Abstract
INDONESIA:
Kecerdasan emosional merupakan bekal yang penting bagi individu karena individu yang mempunyai kecerdasan emosional dipelajari anak pertama kali melalui interaksi dengan keluarga. Hasil dari interaksi tersebut menghasilkan sebuah ikatan emosional yang bersifat spesifik, dan mengikat mereka dalam suatu kedekatan yang bersifat kekal sepanjang waktu yang disebut juga dengan attachment. Attachment sendiri memiliki beberapa pola diantaranya secure attachment, preoccupeid attachment, dismissing attachment dan fearful attachment. Masing-masing dari pola attachment tersebut diyakini akan membawa pengaruh bagi perkembangan pola attachment pada masa selanjutnya ketika menjalin hubungan dengan orang lain.
Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui adanya hubungan pola attachment dengan kecerdasan emosional siswa di SMP Negeri 2 Purwantoro. Rancangan penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh siswa di SMP Negeri 2 Purwantoro. Pengukuran variabel pola attachment menggunakan angket dengan 40 aitem yang merupakan favorable. Sedangkan pengukuran variabel kecerdasan emosional menggunakan angket dengan 39 aitem favorable dan 26 aitem unfavorable. Tehnik pengambilan sampel dengan tehnik random sampling dan analisis data menggunakan menggunakan teknik korelasi Product Moment Karl Pearson dengan bantuan SPPS versi 16.0 for Windows.
Hasil Penelitian ini menunjukkan bahwa Pola attachment yang dikembangkan oleh siswa SMP Negeri 2 Purwantoro memiliki pola secure attachment dengan prosentase 30,77%, pola preoccupied attachment dengan prosentase 18,46%, pola dismissing attachment dengan prosentase 29,23% dan pola fearful attachment dengan prosentase 21,54%. Tingkat kecerdasan emosional siswa SMP Negeri 2 Purwantoro mayoritas berada pada tingkatan tinggi dengan prosentase 80,77%. Dengan taraf signifikansi 0,05 (sig 2-tailed) diperoleh hasil bahwa pola secure attachment (r= 0,343 ; sig < 0.05) dan pola preoccupied attachment (r= -0.251 ; sig < 0.05) mempunyai hubungan yang signifikan dengan kecerdasan emosional siswa SMP Negeri 2 Purwantoro. Pola dismissing attachment (r = -0,226. ; sig > 0.05 dan pola fearful attachment (r = -0, 147 ; sig > 0.05) tidak mempunyai hubungan yang tidak signifikan dengan kecerdasan emosional siswa SMP Negeri 2 Purwantoro.
ENGLISH:
Emotional intelligence is an important provision for individuals, as individuals have emotional intelligence first since child who learns through interaction with the family. The results of these interactions produce a specific emotional ties, and tie them in an eternal closeness all the time which also called the attachment. Attachment itself has several patterns such as secure attachment, preoccupied attachment, dismissing attachment and fearful attachment. Each of these attachment patterns are believed will influence the development of attachment patterns during having relationship with someone else later.
The research is conducted to determine the pattern of attachment relationships with emotional intelligence of students in The State Junior High School 2 Purwantoro. The design of this study uses a quantitative approach. The population in this study are all students in State Junior High School 2 Purwantoro. Measurement variable attachment patterns uses a questionnaire with 40 aitem which is favorable. While the measurement of emotional intelligence variables uses a questionnaire with 39 aitem favorable and 26 unfavorable aitem. Sampling technique uses random sampling techniques, but techniques analysis of data uses Karl Pearson Product Moment Correlation with the help of SPPS version 16.0 for Windows.
The results of this study indicate that the pattern of attachment developed by students of The State Junior High School 2 Purwantoro have a secure pattern of attachment with a percentage of 30.77%, preoccupied attachment patterns with a percentage of 18.46%, dismissing attachment pattern with the percentage of 29.23% and fearful attachment pattern with percentage of 21.54%. The level of emotional intelligence students of The State Junior High School 2 Purwantoro majority are at a high level with a percentage of 80.77%. With significance level 0.05 (2-tailed sig) obtained results that the pattern of secure attachment (r = 0.343; sig <0.05) and preoccupied attachment patterns (r = -0251; sig <0.05) had a significant relationship with emotional intelligence students of The State Junior High School 2 Purwantoro. Dismissing attachment pattern (r = -0.226.; Sig> 0.05 and fearful attachment pattern (r = -0, 147; sig> 0.05) had no significant relationships with the emotional intelligence students of The State Junior High School 2 Purwantoro.
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Masa remaja merupakan peralihan dari masa
anak-anak menuju dewasa yang disertai dengan perubahan. Remaja akan mengalami
berbagai perubahan dalam diri mereka antara lain perubahan fisik, kepribadian
dan intelektual serta peranan di lingkungan keluarga maupun lingkungan
masyarakat. Menurut Mappiare (1982) sebagian besar remaja mengalami
ketidakstabilan dari waktu ke waktu sebagai konsekuensi dari usaha penyesuaian
diri pada pola perilaku dan harapan sosial yang baru namun meskipun emosi
remaja seringkali sangat kuat dan tidak terkendali tetapi pada umumnya dari
tahun ketahun terjadi perbaikan perilaku emosional. Hasil Survey Demografi
Kesehatan Indonesia (SDKI 2007) menunjukkan jumlah remaja di Indonesia mencapai
30 % dari jumlah penduduk atau sekitar 1,2 juta jiwa (www.bkkbn.go.id).
Gambaran pelanggaran norma sosial, norma hukum dan norma agama di indonesia
meliputi sex pra nikah dan kehamilan tidak dinginkan, 700-800 ribu remaja
melakukan aborsi, MMR 343/100.000 (17.000/th, 1417/bln, 47/hr perempuan
meninggal) karena komplikasi kehamilan dan persalinan, 1283 kasus HIV/AIDS dan
diperkirakan 52.000 terinfeksi atau 70% adalah remaja , miras dan menyalahgunaan
obat-obatan terlarang (www.bkkbn.go.id). Hal ini menunjukkan adanya gambaran
bahwa kondisi emosi pada pada remaja yang mengalami ketidakstabilan. Remaja
hidup dalam sebuah komunitas yang disebut dengan keluarga. Lingkungan keluarga
menjadi objek untuk mempelajari semua hal. Remaja memperoleh semua kebutuhan
baik kebutuhan fisik dan psikologis dari keluarga. Setelah keluarga, proses
pendidikan yang dibutuhkan oleh anak adalah sekolah. Sekolah merupakan
lingkungan kedua anak untuk dapat belajar. Apabila kita melihat perkembangan
dunia pendidikan sekarang ini sering kita jumpai orang tua yang merasa bangga
apabila anaknya berhasil masuk di sekolah favorit dan memperoleh prestasi
akademik di sekolahnya. Orangtua lebih bangga jika anaknya cerdas secara
intelektual. Kecerdasan intelektual penting untuk dikembangkan akan tetapi ada
kecerdasan lain yang juga penting untuk dikembangkan yaitu kecerdasan
emosional. Hasil beberapa penelitian di University of Vermont mengenai analisis
struktur neurologis otak manusia dan penelitian perilaku oleh LeDoux (1970)
menunjukkan bahwa dalam peristiwa penting kehidupan seseorang, EQ selalu
mendahului intelegensi rasional. EQ yang baik dapat menentukan keberhasilan
individu dalam prestasi belajar membangun kesuksesan karir, mengembangkan
hubungan suami-istri yang harmonis dan dapat mengurangi agresivitas, khususnya
dalam kalangan remaja (Goleman dalam Wahyuningsih, 2004). Kecerdasan emosional
diperlukan oleh setiap individu di dalam hidup bermasyarakat yang termasuk di dalamnya
menjaga keserasian hubungan antara satu dengan lainnya terutama di dalam
membina hubungan sosial dengan orang lain. Patton (2001) menyatakan kecerdasan
emosional diperlukan untuk mengatasi dalam kehidupan dan menjadi dasar yang
penting untuk menjadi manusia yang penuh dengan tanggung jawab, penuh
perhatian, produktif serta optimis dalam menghadapi dan menyelesaikan masalah.
Kecerdasan emosional ini terlihat dalam hal-hal seperti bagaimana remaja mampu
untuk memberi kesan yang baik tentang dirinya, mampu mengungkapkan dengan baik
emosinya sendiri, berusaha menyetarakan diri dengan lingkungan, dapat
mengendalikan perasaan dan mampu mengungkapkan reaksi emosi sesuai dengan waktu
dan kondisi yang ada sehingga interaksi dengan orang lain dapat terjalin dengan
lancar dan efektif. Disamping itu kemampuan mengendalikan emosi dalam diri
individu akan mempengaruhi proses berpikir. Kecerdasan emosional sesungguhnya
merupakan keterampilan (skill), daripada potensi seperti dalam konsep
intelegensi pada umumnya, dan keterampilan ini harus dikerjakan oleh masyarakat
tempat individu yang bersangkutan tumbuh dan berkembang. Adapun berlangsungnya
proses belajar ini sesungguhnya merupakan bagian dari kemampuan nalar atau
kognitif seseorang (Satiadarma & Waruwu, 2003). Kecerdasan emosional akan
membantu seseorang dalam memahami situasi di sekitarnya. Seseorang yang
memiliki kecerdasan emosional yang baik mudah untuk berempati dengan orang
lain, sehingga hal ini memudahkan untuk menyesuaikan diri dalam pergaulan
sosial dan lingkungan tempat ia berada. Menurut Gardner kemampuan emosional dan
kemampuan komunikasi penting dalam hiruk pikuk kehidupan. Ia menunjukkan bahwa
banyak orang ber-IQ 160 bekerja pada orang-orang ber-IQ 100 (dalam Goleman,
1996). Berdasarkan wawancara dengan salah satu guru di SMPN 2 Purwantoro
diketahui bahwa siswa umumnya kurang bisa memotivasi diri sendiri baik untuk
belajar maupun dalam hal yang menyangkut tentang dirinya. Sering dijumpai pula
siswa yang berkelahi di dalam lingkungan sekolah . Hal tersebut membuktikan
bahwa untuk dapat mengendalikan emosi diri sendiri masih tergolong rendah.
Faktor lain yang mempengaruhi kecerdasan emosional siswa disini adalah pola
attachment. Attachment sendiri diartikan sebagai hubungan timbal balik yang
aktif dan bersifat afektif antara dua individu yang dibedakan dari orang lain,
dan interaksi yang terjalin antara dua individu merupakan usaha untuk menjaga
kedekatan (Papalia & Olds, 1989). Dalam sebuah penelitian, Gardner (1983)
menemukan bahwa interaksi antar anggota keluarga yang tidak harmonis merupakan
suatu hubungan yang potensial menjadi penghambat perkembangan sosial remaja
(Ali & Asrori, 2006). Hal ini memperlihatkan bahwa adanya keterkaitan
hubungan antara remaja dengan orang tua. Karena menurut attachment dengan orang
tua pada masa remaja dapat membentuk kompetensi sosial, kesejahteraan sosial
remaja seperti ciri-ciri harga diri, penyesuaian emosional dan kesejahteraan
fisik (Allen, dkk 1994; Kobak & Cole dalam Santrock, 2003). Penyesuaian
emosi dibutuhkan remaja dalam menjalin hubungan sosial dengan orang lain.
Dimana penyesuian emosional dikaitkan dengan kecerdasan emosional. Hubungan
antara remaja dengan orang tua yang terjalin dengan baik akan memberikan
kesempatan untuk mengekplorasi kemampuannya. Remaja yang kebutuhan fisik, rasa
aman serta kasih sayang terpenuhi akan lebih mampu untuk memotivasi dirinya
untuk mencapai kebutuhan harga diri atau aktualisasi diri. Berdasarkan
penelitian yang dilakukan Desiani Maentiningsih (2008) mengenai Hubungan antara
Secure Attachment dengan Motivasi Berprestasi pada Remaja menunjukkan
menunjukkan bahwa ada hubungan antara secure attachment pada remaja dengan
motivasi berprestasi. Berdasarkan hasil dari analisis data dengan korelasi rank
spearman diperoleh nilai korelasi spaerman’s rho sebesar 0.995 dan sig
(2-tailled) 0.000 (p
<0.01). Penelitian yang dilakukan oleh Avin Fadillah Helmi (1999) mengenai Gaya Kelekatan Dan Konsep Diri menunjukkan bahwa seseorang yang memiliki gaya kelekatan aman memiliki konsep diri yang lebih bagus daripada gaya kelekatan menghindar. Pola sikap maupun cara mendidik orang tua dan jarak tempat tinggal antara anak (remaja) dengan orang tuanya, merupakan dua hal yang sangat besar pengaruhnya terhadap proses penstabilan mental anak. Dalam hal ini, sebagian besar orang tuanya baik bapak atau ibu bahkan kedua-duanya bekerja di luar kota sehingga mengharuskan tinggal terpisah dengan anaknya. Siswa terutama yang masih duduk di tingkat pertama ini dititipkan orang tuanya kepada nenek, kakek atau saudaranya. Jadi secara otomatis pengawasan terhadap kehidupan anak terutama dalam hal pendidikan diserahkan kepada wali yang menjadi pengganti orang tuanya. Menurut Goleman dan Declaire (dalam Rahayu, 2007) sepanjang sejarah perkembangan manusia menunjukkan bahwa cara anak-anak mempelajari keterampilan emosi dan sosial dasar adalah dari orang tua, kaum kerabat dan tetangga, dari jatuh bangunnya mereka bermain bersama teman sepermainannya, dari lingkungan pembelajaran di sekolah dan dari dukungan sosialnya. Lebih lanjut mereka mengungkapkan bahwa ada beberapa prinsip dalam mendidik dan melatih emosi anak, menentukan batas-batas emosi anak, mendengarkan dengan penuh empati dan membantu akan memecahkan masalah yang dihadapi. Perkembangan emosi yang terjadi pada remaja terpengaruhi oleh bermacam-macam hal, seperti lingkungan tempat tinggal, keluarga, sekolah dan teman-teman sebaya serta aktivitas-aktivitas yang dilakukannya dalam kehidupan sehari-hari. Masa remaja yang identik dengan lingkungan sosial tempat berinteraksi, membuat mereka dituntut untuk dapat menyesuaikan diri secara efektif. Remaja seringkali melampiaskan gejolak emosinya ke arah yang negatif apabila aktivitas dalam sekolahnya tidak memenuhi akan gejolak emosinya. Hal ini menunjukkan betapa besar gejolak emosi yang ada dalam diri remaja bila berinteraksi dalam lingkungannya. Berdasarkan penelitian Tomlinson-Keasey & Little (dalam Goleman, 1996) menyebutkan bahwa sukses seseorang dalam pendidikan dan pekerjaan sangat dipengaruhi oleh kecenderungan kepribadian yang bersangkutan, pendidikan orang tua dan variabel lingkungan rumah tangga. Penelitian yang dilakukan para ahli menemukan bahwa remaja yang berasal dari keluarga yang penuh perhatian, hangat, dan harmonis mempunyai kemampuan dalam menyesuaikan diri dan sosialisasi yang baik dengan lingkungan disekitarnya (Hurlock, 1973). Satiadarma (2000) menjelaskan bahwa atribut yang diberikan orang tua kepada anaknya memberikan pengaruh besar pada pembentukan perilaku anak. Beberapa studi menunjukkan kualitas attchment yang aman pada kedua orang tua mengalami penurunan bersamaan dengan datangnya pubertas. Namun penelitian yang lain menunjukkan bahwa hanya komponen-komponen tertentu yang mengalami perubahan dan yang lain tetap stabil misalnya kebutuhan mencari kedekatan dan sandaran pada orang tua saat kondisi stres, mengalami penurunan, namun mereka masih tetap membutuhkan keyakinan akan kehadiran orangtua. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pemeliharaan kedekatan fisik dengan orang tua dan kebutuhan untuk dilindungi pada kondisi yang mengancam atau stres, kurang begitu penting bagi remaja, disebabkan oleh kapasitas mental dan fisik remaja mengalami peningkatan (antara lain mekanisme coping yang semakin kompleks). Remaja memiliki kemampuan yang baik dalam menyeimbangkan kebutuhan mereka untuk mencapai otonomi, dengan keinginan mereka untuk tetap memelihara attachment dengan orang tua, terutama dalam konteks dimana terjadi perbedaan pendapat antara remaja dengan orang tua dan hal tersebut dianggap sebagai menifestasi dari attachment yang aman. (Ofra mayseles dalam Qomariyah,2010). Kondisi seperti yang telah dipaparkan di atas menarik perhatian untuk mengetahui Hubungan Pola Attachment dengan Kecerdasan Emosional di SMPN 2 Purwantoro, Wonogiri, Jawa Tengah. B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang diatas maka diperoleh rumusan masalah dalam penelitian ini adalah : 1. Bagaimana pola secure attachment pada siswa di SMP Negeri 2 Purwantoro? 2. Bagaimana pola preoccupeid attachment pada siswa di SMP Negeri 2 Purwantoro? 3. Bagaimana pola dismissing attachment pada siswa di SMP Negeri 2 Purwantoro? 4. Bagaimana pola fearful attachment pada siswa di SMP Negeri 2 Purwantoro? 5. Bagaimana tingkat kecerdasan emosional pada siswa di SMP Negeri 2 Purwantoro? 6. Adakah hubungan antara pola attachment dengan kecerdasan emosional siswa di SMP Negeri 2 Purwantoro? C. Tujuan Penelitian Dalam penelitian ini terdapat beberapa tujuan, antara lain sebagai berikut : 1. Mengetahui pola secure attachment pada siswa di SMP Negeri 2 Purwantoro? 2. Mengetahui pola preoccupeid attachment pada siswa di SMP Negeri 2 Purwantoro? 3. Mengetahui pola dismissing attachment pada siswa di SMP Negeri 2 Purwantoro? 4. Mengetahui pola fearful attachment pada siswa di SMP Negeri 2 Purwantoro? 5. Mengetahui tingkat kecerdasan emosional pada siswa di SMP Negeri 2 Purwantoro? 6. Mengetahui hubungan antara pola attachment dengan kecerdasan emosional siswa di SMP Negeri 2 Purwantoro? D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat teoritis a. Memberikan sumbangsih keilmuan psikologi, khususnya dibidang psikologi perkembangan b. Menambah khazanah bagi ilmu pengetahuan mengenai hubungan pola attachment terhadap kecerdasan emosi. 2. Manfaat praktis Bagi Lembaga, Hasil penelitian ini bisa dijadikan sebagai acuan atau bahan rujukan dalam pembenahan sistem di sekolah mengenai bimbingan dan pengembangan berdasarkan pola attachment yang positif bagi siswa untuk peningkatan kecerdasan emosi anak>Untuk Mendownload Skripsi "Skripsi Psikologi" :Hubungan pola attachment dengan kecerdasan emosional siswa di SMP Negeri 2 Purwantoro Wonogiri Jawa Tengah." Untuk Mendownload skripsi ini silakan klik link dibawah ini
DOWNLOAD
No comments:
Post a Comment