Abstract
INDONESIA:
Mediasi adalah cara penyelesaian sengketa melalui proses perundingan untuk memperoleh kesepakatan para pihak dengan dibantu oleh mediator. Mediasi bagi para pihak yang berperkara dalam perceraian merupakan tahapan pertama yang harus dilakukan seorang mediator dalam menyelesaikan suatu perkara yang diajukan ke Pengadilan Agama.Usaha mendamaikan juga dilakukan oleh tokoh agama dalam menyelesaikan perkara perceraian. Berdasarkan hal tersebut penelitian ini bertujuan untuk mengetahui: 1) proses mediasi yang dilakukan oleh hakim mediator dan tokoh agama. 2) efektifitas mediasi yang dilakukan oleh hakim mediator dan tokoh agama.
Peneliti menggunakan jenis penelitian empiris, dengan pendekatan deskriptif kualitatif.Pengumpulan data dengan wawancara dan dokumentasi sebagai bahan analisis terhadap hasil wawancara.Peneliti menggunakan wawancara sebagai data primer, dan sumber data sekunder berupa bahan publikasi literatur, buku-buku bacaan yang relevan dengan pokok pembahasan, kemudian dianalisis sampai pada kesimpulan.
Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwasanya proses mediasi yang dilakukan oleh hakim mediator dan tokoh agama melalui beberapa tahapan, yakni pramediasi, pelaksanaan mediasi, dan akhir mediasi. Proses mediasi antara keduanya tidak jauh berbeda sama-sama melalui tahapan pramediasi, proses pelaksanaan mediasi dan tahap akhir mediasi. Perbedaanya terletak pada para pihak yakni jika mediasi itu dilakukan oleh seorang kyai sebagai mediator, pada umumnya, para pihaklah yang datang secara sukarela untuk dibantu memecahkan permasalahannya.Tetapi jika mediasi dilakukan oleh seorang hakim sebagai mediator merupakan keharusan yang harus dilalui oleh para pihak sebagai salah satu tahapan dari persidangan.Tokoh agama yang berperan sebagai mediator lebih banyak mendamaikan para pihak yang bersengketa karena beberapa faktor, salah satunya yakni masalah yang terjadi antara kedua para pihak itu masih dikatakan dalam kategori masalah yang wajar dan nasehat seorang kyai lebih dapat diterima oleh para pihak karena karisma dan ketaatan para pihak kepada kyai tersebut. Sedangkan mediasi oleh hakim mediator kurang efektif karena banyaknya perkara yang di mediasi dan perkara tersebut sudah terdaftar di Pengadilan Agama, selain itu tingkat masalahnya sudah kritis.
ENGLISH:
ENGLISH:
Mediation is a way of resolving disputes through negotiation process to obtain the agreement of the parties with the assistance of a mediator. Mediation for the litigants in divorce is the first stage to do a mediator in resolving a case submitted to the Court of religion. Reconcile effort also made by religious leaders in resolving a divorce case. Based on this study aims to determine: 1) the mediation process conducted by judges mediators and religious leaders. 2) the effectiveness of mediation conducted by a judge mediators and religious leaders.
Researchers used type of empirical research, with qualitative descriptive approach. Data collection with interviews and documentation as material analysis of the interviews. Researchers used interviews as the primary data and secondary data sources in the form of publicity materials literature, reading books that are relevant to the subject matter, then analyzed to the conclusion.
Results from this study indicate that the mediation process conducted by judges mediators and religious leaders through several stages, namely pramediasi, the implementation of mediation, and the end of the mediation. The mediation process is not much different between the two equally through the stages pramediasi, the process of implementation of the final phase of mediation and mediation. The difference lies in the parties that if the mediation was conducted by the clerics as mediator, in general, would assume who came voluntarily to help solve the problem. But if mediation conducted by a judge as a mediator is a necessity that must be passed by the parties as one of the stages of the trial. Religious leaders who act as mediators more reconcile the conflicting parties due to several factors, one of the problems that occur between the two parties were still said to be in the category of reasonable issues and advise the clerics more acceptable to the parties because of the charisma and obedience parties to the clerics. While mediation by a judge mediator is less effective because of the many cases in mediation and the case is already registered in the Religious, in addition to the level of the problem is already critical.
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Dalam kehidupan manusia tidak akan terlepas
dari konflik atau perselisihan, baik dalam kehidupan bermasyarakat, maupun
dalam keluarga. Demikian juga perselisihan akan terjadi dalam kehidupan berumah
tangga yang telah dipersatukan dalam ikatan pernikahan. Perselisihan ini
terjadi karena suami istri memiliki cara pandang yang berbeda dalam menjalani
kehidupan rumah tangga, baik dalam berkomunikasi ataupun dalam menyikapi suatu
permasalahan. 2 Adapun faktor yang menyebabkan perbedaan cara berfikir serta
sudut pandang diantara suami istri adalah pendidikan, pengalaman hidup, latar
belakang keluarga, jenis kelamin dan masih banyak yang lainnya. Dalam Islam
telah disebutkan bahwa pernikahan bagi umat manusia hendaknya menjadi ikatan
yang sakinah, mawaddah, wa rohmah. Hal tersebut akan terwujud dengan adanya
persiapan yang matang. Perselisihan dan persengketaan dalam rumah tangga
bukanlah sebuah penghalang seseorang untuk mewujudkan keharmonisan dalam rumah
tangga, karena pada dasarnya setiap permasalahan ada jalan keluar dan cara
untuk menyelesaikannya. Dalam hubungan pernikahan yang harmonis, perselisihan
akan selalu diselesaikan dengan cara yang baik dan tidak merusak, yaitu dengan
cara membangun komunikasi yang baik, serta lebih mengedepankan kebaikan bersama
daripada sikap egois untuk memenangkan pendapat sendiri. Meskipun pasangan yang
sudah menikah tidak menutup kemungkinan masih memiliki perbedaan pendapat yang
mengakibatkan munculnya masalah dalam rumah tangga yang dibina. Namun dengan
bergantinya waktu banyak juga pasangan suami istri yang belajar untuk mengatasi
perselisihan dengan cara yang terkendali dan saling menghargai, dan ada juga
pasangan yang mengalami masa-masa dimana mereka menyalahgunakan kata-kata
sebagai senjata ditengah-tengah konfliknya, seperti kata “cerai” menjadi sebuah
solusi yang terucap. Untuk mencapai proses perceraian tidaklah semudah yang kita
bayangkan, harus menjalani proses litigasi. Sebelum perceraian itu masuk pada
ranah pengadilan, harus ada upaya 3 pendamaian terlebih dahulu, dan itu sudah
tercantum dalam Pasal 2 PERMA bahwasanya semua perkara perdata wajib
diselesaikan dengan melalui mediator. Dalam proses berperkara di Pengadilan
Agama istilah perdamaian lebih dikenal dengan mediasi yang berarti penyelesaian
sengketa melalui proses perundingan para pihak dengan dibantu oleh mediator.1
Peraturan peradilan tentang harus adanya mediasi di pengadilan termuat dalam
Peraturan Mahkamah Agung RI No. 1 Tahun 2008 (PERMA No. 1 Th. 2008) tentang
Prosedur Mediasi di Pengadilan yang merupakan hasil revisi dari Peraturan
Mahkamah Agung No. 2 Tahun 2003 (PERMA No. 2 Th. 2003). Secara garis besar PERMA
tersebut berisi tentang semua perkara perdata wajib diselesaikan dengan melalui
mediator. Dengan cara menunjuk mediator Pengadilan Agama yang bersertifikat
Mahkamah Agung untuk menjadi pihak ketiga yang netral dan dipercaya dapat
menyelesaikan perselisihan yang terjadi. Hal ini juga sejalan dengan anjuran
Islam, yakni bila ada orang yang berselisih maka wajib menunjuk perantara dari
masing-masing keluarga suami istri untuk melakukan upaya perdamaian. Bentuk
perdamaian antara suami isteri yang sedang berselisih terdapat dalam Al-Qur’an
surat Al- Nisa’ ayat 35. Ayat ini lebih dekat dengan pengertian dan konsep
mediasi yang ada dalam PERMA Nomor 1 Tahun 2008 Tentang Prosedur Mediasi di
Pengadilan. ْن ِ َو ْ إ ِهَم ِشقَ ا ِخ ا َق ْفتُم بَ
ْينِ ىا فَاْب َح َكًما ِم ْه ْهِل ِه َعثُ َ َه ِم ا ْه َو َح أ َكًما ْهِل أ ْن
َ ِ ِر إ يدَا ِ يُ ْصال ًحا ِك إ ّ َىفِ يُ ا َّللُ ِ بَ ْيَن َن ُهَما َ إ ا
َّلل َكا َن َعِلي ًما ي ًرا َخب )٥٣ِ
) 1 Pasal 1 ayat (6) Peraturan Mahkamah Agung Nomor 02 Tahun 2003 Tentang
Prosedur Mediasi di Pengadilan 4 dan jika kamu khawatirkan ada persengketaan
antara keduanya, Maka kirimlah seorang hakam2 dari keluarga laki-laki dan
seorang hakam dari keluarga perempuan. jika kedua orang hakam itu bermaksud
Mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada suami-isteri itu.
Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.(Q.S. An Nisa’ 35) Ayat
ini menjelaskan bahwa jika ada syiqaq/persengketaan antara suami isteri, maka
Hakim mengutus 2 (dua) orang hakam/juru damai. Kedua hakam tersebut bertugas
untuk mempelajari sebab-sebab persengketaan dan mencari jalan keluar terbaik
bagi mereka, apakah bai bagi mereka perdamaian ataupun mengakhiri perkawinan
mereka. Mediator sendiri sebenarnya ada 2 yakni mediator litigasi (pengadilan)
nonlitigasi (non pengadilan). Mediator litigasi adalah para mediator atau hakim
mediator yang bekerja di Pengadilan Agama yang tentunya memiliki sertifikat
resmi dari Mahkamah Agung, sedangkan Mediator nonlitigasi adalah orang-orang
yang dianggap memiliki karismatik dalam dirinya, seperti tokoh agama, pengasuh
pondok pesantren, ketua adat, dan sebagainya, yang melakukan upaya mediasi di
masyarakat. Pada dasarnya seorang hakim Pengadilan Agama selain menjadi hakim
dalam persidangan, beliau juga berperan sebagai mediator dalam Pengadilan Agama
tersebut, yang biasa disebut dengan hakim mediator. Pengertian dari mediator
sendiri yakni pihak netral yang membantu para pihak dalam proses perundingan
guna mencari berbagai kemungkinan penyelesaian sengketa tanpa menggunakan cara
memutus atau memaksakan sebuah penyelesaian. 3 Mediator disini sebagai pihak
ketiga yang turut membantu penyelesaian sengketa. Beliau 2 Hakam ialah juru
pendamaian 3 Pasal 1 ayat (6) Peraturan Mahkamah Agung Nomor 01 Tahun 2008
Tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan 5 harus netral dalam artian tidak
memihak pada salah satu pihak yang bersengketa. hakim mediator juga harus
bersertifikat Mahkamah Agung.4 Kewajiban hakim mendamaikan pihak-pihak yang
berperkara adalah sejalan dengan ajaran Islam, yang menganjurkan apabila
terjadi perbedaan pendapat yang akan membahayakan keutuhan keluarga antara
suami istri, maka hendaklah ditunjuk hakam5 atau penengah guna menghilangkan
perbedaan tersebut serta mendamaikan mereka. Mediasi bagi para pihak yang
berperkara dalam perceraian merupakan tahapan pertama yang harus dilakukan
seorang hakim dalam menyelesaikan suatu perkara yang diajukan kepadanya. Usaha
mendamaikan para pihak dipandang adil dalam mengakhiri suatu sengketa, sebab
dalam mendamaikan tersebut tidak ada pihak yang kalah dan yang menang, tetapi
mencarikan solusi yang terbaik untuk keduanya dan tetap mewujudkan kerukunan.6
Dalam proses penelitian yang penulis lakukan, penulis menemui mediator yang
bertugas di Pengadilan Agama yakni di Pengadilan Agama Kediri, yang terletak di
Jalan Sekartaji No. 12 Kab Kediri. Di Pengadilan tersebut belum ada mediator
asli atau mediator yang bersertifikat Mahkamah Agung, namun di pengadilan
tersebut masih menggunakan hakim yang merangkap menjadi mediator yang tentunya
juga mempunyai sertifikat Mahkamah Agung. 4 Pasal 5 ayat (1) Peraturan Mahkamah
Agung Nomor 01 Tahun 2008 Tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan 5 Yang
dimaksud dengan hakam adalah seorang bijak yang dapat menjadi penengah dalam
menghadapi konflik keluarga tersebut 6 Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara
Perdata di Lingkungan Agama, ct ke-5 )Jakarta:Kencana, 2008), hal. 151 6 Dalam
masyarakat seorang kyai atau tokoh agama juga seringkali dijadikan pihak ketiga
atau penengah dalam suatu permasalahan rumah tangga. Keberadaan seorang kyai
sebagai penerus peruangan Nabi (Warasatul Anbiya) diharapkan sanggup menjadi
pengayom umat. Seorang kyai juga diharapkan bisa menjadi perantara untuk
mendamaikan pihak-pihak yang berperkara. Dengan mengadukan masalah pada kyai,
sengketa selesai dengan cepat dan biayanya lebih ringan, selain itu
permasalahan antara kedua belah pihak menjadi lebih berkurang. Hal ini lebih
baik dari pada apabila perkara sampai ke pengadilan dan diputus dengan suatu
putusan biasa, maka pihak yang dikalahkan dalam pelaksanaan putusan harus
menerima putusan tersebut walaupun dengan terpaksa. 7 Tokoh agama atau seorang
kyai memposisikan dirinya sebagai pendamai antara kedua belah pihak, karena
setiap ucapan dari beliau dijadikan panutan oleh kedua belah pihak tersebut.
Sebagian besar masyarakat lebih ta’dzim dan tawadhu’ dengan apa yang
disampaikan seorang kyai, hal tersebut bukan tanpa alasan, melainkan karena
sosok tokoh agama atau kyai dipandang memiliki pemahaman yang lebih di bidang
ilmu agama dan memiliki kearifan dalam berinteraksi dalam masyarakat. Faktor
inilah yang melatarbelakangi masyarakat memilih seorang kyai sebagai penengah
dalam permasalahannya. Berkaitan dengan peran tokoh agama atau kyai tersebut,
fenomena yang menarik dengan peristiwa yang penulis temui di wilayah Dusun
Semanding Desa Jambu Kec. Pagu Kab. Kediri, seorang kyai yang bernama KH. Yasin
pengasuh 7 Retno Wulan Sutantio S.H, Iskandar Ceri Kertawinarta, S.H, Hukum
Acara Perdata Dalam Teori dan Praktek, Bandung, Masdar Maju, 1997, hal 35 7
dari Pondok Pesantren Matholi’ul Anwar, beliau juga sebagai ketua Suriyah NU
Kab Kediri. Dan di wilayah Dusun Semen Kec Pagu Kab Kediri, Kyai bernama KH.
Imam Syafi’i salah satu pengasuh Pondok Pesantren Salafiyyah Kapurejo Pagu
Kediri. Dalam kesehariannya, selain menjadi pengasuh Pondok Pesantren tersebut,
beliau juga sering kali mendapat tamu yang ingin berkonsultasi perihal masalah
rumah tangga. Berbagai macam konflik rumah tangga yang pernah beliau
selesaikan, dan yang paling banyak yakni konflik ketidak harmonisan disebabkan
karena tidak punya keturunan, masalah ekonomi dan kesalahfahaman. Kyai tersebut
dianggap sebagai figur yang sangat dihormati dan disegani masyarakat. Sehingga
apa yang dikatakan seorang kyai dengan ikhlas mereka laksanakan dengan sikap
yang sami’na wa ato’na dan tanpa keraguan. Wajar apabila masyarakat lebih
percaya kepada kyai untuk mengadukan masalah-masalah kehidupan sehari-hari,
termasuk problematika dalam kehidupan berumah tangga. Berangkat dari pemaparan
di atas penulis tertarik untuk meneliti tentang “Mediasi Perkara Perceraian
(Studi Perbandingan Hakim Mediator Pengadilan Agama dan Tokoh Agama di
Kabupaten Kediri)”. Yang diteliti disini yakni proses pelaksanaan mediasi dan
tingkat efektivitas mediasi yang dilakukan oleh masingmasing antara hakim
mediator dan tokoh agama tersebut. Kemudian dari hasil penelitian tersebut akan
dibandingkan untuk lebih memfokuskan tingkat keberhasilan diantara hakim
mediator dan tokoh agama. Penulis merasa bahwa permasalahan ini menarik untuk
dibahas dan dikaji. Karena penelitian ini memadukan antara peran Hakim Mediator
dan Tokoh Agama dalam memediasi 8 para pihak yang berperkara, kemudian diambil
kesimpulan diantara keduanya yang lebih efektif dan banyak berhasil. B. Batasan
Masalah Untuk membatasi pembahasan sehingga tidak melebar dan melenceng dari
kajian yang diteliti, penulis mencoba membatasi serta memfokuskan pembahasan
dalam ruang lingkup mediasi yang dilakukan oleh hakim mediator Pengadilan Agama
Kabupaten Kediri dan tokoh agama Kabupaten Kediri yakni KH Yasin dan KH Imam
Syafi’i. Mengenai cara yang dilakukan oleh Hakim Mediator Pengadilan Agama
Kabupaten Kediri dan tokoh agama dalam memediasi sebagai penengah suatu
perselisihan rumah tangga. Selain itu juga membahas tentang efektifitas mediasi
yang dilakukan oleh hakim mediator dan tokoh agama dalam jangka waktu setahun
di tahun 2014. Sehingga dalam kesimpulannya peneliti dapat mengetahui
efektifitas mediasi yang dilakukan oleh hakim mediator dan tokoh agama. Serta
menemukan alasan yang kuat atau faktor-faktor yang nyata terkait keberhasilan
mediasi oleh Hakim Mediator dan tokoh agama. Adapun dalam pembahasan apabila
ada permasalahan diluar hal tersebut maka sifatnya hanyalah sebagai penyempurna
sehingga pembahasan ini sampai pada sasaran yang dituju. 9 C. Rumusan Masalah
1. Bagaimana proses mediasi yang dilakukan oleh Hakim Mediator Pengadilan Agama
dan tokoh agama Kabupaten Kediri (KH Yasin dan KH Imam Syafi’i)? 2. Bagaimana
efektifitas mediasi yang dilakukan oleh Hakim Mediator Pengadilan Agama dan
tokoh agama Kabupaten Kediri (KH Yasin dan KH Imam Syafi’i)? D. Tujuan
Penelitian Sesuai dengan rumusan masalah diatas, sedikitnya terdapat dua tujuan
yang harus tercapai dalam penelitian ini. Yakni sebagai berikut: 1. Untuk
mengetahui proses mediasi yang dilakukan oleh Hakim Mediator Pengadilan Agama
dan tokoh agama Kabupaten Kediri (KH Yasin dan KH Imam Syafi’i). 2. Untuk
mengetahui efektifitas mediasi yang dilakukan oleh Hakim Mediator Pengadilan
Agama dan tokoh agama Kabupaten Kediri (KH Yasin dan KH Imam Syafi’i). E.
Manfaat Penelitian Secara teoritis diharapkan ini dapat menambah pengetahuan
dan keilmuan khususnya dalam ruang lingkup mediasi, terutama yang berkaitan
dengan efektifitas mediasi yang dilakukan oleh Hakim Mediator Pengadilan Agama
Kabupaten Kediri dan tokoh agama (KH Yasin dan KH Imam Syafi’i). Dari situ 10
penulis akan mengetahui cara yang dilakukan oleh keduanya dalam memediasi para
pihak yang bersengketa. Secara praktisi penelitian ini diharapkan nantinya
dapat memberikan informasi dan sebagai rujukan kualitatif bagi para praktisi
hukum, memberikan wawasan baru terkait dengan peranan Hakim Mediator dalam
Pengadilan Agama Kab. Kediri juga tokoh agama Kab. Kediri (KH Yasin dan KH Imam
Syafi’i) sebagai penengah dari suatu permasalahan rumah tangga. Serta
memberikan pemahaman kepada masyarakat yang memiliki sengketa untuk segera
menyelesaikan persengketaan kepada siapa yang mereka anggap lebih dominan untuk
menyelesaikan atau mendamaikan masalah tersebut. F. Definisi Operasional Untuk
memperoleh pemahaman yang lebih jelas dari judul skripsi Mediasi Perkara
Perceraian (Studi Perbandingan Hakim Mediator Pengadilan Agama dan Tokoh Agama
di Kabupaten Kediri). 1. Mediasi adalah cara penyelesaian sengketa melalui
proses perundingan untuk memperoleh kesepakatan para pihak dengan dibantu oleh
mediator 2. Mediator adalah pihak netral yang membantu para pihak dalam proses
perundingan guna mencari berbagai kemungkinan penyelesaian sengketa tanpa
menggunakan cara memutus atau memaksakan sebuah penyelesaian. 3. Tokoh Agama
adalah seseorang yang memiliki pengetahuan lebih dibidang keagamaan, dan
menjadi panutan bagi masyarakat disekitarnya. 11 G. Sistematika Penulisan Agar
penulisan ini dapat terarah dan pembahasannya komperhensif, maka sistematika pembahasannya
disusun sebagai berikut: BAB I : PENDAHULUAN Merupakan bab pendahuluan yang
mana dalam bab ini di jelaskan kerangka pemikiran dari kerja penelitian. Sebab,
bab ini memuat pembahasan tentang latar belakang masalah, rumusan masalah,
tujuan dan kegunaan penelitian, orisinalitas penelitian, metode penelitian,
sistematika penulisan. Teknik pengolahan data dan analisis data. Metode
penelitian ini merupakan suatu cara atau teknis yang akan di lakukan dalam
proses penelitian lebih terarah dan terorganisir. BAB II : TINJAUAN PUSTAKA
Merupakan kajian teori penelitian, dimana mendiskripsikan gambaran umum
mengenai mediasi litigasi dan non litigasi. Pada bab kedua ini di maksudkan
untuk memberikan penelasan secara teoritik terhadap masalah yang di sajikan. Tidak
hanya itu saja, pada bab kedua ini di maksudkan untuk mendapatkan landasan
teori, dasar hukum, mendapatkan batasan/ definisi/ arti dan kekuatan hukum yang
dimiliki akta perdamaian yang di buat oleh kedua belah pihak. BAB III : METODE
PENELITIAN Dijelaskan mengenai metode yang akan mengulas metode yang digunakan
oleh peneliti dalam penelitian ini. Metode tersebut meliputi pendekatan dan
jenis penelitian, sumber data, metode pengumpulan data, metode pengolahan data,
dan analisis data. Sehingga dengan pembahasan tersebut dapat mengungkap
sejumlah cara yang diatur secara sistematis, logis, rasional dan terarah. 12
BAB IV : HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Merupakan hasil penelitian inti dari
penelitian karena pada bab ini akan menganalisa data-data baik melalui data
primer maupun data sekunder yang berguna untuk menjawab rumusan masalah yang
telah ditetapkan. Penulisan judul ditulis dengan hasil penelitian dan
pembahasan dan judul sub-subnya disesuaikan dengan tema-tema yang dibahas dalam
penelitian. BAB V : PENUTUP Bab ini merupakan bab terakhir yang berisi
kesimpulan dan saran, dalam bab ini bukan merupakan ringkasan dan penelitian
yang dilakukan, melainkan jawaban yang singkat atau akhir atas rumusan masalah
yang telah ditetapkan. Saran adalah usulan atau anjuran kepada pihak-pihak yang
terkait atau memiliki kewenangan lebih terhadap tema yang diteliti untuk
pengetahuan bagi masyarakat atau penelitian di masa-masa mendatang.
DOWNLOAD
No comments:
Post a Comment