Abstract
INDONESIA:
Ada perbedaan konsep hak isteri menolak rujuk dalam masa iddah talak raj’i antara ahli fiqih dengan Kompilasi Hukum Islam. Di dalam Kitab “Bidayatul Mujtahid” karangan Ibnu Rusyd dikatakan bahwa kaum muslim telah sependapat bahwa suami mempunyai hak merujuk isteri pada talak raj’i selama masih berada dalam masa iddah tanpa mempertimbangkan persetujuan isteri. Sedangkan di dalam KHI pasal 164 dijelaskan bahwa seorang wanita dalam masa iddah talak raj’i berhak mengajukan keberatan atas kehendak rujuk dari mantan suaminya. Hal ini sangat menarik untuk diteliti yaitu bagaimana bisa terjadi perubahan hak seorang wanita dalam masa iddah talak raj’i yang semula tidak mempunyai hak untuk menolak menjadi berhak untuk menolak rujuk yang dilakukan oleh mantan suaminya tersebut. Peneliti mencoba menganalisis hak mantan isteri dalam masa iddah talak raj’i ini perspektif Hak Asasi Manusia (Undang-Undang No.39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia Bagian Kesembilan Tentang Hak Wanita Pasal 50).
Penelitian dalam skripsi ini merupakan penelitian hukum normatif dengan menggunakan pendekatan Undang-Undang (statute approach) yang bertujuan untuk menganalisis teks dari buku dan pasal dalam Undang-Undang yang berkaitan atau dapat dikaitkan dengan permasalahan hak isteri menolak rujuk dalam masa iddah talak raj’i. Selanjutnya dalam menganalisis digunakan teknik analisis komparatif yaitu membandingkan produk fiqih dengan produk KHI dalam masalah hak isteri menolak rujuk dalam masa iddah talak raj’i serta relevansinya dengan Undang-Undang No.39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia Bagian Kesembilan Tentang Hak Wanita Pasal 50.
Hasil penelitian menyebutkan bahwa seorang wanita dalam masa iddah talak raj’i mempunyai hak untuk menolak kehendak rujuk dari mantan suaminya dikarenakan dalam sebuah perkawinan kedudukan seorang suami dan isteri adalah seimbang, yaitu sama-sama mempunyai hak untuk melakukan perbuatan hukum. Perubahan konsep penolakan rujuk oleh isteri yang sedang dalam masa iddah talak raj’i tersebut didasarkan atas tidak adanya niat ishlah dari mantan suami dalam melakukan rujuk. Apabila kehendak rujuk yang dilakukan oleh suami didasarkan atas niat ishlah, maka isteri tidak boleh menolaknya. Hal ini relevan dengan Undang-Undang No.39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia Bagian Kesembilan Tentang Hak Wanita Pasal 50 yang menyebutkan bahwa seorang wanita dewasa atau telah menikah berhak melakukan perbuatan hukum. Dengan demikian sesungguhnya hukum Islam melindungi hak-hak seorang wanita.
ENGLISH:
There are differences in the concept of the wife refused to refer the prescribed period raj'i divorces among jurists with Compilation of Islamic Law. In the book "Bidayatul Mujtahid" by Ibn Rusyd said that the Muslims have agreed that the husband has the right to refer to the wife during the divorce raj'i still within prescribed period without considering the approval of the wife. While in the KHI Article 164 was explained that a woman in a prescribed period of divorce raj'i entitled to object to the will of reconciliation from her ex-husband. It is very interesting to study is how can a change a woman's rights in divorce prescribed period raj'i previously not have the right to refuse to be entitled to reject the reconciliation is performed by the ex-husband. Researchers attempted to analyze the rights of ex-wife in divorce raj'i prescribed period is the perspective of Human Rights (Law No.39 of 1999 on Human Rights Women's Rights Section Nine On Article 50).
The study in this thesis is a normative legal research using the approach of Law (Statute approach) which aims to analyze the texts of books and articles in the law which relates or may be associated with rights issues refer to the wife refuses divorce raj'i prescribed period. Further analysis techniques used in analyzing the comparative jurisprudence is to compare products with products KHI in reference with the rights of the wife refused to divorce raj'i the prescribed period and its relevance to the Act No.39 Year 1999 on Human Rights Women's Rights Section Nine On Article 50.
The study mentions that a woman in a divorce raj'i prescribed period has the right to reject the will of reconciliation from her ex-husband in a marriage because the position of a husband and wife are equal, ie both have the right to take legal actions. Changes refer to the concept of rejection by the wife who is in the prescribed period raj'i divorce was based on the absence of ex-husband ishlah intention of doing reconciliation. If the will of reconciliation made by the husband based on the intention ishlah, then the wife should not reject it. It is relevant to the Act No.39 Year 1999 on Human Rights On Women's Rights Section Nine of Article 50 which states that an adult or a married woman has the right to take legal actions. Thus the true Islamic law protects the rights of a woman.
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Pada zaman sebelum islam
datang ke tanah arab, apabila masyarakat jahiliyah ingin melakukan talak dengan
istri mereka, mereka melakukan dengan cara yang merugikan pihak perempuan.
Mereka mentalak istrinya, kemudian rujuk kembali pada saat iddah istrinya
hampir habis, kemudian mentalaknya kembali. Hal ini terjadi secara
berulang-ulang, sehingga istrinya menjadi terkatung-katung statusnya. Laki-laki
mempunyai hak memutuskan talak dan mempunyai hak rujuk. Sedangkan perempuan
hanya menjadi objek yang setiap saat bisa di talak atau di rujuk suami tanpa
mempunyai hak menolak permintaaan talak atau pun rujuk. Dengan datangnya Islam,
maka peraturan seperti itu diubah dengan ketentuan bahwa talak yang boleh
dirujuki itu hanya dua kali. Setelah itu boleh rujuk, tetapi dengan beberapa
persyaratan yang berat.1 1 http://alsofwah.or.id/index.php diakses pada tanggal
27 Februari 2011. 2 Sebagai salah satu bentuk akad atau transaksi, perkawinan
akan mengakibatkan adanya hubungan hak dan kewajiban antara pihak-pihak yang
terkait, yang dalam hal ini adalah suami dan isteri. Hak dan kewajiban harus
dilandasi oleh beberapa prinsip, antara lain kesamaan, keseimbangan dan
keadilan antara keduanya. Al-Qur’an menyebutkan prinsip ini dalam QS. AlBaqarah
ayat 228:2 “Dan para wanita mempunyai
hak yang seimbang dengan kewajibannya, menurut cara-cara yang ma'rûf.” Dalam
prinsip-prinsip ini, Al-Qur’an telah menjelaskan bahwa hubungan suami isteri
haruslah berdasarkan “mu’âsyarah bi al-ma’rûf “ (diartikan sebagai pergaulan,
pertemanan, persahabatan, kekeluargaan dan kekerabatan yang dibangun bersama
antara suami isteri dengan cara-cara yang baik) yang sesuai dengan tradisi dan situasi
masyarakatnya masingmasing, namun tidak bertentangan dengan norma-norma agama,
akal sehat, maupun fitrah manusia.3 Dengan prinsip-prinsip “mu’âsyarah bi
al-ma’rûf “ ini, persoalan-persoalan yang timbul dalam rumah tangga bisa
terselesaikan dengan baik. Persoalannya sekarang, ternyata tidak semua pasangan
suami isteri menjalankan prinsip tersebut jika timbul permasalahan di antara
mereka. Sayangnya, meski prinsip “mu’âsyarah bi al-ma’rûf “ yang menekankan 2
QS. al-Baqarah (2): 228.konsep persamaan dan kesetaraan antara suami isteri,
namun dalam kenyataannya sering menunjukkan sebaliknya.4 Suami sebagai kepala
rumah tangga bertugas mengatur semua urusan keluarga termasuk masalah dalam
perkawinan. Sedangkan isteri bertugas menjalankan perintah suami selama tidak
bertentangan dengan norma-norma agama Islam. Namun di dalam prakteknya, sering
kali terjasi konflik antara suami dan isteri. Hal ini terjadi karena kurang
adanya pemahaman tentang hak dan kewajiban peran sebagai suami atau peran
sebagai isteri dalam rumah tangga tersebut. Sehingga seringkali terjadi konflik
antara suami dan isteri karena mementingkan hak masing-masing dan tidak
maksimal dalam menjalankan kewajibannya sebagai seorang suami atau sebagai
seorang isteri. Ada seorang suami yang kurang puas dengan cara kerja isterinya
dalam mengatur rumah tangga namun suami tersebut tidak menegurnya dengan baik,
memarah-marahi isterinya, melontarkan perkataan-perkataan kasar yang membuat
isteri sakit hati sehingga memicu adanya konflik dan saling menyalahkan. Bahkan
ada yang sampai mentalak isterinya. Namun setelah menyadari kesalahannya suami
tersebut ingin kembali lagi dengan isterinya (rujuk), dan hal ini bisa terjadi
berkali-kali sehingga sangat menyakitkan bagi isterinya. Ada juga yang mentalak
isterinya hanya menggunakan sms (short message service) dengan alasan tidak
tega apabila 4 http://syamsuri149.wordpress.com diakses pada tanggal 1 Maret
2011. 4 mengatakannya secara langsung, begitu juga sebaliknya dengan rujuk yang
sama sekali tidak menghargai seorang isteri.5 Terkadang perilaku-perilaku yang
tidak baik seperti di atas seringkali muncul pasca perkawinan. Biasanya, sebelum
menikah perilaku-perilaku tersebut sengaja atau tidak sengaja ditunjukkan untuk
alasan-alasan tertentu, misalnya agar dilihat baik oleh calon isteri atau suami
yang akan dinikahi. Dalam hal ini peneliti sering menemui perilaku yang tidak
baik yang dilakukan oleh suami pasca perkawinan, misalnya tidak konsisten
dengan hak dan kewajibannya sebagai seorang suami, sering marah-marah tanpa
alasan yang dapat diterima, melakukan kekerasan dalam rumah tangga dan lain
sebagainya yang dapat mengurangi bahkan sampai menghilangkan keharmonisan yang
dibangun sebelum perkawinan dan awal dari perkawinan tersebut. Oleh karena itu,
apabila persoalan dalam sebuah keluarga tidak berjalan sesuai dengan harapan
dan perkawinan itu tidak dapat lagi dipertahankan karena kondisinya yang parah,
maka menurut QS. Al-Baqarah ayat 229, Kasus keluarga peneliti di desa
Bawang-Kec. Pesantren-Kota Kediri. 5 “Talak (yang dapat dirujuki) dua kali.
Setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang ma’rûf atau menceraikan dengan
cara yang baik. Tidak halal bagimu mengambil kembali dari sesuatu yang telah
kamu berikan kepada mereka, kecuali kalau keduanya khawatir tidak akan dapat
menjalankan hukumhukum Allah. Jika kamu khawatir bahwa keduanya (suami isteri)
tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah, maka tidak ada dosa atas keduanya
tentang bayaran yang diberikan oleh isteri untuk menebus dirinya.6 Itulah
hukum-hukum Allah, maka janganlah kamu melanggarnya. Barang siapa yang
melanggar hukum-hukum Allah mereka itulah orang-orang dzalim.” Dari ayat di
atas dapat dipahami bahwa seorang suami harus menetapkan satu dari dua pilihan.
Pertama, memenuhi semua hak isteri dan melaksanakan segala kewajibannya dengan
sopan santun. Kedua, memutuskan ikatan perkawinan dan membebaskan isterinya
secara ma’rûf sebagai solusi terbaik, walaupun jalan yang ditempuh ini sangat
dibenci Allah SWT. Maraknya fenomena talak yang dijatuhkan oleh suami terhadap
isterinya yang kemudian dirujuki lagi apabila suami menghendaki rujuk itu di
masyarakat sering kali menjadi polemik. Bagaimana tidak, karena sesungguhnya
ini sangat merugikan pihak isteri, karena isteri hanya menjadi objek untuk
ditalak dan dirujuk oleh suami yang mempunyai hak mutlak dalam menjatuhkan
talak. Setelah terjadi talak raj’i, selama isteri mengalami masa iddah, suami
kembali diberikan kesempatan untuk memperbaiki hubungan yang sudah retak itu
dengan diperbolehkannya rujuk. Hak mantan suami merujuk mantan 6 Ayat inilah
yang menjadi dasar hukum khuluk dan penerimaan iwad. Khuluk yaitu permintaan
cerai kepada suami dengan pembayaran yang disebut iwad. 6 istrinya yang ditalak
raj’i ditegaskan dalam firman Allah SWT. dalam QS. Al-Baqarah 228 : “Wanita-wanita
yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru’ 7 . Tidak boleh
mereka menyembunyikan apa yang diciptakan Allah dalam rahimnya, jika mereka
beriman kepada Allah dan hari akhirat. Dan suami-suaminya berhak merujukinya
dalam masa menanti itu, jika mereka (para suami) itu menghendaki islah. Dan
para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang
ma’rûf. Akan tetapi para suami, mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada
isterinya8 . Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” 9 Permasalahan rujuk
ini juga dijelaskan dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) Pasal 118, yaitu talak
raj’i adalah talak kesatu atau kedua, di mana suami berhak rujuk selama dalam
masa iddah. Namun dalam Bab XVIII KHI yang membahas tentang rujuk, dijelaskan
pada Pasal 164 bahwa, seorang wanita dalam iddah talak raj’i berhak mengajukan
keberatan atas kehendak rujuk dari bekas suaminya di hadapan Pegawai Pencatat
Nikah disaksikan dua orang saksi. Bahkan dalam Pasal 165 dijelaskan, rujuk yang
dilakukan tanpa 7 Quru’ dapat diartikan suci atau haid. 8 Hal ini disebabkan
karena suami bertanggung jawab terhadap keselamatan dan kesejahteraan rumah
tangga. 9 QS. Al-Baqarah: (2), 228. 7 persetujuan bekas isteri, dapat
dinyatakan tidak sah dengan putusan Pengadilan.10 Dalam persoalan ini, ulama’
sepakat bahwa rujuk yang dilakukan oleh suami dalam masa iddah talak raj’i
tidak memerlukan persetujuan isteri ataupun walinya, sekalipun isteri tersebut
tidak menyukai kehendak rujuk itu. Hal ini berdasarkan firman Allah SWT. dalam
QS. Al-Baqarah ayat 228 sebagai berikut: suami-suami mereka lebih berhak
merujuk mereka (isteri-isteri) dalam masa menanti (iddah) itu jika mereka (para
suami) itu menghendaki islah.” Alasan para ulama’ dalam masalah rujuk tersebut
tidak memerlukan persetujuan dari seorang isteri dikarenakan perempuan yang
ditalak raj’i masih memiliki ikatan zaujiyyah dengan mantan suaminya, oleh
karena itu suami masih berhak untuk menceraikannya, mendhihar 11, meng-i’laa 12
, dan tetapnya hak saling mewarisi serta adanya kewajiban bagi seorang isteri
yang masih dalam masa iddah tersebut tidak boleh menerima pinangan dari orang lain,
karena yang lebih berhak atas dirinya adalah mantan suaminya tersebut.13 Namun
sekarang yang perlu mendapat perhatian khusus adalah bagaimana hak seorang
wanita bisa tetap terjaga sebagai manusia bukan 11 Dhihar yaitu mengharamkan
isterinya terhadap dirinya sendiri. 12 Seorang suami bersumpah untuk tidak
menggauli isterinya secara mutlak atau selama jangka waktu lebih dari empat bulan.
13http://app.syariahcourt.gov.sg/syariah/front-end/TypeOfDivorce_Talak_M.aspx
diakses pada tanggal 1 Maret 2011. 8 sebagai seorang isteri. Karena walau
bagaimana pun seorang isteri juga seorang manusia yang haknya harus dilindungi
dan pantas mendapatkan perlindungan hukum. Dalam hal rujuk dalam masa iddah
talak raj’i ini, seorang isteri juga berhak menolak untuk rujuk, dikarenakan
isteri juga mempunyai wewenang atas dirinya, dan hal ini juga dilindungi oleh
hukum seperti yang telah dibahas di atas. Berbicara tentang hak tentunya tidak
lepas dari pembahasan tentang Hak Asasi Manusia (HAM). Karena HAM merupakan
dimensi kehidupan manusia. HAM ada, bukan karena diberikan oleh masyarakat dan
kebaikan dari negara, melainkan berdasarkan martabatnya sebagai manusia.
Pengakuan atas eksistensi manusia menandakan bahwa manusia sebagai makhluk
hidup adalah ciptaan Allah SWT. yang patut memperoleh apresiasi secara positif.
Dikeluarkannya Undang-Undang Republik Indonesia No.39 Tahun 1999 Tentang Hak
Asasi Manusia merupakan solusi dari permasalahan yang menyangkut tentang HAM.
Di dalam Undang-Undang No.39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia juga terdapat
pasal yang menjelaskan tentang hak wanita yang secara spesifik terdapat pada
Bab Kesembilan, yaitu mulai dari pasal 45 sampai dengan pasal 51. Namun,
peneliti membatasi masalah tentang hak wanita pada pasal 50 saja. Karena dalam
pasal ini dianggap relevan dengan KHI. Bertitik tolak dari keterangan di atas,
dapat dipahami bahwa ada hak yang sama antara suami dan isteri dalam masa iddah
talak raj’i ini. Isteri mempunyai wewenang untuk menolak ataupun menerima rujuk
mantan 9 suaminya karena dia dalam masa khiyar (memilih). Sedangkan suami juga
masih mempunyai hak atas mantan isterinya dalam masa iddah talak raj’i
tersebut. Atas dasar perbedaan pendapat dalam materi KHI dan pendapat para
fuqoha’ dalam Kitab Bidayat al-Mujtahid karangan Ibnu Rusyd tersebut dalam
masalah hak isteri untuk menolak atau menerima permintaan rujuk yang dilakukan
oleh suaminya dalam masa iddah tersebut peneliti ingin mengkaji lebih dalam
tentang alasan diperbolehkannya seorang isteri menolak rujuk yang telah
diajukan oleh seorang suami dalam masa iddah tersebut dalam perspektif Hak
Asasi Manusia dan latar belakang KHI memberikan kewenangan kepada isteri untuk
menolak rujuk yang dilakukan oleh mantan suaminya tersebut.
B.
Rumusan
Masalah
Perumusan masalah merupakan
upaya menyatakan secara tersurat pertanyaan-pertanyaan yang akan dipecahkan
dalam penelitian yang dilakukan. Berikut merupakan rumusan masalah yang akan
dikaji lebih lanjut oleh peneliti: 1. Bagaimana hak penolakan rujuk isteri
dalam masa iddah talak raj’i berdasarkan Kompilasi Hukum Islam ? 2. Bagaimana
hak penolakan rujuk isteri dalam masa iddah talak raj’i berdasarkan Hak Asasi
Manusia?
C.
Tujuan
Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah
di atas, maka penulisan skripsi ini bertujuan untuk menjawab permasalahan yang
muncul dari rumusan masalah di atas, yaitu: 1. Mengetahui hak penolakan rujuk
isteri dalam masa iddah talak raj’i berdasarkan Kompilasi Hukum Islam. 2.
Mengetahui hak penolakan rujuk isteri dalam masa iddah talak raj’i berdasarkan
Hak Asasi Manusia.
D.
Manfaat
Penelitian
Adapun manfaat dalam
penelitian ini adalah sebagai berikut: a. Secara Teoritis Bagi peneliti sendiri
diharapkan dengan melakukan penelitian ini dapat menambah wawasan ilmu
pengetahuan di bidang Hukum Islam, terutama yang berkaitan dengan masalah hak
isteri untuk menolak atau menerima permohonan rujuk yang dilakukan oleh
suaminya dan bagi lembaga pendidikan diharapkan akan dapat menambah referensi
Hukum Islam terutama yang berkaitan dengan masalah perkawinan, rujuk dan aspek
hukumnya. b. Secara Praktis 1. Bagi peneliti, diharapkan dengan menyelesaikan
penulisan karya ilmiah dalam bentuk skipsi ini peneliti akan memenuhi
persyaratan untuk mencapai gelar Sarjana Hukum Islam (S.H.I). 11 2. Bagi para
pasangan suami isteri dan konsultan hukum, diharapkan dapat menjadi masukan
dalam memecahkan problem perkawinan khususnya masalah rujuk. 3. Bagi lembaga
peradilan, diharapkan dapat menjadi masukan atau solusi dalam mengatasi
problema perkawinan terutama menyangkut masalah rujuk. E. Definisi Operasional
Untuk
memperjelas maksud dan tujuan dari peneliti, maka diperlukan adanya definisi
operasional. Adapun yang dimaksud dengan definisi operasional adalah penjelasan
beberapa kata kunci yang berkaitan dengan judul atau penelitian, yang terdiri
atas: 1. Talak raj’i yang dimaksud dalam penelitian ini adalah talak satu atau
talak dua yang dijatuhkan oleh suami kepada isterinya yang berakibat isteri
berada dalam masa iddah dan suami boleh merujuki isterinya tersebut apabila
suami menghendaki islah. 2. Iddah yang dimaksud dalam penelitian ini adalah
masa tunggu yang ditetapkan oleh hukum syara’ bagi wanita untuk tidak melakukan
akad perkawinan dengan laki-laki lain dalam masa tersebut, sebagai akibat
perceraian dengan suaminya itu, Dalam hal ini iddah yang dimaksud dalam
permasalahan ini adalah iddah yang dihitung setelah adanya putusan cerai dari
Pengadilan Agama. 12 3. Hak yang dimaksud dalam penelitian ini adalah hak dasar
yang dimiliki oleh setiap manusia yaitu hak asasi manusia, dalam hal ini hak
yang dimaksud adalah hak isteri untuk dapat menolak kehendak rujuk dari mantan
suaminya. F. Metodologi Penelitian 1. Jenis Penelitian Dalam penyusunan skripsi
ini peneliti menggunakan jenis penelitian hukum normatif. Hal ini disebabkan
peneliti menggunakan bahan-bahan kepustakaan sebagai data yang hendak
dianalisis, 14 yaitu analisis terhadap pendapat ahli fiqih dalam Kitab Bidayat
al-Mujtahid dan Fiqih Lima Madzhab tentang tidak adanya hak isteri menolak
rujuk dalam masa iddah talak raj’i dan analisis terhadap Undang-Undang No. 39
Tahun 1999 Tentang Hak Asasi manusia pasal 50 yang membahas tentang hak wanita
yang telah dewasa atau telah menikah. Selanjutnya peneliti akan memaparkan
data-data yang diperoleh dari buku-buku, laporan penelitian, makalah, artikel,
dan bahan pustaka lainnya yang berhubungan dengan permasalahan yang akan
dibahas oleh peneliti yaitu hak isteri menolak rujuk dalam masa iddah talak
raj’i. Kemudian dari data-data yang diperoleh tersebut akan dianalisis sehingga
menghasilkan kesimpulan. 2. Pendekatan penelitian 14Soerjono Soekanto,
Pengantar Penelitian Hukum, Cet. 3 (Jakarta: Penerbit UII, 2006), 63. 13
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan yuridis
normatif analitis yang memfokuskan pada pendekatan undangundang (statute
approach) yaitu menelaah semua peraturan perundangundangan dan regulasi yang
berkaitan dengan isu hukum yang sedang diteliti. 15 Dalam pendekatan ini,
seorang peneliti akan menelaah dan mengkaji secara mendalam atas bunyi teks
sebuah peraturan perundangundangan.16 Dengan menggunakan pendekatan ini
diharapkan penulis dapat menganalisis teks dari buku atau pun pasal dalam
Undang-Undang yang berkaitan atau dapat dikaitkan dengan permasalahan hak
isteri meolak rujuk dalam masa iddah talak raj’i. Undang-Undang yang dianggap
sejalan dengan konsep hak isteri menolak rujuk dalam masa iddah talak raj’i ini
adalah Undang-Undang No.39 Tahun 19999 Tentang Hak Asasi Manusia pada bagian
Kesembilan pasal 50 yang membahas tentang hak seorang wanita. 3. Bahan Hukum
Dalam penelitian ini peneliti menggunakan berbagai bahan hukum yang digunakan
sebagai bahan dalam menganalisis, bahan hukum tersebut antara lain: 15Tim
Penyusun Pedoman Penulisan Karya Ilmiah Fakultas Syari’ah UIN Maulana Malik
Ibrahim Malang, 22.
16http://www.fokkylaw.com/2009/02/penelitian-hukum-normatif.html diakses pada
tanggal 10 Agustus 2011. 14 a. Bahan hukum primer Merupakan bahan hukum yang
mempunyai kekuatan mengikat dan merupakan sumber dasar dalam setiap pembahasan,
dalam hal ini mengacu pada: 1. Kitab Fiqih: ·
Bidayat al-Mujtahid wa Nihayat al-Muqtashid karangan AlFaqih Abul Wahid
Muhammad bin Achmad bin Muhammad ibnu Rusyd; Cet. I tahun 1409 H/1989 M,
Beirut: Dar Al-Jiil dan Edisi Indonesia: Bidayatul Mujtahid Analisa Fiqih Para
Mujtahid yang diterjemahkan oleh Drs. Imam Ghazali Said, MA dan Drs. Achmad
Zaidun; Jilid 2, Cet. III tahun 2007, Jakarta: Pustaka Amani. 2. Peraturan Perundang-Undangan:
· UU No. 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia yang difokuskan
pada Bagian Kesembilan Tentang Hak Wanita Pasal 50 dalam buku Hak Asasi Manusia
dalam Konstitusi Indonesia karangan Majda El-Muhtaj, tahun 2007, Jakarta:
Kencana. · Himpunan Peraturan Perundang-Undangan Undang-Undang Perkawinan
Indonesia Edisi Lengkap; Kompilasi Hukum Islam (KHI) di Indonesia yang
difokuskan pada BAB XVIII tentang Rujuk; Cet. I tahun 2009, Jakarta: Wacana
Intelektual. 15 b. Bahan hukum sekunder Sedangkan bahan hukum sekunder di dalam
penelitian ini adalah data yang diperoleh dari hasil studi kepustakaan yang
berasal dari buku-buku yang berhubungan dengan judul yang diangkat yaitu hak
istri menolak rujuk dalam masa iddah talak raj’i dan bahan-bahan yang berhubungan
dengan bahan hukum primer dan dapat membantu menganalisis dan memahami bahan
hukum primer yaitu: 1) Fiqih Lima Madzhab Edisi Lengkap, (Muhammad Jawad
Mughniyyah). 2) Hukum Perkawinan Islam di Indonesia Antara Fiqih Munakahat dan
Undang-Undang Perkawinan (Amir Syarifuddin). 3) Maqashid Syari’ah, (Ahmad
Al-Mursi Husain Jauhar). 4) Terjemah Tafsir Al-Maroghi, (Musthofa Al-Maroghi).
5) Edisi Lengkap Fiqih Madzhab Syafi’i (Ibnu Mas’udi). c. Bahan hukum tersier
yaitu bahan hukum yang memberikan informasi tentang bahan hukum primer dan
bahan hukum sekunder, dalam hal ini adalah Kamus Besar Bahasa Indonesia dan
Mu’jam Al-Wasith Juz I, (Ibrahim Anis). 4. Teknik pengumpulan data Dalam
penelitian ini, metode pengumpulan bahan hukum merupakan salah satu faktor yang
paling penting dalam menentukan berhasil atau tidaknya suatu penelitian. Dalam
memilih metode pengumpulan bahan hukum haruslah diperhatikan kesesuaiannya
dengan 16 jenis penelitian, sebab bisa saja terjadi ketidaksesuaian antara
metode pengumpulan bahan hukum dengan metode penelitian yang mengakibatkan
masalah yang diteliti tidak dapat terungkap dengan baik. Adapun prosedur
pengumpulan bahan hukum dalam pengkajian masalah ini adalah mencakup sebagai
berikut: a. Penelusuran terhadap bahan hukum primer, yaitu Kitab Bidayatul
Mujtahid Analisa Fiqih Para Mujtahid edisi Indonesia yang memaparkan tentang
konsep rujuk menurut ahli fiqih dan peraturan perundang-undangan yang berkaitan
dengan hak isteri menolak rujuk dalam masa iddah talak raj’i, dalam hal ini
penelusuran dilakukan terhadap Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 Bagian
Kesembilan tentang Hak Wanita Pasal 50 serta Kompilasi Hukum Islam di Indonesia
BAB XVIII tentang Rujuk yaitu pasal 164 dan 165. b. Penelusuran terhadap bahan
kepustakaan yang mencakup buku-buku dan tulisan yang termuat dalam jurnal
tentang hak isteri menolak rujuk dalam masa iddah talak raj’i yang berfungsi
untuk melengkapi penjelasan dan pembahasan masalah tersebut di atas yang
merupakan bahan hukum sekunder. 5. Teknik Pengolahan Data Setelah data
terkumpul dan tersusun dengan baik, maka tahap selanjutnya adalah teknik
pengolahan data dan analisa data. Dalam hal ini teknik pengolahan data yang
digunakan adalah: 17 a. Editing Merupakan teknik memeriksa kembali semua
data-data yang diperoleh terutama dari segi kelengkapan, kesesuaian, keserasian
antara satu sama lainnya. Teknik ini dilakukan setelah data-data mengenai
halhal yang berkaitan dengan hak isteri menolak rujuk dalam masa iddah yang
diperoleh dari literature-literatur salah satunya Kompilasi Hukum Islam (KHI)
yaitu pada Pasal 164 dan Pasal 165, serta UU No. 39 Tahun 1999 Tentang Hak
Asasi Manusia yang dijadikan dasar secara umum. Dalam hal ini peneliti
memeriksa kembali bahan-bahan hukum yang berasal dari data primer dan data
sekunder untuk menemukan gambaram awal dalam memecahkan masalah yang sedang
diteliti. b. Classifying/klasifikasi Setelah mengedit data yang ada, tahap
berikutnya adalah mereduksi data yang ada dengan cara menyusun dan
mengklasifikasikan data yang diperoleh ke dalam pola tertentu atau permasalahan
tertentu untuk mempermudah pembahasannya.17 Dalam hal ini peneliti
mengklasifikasikan data-data yang dibutuhkan agar sesuai dengan rumusan masalah
sehingga dapat mempermudah dalam menjawab rumusan masalah tersebut. Dalam pengklasifikasian
data ini peneliti memilih data-data yang akurat dan berkualitas baik, sehingga
dapat dipertanggung jawabkan. 17Saifullah, Buku Pedoman Metodologi
Penelitian,(Malang: UIN Press, 2006). 18 c. Verivying Adalah teknik memeriksa
kembali data dan informasi yang diperoleh agar validasinya terjamin.18 d.
Concluding Adalah merupakan langkah yang terakhir dari pengolahan data ini
yaitu menarik kesimpulan terhadap masalah yang diteliti. Kesimpulan ini
dilakukan dengan mengkaji secara komprehensip terkait dengan data yang
diperoleh. Oleh karena itu, harus dilakukan dengan proporsional agar dari
kesimpulan ini memberikan pemahaman yang jelas terkait dengan penelitian ini.
6. Analisis Data Untuk menghindari agar tidak terjadi banyak kesalahan dan
mempermudah pemahaman maka digunakan teknik analisis data. Adapun teknik
analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik komparatif,
yaitu dengan membandingkan hak isteri menolak rujuk menurut ahli fiqih dan hak
isteri menolak rujuk dalam Kompilasi Hukum Islam serta relevansinya dengan
Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia Bagian Kesembilan
Tentang Hak Wanita. Selanjutnya metode yang digunakan dalam menganalisis data
adalah metode analisis data dengan pola pikir deduktif, yaitu metode berpikir
yang menerapkan hal-hal yang umum terlebih dahulu untuk seterusnya 18M. Amin
Abdullah, dkk., Metode Penelitian Agama, Pendekatan Multidisipliner
(Yogyakarta: Kurnia Kalam Semesta, 2006), 223. 19 dihubungkan dalam
bagian-bagian yang khusus.19 Pola pikir seperti ini berfungsi untuk menganalisa
masalah hak isteri menolak rujuk perspektif Hak Asasi Manusia. G. Penelitian
Terdahulu Penelitian terdahulu berguna untuk sebagai pembanding apakah hasil
akhir penelitian tersebut sama dengan hasil akhir pada penelitian yang akan
kita kerjakan ataukah berbeda. Penelitian yang baik adalah menemukan hasil
akhir dan memberikan kesimpulan yang baru yang belum pernah ada sebelumnya.
Sedangkan dalam hal ini peneliti menemukan penelitian yang sama dengan judul
yang akan diteliti oleh peneliti. Namun ada judul yang berkaitan dengan judul
yang akan diteliti oleh peneliti, yaitu penelitian yang ditulis oleh MUNAWWAR
KHALIL, dengan judul Relevansi Konsep Rujuk Antara Kompilasi Hukum Islam (KHI)
dan Pandangan Empat Imam Madzhab (2011). Hasil penelitian menyimpulkan bahwa
Imam Hambali berpendapat bahwa rujuk hanya terjadi melalui percampuran. Apabila
ada percampuran, maka terjadilah rujuk walaupun tanpa niat. Menurut Imam
Hanafi, selain melalui percampuran rujuk juga bisa terjadi melalui sentuhan,
ciuman dan hal-hal sejenisnya. Imam Malik menambahkan harus adanya niat rujuk
dari sang suami di samping perbuatan, pendapat ini bertolak belakang dengan
pendapat Imam Hanafi yang menyatakan rujuk bisa terjadi dengan perbuatan saja tanpa
adanya niat. Sedangkan Imam Syafi’i 19Abdullah, dkk., Metode Penelitian Agama,
Pendekatan Multidisipliner, 223. 20 rujuk harus dengan ucapan yang jelas bagi
orang yang dapat mengucapkannya, dan tidak sah jika hanya dengan perbuatan.
Sedangkan pendapat yang dianggap relevan dengan konteks Indonesia adalah
pendapat Imam Syafi’i yang mewajibkan adanya saksi dalam permasalahan rujuk.
Dari hasil penelitian terdahulu tersebut terdapat perbedaan dengan penelitian
yang dilakukan oleh peneliti, karena peneliti memfokuskan penelitian terhadap
hak isteri menolak rujuk dalam masa iddah talak raj’i perspektif Kompilasi
Hukum Islam dan Hak Asasi Manusia. H. Sistematika Pembahasan Sistematika
pembahasan adalah rangkaian urutan yang terdiri dari beberapa uraian mengenai
suatu pembahasan dalam karangan ilmiah atau penelitian. Berkaitan dengan
penelitian ini, secara keseluruhan dalam pembahasannya terdiri dari lima bab:
BAB I memberikan pengetahuan umum tentang arah penelitian yang dilakukan. Pada
bab ini, memuat latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian,
manfaat penelitian, definisi operasional, metode penelitian yang menjelaskan
metode yang digunakan dalam penelitian ini yaitu meliputi jenis dan pendekatan
penelitian, bahan hukum yang digunakan, serta metode pengolahan dan teknik
analisis data, penelitian terdahulu dan sistematika pembahasan. BAB II
merupakan kumpulan kajian teori yang akan dijadikan bahan analisa dalam
menjelaskan dan mendeskripsikan obyek penelitian. Pada bab ini, 21 peneliti
akan menjelaskan Tinjauan umum tentang rujuk dalam Hukum Islam dan Kompilasi
Hukum Islam serta Tinjauan umum tentang Hak Asasi Manusia (HAM) serta kajiannya
dalam perspektif Islam. BAB III Hasil Penelitian dan Pembahasan, dalam bab ini
merupakan inti dari penelitian dikarenakan dalam bab ini merupakan jawaban dari
rumusan masalah mengenai hak isteri menolak rujuk dalam massa iddah talak raj’i
berdasarkan Kompilasi Hukum Islam (KHI) dan UU No. 39 Tahun 1999 Tentang Hak
Asasi Manusia. BAB IV Penutup, merupakan bab terakhir dalam penelitian ini yang
terdiri dari kesimpulan dan saran. Pada bab ini berisi kesimpulan dari hasil
pembahasan mengenai hak isteri menolak rujuk dalam masa iddah talak raj’i
berdasarkan Kompilasi Hukum Islam (KHI) dan Hak Asasi Manusia (HAM). Bab ini
juga berisi saran yang diharapkan dapat menjadi masukan yang bermanfaat bagi
peneliti khususnya dan bagi pembaca pada umumnya.
Untuk Mendownload Skripsi "Skripsi al-Ahwal al-Syakhshiyyah" : Hak isteri menolak rujuk dalam masa iddah talak raj’i perspektif hak asasi manusia" Untuk Mendownload skripsi ini silakan klik link dibawah ini
No comments:
Post a Comment