Abstrak
INDONESIA:
Memasuki masa remaja, individu mulai memikirkan pentingnya pencapaian prestasi. Sementara itu sejauh mana remaja termotivasi untuk berprestasi turut dipengaruhi oleh konsep dirinya. Di sekolah, rendahnya motivasi berprestasi adalah faktor yang menghambat remaja untuk mengembangkan dirinya. Rendahnya motivasi berprestasi ini banyak dipengaruhi oleh kondisi keluarga yang tidak adekuat dalam mendukung pencapaian prestasi anak, juga pergaulan dengan teman sebaya yang juga memiliki motivasi rendah. Maka di sini dianggap penting adanya program yang membantu siswa mengembangkan motivasi berprestasinya, yaitu dengan pelatihan “Self Concept Building”. Pelatihan ini disusun dari teori mengenai konsep diri dengan harapan peserta dapat diarahkan untuk membentuk konsep diri yang positif yang kemudian berpengaruh terhadap peningkatan motivasi berprestasi mereka.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tingkat motivasi berprestasi siswa di MAN 2 Model Palu sebelum dan setelah mengikuti pelatihan self-concept building, juga untuk mengetahui apakah pelatihan self-concept building efektif untuk meningkatkan motivasi berprestasi pada siswa di MAN 2 Model Palu.
Penelitian ini adalah eksperimen dengan desain one group pretest-posttest dengan subjek sebanyak 30 siswa. Metode pengumpulan data dilakukan dengan angket, dilengkapi dengan observasi, wawancara, dan catatan diri berupa lembar kerja.
Hasil penelitian ini adalah, pelatihan Self-Concept Building berpengaruh dalam meningkatkan motivasi berprestasi. Setelah dilakukan analisis paired sample T-Test pada program SPSS 16.0 for windows, diperoleh nilai t-hitung lebih besar dari t-tabel yaitu |-2.352| > 2,056 dan taraf taraf signifikan 0,026 < 0,05.
INGGRIS:
Pada masa remaja ini, prestasi sangat penting bagi remaja. Sementara itu, bagaimana siswa termotivasi untuk mendapatkan prestasi dipengaruhi oleh konsep diri mereka. Di Sekolah, rendahnya motivasi prestasi mempersulit mahasiswa untuk meningkatkan keterampilan mereka.
Ini peduli banyak dipengaruhi oleh kondisi yang tidak memadai dari familiy dalam rangka mendukung siswa untuk mendapatkan prestasi mereka. Rekan-rekan yang memiliki prestasi rendah juga dianggap motivasi pengaruh siswa. Depend pada kasus ini, sebuah program untuk membantu siswa mengembangkan motivasi berprestasi mereka sangat penting. Kemudian, program yang disebut “Self Concept Building”. pembinaan ini diatur dari konsep diri teori dengan harapan bahwa peserta dapat mengembangkan konsep diri positif mereka sendiri dan akhirnya mempengaruhi motivasi berprestasi tambahan.
Penelitian eksperimental ini digunakan satu kelompok pre-test desain post-test. Dari penentuan sampel diperoleh 30 peserta pelatihan. Mengumpulkan data metode kuesioner penelitian yang digunakan dan diselesaikan dengan cara observasi, wawancara, dan buku kerja.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tingkat motivasi berprestasi selama pra-test dan post-test dan untuk mendapatkan tahu apakah Self-Concept Bangunan Coaching dapat mempengaruhi motivasi berprestasi siswa dari MAN 2 Model Palu (sebagai peserta).
Hasil studi ini ini adalah Self-Concept Bangunan efek untuk mengembangkan motivasi berprestasi Coaching. Hasilnya dianalisis dengan analisis sampel T-Test dipasangkan digunakan SPSS 16.0 for windows. Data menunjukkan bahwa “t” nilai lebih besar dari tabel “t”, masing-masing | -2,352 | > 2056 dan tingkat signifikan 0,026 <0,05.
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Memasuki masa remaja yaitu pada usia
13-21 tahun (Desmita, 2009:190) individu mulai menganggap penting sebuah
pencapaian prestasi dan menganggapnya sebuah hal yang serius. Remaja mulai
merasakan bahwa keberhasilan dan kegagalan di masa sekarang merupakan prediktor
keberhasilan atau kegagalannya di masa mendatang. Olehnya itu mereka merasa
bahwa hidupnya sekarang adalah bukan saatnya untuk bermain-main lagi (Santrock,
2007: 147). Ini adalah salah satu dari wujud pola pikir operasional formal
sebagaimana teori Piaget, ketika memasuki masa remaja individu mulai mampu
berpikir secara abstrak serta cenderung idealis. Mereka menjadi lebih fokus
dalam berpikir dan sering “berfantasi” mengenai kemungkinan-kemungkinan di masa
depan (Santrock, 2007: 126). Ada beberapa dimensi pencapaian di masa depan bagi
remaja. Di antaranya adalah ekspektasi remaja mengenai beberapa hal yang
spesifik seperti pencapaian karir dan pekerjaan, mencakup mencari pekerjaan dan
sukses dalam hal akademik dan karir, juga optimisme terhadap masa depannya,
serta keyakinan bahwa tujuan mereka akan tercapai. Optimisme dapat dilihat
sebagai aspek motivasional dari orientasi di masa depan bagi remaja. Optimisme
mampu mempengaruhi tujuan-tujuan individual, antusiasme untuk merencanakan 2
pencapaian tujuan tersebut, dan sebesar apa usaha remaja untuk menyeimbangi
ekspektasi mereka (Klaczynski dan Fauth, 1996: 757). Salah satu ekspektasi
remaja adalah mengenai prestasi yang ingin mereka capai. Namun sayangnya, ada
remaja yang hidup di tengah lingkungan tidak cukup kondusif untuk pencapaian
prestasinya. Padahal, motivasi untuk berprestasi dipengaruhi juga oleh
ekspektasi orang tua, guru, dan orang lain di sekitar terhadap pencapaian
mereka. Akan lebih baik jika orang tua maupun guru memiliki ekspektasi yang
tinggi terhadap remaja dan mendukung pencapaiannya (Santrock, 2007: 153).
Menurut Nurmi (1991) Penentuan capaian seorang remaja juga berhubungan dengan
orientasi masa depan mereka. Orientasi masa depan individu merupakan gambaran
dari motivasi, yaitu sejauh mana individu berpikir tentang masa depannya. Hal
ini berkaitan dengan tujuan yang dimiliki individu, yang diharapkan terealisasi
pada usia tertentu (Afifah, 2011: 3). Lens & Moreas (1994) meyakini bahwa
orientasi masa depan dikaitkan juga dengan kepribadian seseorang, di mana
individu dengan orientasi masa depan akan memiliki motivasi yang tinggi untuk
sukses dan merencanakan tujuan jangka panjang jika dibandingkan dengan individu
yang tidak berpikir jauh ke depan (J. Beal, 2011: 15). Penetapan tujuan turut
dipengaruhi oleh konsep diri seorang remaja. Pertama ideal self, dalam hal ini
adalah konsep individu tentang relasi idealnya dengan lingkungan, yang dapat
berfungsi sebagai pemotivasi perilaku tujuan dengan level yang lebih tinggi.
Kedua, personalisasi tujuan-tujuan hidup umum akan terjadi melalui
pemposisiannya sebagai bagian dari konsepsi diri yang 3 diinginkan. Di sini
self-concept mempengaruhi pemilihan alternatif-alternatif tujuan hidup yang
ada. Alternatif-alternatif tujuan dan perencanaan tersebut turut mempengaruhi
self efficacy individu. Remaja yang menetapkan tujuan yang menantang dan
spesifik dapat meningkatkan efikasi diri dan prestasinya. Namun tujuan tetap
harus disesuaikan dengan kemampuan individu, karena jika terlampau tinggi dan
tidak realistis, kemungkinan individu dapat mengalami kegagalan berulang dan
hal tersebut dapat menurunkan efikasi dirinya (Santrock, 2007: 155). Efikasi
diri adalah keyakinan individu atas kemampuannya untuk menghasilkan sesuatu
dari usaha mereka sendiri. Keyakinan ini adalah hal yang paling penting yang
menentukan apakah seseorang terlibat dan menekuni usahanya dalam menghadapi
tantangan maupun hambatan (Lopez: 2009: 874). Sebagaimana penelitian Lisa
Romanti pada tahun 2011 terhadap Siswa Kelas VIII Mts. Sunan Gunung Jati
Blitar. Di mana hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa semakin tinggi
tingkat efikasi diri maka semakin tinggi pula motivasi berprestasi siswa.
Remaja yang memiliki konsep diri yang positif tentang dirinya maka akan
menetapkan tujuan-tujuan yang jelas dan lebih terarah, tujuan tersebut akan
mempengaruhi efikasi diri, dan sebaliknya, efikasi diri juga memiliki pengaruh
terhadap penetapan tujuan. Efikasi diri mempengaruhi pilihan remaja terhadap
aktivitas yang dilakukan, remaja yang memiliki efikasi diri rendah mungkin akan
menghindari berbagai tugas belajar dan tantangan. Sementara itu, penetapan
tujuan yang menantang dapat meningkatkan efikasi diri remaja (Santrock, 2007: 4
155) terlebih jika remaja tersebut mampu benar-benar mencapai tujuannya
tersebut. Akan tetapi, hal itu kembali lagi kepada konsep diri remaja tersebut,
mengenai bagaimana ia memandang dirinya, juga potensi-potensi yang ia miliki
untuk mengukur kemampuan dirinya sebelum menetapkan suatu tujuan yang akan
mempengaruhi motivasinya dalam mengejar suatu pencapaian/prestasi. Madrasah
Aliyah Negeri (MAN) 2 Model Palu merupakan sekolah percontohan bagi madrasah
lain secara khusus dan sekolah menengah atas se-kota Palu pada umumnya. Setiap
tahun sekolah ini terus berupaya meningkatkan mutu pengajaran, baik itu dalam
hal kualitas guru maupun siswanya. Siswa MAN 2 Model Palu terdiri dari berbagai
latar belakang, mulai dari yang berlatar belakang keluarga petani hingga
pejabat daerah (transkip wawancara ID 32a). Oleh karena itu, karakteristik
siswa pun terlihat beragam.Sebagaimana penuturan Devianti, Koordinator
Bimbingan Konseling (BK) MAN 2 Model Palu.Ada siswa yang memperlihatkan
motivasi belajar dan berprestasi yang tinggi, namun masih banyak yang memiliki
motivasi berprestasi rendah (transkip wawancara ID 34b). Banyak faktor yang
mempengaruhi rendahnya motivasi berprestasi siswa, diantaranya adalah kondisi
keluarga siswa yang tidak adekuat dalam mensupport pencapaian prestasi mereka,
misalnya terdapat siswa yang sedang menghadapi keretakan di dalam keluarganya,
atau masalah buruknya pengasuhan.Selain itu, status pendidikan orang tua yang
rendah seringkali menjadi penyebab kurangnya perhatian orang tua untuk memberi
dukungan kepada anaknya untuk mengejar prestasi yang tinggi.Pandangan anak yang
menganggap rendah kemampuan 5 dirinya yang berasal dari keluarga menengah ke
bawah termasuk menjadi penyebab rendahnya motivasi berprestasi siswa. Selain
itu, faktor lingkungan sekolah juga mempengaruhi tingkat motivasi berprestasi
siswa. Pergaulan dengan teman sebaya ikut menentukan sejauh apa siswa
termotivasi untuk mengejar prestasi atau nilai yang tinggi. Hal ini terlihat
dari adanya perbedaan kecenderungan semangat belajar dari tiga jurusan di MAN 2
Model Palu; siswa di jurusan IPA dan Agama dinilai lebih memiliki semangat
untuk berlomba-lomba mengejar prestasi, dibanding jurusan IPS(transkip
wawancara ID 36a-36b).Kemungkinan hal ini diakibatkan oleh pelabelan “anak
bandel” kepada sebagian siswa di jurusan IPS. Telah banyak penelitian yang
menemukan hubungan yang signifikan antara konsep diri dan motivasi berprestasi.
Diantaranya adalah penelitian Fasti Rola pada tahun 2006 yang mengungkap
Hubungan Konsep Diri dengan Motivasi Berprestasi Pada Remaja, lalu penelitian
dari Tetty Elitasari Tjipsastra (1996) yang berjudul Hubungan Antara Konsep
Diri, Motivasi Berprestasi dengan Prestasi Belajar Anak-Anak Panti Asuhan dan
Perbedaannya dari Anak-Anak yang Diasuh dalam Keluarga. Penemuan terpenting
dari hasil penelitian ini adalah terdapatnya hubungan yang signifikan antara
konsep diri dengan motivasi berprestasi. Penelitian lain datang dari Erna
Widyawati, pada tahun 2012 mengenai Analisis Pengaruh Konsep Diri Terhadap
Motivasi Belajar Mahasiswa. Selanjutnya penelitian dari Joko Prasetyo (2012) Mengenai
Pengaruh Konsep Diri dan Lingkungan Keluarga Terhadap Motivasi Berprestasi
Siswa Program Studi Teknik Kendaraan Ringan Di SMK Muhammadiyah Gamping Tahun
Ajaran 2010/2011. 6 Dengan melihat beberapa penelitian yang menyatakan hubungan
signifikan antara konsep diri dan motivasi berprestasi, maka salah satu langkah
yang diasumsikan dapat meningkatkan motivasi berprestasi seseorang adalah
dengan meningkatkan konsep dirinya. Di MAN 2 Model Palu, menurut koordinator
Bimbingan Konseling, Devianti, pihak guru telah berusaha melakukan metode demi
merangsang minat belajar dan motivasi berprestasi siswa melalui kegiatan
belajar mengajar setiap hari (transkip wawancara ID 34a). Akan tetapi, belum
ada program khusus yang ditujukan untuk membangkitkan motivasi siswa meskipun
hal itu dirasa sangat penting dilakukan (transkip wawancara ID 42a). Melihat
kebutuhan akan program tersebut, penulis terdorong untuk mengadakansuatu
program yang diupayakan dapat meningkatkan motivasi berprestasi siswadengan isi
materi yang disesuaikan dengan kebutuhan siswa. Program ini dirancang
sedemikian rupa untuk membimbing siswa dalam membangun konsep diri positif yang
kemudian akan berdampak pada pandangan siswa terhadap diri sendiri serta
kemampuannya. Coaching dianggap tepat dalam memenuhi tujuan tersebut.Coaching
berbeda dengan training.Umumnya training dipahami sebagai kegiatan mengajarkan
keterampilan atau pengetahuan tertentu.Sedangkan coaching adalah kegiatan
mengajarkan, membimbing, memberikan instruksi kepada seseorang (atau kelompok)
agar dia (atau mereka) memperoleh ketrampilan atau metode baru dalam melakukan
sesuatu untuk mencapai suatu sasaran yang dikehendaki. Pada intinya, coaching
adalah tentang memfasilitasi orang lain yang berpikir dan membantu mereka
mempelajari suatu keterampilan. Sementara beberapa ciri 7 coaching adalah 1)
Coachyang memulai diskusi atau pembahasan, 2) Berhubungan dengan mengajarkan
suatu ketrampilan atau tugas, 3) Tindakan bersifat positif dan korektif,
4)Coachmenunjukkan atau memberikan instruksi yang spesifik mengenai “apa yang
harus dilakukan” dan “bagaimana melakukannya” 5) Sasarannya adalah untuk
memperbaiki kinerja. Kegiatan coaching yang dilakukan oleh peneliti disusun
dengan materi yang diambil dari teori mengenai konsep diri, dan dinamakan coaching
“SelfConcept Building”.Coaching ini diberikan kepada siswa MAN 2 Model Palu
dengan harapan peserta dapat diarahkan untuk membentuk konsep diri yang positif
yang kemudian berpengaruh terhadap peningkatan motivasi berprestasi mereka.
Teori mengenai konsep diri yang menjadi dasar penelitian ini adalah mengenai
tiga dimensi konsep diri yang diperkenalkan oleh Carl Rogers (1959) yaitu citra
diri, diri ideal, dan harga diri. Hal terpenting dari keberadaan tiga dimensi
ini adalah hubungan antara citra diri dan diri ideal sebagai penentu kemampuan
aktualisasi diri seseorang. Gambarannya adalah sebagai berikut:
(ww.simplypsychology.org/self-concept.html) Gambar 1.1. Hubungan antara citra
diri dan diri ideal 8 Menurut Rogers, untuk dapat mencapai aktualisasi diri
individu harus berada pada posisi kongruen dalam hubungan antara citra diri dan
diri ideal. Jika diri ideal dan pengalaman aktual (citra diri) konsisten atau
sangat sesuai, maka individu berada pada posisi kongruen dan ia mampu
mengaktualiasikan diri. Tapi sebaliknya, saat citra diri sangat jauh berbeda
dengan diri ideal maka terjadi hubungan tidak kongruen dan individu akan
kesulitan mengaktualisasikan dirinya. Pola berpikir ini yang diadaptasi ke
dalam pelatihan Self-Concept Building untuk selanjutnya diharapkan dapat
meningkatkan motivasi berprestasi siswa. Di mana materi disusun dan diarahkan
untuk membantu siswa menyesuaikan citra diri dan harapan atau cita-cita sebagai
gambaran diri yang ia inginkan Sementara itu motivasi berprestasi yang
diharapkan muncul dalam diri siswa mengacu pada teori mengenai need of
acheivement dari Mc.Clelland. Menurut Mc.Clelland, seseorang dianggap memiliki
motivasi berprestasi tinggi jika ia memiliki tiga kriteria yakni mampu mengukur
kemampuannya dalam menghadapi tantangan (moderate challenge), mampu bertanggung
jawab terhadap semua usahanya dan mandiri dalam berusaha (personal
responsibility), juga menginginkan adanya umpan balik dari orang sekitar
(feedback). Olehnya itu dari latar belakang di atas, penulis bermaksud meneliti
tentang Efektivitas Pelatihan Self-Concept Building terhadap Peningkatan
Motivasi Berprestasi Siswa MAN 2 Model Palu. 9 B. Rumusan Masalah 1. Berapakah
tingkat motivasi berprestasi siswa di MAN 2 Model Palu sebelum mengikuti
pelatihan Self-Concept Building? 2. Berapakah tingkat motivasi berprestasi
siswa di MAN 2 Model Palu setelah mengikuti pelatihan Self-Concept Building? 3.
Apakah pelatihan Self-Concept Building efektif untuk meningkatkan motivasi
berprestasi pada siswa di MAN 2 Model Palu. C. Tujuan Penelitian Penelitian ini
bertujuan untuk memberi jawaban dari beberapa hal yang menjadi fokus
permasalahan sejak awal sebagaimana dipertanyakan dalam rumusan masalah.
sehingga tujuan penelitian ini adalah untuk: 1. Mengetahui tingkat motivasi
berprestasi siswa di MAN 2 Model Palu setelah mengikuti pelatihan Self-Concept
Building. 2. Mengetahui tingkat motivasi berprestasi siswa di MAN 2 Model Palu
setelah mengikuti pelatihan Self-Concept Building 3. Mengetahui efektivitas
pelatihan Self-Concept Building untuk meningkatkan motivasi berprestasi pada
siswa di MAN 2 Model Palu. D. Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan
memberi manfaat untuk kepentingan teoritis dan praktis.Secara teoritis
penelitian ini dapat menambah khasanah keilmuan, khususnya dalam bidang
psikologi pendidikan dan perkembangan mengenai 10 konstruk konsep diri dan
motivasi berprestasi.Secara praktis hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat
untuk: 1. Menjadikan hasil penelitian ini sebagai informasi bagi kaum praktisi
yang sedang mengembangkan metode-metode peningkatan motivasi remaja. 2. Menjadi
alternatif metode yang dapat diadaptasi atau diterapkan secara berkelanjutan
dan sesuai kebutuhan untuk meningkatkan motivasi berprestasi, baik oleh pihak
Sekolah maupun lembaga atau tempat lain yang membutuhkan program pengembangan
diri remaja, mengingat pelatihan dapat dilaksanakan oleh pihak manapun.
Untuk Mendownload Skripsi "Skripsi Psikologi" :Efektivitas pelatihan self-concept building terhadap peningkatan motivasi berprestasi siswa MAN 2 Model Palu" Untuk Mendownload skripsi ini silakan klik link dibawah ini
DOWNLOAD
No comments:
Post a Comment