Abstract
INDONESIA:
Keluarga adalah lingkungan pertama bagi proses pertumbuhan sikap sosial dan kemampuan hubungan sosial anak. Dalam keluarga berlangsung pengembangan sikap sosial awal yang akan menopang perkembangan sikap sosial selanjutnya. Kemampuan bergaul yang diperoleh dilingkungan keluarga akan mendasari kemampuan bergaul yang lebih luas.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui tipe pola asuh orang tua dan tingkat kecerdasan sosial serta hubungan antara pola asuh orang tua dengan kecerdasan sosial siswa Sekolah Dasar Jatimulyo 0I. Hipotesis yang diajukan adalah terdapat hubungan yang signifikan antara pola asuh orang tua dengan kecerdasan sosial.
Metode pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan metode angket. Angket penelitian terdiri dari dua angket yaitu angket pola asuh orang tua dan kecerdasan sosial yang terdiri dari 27 aitem pola asuh orang tua dan 15 aitem kecerdasan sosial . Teknik analisa yang digunakan adalah analisa product moment.
Hasil penelitian tentang pola asuh orang tua dengan kecerdasan sosial menunjukkan bahwa 1). Jenis pola asuh orang tua siswa kelas VI di Sekolah Dasar Jatimulyo 0I adalah pola asuh demokratis.2). Tingkat kecerdasan sosial pada siswa Sekolah Dasar Jatimulyo 0I berada pada kategori tinggi. Hal ini ditunjukkan dengan frekuensi 28 dan presentasenya sebesar 64 %. 3). Ada hubungan yang positif antara pola asuh Authoritative/demokratis dengan kecerdasan sosial anak yang menunjukkan bahwa rhit = 0,452 dan rtabel =
0,002. Tidak ada hubungan yang positif antara pola asuh permisif dengan kecerdasan sosial anak yang menunjukkan bahwa rhit = -200 dan rtabel = 0,192. Tidak ada hubungan yang positif antara pola asuh Authoritarian/otoriter dengan kecerdasan sosial anak yang menunjukkan bahwa rhit = 0,181 dan rtabel = 0,238.Dari hasil analisa tersebut menunjukkan bahwa pola asuh yang terbaik adalah pola asuh demokratis, dikarenakan pola asuh demokratis mempengaruhi kecerdasan sosial pada anak.
0,002. Tidak ada hubungan yang positif antara pola asuh permisif dengan kecerdasan sosial anak yang menunjukkan bahwa rhit = -200 dan rtabel = 0,192. Tidak ada hubungan yang positif antara pola asuh Authoritarian/otoriter dengan kecerdasan sosial anak yang menunjukkan bahwa rhit = 0,181 dan rtabel = 0,238.Dari hasil analisa tersebut menunjukkan bahwa pola asuh yang terbaik adalah pola asuh demokratis, dikarenakan pola asuh demokratis mempengaruhi kecerdasan sosial pada anak.
ENGLISH:
Family is the first environment for the growth of social attitudes and social relationship skills of children. In the family pass off development of early social attitudes that will support the further development of social attitudes. Social skills acquired within the family will underpin the wider social skills.
The purpose of this study was to determine the type of parenting parents and the level of social intelligence and the relationship between parenting parents with elementary school students' social intelligence Jatimulyo 0I. The hypothesis is that there is a significant relationship between parenting parents with social intelligence.
Methods of data collection in this study using questionnaires. Questionnaire consisted of two questionnaires are questionnaires parenting parents and social intelligence that consists of 27 item parenting parents and 15 item social intelligence. Analytical technique used is the product moment analysis.
The results of research on parenting parents with social intelligence indicates that 1). Type parenting parents of students in an elementary school Jatimulyo 0I class VI is parenting Authoritative/democratic. 2). The level of social intelligence on elementary school students Jatimulyo 0I in high category. This is indicated by the frequency of 28 and the percentage is 64%. 3). There was a significant positive correlation between Authoritative/democratic parenting children with social intelligence indicating that rhit = 0.452 and rtable = 0.002, and there is no positive correlation between permissive parenting children with social intelligence that shows that rhit = -200 and rtabel = 0.192.and there is no positive relationship between authoritarian/otoriter parenting children with social intelligence that shows that rhit = 0.181 and = 0.238 rtabel. From the results of this analysis indicate that the best parenting is parenting democracy, because democratic parenting affects social intelligence in children .
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Secara naluri, semua manusia saling
membutuhkan,orang yang sudah merasa tidak butuh dengan orang lain justru
mengingkari nalurinya. Merasa tidak butuh dengan orang lain merupakan salah
satu manifestasi arogansi atau kesombongan. Tetapi, meskipun demikian, dalam
menjalani kehidupan tidak boleh mengandalkan orang lain. mengandalkan orang
lain berbeda dengan membutuhkan orang lain. mengandalkan orang lain artinya
menghilangkan keberadaan peranan diri bagi diri sendiri . Ini dilarang oleh
akal sehat, oleh agama dan oleh ilmu pengetahuan. Kalau dilihat dari perspektif
spiritual, ada alasan yang cukup mendasar kenapa semua manusia itu (pada
prakteknya) memiliki kekurangan. Alasannya adalah agar kita tetap punya
kebutuhan terhadap keterlibatan orang lain. kebutuhan direalisasikan dalam
bentuk kerja sama, saling tolong menolong, dan lain – lain, tergantung
keadaan.1 Seperti yang sudah digariskan Tuhan, manusia tidak hanya menjadi
mahluk individual, tetapi juga mahluk sosial. Sosial disini artinya ada
keterkaitan antara kita dengan orang lain. tidak ada manusia yang sanggup
membangun hidup hanya dengan seorang diri. Artinya tidak ada manusia yang hanya
mampu menjadi mahluk individual. Dengan kata lain, kalau kebutuhan kita untuk
menjadi mahluk sosial itu tidak terpenuhi, maka dengan sendirinya kehidupan
kita sebagai mahluk individual juga mengalami kesulitan. 1 Ubaedy.an,
Interpersonal Skill (Jakarta: Bee Media Indonesia, 2008),hal : 22 - 23 2
Eksistensi manusia sebagai mahluk sosial dituntut untuk bisa menjalin interaksi
dengan sesama. Menjalin hubungan dengan sesama ini bahkan diakui oleh banyak
ahli di bidang psikologi sebagai kebutuhan yang semestinya dapat dipenuhi dengan
baik. Bila tidak, manusia akan mengalami banyak gangguan dalam kejiwaannya. Hal
ini juga diakui oleh Daniel Goleman, dalam sebuah bukunya yang berjudul Social
Intellegence. 2 Anak –anak yang sulit bergaul dan dan sulit mengembangkan
hubungan yang suportif dengan sebayanya, digambarkan sebagai anak yang agresif,
suka bertindak kasar, impulsif atau sangat mementingkan egoismenya sendiri.
Anak – anak ini sering terlibat konflik dan perkelahian dengan teman sebayanya.
Bahkan banyak teman sebayanya yang tidak menyukai kehadirannya dan lebih suka
menyingkir darinya. Anak–anak ini menunjukkan hambatan dalam mengembangkan
kecerdasan sosialnya.3 Ada juga anak yang malas bergabung dengan teman sebaya,
karena sering diejek oleh teman–temannya. Sehingga membuat tersebut menjadi
malas dan takut untuk bergabung dengan teman sebayanya. Anak–anak ini menjadi
kurang percaya diri. Mereka merasa tidak berdaya menghadapi situasi yang
menekan.mereka juga kurang mampu menghadapi konflik dengan teman– temannya. Hal
ini disebabkan karena mereka tidak memiliki keterampilan untuk menghadapi
konflik. Sehingga seringkali mereka tertekan dengan situasi tersebut, dan
mereka akan mengisolasi diri dari lingkungan sosial.4 Anak–anak yang terisolasi
secara sosial menunjukkan gejala–gejala yang tidak sehat. Gejala ini disebutkan
oleh Zimbardo dkk (dalam Hurlock, 1995) 2 Azzet, Akhmat Muhaimin, Mengembangkan
Kecerdasan Sosial bagi Anak(Jogjakarta : Katahati, 2010),hal :43 3 T Safaria,
Interpersonal Intellegence (Yogyakarta: Amara Books, 2005),hal :12 4 Ibid,
hal:12-13 3 sebagai penyakit sosial yang disebut malu. Akibat jangka panjang
dari rasa malu yang berlebih–lebihan ini memunculkan penyakit sosial seperti
kesepian, rendah diri, menarik diri, penilaian sosial yang kurang baik, bahkan
dikatakan sebagai orang yang tidak ramah. Sering kali penyebab munculnya rasa
malu ini terkondisi sejak bayi, terutama disebabkan kurangnya dan motivasi
untuk belajar menjadi sosial. Hal ini mendorong lambatnya sifat–sifat
egosentrisme berlangsung merupakan ciri dari bayi yang mengakibatkan
perkembangan sifat introvet yang menetap. Kesempatan yang kurang untuk kontak
sosial dalam setiap usia akan mengganggu. Terutama ketika anak berusia enam
minggu sampai enam bulan. Masa ini merupakan saat kritis dalam pengembangan
sikap yang mempengaruhi pola sosialisasi.meskipun sikap sosial dapat berubah.
Namun banyak anak yang membentuk sikap sosial yang kurang baik pada saat bayi,
akan terus bersikap kurang sosial di masa selanjutnya (Hurlock,1995).5
Kecerdasan sosial menjadi penting karena pada dasarnya manusia tidak bisa
menyendiri. Banyak kegiatan dalam hidup anak berkaitan dengan orang lain.
anak–anak yang gagal mengembangkan kecerdasan interpersonal, akan mengalami
banyak hambatan dalam dunia sosialnya. Akibatnya merasa tersisihkan secara
sosial. Sering kali konflik interpersonal juga menghambat anak untuk
mengembangkan dunia sosialnya secara matang. Akibat dari hal ini anak kesepian,
merasa tidak berharga, dan suka mengisolasi diri. Pada akhirnya menyebabkan
anak mudah menjadi depresi dan kehilangan kebermaknaan hidup. Seperti yang
dikemukakan oleh Fictor Frankl (1977) sebagai simptom noogenis neurosis atau
eksistencial vacumm. Anak- anak yang terbatas 5 Ibid, hal :13 4 pergaulan
sosialnya ini jelas akan mengalami hambatan ketika mereka memasuki masa sekolah
atau dewasa.6 Ketika anak harus bekerja secara kelompok dan kemudian rasa malu
menyebabkannya menyingkir dari kegiatan bersama tersebut. Anak – anak yang
demikian adalah anak yang tidak mampu bekerja sama dengan teman sebayanya akan
cenderung tersisihkan dan tidak mendapat peran penting dalam kehidupannya
kelak. Belum lagi ketika anak menginjak dewasa dan harus memulai karir di
perusahaan tempatnya bekerja. Mereka membutuhkan keterampilan membangun relasi
baru dalam mempertahankan hubungan dengan relasinya secara baik.7 Daniel
goleman menuliskan tentang bagaimana kehidupan manusia di era teknologi seperti
sekarang ini ternyata mereka malah menjadi individualis. “ ketika teknologi
menawarkan lebih banyak variasi komunikasi yang namanya saja komunikasi
sesungguhnya adalah isolasi, lalu muncullah berbagai hal yang tidak diketahui
dalam cara manusia berhubungan dan memutuskan hubungan. Semua kecenderungan ini
mengisyaratkan lenyapnya perlahan–lahan kesempatan manusia untuk menjalin
hubungan. Rayapan teknologi yang diam– diam dan mau tak mau terjadi ini
berlangsung begitu halus dan tak kelihatan sehingga tak seorangpun pernah
menghitung biaya sosial dan emosinya”.8 Lebih lanjut Goleman menyebutkan bahwa
manusia saat ini secara tidak langsung telah banyak mengalami masalah dalam
membangun relasi sosial dengan manusia lainnya. Ini disebabkan karena media
elektronik semakin canggih. Semakin dekat dengan para penggunanya namun membuat
semakin jauh dengan orang–orang yang berada didekatnya. 6 Ibit, hal:13-14 7
Ibit,hal;14 8 Daniel Goleman,. Sosial Intelligence( Jakarta : Gramedia . 2007),
hal: 9. 5 Seiring dengan perkembangan zaman yang kian pesat di bidang teknologi
dan informasi, perkembangan perkembangan kejiwaan anak pun mengalami perubahan
yang sangat perlu diperhatikan. Saat ini, bukan pemandangan yang aneh lagi bila
seoarang anak asyik dengan dunianya sendiri ketika sedang bermain game atau
berselancar di dunia maya. Ketika dunia permainan anak–anak pada masa kini
telah dibatasi dalam sebuah ruang yang dipenuhi dengan kecanggihan teknologi,
maka kecerdasan sosialnya tidak akan berkembang dengan baik. Kecerdasan
Intelektual sangat penting untuk terus dikembangkan, Namun, kecerdasan sosial
tidak kalah pentingnya karena kecenderungan masyarakat modern, yang satu sama
lain saling bersitegang dengan waktu karena adanya target atau bahkan ambisi,
persaingan yang sangat ketat disegala bidang, kebutuhan terhadap pemenuhan
materi sekaligus gengsi yang semakin menguat, akan membuat kehangatan sosial
semakin berkurang. Disinilah pentingnya kecerdasan interpersonal pada anak
untuk terus dikembangkan agar kelak mampu hidup secara sosial dengan baik.9
Betapa penting kecerdasan sosial dikembangkan karena saat ini masih banyak
orang tua yang sangat bangga bila anaknya berhasil dalam studinya disekolah
yang ditunjukkan dengan nilai rapor yang bagus. Hal ini tidak salah, tetapi
juga tidak bisa dikatakan benar seratus persen. Beberapa penelitian justru
menunjukkan bahwa kecerdasan emosional, kecerdasan sosial, dan kecerdasan
spiritual ternyata lebih berpengaruh bagi kesuksesan anak dalam kehidupannya
pada masa mendatang bila dibandingkan dengan kecerdasan intelektual.10 9Akhmad
Muhaimin Azzet,Op cit,hal :12 10Ibid, hal : 13 6 Hal ini dapat kita ketahui
dari dari hasil penelitian Daniel Goleman (1995 dan 1998). Dalam penelitian
tersebut, ternyata kecerdasan intelektual hanya memberikan konstribusi dua
puluh persen terhadap kesuksesan hidup seseorang. Sementara yang 80 persen
sangat tergantung pada kecerdasan emosional, kecerdasan sosial, dan kecerdasan
spritual.11 Dalam penelitian tersebut, ternyata kecerdasan intelektual hanya
memberikan konstribusi dua puluh persen terhadap kesuksesan hidup seseorang.
Sementara yang 80 persen sangat tergantung pada kecerdasan emosional,
kecerdasan sosial, dan kecerdasan spritual. Maka disinilah sesungguhnya dirasa
perlu adanya pengasuhan dan pendidikan bagi anak. Disinilah dibutuhkan
perhatian yang sungguh–sungguh bagi orang tua untuk bisa memberikan asuhan dan
pendidikan yang terbaik bagi anak. Asuhan dan pendidikan yang baik sudah tentu
tidak hanya di sekolah, tetapi juga didalam lingkungan keluarga. Disini juga
perlu ada keseimbangan antara pendidikan disekolah dan keluarga. Keseimbangan
dalam arti pengembangan kecerdasan dan penerapan nilai yang diterapkan
disekolah berbanding lurus dengan pendidikan yang dibangun dalam keluarga.
Bukannya tidak sesuai atau malah bertentangan ; setidaknya bisa saling
mengisi.12 Peran orang tua memang tidak bisa dipandang ringan atau kecil dalam
memberikan asuhan dan pendidikan bagi anak–anaknya agar dapat tumbuh dan
berkembang dengan baik. Bukan hanya dipercayakan kepada sekolah yang favorit
dan terbaik, melainkan juga dirumahpun perlu asuhan dan pendidikan yang baik.
Disekolah guru bertanggung jawab mendidik karena mendapat mandat dari para
orang tua siswa, tetapi ketika dirumah hakikatnya penanggung jawab bagi
pendidikan adalah orang tua. Disebabkan yang mendapat amanat 11 Akhmad Muhaimin
Azzet ,op.cit, hal : 13 12Ibid,hal:18 7 langsung dari Tuhan berkaitan dengan
anak–anak adalah orang tuanya, dengan demikian, hakikat diciptakannya manusia
oleh Tuhan dimuka bumi ini dapat tumbuh dan berkembang dengan baik sehingga
dapat mengelola kehidupan ini dengan prestasi yang baik menuju kemakmuran dan
kebahagiaan yang sesungguhnya.13 Kebiasaan cara/gaya orang tua ketika mereka
berinteraksi dengan anakanaknya merupakan dimensi pola asuh yang penting.
Perkembangan mentalitas anak memiliki proses pencarian yang panjang bagi orang
tua untuk meningkatkan kemampuan perkembangan sosio-emosional (Bornstein,
2002).14 Sebagai contoh, pada tahun 1930-an, John Watson berpendapat bahwa
orang tua terlalu menyayangi anaknya. Pada tahun 1950-an, suatu perbedaan
terjadi antara ilmu fisik dan psikologi. Ilmu psikologi, khususnya alasan atau
motivasi yang ditekankan sebagai cara yang terbaik untuk membesarkan seorang
anak. Pada tahun 1970-an dan sesudahnya, suatu pandangan kemampuan pola asuh
orang tua yang telah menjadi lebih tepat (Lerner, 2000). Diana Baumrind (1971)
dalam pandangannya yang tersebar luas percaya bahwa orang tua seharusnya tidak
menghukum atau menarik diri, tetapi mereka seharusnya mengembangkan
peraturan-peraturan untuk anak-anak dan menyayangi mereka. Penelitian ini
dilakukan pada siswa kelas VI Sekolah Dasar Jatimulyo 0I, berdasarkan wawancara
yang dilakukan pada guru kelas VI dapat diperoleh informasi bahwa masih ada
permasalahan–permasalahan sosial siswa di Sekolah Dasar Jatimulyo 0I,yakni ada
beberapa siswa yang kurang bisa bersosialisasi,dan setelah dilakukan observasi
ada beberapa anak yang ketika disapa tidak pernah menjawab dan cuek, ketika
diajak berkomunikasi kurang 13Ibid,hal 19 14 Bornstein, M. H. (Ed.). (2002).
Handbook of Parenting: Practical Issues in Parenting (2nd ed., Vol. 5). Mahwah,
NJ: Lawrence Erlbaum Associates, Inc. 8 respek. Melihat permasalahan tersebut
bisa dikatakan bahwa anak tersebut kecerdasan sosialnya rendah, karena anak
yang memmiliki kecerdasan sosial yang tinggi memiliki beberapa kemampuan dalam
menjalin hubungan dengan orang lain yakni: a. Empati b. Sikap Prososial c.
Pemahaman situasi sosial/etika sosial d. Keterampilan pemecahan masalah. e.
Komunikasi efektif. f. Mendengarkan efektik. Setelah melakukan observasi
tentang kecerdasan sosial, peneliti melakukan observasi tipe pola asuh orang
tua siswa kelas VI SD Jatimulyo 0I,setelah dilakukan observasi anak yang
memiliki kecerdasan sosial rendah memiliki orang tua dengan tipe pola asuh
demokratis.hal ini tidak sesuai dengan teori bahwa pola asuh orang tua
mempengaruhi kepribadian,emosional,sosial pada anak. Dari deskripsi di atas,
mendorong peneliti untuk mengambil tema “ Hubungan Pola Asuh Orang Tua Dengan
Kecerdasan Sosial Pada Siswa Kelas VI Sekolah Dasar Jatimulyo 0I.dikarenakan
kecerdasan sosial dapat dikembangkan dengan pola asuh orang tua.dan kecerdasan
sosial bisa berubah dan ditingkatkan. Kecerdasan sosial ini merupakan
kecerdasan cristallized menurut konsep yang dikemukakan oleh Cattel (Azwar,
1973).15 Intelligensi dapat dipandang sebagai endapan pengalaman yang terjadi
sewaktu intelegensi fluid bercampur dengan apa yang disebut intelegensi budaya.
Intelegensi cristallized akan meningkat kadarnya 15 T Safaria, Op, Cit, hal :
24 9 dalam diri seseorang seiring bertambahnya pengetahuan, pengalaman dan
keterampilan–keterampilan yang dimiliki individu.intelegensi fluid cenderung
tidak berubah setelah usia 14 tahun atau 15 tahun, sedangkan intelegensi
cristallized masih dapat terus berkembang sampai usia 30 -40 tahunan, bahkan
lebih. Maka jelaslah bahwa kecerdasan sosial ini bersifat berubah dan dapat
ditingkatkan. Karena lebih merupakan sebuah proses belajar dari pengalaman anak
sehari–hari, bukan merupakan hereditas. Semua anak bisa memiliki kecerdasan
sosial yang tinggi, untuk itu anak membutuhkan bimbingan dan pengarahan dari
orang tua untuk mampu mengembangkan kecerdasan sosialnya. B. Rumusan Masalah
Berdasarkan dari latar belakang permasalahan di atas, maka permasalahan
penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut. 1. Bagaimana pola asuh orang
tua pada siswa di Sekolah Dasar Jatimulyo 0I ? 2. Bagaimana tingkat kecerdasan
sosial pada siswa di Sekolah Dasar Jatimulyo 0I ? 3. Apa ada hubungan antara
pola asuh orang tua terhadap kecerdasan sosial pada siswa Sekolah Dasar
Jatimulyo 0I? C. Tujuan Penelitian Tujuan penulis dalam melakukan penelitian
ini adalah : 1. Untuk mengetahui bentuk pola asuh pada pada siswa di Sekolah
Dasar Jatimulyo 0I. 2. Untuk mengetahui tingkat kecerdasan pada siswa di
Sekolah Dasar Jatimulyo 0I. 3. Untuk mengetahui hubungan pola asuh orang tua
terhadap kecerdasan sosial pada siswa di Sekolah Dasar Jatimulyo 0I. 10 D.
Manfaat penelitian 1. Manfaat secara teoritis Dengan penelitian ini diharapkan
dapat memberikan sumbangan pemikiran ilmiah yang dapat menambah pengetahuan
mengenai kecerdasan sosial, sebuah kecerdasan yang membuat kita bisa menjalin
banyak hubungan secara baik dalam kondisi bagaimanapun dalam berinteraksi
sosial. 2. Manfaat secara praktis 1. Memudahkan siswa dalam beradaptasi dalam
sebuah lingkungan sosial, dan hidupnya bisa bermanfaat tidak hanya untuk
dirinya sendiri tetapi juga bagi orang lain. 2. Guru dapat membantu siswa untuk
mengembangkan kecerdasan sosial. 3. Guru perlu mengembangkan model mengajar
sesuai dengan berbagai intelegensi, bukan hanya dengan intelegensi yang menonjol
pada dirinya.
Untuk Mendownload Skripsi "Skripsi Psikologi" : Hubungan pola asuh orang tua dengan kecerdasan sosial pada siswa kelas VI SD Jatimulyo 01." Untuk Mendownload skripsi ini silakan klik link dibawah ini
DOWNLOAD
No comments:
Post a Comment