Jasa Pembuatan Skripsi

Jasa Pembuatan Skripsi
Jasa Pembuatan Skripsi

Friday, June 9, 2017

Jasa Buat Skripsi: download Skripsi al-Ahwal al-Syakhshiyyah:Bentuk-bentuk pemaksaan hubungan seksual suami terhadap istri perspektif UU. no. 23 tahun 2004 dan fiqh Islam

Abstract

INDONESIA:
Pada prinsipnya, dalam hubungan seksual, suami dan istri memiliki hak yang sama (keseimbangan antara hak dan kewajiban suami istri) Idealnya adalah persetubuhan yang bisa dinikmati oleh kedua belah pihak dengan kepuasan nafsu “birahi” sebagai manusia yang adil dan merata. Bukan persetubuhan yang dipaksakan oleh salah satu pasangannya baik dalam hal ini seorang suami, sementara sang istri dalam keadaan capek, sakit, tidak berselera, bahkan bisa jadi ketika datang bulan. Pemaksaan hubungan seksual dalam rumah tangga jelas telah melanggar hak istri, karena seks adalah juga haknya. Aktivitas seksual yang didasari oleh pemaksaan (pemerkosaan) menyebabkan hanya pihak suami saja yang dapat menikmati, sedang istri tidak sama sekali, bahkan tersakiti. Tanpa kehendak dan komunikasi yang baik antara suami dan istri, mustahil terjadi keselarasan akses kepuasaan. Hubungan seks yang dilakukan di bawah tekanan atau pemaksaan sama halnya dengan penindasan.
Adapun fokus penelitian ini adalah membahas hal-hal yang berkaitan dengan bentuk-bentuk pemaksaan seksual suami terhadap isteri dalam rumah tangga perspektif UU. No. 23 tahun 2004 dan perspektif Fiqh Islam
Penelitian ini adalah penelitian kualitatif yang bertujuan untuk memahami fenomena yang dialami oleh subjek penelitian secara holistik, dan dengan cara deskriptif dalam bentuk kata-kata dan bahasa dengan memanfaatkan berbagai metode alamiah.

Adapun hasil penelitian ini adalah, pertama, Bentuk-Bentuk Pemaksaan Hubungan Seksual Suami Terhadap Istri Perspektif UU NO. 23 Tahun 2004 Tentang PKDRT adalah 1) Pemaksaan hubungan seksual tanpa persetujuan korban atau pada saat korban tidak menghendaki, 2) Pemaksaan hubungna seksual dengan cara tidak disukai, merendahkan dan atau menyakitkan, 3) Pemaksaan hubungan seksual dengan orang lain untuk tujuan pelacuran dan atau tujuan tertentu, 4) Terjadinya hubungan seksual dimana pelaku memanfaatkan posisi ketergantungan korban yang seharusnya dilindungi, dan 5) Tindakan seksual dengan kekerasan fisik dengan atau tanpa bantuan alat yang menimbulkan sakit, luka atau cedera. Kedua, adapun bentuk-Bentuk Pemaksaan Hubungan Seksual Suami Terhadap Istri Perspektif Fiqh adalah ‘azl (coitus interruptus) yakni menarik dzakar (penis) keluar dari farji (vagina) pada saat-saat mau keluar mani.

Tiga dari empat madzhab yaitu: Imam Hanafi, Imam Maliki, dan Hambali sepakat bahwa ‘azl tidak boleh dilakukan begitu saja oleh suami tanpa seizin istri, dengan alasan dapat merusak kenikmatan istri.


BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang Masalah
 Keseimbangan antara hak dan kewajiban suami istri serta hidup damai dalam rumah tangga ialah sesuatu yang pasti sangat diidamkan oleh setiap pasangan suami istri. Akan tetapi semua impian itu akan berubah menjadi kenyataan yang menyakitkan apabila didalamnya ternyata dinodai dengan adanya tindak kekerasan dalam rumah tangga. Pada dasarnya kekerasan adalah semua bentuk perilaku, baik verbal maupun non verbal yang dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang, terhadap seseorang atau sekelompok orang lainya, sehingga menyebabkan efek negatif baik secara fisik, emosional maupun psikologis kepada orang yang menjadi sasarannya. Johan Galtung menyatakan bahwa kekerasan adalah suatu perlakuan atau situasi yang menyebabkan realitas aktual seseorang ada dibawah realitas potensialnya.1 Menurut Jhonson dan Sacco, kekerasan terhadap perempuan (seksual) yang dilakukan oleh suami atau pasangan intimnya (intimate partner violence ) dikenal dengan istilah kekerasan terhadap istri (wife abuse). Kasus pemerkosaan terhadap perempuan tidak hanya terjadi di luar perkawinan, di dalam perkawinan pun juga kerap terjadi. Terutama pemerkosaan yang dilakukan oleh suami terhadap istri. Salah satu bentuk perihal kekerasan dalam rumah tangga yang 1 Elli Nurhayati, Panduan Untuk Pendamping Korban Kekerasan (Konseling Berwawasan Gender) (Yogyakarta: Rifki Anisa, 2000), 28 17 paling rawan terjadi yaitu kekerasan seksual terhadap istri atau yang lebih dikenal dengan istilah Marital Rape. Dalam undang-undang KDRT pasal 1 ayat 1 disebutkan bahwa kekerasan dalam rumah tangga adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psilokogis, dan atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga. Pada prinsipnya, dalam hubungan seksual, suami dan istri memiliki hak yang sama (keseimbangan antara hak dan kewajiban suami istri) Idealnya adalah persetubuhan yang yang bisa dinikmati oleh kedua belah pihak dengan kepuasan nafsu “birahi” -sebagai manusia- yang adil dan merata. Bukan persetubuhan yang dipaksakan oleh salah satu pasangannya baik dalam hal ini seorang suami, sementara sang istri dalam keadaan capek, sakit, tidak berselera, bahkan bisa jadi ketika datang bulan. Selama ini kekerasan seksual yang dilakukan suami terhadap istri (marital rape) sangat jarang mendapatkan perhatian dikalangan masyarakat. Suami yang memaksakan sebuah aktifitas senggama, jarang dimunculkan ke permukaan oleh istrinya. Lemahnya kedudukan istri dalam keluarga dan masyarakat menjadi salah satu penyebab. Lebih-lebih peran serta publik, yang berasumsi laki-laki mempunyai hak otonom di dalam keluarga. Pasalnya membuat laki-laki merasa berhak melakukan apa saja terhadap perempuan. Parahnya, kebanyakan dari kaum laki-laki menganggap perkawinan adalah legitimasi resmi atas kekuasaannya terhadap kaum perempuan. 18 Dalam Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004 sudah dijelaskan aturanya secara jelas, terkait dengan marital rape sebagai pemerkosaan terhadap perempuan. Akan tetapi Sangat ironis, pelaku kekerasan seksual terhadap istri (marital rape) yang terjadi di masyarakat hanya dijerat dengan Pasal 351, 353, dan 356 tentang penganiayaan. Hukuman yang jauh lebih ringan jika digolongkan ke dalam delik pemerkosaan. Pemerkosaan adalah bentuk kekerasan terberat yang dirasakan oleh perempuan. Akibatnya tidak hanya berdampak pada rusaknya organ fisik tapi juga psikis. Pemaksaan hubungan seksual dalam rumah tangga jelas telah melanggar hak istri, karena seks adalah juga haknya. Aktivitas seksual yang didasari oleh pemaksaan (pemerkosaan) menyebabkan hanya pihak suami saja yang dapat menikmati, sedang istri tidak sama sekali, bahkan tersakiti. Tanpa kehendak dan komunikasi yang baik antara suami dan istri, mustahil terjadi keselarasan akses kepuasaan. Hubungan seks yang dilakukan di bawah tekanan atau pemaksaan sama halnya dengan penindasan. Perempuan yang secara berulang dan berkelanjutan menjadi korban pemerkosaan suaminya akan terjangkiti beberapa karakter, antara lain: pertama, inferior (merasa rendah diri) dan tidak percaya diri, kedua, kerap dan selalu merasa bersalah sebab ia membuat suami ‘kalap”, dan ketiga, menderita gangguan reproduksi akibat perasaan tertekan atau stres, seperti infertilitas (kurang mampu menghasilkan keturunan) dan kacaunya siklus haid. Hal yang demikian itu, apakah publik (masyarakat) akan (masih) memandang sebelah mata dengan kasus marital rape (kekerasan seksual terhadap 19 istri)? Sementara kaum perempuan terus akan dirugikan dan dilukai, fisik maupun psikisnya. Berangkat dari problematika sosial inilah di mana seringkali terjadi bentuk-bentuk kekerasan seksual yang dilakukan oleh seorang suami terhadap isteri yang semestinya masuk dalam koridor tindakan kriminal, namun selalu berlindung dalam konsep agama dan adat, peneliti mencoba mengkaji ulang hal ini dari perspektif UU No. 23 Tahun 2004 dan fiqh Islam agar tidak lagi terdapat penyimpangan paham masyarakat tentang hukum Islam yang kesannya kurang memperhatikan bentuk-bentuk kekerasan seksual suami terhadap istri. Upaya penggalian bentuk-bentuk kekerasan tersebut, penulis usung dengan bentuk penelitian dengan judul: “Bentuk-Bentuk Pemaksaan Hubungan Seksual Suami Terhadap Istri PerspektiF UU. NO. 23 Tahun 2004 Dan Fiqh Islam”
B. Rumusan Masalah Berdasar pada problematika sosial di atas, maka mendapatkan rumusan masalah sebagai berikut: 1. Bagaimana bentuk-bentuk pemaksaan seksual suami terhadap isteri dalam rumah tangga perspektif UU. No. 23 tahun 2004 ? 2. Bagaimana bentuk-bentuk pemaksaan seksual suami terhadap istri dalam rumah tangga perspektif Fiqh Islam?
C. Tujuan Penelitian Berdasarkan permasalahan yang telah dikemukakan di atas maka tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Untuk menggambarkan bentuk-bentuk tindakan kekerasan seksual seorang suami terhadap isteri dalam rumah tangga perspektif UU. No. 23 tahun 2004 2. Untuk menggambarkan bentuk-bentuk tindakan kekerasan seksual seorang suami terhadap isteri dalam rumah tangga perspektif Fiqh Islam

D. Kegunaan Penelitian Kegunaan penelitian adalah deskripsi tentang pentingnya penelitian terutama bagi pengembangan ilmu atau pembangunan dalam arti luas, dengan arti lain, uraian dalam sub bab kegunaan penelitian berisi tentang kelayakan atas masalah yang diteliti.2 Sedangkan kegunaan dari penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Teoritis: sebagai bentuk usaha dalam mengembangkan khazanah keilmuan, baik penulis maupun mahasiswa fakultas syariah. 2. praktis: dapat menghindari pola pikir sempit dan menyimpang tentang hukum islam secara ansih yang mengindahkan bentuk kekeran-kekerasan
Untuk Mendownload Skripsi "Skripsi al-Ahwal al-Syakhshiyyah" :Bentuk-bentuk pemaksaan hubungan seksual suami terhadap istri perspektif UU. no. 23 tahun 2004 dan fiqh IslamUntuk Mendownload skripsi ini silakan klik link dibawah ini


Artikel Terkait:

No comments:

Post a Comment