Abstract
INDONESIA:
Sebagian besar tugas KUA adalah melayani dan mengawasi peristiwa perkawinan masyarakat yang beragama Islam. Dalam pelaksanaan tugasnya, KUA menghadapi berbagai pelanggaran pernikahan yang terjadi karena pemalsuan identitas. Padahal, untuk mencegah hal tersebut pemerintah sudah membuat sebuah upaya pencegahan yaitu wajibnya calon pengantin dan wali nikah melalui proses pemeriksaan nikah. Tetapi, proses tersebut ternyata belum mampu meminimalisir pemalsuan identitas secara signifikan. Oleh karena itu, peneliti merumuskan tiga permasalahan yaitu bagaimana PPN memahami Pasal 9 PMA No. 11 Tahun 2007 Tentang Pencatatan Nikah, bagaimana pelaksanaan pasal tersebut oleh PPN dan apa saja hambatan yang dijumpai oleh PPN serta bagaimana penyelesaiannya. Tujuan utama penelitian adalah untuk memahami secara komprehensif proses pelaksanaan pemeriksan nikah oleh PPN.
Penelitian ini adalah penelitian empiris yang menggunakan metode analisis deskriptif dengan pendekatan kualitatif. Sumber data primer dikumpulkan melalui wawancara dengan beberapa informan yang terkait dengan pelaksanaan pemeriksaan nikah khususnya dalam kasus yang dikaji yaitu Kepala dan staff KUA Tempurejo. Literatur dan dokumentasi berupa salinan putusan, arsip daftar pemeriksaan nikah juga digunakan sebagai sumber data sekunder.
Kesimpulan dari penelitian adalah PPN memahami inti dari pasal 9 yaitu pemeriksaan nikah yang wajib dilakukan adalah pemeriksaan secara administratif dan fisik sampai PPN yakin akan kebenaran data dari wali dan calon pengantin. Pemahaman ini didapat dengan metode penafsiran gramatikal, sistematis dan sosiologis. Implikasi dari pemahaman tersebut, PPN melaksanakan tugas dan kewajibannya sesuai prosedur dan dipadukan dengan kebijaksanaan yang disesuaikan dengan kondisi masyarakat. Tetapi, hasil yang dicapai ternyata belum mencapai tujuan karena beberapa hambatan baik dari internal maupun eksternal. Hambatan internal diantaranya adalah kurangnya payung hukum terkait eksistensi P3N yang memberi kontribusi besar bagi PPN dan minimnya jumlah pegawai KUA. Adapun hambatan eksternal yaitu sulitnya menghadapi masyarakat Tempurejo. Masyarakat Tempurejo termasuk tokoh agama memiliki pola pikir konservatif dan budaya tersendiri yang sulit untuk dirubah. Selain itu, tingkat pengetahuan hukum penduduk setempat, ada yang sudah melek hukum dan ada juga yang masih buta hukum, memberikan kesulitan berbeda-beda lagi bagi petugas. Langkah utama PPN mengatasi hambatan eksternal adalah menjalin kerjasama dengan para kyai.
ENGLISH:
Most of KUA task is to serve and monitor Muslims marriage events. In its task, KUA facing various violations marriage that happened because falsification identity. In fact, to prevent it, the government has made an efforts that is bride must through marriage inspection process. But, the process was apparently has not been able to minimize falsification identity significantly. Thus, researcher formulate three issues that is how PPN understand Article 9 PMA No. 11 of 2007 about Marriage Registration, how PPN implement that procedures in field and what obstacles that found by PPN and how they resolve it. The aim is to understand the process of carrying a comprehensive inspection deed by PPN.
This research is empirical research that use descriptive analysis methods with qualitative research approach. Source ofprimary data collected by an interview with some informers that are related to implementation inspection deed especially in the case who are Head and staff of KUA Tempurejo. Literature and documentation as a copy of the decision, inspection process archives, etc. used as a source of secondary data.
Conclusion from the research is PPN understands the core of article 9 is inspection deed that must be done is checking administratively and physically until PPN have faith in the truth of bride’s data. This understanding obtained by law interpretation method could be grammatically, systematic and teleological. Implications of the understanding, PPN carry out their duties and obligations according to the procedure and combined with wisdom, that is adjusted to the condition of society. But, the result achieved apparently has not been reached the goal because some obstacles from both internal and external. Internal obstacles are lack of legal related to existence P3N that gives big contribution to PPN and the lack of civil servants KUA. Whereas, external obstacles is to face the complicated society in Tempurejo. The society, including stakeholder have quite conservative mindset. While local people are rigid and have their own culture that is difficult to be changed. In addition, the level of local knowledge of the law, there is the one that has been open law and there are also those who are blind law, also give different difficulties, to the officials. Main step constraints on external is working in partnership with kyai.
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Kantor
Urusan Agama (KUA) adalah instansi Departemen Agama yang bertugas melaksanakan
sebagian tugas Kantor Departemen Agama kabupaten/kota di bidang urusan agama
islam untuk wilayah kecamatan.1 KUA memiliki tugas dan fungsi yang telah
disahkan berdasarkan Keputusan Menteri Agama No. 517 Tahun 2001 untuk mengurusi
perkara berikut ini di wilayah kecamatannya ; (1) Menyelenggarakan statisitik
dan dokumentasi, (2) Menyelenggarakan surat menyurat, kearsipan, pengetikan,
dan rumah tangga KUA (3) Melaksanakan pencatatan nikah, rujuk, mengurus dan
membina masjid, zakat, wakaf, baitul maal, dan ibadah sosial, kependudukan 1
Pasal 1 ayat (1) PMA No. 11 Tahun 2007. 2 dan pengembangan keluarga sakinah
sesuai dengan kebijaksanaan yang ditetapkan oleh Dirjen Bimas Islam berdasarkan
peraturan perundangundangan yang berlaku. Sesuai dengan UU No. 1 Tahun 1974
Tentang Perkawinan di dalam Pasal 2, disebutkan bahwa “Tiap-tiap perkawinan
dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku“. Bagi orang-orang
Islam, perkawinan dicatat oleh KUA yang terletak di kecamatan pihak yang
berkepentingan. Sedangkan untuk orang-orang non-islam pencatatan nikah
dilakukan oleh Kantor Catatan Sipil. Pernikahan yang tidak dicatat atau disebut
nikah siri tidak memiliki kekuatan hukum walaupun sah di dalam hukum islam
sehingga jika terjadi permasalahan setelah pernikahan, maka perkara tersebut
tidak bisa diselesaikan di pengadilan agama.2 Pencatatan perkawinan sendiri
bertujuan untuk mewujudkan ketertiban perkawinan dalam masyarakat, baik perkawinan
yang dilaksanakan berdasarkan hukum Islam maupun perkawinan yang dilaksanakan
oleh masyarakat yang tidak berdasarkan hukum Islam. Pencatatan perkawinan
merupakan upaya untuk mencaga kesucian (mitsaqan galidzan) aspek hukum yang
timbul dari aspek perkawinan. Realisasi pencatatan itu, melahirkan Akta Nikah
yang masing-masing dimiliki oleh suami dan istri salinannya. Akta tersebut
dapat digunakan oleh masing -masing pihak bila ada yang merasa dirugikan dari
adanya ikatan perkawinan itu untuk mendapatkan haknya.3 2 KHI Pasal 6 ayat (2)
3 Zainuddin Ali, Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta : Sinar Grafika),
2006. h 26. 3 Tujuan pernikahan di dalam islam adalah untuk melaksanakan
perintah Allah dan beribadah serta mewujudkan kehidupan rumah tangga yang
sakinah, mawaddah wa rahmah.4 Untuk itu, sebelum menikah banyak hal yang perlu
dipersiapkan, baik dari segi fisik, mental dan lain-lain. Seseorang yang secara
fisik dan mental belum siap untuk menikah dalam kehidupan rumah tangga akan
gagal mewujudkan tujuan perkawinan dan terjebak dalam sebuah dilema rumah
tangga yang dapat mendatangkan penyesalan di kemudian hari.5 Hal ini bisa
dilihat dari banyaknya kasus-kasus perceraian yang terjadi pada pasangan muda
dengan berbagai faktor perceraian walaupun bukan sesuatu yang mustahil bagi
pasangan yang sudah dewasa untuk bercerai. 6 Selain persiapan oleh calon
pengantin, hal-hal berkaitan ketentuan bagi setiap rukun nikah juga harus
diperhatikan. Syarat yang terdapat pada setiap rukun nikah harus dipenuhi. Sebagai
contoh sederhana, seorang suami haruslah berjenis kelamin laki-laki, begitu
juga istri harus berjenis kelamin perempuan sejak lahir bukan waria atau wanita
transgender walaupun statusnya sudah diakui oleh pengadilan negeri.7 Pria yang
ditunjuk untuk menjadi wali nikah juga harus diteliti agar sesuai dengan syarat
yang telah ditentukan oleh hukum Islam maupun hukum positif di Indonesia. Untuk
menjaga hal ini, maka wajib dilaksanakan pemeriksaan nikah sebagaimana 4 KHI,
Pasal 2 dan 3. 5 Mufidah, Psikologi Keluarga Islam Berwawasan Gender, (Malang :
UIN Press), 2013, h. 98. 6 Data perkara di PA Jember tahun 2013 yang peneliti
peroleh ketika melaksanakan kegiatan Praktik Kerja Lapangan Integratif di PA
Jember. 7 Departemen Agama RI, Pedoman Pegawai Pencatat Nikah, ( Jakarta :
Departemen Agama RI, 2003) h. 21. 4 dimaksud dalam Pasal 9 PMA No. 11 Tahun
2007 sebelum melakukan pernikahan sebagai upaya pencegahan terjadinya
pernikahan terlarang. Pada tahun 2010 lalu, Indonesia dihebohkan oleh
pemberitaan media mengenai kasus seorang pria yang menikahi anak tirinya. Pria
tersebut mencatatkan perkawinan dengan anak tirinya itu di KUA Sekupang, Batam.
Ketika diperiksa, dokumen-dokumen yang diperlukan sudah lengkap sehingga secara
administratif tidak ada halangan yang melarang pernikahan. Pegawai Pencatat
Nikah dimana pasangan itu mendaftarkan pernikahan mengaku merasa ditipu dan
kecolongan lalu melaporkan kasus tersebut ke Kemenag untuk diproses di PA
Batam.8 Selain kasus tersebut, pada tahun 2012 ada pula kasus paman yang
menikahi keponakannya dengan alasan ia tidak tahu bahwa seorang laki-laki tidak
boleh menikahi keponakan kandungnya.9 Dilihat dari Berita Acara Persidangan,
(BAP) , Tergugat mengaku bahwa ia mengetahui bahwa wanita yang ingin
dinikahinya adalah keponakannya. Pernikahan ini juga dilaksanakan secara sah
terbukti dengan adanya Kutipan Akta Nikah dan pengakuan oleh PPN yang
melaksanakan pernikahan. Melihat contoh nyata seperti di atas menunjukkan
pentingnya pemeriksaan calon pengantin sebelum menikah agar tidak terjadi
pernikahan yang dilarang baik oleh hukum Islam maupun hukum positif (pernikahan
terlarang). Dalam proses pemeriksaan nikah, ada sejumlah formulir yang harus
diisi oleh calon pengantin. Dari seluruh formulir-formulir tersebut, nantinya
akan diketahui 8
http://haluankepri.com/batam/5910-pernikahan-ayah-dan-anak-tiri-dibatalkan.html,
diakses pada 27 November 2014, 09.30 WIB. 9 Perkara No. 4051/Pdt.G/2012/PA. Jr.
5 ada tidaknya penghalang perkawinan yang mengakibatkan tidak sah sebuah
perkawinan baik secara islam maupun undang-undang.10 Tetapi, pada kenyataannya,
sebagaimana penjelasan oleh Kepala KUA Klojen,11 masih banyak masyarakat yang
belum memahami secara detail mengenai tatacara pengisian formulir yang sudah
diformat sangat rinci. Sehingga, peluang terjadinya pernikahan terlarang masih
besar walaupun sudah diperiksa karena adanya keterbatasan wawasan dari
masyarakat maupun keterbatasan lain dari KUA. Bukan saja itu, masyarakat desa
yang lokasinya terhitung jauh dari kota biasanya lebih sulit untuk diberi
pemahaman mengenai prosedurprosedur yang wajib dilaksanakan sebelum akad nikah.
Hal ini sangat menyulitkan PPN yang ditempatkan di daerah tersebut. Oleh karena
itu, kepala KUA sebagai penanggungjawab harus memikirkan langkah-langkah
alternatif agar tugasnya terlaksana dengan baik.12 Berdasarkan PMA No. 11 Tahun
2007 Tentang Pencatatan Nikah, Pasal 9 menyebutkan bahwa PPN memiliki wewenang
untuk memeriksa calon suami, calon istri dan wali nikah mengenai ada tidaknya
penghalang pernikahan. Selanjutnya, Pasal 12 memberi KUA kewenangan untuk
menolak kehendak nikah calon pengantin tersebut jika didapati adanya
penghalang. Peraturan ini secara langsung menyerahkan sebuah wewenang absolut
kepada KUA baik akan melaksanakan maupun menolak sebuah kehendak pernikahan
sesuai dengan syariat Islam dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Mengingat banyaknya kasus-kasus pernikahan terlarang yang terjadi, 10
Departemen, Pedoman,h. 2003. 11 Shampton, wawancara (Klojen, 31 Oktober 2014).
12 Mursyid, wawancara (Tempurejo, 22 Januari 2015). 6 sehingga peneliti
merasakan perlunya ada optimalisasi dalam proses pemeriksaan nikah yang
dilakukan oleh PPN. Untuk mengoptimalisasikan upaya pencegahan ini, maka
sebelumnya perlu diketahui problematika apa saja yang dihadapi oleh PPN ketika
pelaksanaan tugas. Disinilah letak ketertarikan peneliti untuk meneliti hal ini
dengan lebih lanjut mengenai kewenangan KUA untuk memeriksa calon pengantin dan
wali nikah. Penelitian mengenai pelaksanaan pemeriksaan nikah, peneliti fokuskan
di KUA Kecamatan Tempurejo dimana pernah terjadi kasus pernikahan poliandri
yang kedua pernikahan dilaksanakan di KUA yang sama dan dalam satu tahun yang
sama. Peneliti akan melihat dimana letak permasalahan yang dihadapi PPN
sehingga tujuan pemeriksaan nikah tidak tercapai. Peneliti juga memilih
melakukan penelitian di kecamatan Tempurejo melihat dari berbagai hal. Pertama,
masyarakat Tempurejo terdiri dari etnik Jawa dan Madura. Persentase
perbandingan kedua etnis tersebut berbeda-beda di setiap desa. Sebagai contoh
di desa Pondokrejo, 70 persen masyarakat terdiri dari etnik Madura, sedangkan
masyarakat di desa Wonoasri 80 persen adalah etnik Jawa. Khusus di Tempurejo,
sikap dan perilaku masyarakat disana sedikit keras. Selain itu, pola pikir
masyarakat masih konservatif tidak terkecuali tokoh agamanya. Selain keras dan
konservatif, rupanya masyarakat juga sudah “pintar”. Sering terjadi kasus-kasus
pemalsuan identitas. Hal lain yang menarik peneliti adalah karena kebiasaan
masyarakat dalam mengambil 7 keputusan secara informal lebih tinggi daripada
secara formal dan hal ini yang oleh PPN dimanfaatkan agar programnya bisa
terlaksana. 13 B. Batasan Masalah Peneliti membatasi objek pembahasan
penelitian terhadap pelaksanaan Pasal 9 PMA No 11 Tahun 2007 mengenai
kewenangan KUA memeriksa calon pengantin dan wali nikah sebelum melaksanakan
pernikahan. Pelaksanaan ini mencakup pemahaman dasar hukum, teknis pelaksanaan,
dan hambatan serta upaya penyelesaian oleh PPN. Dalam penelitian ini, peneliti
mengambil satu contoh kasus yaitu pernikahan poliandri yang dilaksanakan di KUA
yang sama pada tahun yang sama. Namun, tidak menutup kemungkinan ada hasil
analisis penelitian yang membahas tentang hal lain yang termasuk salah satu
prosedur pencatatan nikah karena pemeriksaan nikah sendiri adalah salah satu
prosedur di dalam proses pencatatan nikah. Pemeriksaan nikah dalam hemat
peneliti memiliki peran yang sangat besar untuk mencegah terjadinya pernikahan
terlarang karena syarat dan rukun yang tidak terpenuhi, baik menurut hukum
Islam maupun hukum positif. C. Rumusan Masalah Berangkat dari pembatasan
masalah di atas, maka permasalahan yang harus dijawab peneliti rumuskan sebagai
berikut : 13 Mursyid, wawancara (Kalisat, 08 April 2015). 8 1. Bagaimana PPN
memahami Pasal 9 PMA No. 11 Tahun 2007 tentang Pencatatan Nikah? 2. Bagaimana
pelaksanaan pasal 9 PMA No 11 Tahun 2007 tentang Pencatatan Nikah di KUA
Tempurejo? 3. Apa hambatan di dalam pelaksanaan pasal 9 PMA No. 11 Tahun 2007
Tentang Pencatatan Nikah dan bagaimana upaya penyelesaiannya? D. Tujuan
Penelitian 1. Mendeskripsikan pemahaman PPN terhadap pasal 9 PMA NO. 11 Tahun
2007 Tentang Pencatatan Nikah. 2. Memahami pelaksanaan Pasal 9 PMA No 11 Tahun
2007 Tentang Pencatatan Nikah di KUA Tempurejo. 3. Menjelaskan hambatan dalam
pelaksanaan dan bagaimana upaya penyelesaiannya. E. Manfaat Penelitian 1.
Secara Teoritis a. Menambah khazanah kepustakaan yang berkaitan tentang ilmu
hukum, khususnya berkaitan dengan kewenangan KUA melaksanakan pemeriksaan nikah
secara aplikatif di lapangan. b. Mengembangkan materi hukum dengan data-data
dari lapangan sebagai pertimbangan pemerintah membuat kebijakan. 9 2. Secara
praktis a. Memberikan rekomendasi pertimbangan kebijakan yang dapat diambil
oleh pemerintah pusat Indonesia. b. Meningkatkan pengetahuan masyarakat
mengenai proses pelaksanaan pemeriksaan nikah dan pernikahan yang seperti apa
yang dilarang untuk dilaksanakan oleh undang-undang maupun agama secara rinci.
c. Memberikan berbagai saran dan masukan yang membangun kepada petugas atau
pelaksana tugas (khususnya PPN) di lapangan. d. Mengembangkan pengetahuan
penulis yang pada awalnya hanya mempelajari teori, sehingga dengan ini dapat
melihat langsung bagaimana pelaksaanaan pemeriksaan nikah yang diatur dalam PMA
No. 11 Tahun 2007 di lapangan. F. Definisi Operasional 1. Pemeriksaan Nikah :
Proses melihat dengan teliti untuk mengetahui keadaan (baik tidaknya, salah
benarnya,) suatu pernikahan yang akan dilaksanakan. 2. PMA (Peraturan Menteri
Agama) : Peraturan kebijakan yang diterbitkan oleh Menteri Agama yang diakui
keberadaannya di dalam Pasal 8 UU No. 12 Tahun 2011 dan dianggap sebagai sebuah
Freies Ermessen dalam pelaksanaan tugas dan fungsi Kementerian PPN/Bappenas.14
14 Biro Hukum Kementerian PPN/Bappenas, “Kedudukan Hukum Peraturan (Regeling)
dan Peraturan Kebijakan (Beleidregel) di Bawah Peraturan Menteri PPN/Kepala
Bappenas” , Agustus 2012, h. 13. 10 3. Pernikahan Terlarang : Pernikahan yang
dilarang dan tidak boleh dilaksanakan baik menurut undang-undang maupun agama
karena kurang syarat dan/atau rukunnya. G. Sistematika Penulisan Supaya
pembahasan ini terstuktur dengan baik dan dapat ditelusuri oleh pembaca dengan
mudah, serta dapat memperoleh gambaran yang jelas dan menyeluruh, dalam
penelitian ini, maka disusun sesuai dengan sistematika pembahasan yang terdiri
dari 5 (lima) bab sebagai berikut: Melalui Bab I, peneliti memberikan wawasan
umum tentang arah penelitian yang dilakukan. Dengan latar belakang, dimaksudkan
agar pembaca dapat mengetahui konteks penelitian serta problema yang terjadi.
Pendahuluan ini berisi tentang hal-hal pokok yang dapat dijadikan pijakan dalam
memahami bab-bab selanjutnya yang terdiri dari beberapa sub bagian yang
didalamnya memuat latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian,
manfaat penelitian, definisi operasional, penelitian terdahulu, dan sistematika
pembahasan. Berikutnya, di dalam Bab II peneliti beberkan pemikiran atau konsep
yuridis sebagai landasan teoritis untuk pengkajian masalah yang berisi
informasi baik secara substansial maupun metode-metode yang relevan dengan
permasalahan penelitian. Peneliti juga meringkas secara umum penelitian
terdahulu yang berisi perbedaan serta titik singgungnya dengan penelitian ini.
Teori yang peneliti gunakan antara lain teori 11 interpretasi hukum sebagai
salah satu pisau analisa menjawab rumusan masalah pertama. Selanjutnya peneliti
menjadikan teori efektivitas hukum sebagai salah satu alat untuk menjawab
rumusan masalah ketiga. Sedangkan tinjauan pustaka lainnya adalah mengenai
pencatatan nikah, pemeriksaan nikah dan pelaksana dari peratiran
perundang-undangan PMA No. 11 Tahun 2007 Tentang Pencatatan Nikah. Bab III di
dalam penelitian hukum empiris membahas metode penelitian yang digunakan.
Disini, dijelaskan mengenai jenis penelitian, pendekatan penelitian, objek dan
lokasi penelitian. metode pengumpulan data, metode pengolahan data dan metode
penyajian data. Secara ringkas, penelitian ini adalah penelitian hukum empiris
yang menggunakan pendekatan yuridis sosiologis dan berlokasi di Kantor Urusan
Agama Kecamatan Tempurejo Kabupaten Jember. Peneliti menggunakan dokumentasi
dan wawancara sebagai metode pengumpulan data yang mana setelah diolah akan
disajikan di bab selanjutnya. Dalam Bab IV peneliti menyajikan dan menganalisis
data-data yang sudah diperoleh, supaya dapat menjawab permasalahan yang ada
pada rumusan masalah, sehingga mendapatkan jawaban dari permasahan tersebut.
Analisis yang peneliti gunakan adalah analisis deskriptif kualitatif. BAB V
sebagai penutup. Penelitian ini akan ditutup dengan kesimpulan dan saran yang
dapat diberikan kepada berbagai pihak yang terkait. Kesimpulan dimaksud sebagai
ringkasan penelitian. Hal ini penting sebagai penegasan kembali terhadap hasil
penelitian yang ada dalam bab IV. 12 Sehingga pembaca dapat memahaminya secara
konkret dan utuh. Sedangkan saran merupakan harapan penulis kepada para pihak
yang berkompeten dalam masalah ini, agar penelitian dapat memberikan kontribusi
bagi pengembangan materi berkaitan selanjutnya.
DOWNLOAD
No comments:
Post a Comment