorang yang menjadikan anak adopsi (anak angkat) itu berstatus
sebagai anak kandung bagi pengangkat, baik dalam lingkungan Hukum Adat maupun
dalam lingkungan Hukum Perdata berdasarkan undang-undang.19 Anak angkat yang
dimaksud di sini adalah anak kandung orang lain yang diangkat oleh saudara
angkatnya atau orang lain. Warisan Kata waris berasal dari bahasa arab miras
dan bentuk jamaknya adalah mawaris yang berarti harta peninggalan orang
meninggal yang akan dibagikan kepada ahli warisnya.20 Maksud dari harta waris
disini adalah harta peninggalan yang ditinggalkan oleh orang tua angkat yang
telah di hibahkan kepada salah satu anaknya. Wasiat Wajibah Wasiat yang
pelaksanaannya tidak dipengaruhi atau tidak terkait terhadap kehendak atau
keinginan si yang meninggal dunia. Wasiat ini tetap harus dilaksanakan baik
diucapkan atau tidak, baik dikehendaki atau tidak oleh si yang meninggal dunia
dalam pelaksanaannya didasarkan kepada alasan-alasan yang membenarkan bahwa
wasiat tersebut harus dilaksanakan.21 Wasiat wajibah disini adalah suatu hak
yang 19 A. Rachmad Budiono, Pembaharuan Hukum Kewarisan Islam Di Indonesia,
(Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1999), 187. 20 Dian Khairul Umam, Fiqih
Mawaris untuk IAIN, STAIN dan PTAIS, (Bandung: Pustaka Setia, 2000), 11. 21
Suparman Usman, Fikih Mawaris, (Jakarta:Gaya Media Pratama, 2002), 163. 13
dimiliki oleh anak angkat dari harta warisan peninggalan ayah angkat yang telah
berbentuk Akta hibah. G. Sistematika Pembahasan Agar pembahasan dalam
penelitian ini mudah dipahami, maka peneliti merasa perlu membatasi pembahasan
ini sebagai berikut: BAB I : PENDAHULUAN, yaitu gambaran umum yang memuat latar
belakang masalah dan kegelisahan akademik penulis sebagai penjelasan tentang
timbulnya ide dan dasar pijakan penulisan ini, Batasan Masalah, Rumusan
masalah, Tujuan penelitian, Kegunaan penelitian, Definisi Operasional BAB II :
KAJIAN PUSTAKA, Berisi tentang penelitian terdahulu, Metode penelitian yang
berbentuk metode-metode penelitian ilmiah dengan langkah-langkah tertentu mulai
dari pengumpulan data sampai menarik kesimpulan terhadap data-data yang sudah
ada, Penelitian terdahulu digunakan untuk mengetahui rumah kajian dalam
pembahasan ini; dan sistematika penulisan.dan tinjauan umum tentang konsep Akta
Otentik, yang meliputi: pengertian Akta otentik, Macam-macam Akta, dan kekuatan
hukum Akta Otentik. Kemudian konsep tentang Hibah: meliputi pengertian hibah,
rukun dan syarat hibah penarikan atau pembatalan hibah, waris: yang meliputi
pengertian dan dasar hukum waris, rukun dan syarat waris, sebab-sebab menerima
waris, sebab-sebab halangan waris, dan konsep tentang anak angkat, dari
pengertian anak angkat, sejarah anak angkat dalam Islam, Dasar dan proses
pengangkatan anak. 14 Kemudian penjelasan umum tentang wasiat wajibah yang
meliputi tentang sejarah wasiat wajibah, kemudian wasiat wajibah menurut
Kompilasi Hukum Islam yang nantinya menjadi bahan diskusi dalam analisis pada
bab ketiga. BAB III : METODE PENELITIAN, meliputi jenis penelitian, pendekatan
yang digunakan dalam Penelitian, sumber-sumber data yang digunakan, teknik
pengumpulan data, analisa data, dan terakhir adalah menguji keabsahan data. BAB
IV : ANALISIS DATA, Berisi tentang analisis deskriptif terhadap kekuatan hukum
Akta Hibah yang berimplikasi terhadap hak wasiat wajibah dalam waris anak
angkat serta ketentuan hak wasiat wajibah dalam waris anak angkat yang
terhalang oleh akta hibah. Sekaligus menjawab terhadap rumusan masalah di atas
sehingga dapat diambil hikmah dan manfaatnya. BAB V : PENUTUP, Merupakan bab
terakhir atau penutup dari penyusunan penelitian ini, yang berisi tentang
kesimpulan dan saran dari hasil pembahasan ini.
No comments:
Post a Comment