Abstract
INDONESIA:
Pada prinsipnya, dalam hubungan seksual, suami dan istri memiliki hak yang sama (keseimbangan antara hak dan kewajiban suami istri) Idealnya adalah persetubuhan yang bisa dinikmati oleh kedua belah pihak dengan kepuasan nafsu “birahi” sebagai manusia yang adil dan merata. Bukan persetubuhan yang dipaksakan oleh salah satu pasangannya baik dalam hal ini seorang suami, sementara sang istri dalam keadaan capek, sakit, tidak berselera, bahkan bisa jadi ketika datang bulan. Pemaksaan hubungan seksual dalam rumah tangga jelas telah melanggar hak istri, karena seks adalah juga haknya. Aktivitas seksual yang didasari oleh pemaksaan (pemerkosaan) menyebabkan hanya pihak suami saja yang dapat menikmati, sedang istri tidak sama sekali, bahkan tersakiti. Tanpa kehendak dan komunikasi yang baik antara suami dan istri, mustahil terjadi keselarasan akses kepuasaan. Hubungan seks yang dilakukan di bawah tekanan atau pemaksaan sama halnya dengan penindasan.
Adapun fokus penelitian ini adalah membahas hal-hal yang berkaitan dengan bentuk-bentuk pemaksaan seksual suami terhadap isteri dalam rumah tangga perspektif UU. No. 23 tahun 2004 dan perspektif Fiqh Islam
Penelitian ini adalah penelitian kualitatif yang bertujuan untuk memahami fenomena yang dialami oleh subjek penelitian secara holistik, dan dengan cara deskriptif dalam bentuk kata-kata dan bahasa dengan memanfaatkan berbagai metode alamiah.
Adapun hasil penelitian ini adalah, pertama, Bentuk-Bentuk Pemaksaan Hubungan Seksual Suami Terhadap Istri Perspektif UU NO. 23 Tahun 2004 Tentang PKDRT adalah 1) Pemaksaan hubungan seksual tanpa persetujuan korban atau pada saat korban tidak menghendaki, 2) Pemaksaan hubungna seksual dengan cara tidak disukai, merendahkan dan atau menyakitkan, 3) Pemaksaan hubungan seksual dengan orang lain untuk tujuan pelacuran dan atau tujuan tertentu, 4) Terjadinya hubungan seksual dimana pelaku memanfaatkan posisi ketergantungan korban yang seharusnya dilindungi, dan 5) Tindakan seksual dengan kekerasan fisik dengan atau tanpa bantuan alat yang menimbulkan sakit, luka atau cedera. Kedua, adapun bentuk-Bentuk Pemaksaan Hubungan Seksual Suami Terhadap Istri Perspektif Fiqh adalah ‘azl (coitus interruptus) yakni menarik dzakar (penis) keluar dari farji (vagina) pada saat-saat mau keluar mani.
Tiga dari empat madzhab yaitu: Imam Hanafi, Imam Maliki, dan Hambali sepakat bahwa ‘azl tidak boleh dilakukan begitu saja oleh suami tanpa seizin istri, dengan alasan dapat merusak kenikmatan istri.
Tiga dari empat madzhab yaitu: Imam Hanafi, Imam Maliki, dan Hambali sepakat bahwa ‘azl tidak boleh dilakukan begitu saja oleh suami tanpa seizin istri, dengan alasan dapat merusak kenikmatan istri.
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang Masalah
Keseimbangan antara hak dan kewajiban suami
istri serta hidup damai dalam rumah tangga ialah sesuatu yang pasti sangat
diidamkan oleh setiap pasangan suami istri. Akan tetapi semua impian itu akan
berubah menjadi kenyataan yang menyakitkan apabila didalamnya ternyata dinodai
dengan adanya tindak kekerasan dalam rumah tangga. Pada dasarnya kekerasan
adalah semua bentuk perilaku, baik verbal maupun non verbal yang dilakukan oleh
seseorang atau sekelompok orang, terhadap seseorang atau sekelompok orang
lainya, sehingga menyebabkan efek negatif baik secara fisik, emosional maupun
psikologis kepada orang yang menjadi sasarannya. Johan Galtung menyatakan bahwa
kekerasan adalah suatu perlakuan atau situasi yang menyebabkan realitas aktual
seseorang ada dibawah realitas potensialnya.1 Menurut Jhonson dan Sacco,
kekerasan terhadap perempuan (seksual) yang dilakukan oleh suami atau pasangan
intimnya (intimate partner violence ) dikenal dengan istilah kekerasan terhadap
istri (wife abuse). Kasus pemerkosaan terhadap perempuan tidak hanya terjadi di
luar perkawinan, di dalam perkawinan pun juga kerap terjadi. Terutama
pemerkosaan yang dilakukan oleh suami terhadap istri. Salah satu bentuk perihal
kekerasan dalam rumah tangga yang 1 Elli Nurhayati, Panduan Untuk Pendamping
Korban Kekerasan (Konseling Berwawasan Gender) (Yogyakarta: Rifki Anisa, 2000),
28 17 paling rawan terjadi yaitu kekerasan seksual terhadap istri atau yang
lebih dikenal dengan istilah Marital Rape. Dalam undang-undang KDRT pasal 1
ayat 1 disebutkan bahwa kekerasan dalam rumah tangga adalah setiap perbuatan
terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan
atau penderitaan secara fisik, seksual, psilokogis, dan atau perampasan
kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga. Pada prinsipnya,
dalam hubungan seksual, suami dan istri memiliki hak yang sama (keseimbangan
antara hak dan kewajiban suami istri) Idealnya adalah persetubuhan yang yang
bisa dinikmati oleh kedua belah pihak dengan kepuasan nafsu “birahi” -sebagai
manusia- yang adil dan merata. Bukan persetubuhan yang dipaksakan oleh salah
satu pasangannya baik dalam hal ini seorang suami, sementara sang istri dalam
keadaan capek, sakit, tidak berselera, bahkan bisa jadi ketika datang bulan.
Selama ini kekerasan seksual yang dilakukan suami terhadap istri (marital rape)
sangat jarang mendapatkan perhatian dikalangan masyarakat. Suami yang
memaksakan sebuah aktifitas senggama, jarang dimunculkan ke permukaan oleh
istrinya. Lemahnya kedudukan istri dalam keluarga dan masyarakat menjadi salah
satu penyebab. Lebih-lebih peran serta publik, yang berasumsi laki-laki
mempunyai hak otonom di dalam keluarga. Pasalnya membuat laki-laki merasa
berhak melakukan apa saja terhadap perempuan. Parahnya, kebanyakan dari kaum
laki-laki menganggap perkawinan adalah legitimasi resmi atas kekuasaannya terhadap
kaum perempuan. 18 Dalam Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004 sudah dijelaskan
aturanya secara jelas, terkait dengan marital rape sebagai pemerkosaan terhadap
perempuan. Akan tetapi Sangat ironis, pelaku kekerasan seksual terhadap istri
(marital rape) yang terjadi di masyarakat hanya dijerat dengan Pasal 351, 353,
dan 356 tentang penganiayaan. Hukuman yang jauh lebih ringan jika digolongkan
ke dalam delik pemerkosaan. Pemerkosaan adalah bentuk kekerasan terberat yang
dirasakan oleh perempuan. Akibatnya tidak hanya berdampak pada rusaknya organ
fisik tapi juga psikis. Pemaksaan hubungan seksual dalam rumah tangga jelas
telah melanggar hak istri, karena seks adalah juga haknya. Aktivitas seksual
yang didasari oleh pemaksaan (pemerkosaan) menyebabkan hanya pihak suami saja
yang dapat menikmati, sedang istri tidak sama sekali, bahkan tersakiti. Tanpa
kehendak dan komunikasi yang baik antara suami dan istri, mustahil terjadi
keselarasan akses kepuasaan. Hubungan seks yang dilakukan di bawah tekanan atau
pemaksaan sama halnya dengan penindasan. Perempuan yang secara berulang dan
berkelanjutan menjadi korban pemerkosaan suaminya akan terjangkiti beberapa
karakter, antara lain: pertama, inferior (merasa rendah diri) dan tidak percaya
diri, kedua, kerap dan selalu merasa bersalah sebab ia membuat suami ‘kalap”,
dan ketiga, menderita gangguan reproduksi akibat perasaan tertekan atau stres,
seperti infertilitas (kurang mampu menghasilkan keturunan) dan kacaunya siklus
haid. Hal yang demikian itu, apakah publik (masyarakat) akan (masih) memandang
sebelah mata dengan kasus marital rape (kekerasan seksual terhadap 19 istri)?
Sementara kaum perempuan terus akan dirugikan dan dilukai, fisik maupun
psikisnya. Berangkat dari problematika sosial inilah di mana seringkali terjadi
bentuk-bentuk kekerasan seksual yang dilakukan oleh seorang suami terhadap
isteri yang semestinya masuk dalam koridor tindakan kriminal, namun selalu
berlindung dalam konsep agama dan adat, peneliti mencoba mengkaji ulang hal ini
dari perspektif UU No. 23 Tahun 2004 dan fiqh Islam agar tidak lagi terdapat
penyimpangan paham masyarakat tentang hukum Islam yang kesannya kurang
memperhatikan bentuk-bentuk kekerasan seksual suami terhadap istri. Upaya
penggalian bentuk-bentuk kekerasan tersebut, penulis usung dengan bentuk
penelitian dengan judul: “Bentuk-Bentuk Pemaksaan Hubungan Seksual Suami
Terhadap Istri PerspektiF UU. NO. 23 Tahun 2004 Dan Fiqh Islam”
B. Rumusan Masalah Berdasar pada
problematika sosial di atas, maka mendapatkan rumusan masalah sebagai berikut:
1. Bagaimana bentuk-bentuk pemaksaan seksual suami terhadap isteri dalam rumah
tangga perspektif UU. No. 23 tahun 2004 ? 2. Bagaimana bentuk-bentuk pemaksaan
seksual suami terhadap istri dalam rumah tangga perspektif Fiqh Islam?
C. Tujuan Penelitian Berdasarkan
permasalahan yang telah dikemukakan di atas maka tujuan dari penelitian ini
adalah sebagai berikut : 1. Untuk menggambarkan bentuk-bentuk tindakan
kekerasan seksual seorang suami terhadap isteri dalam rumah tangga perspektif
UU. No. 23 tahun 2004 2. Untuk menggambarkan bentuk-bentuk tindakan kekerasan
seksual seorang suami terhadap isteri dalam rumah tangga perspektif Fiqh Islam
D. Kegunaan Penelitian Kegunaan
penelitian adalah deskripsi tentang pentingnya penelitian terutama bagi
pengembangan ilmu atau pembangunan dalam arti luas, dengan arti lain, uraian
dalam sub bab kegunaan penelitian berisi tentang kelayakan atas masalah yang
diteliti.2 Sedangkan kegunaan dari penelitian ini adalah sebagai berikut: 1.
Teoritis: sebagai bentuk usaha dalam mengembangkan khazanah keilmuan, baik
penulis maupun mahasiswa fakultas syariah. 2. praktis: dapat menghindari pola
pikir sempit dan menyimpang tentang hukum islam secara ansih yang mengindahkan
bentuk kekeran-kekerasan
Untuk Mendownload Skripsi "Skripsi al-Ahwal al-Syakhshiyyah" :Bentuk-bentuk pemaksaan hubungan seksual suami terhadap istri perspektif UU. no. 23 tahun 2004 dan fiqh Islam" Untuk Mendownload skripsi ini silakan klik link dibawah ini
No comments:
Post a Comment