Jasa Pembuatan Skripsi

Jasa Pembuatan Skripsi
Jasa Pembuatan Skripsi

Friday, June 9, 2017

Jasa Buat Skripsi: download Skripsi al-Ahwal al-Syakhshiyyah,:Ijtihad hakim Pengadilan Agama Blitar dalam perkara warisan: Studi di Pengadilan Agama Blitar

Abstract

INDONESIA:
Hakim di Pengadilan Agama harus memutuskan perkara sesuai dengan prosedur yang berlaku. Ia harus merujuk pada Undang-undang yang ada, akan tetapi hakim diperbolehkan melakukan ijtihad demi keputusan yang lebih adil dan lebih maslahat. Dalam menjawab permasalahan yang ada dan menghadapi perubahan zaman yang menuntut pergeseran tata nilai di masyarakat, maka perlu dibentuk hukum yang dapat memenuhi nilai-nilai keadilan bagi para pencari keadilan, karena sering kali produk hukum yang ada dinilai belum memenuhi nilai-nilai keadilan yang dibutuhkan masyarkat. Oleh karena itu menjadi sebuah keharusan bagi hakim untuk melakukan ijtihad dalam menyelesaikan setiap perkara guna memberi kepastian hukum bagi para pencari keadilan. Untuk mencapai sasaran tersebut hakim bukan digambarkan sebagai sosok yang hanya menerima perintah dari atasan, dalam artian hakim hanya mengerti dan mampu menerapkan hukum jadi atau siap pakai, namun hakim digambarkan sebagai orang yang mampu untuk melengkapi khazanah fiqhiyah pada umumnya dan hukum materiil Peradilan Agama pada kususnya. Pada gambaran ini hakim adalah orang yang harus aktif dan mampu mencari hukum yang belum tersedia di depannya, antara lain dengan banyak membaca bahkan mampu membentuk hukum baru yang belum terjangkau oleh referensi yang ada.
Ijtihad hakim dalam memutuskan perkara akhir-akhir ini jarang ditemukan. Mayoritas dari hakim yang ada memutuskan perkara tanpa melakukan ijtihad karena dinilai bahwa undang-undang yang ada telah mencukupi untuk menyelesaikan perkara yang ditangani. Akan tetapi jika dilihat lebih teliti sesungguhnya perkara yang masuk ke Pengadilan Agama pada akhir-akhir ini sangat variatif dan terkadang memiliki kronologi permasalahan yang rumit, terutama pada perkara kewarisan. Sehingga menuntut seorang hakim untuk melakukan terobosan hukum atau ijtihad. Agar putusan yang dihasilkan benar- benar mengandung nilai-nilai keadilan dan kemaslahatan bagi pihak-pihak yang berperkara.
Dari berbagai bentuk perkara yang masuk ke Pengadilan Agama, perkara kewarisan merupakan perkara yang paling rumit, karena ketika perkara kewarisan tersebut masuk ke Pengadilan Agama maka telah terjadi suatu sengketa didalamnya. Ada pihak-pihak yang merasa dirugikan dengan sistem pembagian yang telah dilakukan. Padahal syari’at Islam telah secara jelas dan konkrit menempatkan pihak-pihak yang berhak mendapatkan warisan dan bagian-bagiannya secara terperinci.
Prosedur ijtihad dalam perkara waris yang dilakukan oleh hakim pengadilan agama Blitar memiliki tahapan-tahapan, ketika menangani perkara waris maka hakim merujuk pada undang-undang, ketika undang-undang tidak mengatur, kurang jelas, atau mengatur tapi dalam pandangan hakim tidak memberikan kemaslahatan dan keadilan bagi pihak yang berperkara maka hakim akan melakukan ijtihad. Ijtihad tersebut mendasarkan pada maslahah mursalah guna mendapatkan putusan yang paling adil bagi pihak-pihak yang berperkara.
ENGLISH:
Judges should decide cases in accordance with applicable procedures. He should refer to existing laws, but judges are allowed to make ijtihad to decisions more equitable and more serious benefits. In response to existing problems and deal with the changing times that demand a shift in values in society, it is necessary to establish laws that can meet the values of justice for seeking justice, because often there is a legal product that assessed value does not meet the required community justice It has become a necessity for judges to ijtihad in completing each case to ensure legal certainty for the seeker of justice. To achieve this goal, the judges are not depicted as a man who only accept orders from superiors, in the sense that the judges only being able to understand and apply the law of finished or finished, but the judge described as unable to complete material treasure fiqhiyah law in General and religious kususnya. In this picture the judge is the one who should be active and to find a law that has not been available in front of him, among others, with a lot of reading even able to establish new laws that are not covered by existing references.
Ijtihad judges in deciding cases of late rarely found. The majority of the judges who decided the case without conducting ijtihad because it is considered that the existing legislation is adequate to resolve the issue at hand. However, closer examination of real cases that went to the Islamic Court in the recent very varied and sometimes has a chronology of a complex problem, especially in cases of inheritance. So that requires judges to make a breakthrough or ijtihad. In order for the resulting decisions actually contain the values of justice and benefit for the parties litigant.
Of the various forms of matter that enter the Islamic Court, the legacy of this case is the most complicated case, because when the case goes to court then there is a dispute Religious heritage in it. There are parties who feel aggrieved by the distribution system that has been done. Although Islamic law has been clear and concrete laid the parties are entitled to inheritance and its parts in detail.
Ijtihad procedure in cases of inheritance performed by judges of religious courts of Blitar has a stage, when dealing with inheritance cases, the judge refers to the law, when the law does not regulate, is less clear or set, but given the judges do not do not give benefits and fairness for the case, then the judge ijtihad . Ijtihad is based maslahah mursalah order to obtain the most fair decision for the plaintiff party. Maslahah used as basis by the judge in the exercise of ijtihad and the confidence gained through consideration of judges.

BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
 Masalah Syari‟at Islam telah meletakkan sistem kewarisan dalam suatu aturan yang paling baik, bijak dan adil, akan tetapi sistem kewarisan yang telah diatur dalam al-Quran dan hadits tersebut masih menimbulkan ketidakpuasan dalam tataran praktisnya, padahal al-Quran telah menjelaskan hukum-hukum waris dan pembagian-pembagiannya secara sempurna tanpa meninggalkan bagian seseorang atau membatasi benda yang akan diwariskan.1 Sejalan dengan itu para ulama klasik seperti ulama madzhab telah menetapkan bagian masing-masing ahli waris secara terperinci. Setiap orang yang memeluk Islam wajib baginya melaksanakan kaidah-kaidah dan peraturan-peraturan yang telah secara sharih dijelaskan dalam al-Qur‟an, begitu juga dengan  aplikasi sistem kewarisan Islam yang telah tercover dalam al-Qur‟an dan hadits secara jelas. Akan tetapi pada kenyataanya masih banyak masyarakat Islam yang mengabaikannya sehingga terjadi persengketaan dalam pembagian harta warisan. Penyelesaian sengketa tersebut dapat diserahkan pada lembaga yang berwenang. Indonesia sejak zaman sebelum penjajahan telah membuat tata hukum dalam bidangnya masing-masing, dan telah menyediakan wadah untuk menyelesaikan suatu perkara jika terjadi suatu sengketa. Salah satunya adalah Pengadilan Agama yang merupakan suatu lembaga untuk menyelesaikan sengketa yang terjadi antara orang Islam. Semua perkara perdata yang dialami oleh orang Islam dapat diajukan ke lembaga ini, termasuk juga perkara waris. Yahya harahap mengatakan “Dengan mengaitkan asas personalitas keislaman dengan ketentuan pasal 49 ayat 3 UU N0 7 tahun 1989 tentang peradilan agama huruf b, jo penjelasan umum angka 2 alinea kedua yang menentukan salah satu bidang perdata warisan meliputi seluruh golongan rakyat beragama Islam. Dengan kata lain sengketa kewarisan yang terjadi bagi setiap orang yang beragama Islam, kewenangan untuk mengadilinya tunduk dan takluk kedalam lingkungan Pengadilan Agama”. 2 Hakim di Pengadilan Agama harus memutuskan perkara sesuai dengan prosedur yang berlaku. Ia harus merujuk pada Undang-undang yang ada, akan tetapi hakim diperbolehkan melakukan ijtihad demi keputusan yang lebih adil dan lebih maslahat. Dalam menjawab permasalahan yang ada dan menghadapi perubahan zaman yang menuntut pergeseran tata nilai di masyarakat, maka perlu dibentuk hukum yang dapat memenuhi nilai-nilai keadilan bagi para pencari keadilan, karena sering kali produk hukum yang ada dinilai belum memenuhi nilai-nilai keadilan yang dibutuhkan masyarkat. Oleh karena itu menjadi sebuah keharusan bagi hakim 2 Suhrawardi lubis. Komis simanjuntak, Hukum Waris Islam, (Jakarta : Sinar Grafika, 2007) hal 15 3 untuk melakukan ijtihad dalam menyelesaikan setiap perkara guna memberi kepastian hukum bagi para pencari keadilan.3 Di sini hakim dituntut untuk mampu berijtihad agar norma hukum yang ada tidak menjadi beku dan hanya berupa teks mati tanpa arti dan nilai. Sejalan dengan uraian di atas karakteristik hukum Islam bersifat wasathiah dan harokah yang artinya adalah bangunan hukum Islam yang telah sempurna perlu kiranya disesuaikan dengan kondisi dan kebutuhan manusia supaya terjadi suatu keharmonisan. Karena masyarakat selalu berubah dan bergerak dari satu titik ke titik lain yang memungkinkan munculnya problem baru, maka sifat hukum Islam yang bergerak perlu diperhatikan agar pelaku hukum atau hakim tidak enggan untuk melakukan ijtihad, sehingga salah satu peran hakim sebagai law reformer benar-benar dapat terlaksana.4 Selain itu pula adanya kehendak dan dorongan berbagai pihak agar keberadaan hakim di Pengadilan Agama tidak hanya sekedar terikat dengan tugas-tugas rutin saja ketika ada perkara, melainkan hakim juga ikut berperan dalam mengembangkan hukum Islam di Indonesia. Untuk mencapai sasaran tersebut hakim bukan digambarkan sebagai sosok yang hanya menerima perintah dari atasan, dalam artian hakim hanya mengerti dan mampu menerapkan hukum jadi atau siap pakai namun disini hakim digambarkan sebagai orang yang mampu untuk melengkapi khazanah fiqhiyah pada umumnya dan hukum materiil Peradilan Agama pada kususnya. Pada gambaran ini hakim adalah orang yang harus aktif dan mampu mencari hukum yang belum tersedia di depannya, antara lain dengan banyak membaca bahkan mampu membentuk hukum baru yang belum terjangkau oleh referensi yang ada.5 3 Erfaniah Zuhriah, Ijtihad Hakim Agama Dalam Konteks Undang-undang. El-Qisth Jurnal Ilmiah Fakultas Syari‟ah , Vol 3 Nomor 1, September, 2006, hal 38 4 Ibid 5 Ibid 4 Ijtihad hakim dalam memutuskan perkara akhir-akhir ini jarang ditemukan.6 Mayoritas dari hakim yang ada memutuskan perkara tanpa melakukan ijtihad karena dinilai bahwa undangundang yang ada telah mencukupi untuk menyelesaikan perkara yang ditangani. Akan tetapi jika dilihat lebih teliti sesungguhnya perkara yang masuk ke Pengadilan Agama pada akhir-akhir ini sangat variatif dan terkadang memiliki kronologi permasalahan yang rumit, terutama pada perkara kewarisan. Sehingga menuntut seorang hakim untuk melakukan terobosan hukum atau ijtihad. Agar putusan yang dihasilkan benar-benar mengandung nilai-nilai keadilan dan kemaslahatan bagi pihak-pihak yang berperkara. Dari berbagai bentuk perkara yang masuk ke Pengadilan Agama, perkara kewarisan merupakan perkara yang paling rumit, karena ketika perkara kewarisan tersebut masuk ke Pengadilan Agama maka telah terjadi suatu sengketa didalamnya. Ada pihak-pihak yang merasa dirugikan dengan sistem pembagian yang telah dilakukan. Padahal syari‟at Islam telah secara jelas dan konkrit menempatkan pihak-pihak yang berhak mendapatkan warisan dan bagianbagiannya secara terperinci. Oleh karena itu ijtihad hakim Pengadilan Agama dalam menangani perkara kewarisan ini menjadi sangat menarik untuk diteliti. Dan satu sisi lagi yang tidak kalah menariknya adalah bahwa ijtihad hakim Pengadilan Agama tidak dibatasi oleh prosedurprosedur yang mengikat. Hakim boleh melakukan model ijtihad dengan menggunakan metodemetode yang ada seperti halnya qiyas, maslahah mursalah, istihsan dan bahkan dapat merujuk kitab-kitab klasik hasil dari ijtihad para imam madzhab.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana prosedur ijtihad hakim PA Blitar dalam menangani perkara waris? 6 Hasil dari observasi di PA Blitar selama masa PKL, 13 Juli-13 Agustus 2009 7 Ibid 5 2. Mengapa hakim PA Blitar memilih mengggunakan ijtihad dalam melakukan pembagian harta warisan?
C. Tujuan Penelitian
Dari rumusan masalah diatas maka tujuan penelitian ini adalah 1. Mengetahui bagaimana prosedur ijtihad yang dilakukan oleh hakim pengadilan agama Blitar dalam menangani perkara kewarisan seiring makin berkembangnya permasalahan dalam kasus kewarisan. 2. Mengetahui mengapa seorang hakim memilih untuk melakukan ijtihad padahal undang-undang yang ada telah dianggap mencukupi untuk menyelesaikan semua perkara yang masuk pengadilan agama.
D. Definisi Operasional
Disini akan kami jelaskan beberapa kata kunci dari judul yang telah kami angkat ini. 1. Ijtihad Ijtihad berasal dari kata dasar jahada yang berarti mencurahkan segala kemampuan. Oleh sebab itu ijtihad dalam arti bahasa adalah usaha yang optimal dan menanggung beban berat.8 Di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia ijtihad didefinisikan sebagai usaha penyelidikan tentang suatu hal, pengerahan segala tenaga dan pikiran untuk menyelidiki dan menggali hukum yang terkandug dari al-Qur‟an dengan syarat-syarat tertentu.9 Sedangkan menurut Imam Al-Syaukani adalah برل انىسع في َيم حكى شسعي عًهي بطسيق اال ستُبب ط 8 Fathurrohman Jamil, Metode Ijtihad Majlis Tarjih Muhammadiyah. (Jakarta: Logos, 2005) 9 Departement Pendidikan dan Kebudayaan. Kamus Besar Bahasa Indonesia. (Jakarta : Balai Pustaka, 1989) hal 321 6 ”Mengerahkan kemampuan dalam memperoleh hukum syari‟at yang bersifat praktis melalui istinbath”. 2. Hakim Hakim adalah Orang yang diangkat oleh kepala Negara untuk menjadi hakim dalam menyelesaikan gugat menggugat, oleh karena penguasa sendiri tidak bisa meyelesaikan tugas peradilan.11 3. Ijtihad Hakim Ijtihad hakim merupakan suatu bentuk terobosan hukum yang dihasilkan oleh hakim dalam menangani suatu perkara untuk mendapatkan putusan yang lebih bijaksana, maslahat dan adil.12 4. Peradilan agama Peradilan Agama adalah pelaksanaan kekuasaan kehakiman bagi rakyat yang beragama islam mengenai perkara-perkara perdata tertentu menurut ajaran agama Islam.13 5. Pengadilan agama Pengadilan Agama adalah Satuan organisasi yang menyelengarakan penegakan hukum dan keadilan tersebut.14 6. Perkara Kewarisan Perkara Kewarisan adalah penentuan siapa yang menjadi ahli waris, penentuan mengenai harta peninggalan, penentuan bagian Jaih Mubarok Pengadilan Agama Di Indonesia, (Bandung : Pustaka Bani Quraisy).2 7 melaksanakan pembagian harta peninggalan tersebut, serta penetapan pengadilan atas permohonan seseorang tentang penentuan siapa yang menjadi ahli waris, penentuan bagian masing-masing ahli waris.1
E. Manfaat Penelitian
Manfaat dari penelitian yang kami lakukan ini memiliki dua aspek, yakni : 1. Aspek Teoritis. Pada aspek teoritis ini manfaat dari penelitian yang kami lakukan adalah dapat memperkaya khazanah keilmuan dalam bidang hukum Islam, khususnya dalam ranah ijtihad hakim pengadilan agama dalam menangani perkara waris. Penelitian ini juga dapat dijadikan sebagai bahan perbandingan antara ijtihad yang telah dilakukan para ulama klasik dengan ijtihad yang dilakukan oleh hakim pada era moderen ini seiring dengan bertambahnya permasalahan yang muncul. Selain itu pula penelitian yang kami lakukan ini juga dapat dijadikan sebagai referensi bagi pihak-pihak terkait yang akan melakukan penilitian dalam ranah yang sama. Dan yang terahir manfaat teoritis dari hasil penelitian ini adalah dapat menjawab kegelisahan peneliti yang telah dipaparkan dalam uraian latar belakang. 2. Aspek praktis. Pada aspek ini didapatkan beberapa manfaat dari hasil penelitian yang kami lakukan, diantaranya adalah : 15 Penjelasan pasal 49 undang-unang Nomor 3 tahun 2006 huruf b 8 a. Dapat menambah wawasan para akademisi khususnya mahasiswa fakultas syari‟ah tentang bagaimana model dan inovasi ijtihad yang dilakukan oleh hakim pengadilan agama terkait dengan perkara waris b. Dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan oleh hakim-hakim lain dalam menangani perkara yang sama. c. Dapat dijadikan sebagai acuan oleh hakim lain dalam memutuskan perkara yang sama. F. Penelitian Terdahulu Penelitian dalam bidang ijtihad hakim Pengadilan Agama ini telah banyak dilakukan oleh banyak peneliti. Oleh karen itu kami akan mengidentifikasikan penelitian terdahulu yang menyentuh pada ranah-ranah yang hampir sama. Diantaranya adalah 1. Penelitian yang dilakukan oleh Adi Candra dengan judul “Ijtihad Hakim dalam menetapkan keputusan Hukum”. Dalam penelitiannya tersebut Adi Candra menspesifikasikan penelitianya pada pandangan hakim pengadilan agama yang merujuk pada sumber hukum Islam secara material dan apakah hakim tersebut akan melakukan ijtihad atau terobosan hukum dalam memutuskan kasus yang tidak ada sumber hukum materialnya dalam Islam. Disini ia memaparkan bahwasannya semua perkara yang masuk ke PA adalah perkara yang bersifat Islam dan hakim memiliki peran penting pada semua perkara yang diperiksa. Oleh karena itu hakim harus pandai-pandai melihat dan mempertimbangkan dalam memeriksa perkara tersebut apalagi jika perkara tersebut tidak dapat diputuskan dengan undang-undang yang 9 berlaku, maka seorang hakim disini harus melakukan ijtihad.16 Substansi dari penelitian yang dilakukan oleh Adi Candra adalah seorang hakim berhak untuk melakukan ijtihad atau tidak ketika hukum materiilnya dalam Islam tidak ditemukan. Sedangkan pada penelitian yang kami lakukan bahwa seorang hakim harus melakukan ijtihad ketika undang-undang yang ada dianggap kurang memenuhi rasa keadilan. Jadi signifikansi perbedaan dari penelitian yang dilakukan oleh Adi Candra dengan penelitian yang kami lakukan adalah pada substansi materinya. 2. Penelitian yang dilakukan oleh Ahmad Dardiri dengan judul “Pertimbangan Hakim Dalam Merujuk Hukum Islam (Study Kasus Putusan Hakim di PA Malang)”. Pada penelitian ini Dardiri menyatkan bahwasanya faktor-faktor yang mengharuskan hakim untuk melakukan ijtihad, salah satunya adalah bahwa hukum positif masih menyisakan problematika ketika dijadikan dasar atau acuan dalam memutuskan perkara, karena mayoritas masyarakat yang mengajukan perkara lebih percaya dan meyakini bahwa hukum Islam lebih mengandung nilai keadilan yang sempurna dibandingkan dengan hukum positif. Selain itu pula ia juga memaparkan bagaimana metode-metode yang digunakan hakim PA kota Malang dalam merujuk hukum Islam.17 Penelitian yang dilakukan oleh Ahmad Dardiri ini hampir sama dengan penelitian yang kami lakukan namun fakus penelitiannya pada metode seorang hakim dalam merujuk hukum Islam sedangkan penelitian kami adalah bagaimana prosedur ijtihad yang dilakukan oleh seorang hakim. 16 Adi Candra. Ijtihad Hakim dalam Menetapkan Keputusan Hukum. (UIN Maliki, Skripsi, 2004) 17 Ahmad Dardiri. Perrtimbangan Hakim dalam Merujuk Hukum Islam (Studi Kasus Putusan Hakim di PA Malang). (UIN Maliki, Skripsi, 2003) 10 3. Penelitian yang dilakukan oleh Nur Shofa Ulfiati dengan judul “Ijtihad Hakim Dalam Memutuskan Perkara Perceraian”. Dalam penelitianya ini Nur Shafa merumuskan bahwasanya hakim PA Bangil dalam memutuskan perkara perceraian ini telah melakukan ijtihad, yang mana fokus penelitianya hampir sama dengan yang kami angkat. Dalam penelitianya ini Shafa memaparkan model ijtihad yang dilakukan oleh majlis hakim yang memutuskan perkara perceraian tersebut dan memaparkan bagaimana metode yang digunakan majlis hakim tersebut dalam menetapkan hukum terhadap perkara yang ditangani. Ijtihad yang dilakukan hakim dalam penelitian ini adalah ijtihad kolektif atau musyawarah majlis.18 Jadi dapat disimpulkan bahwasanya signifikansi perbedaan yang sangat menojol dari penelitian yang kami lakukan dengan penelitian sebelumnya adalah pada aspek prosedural ijtihadnya dan pada aspek konsep keadilan dalam pandangan hakim yang menangani perkara sehingga ia harus melakukan ijtihad ketika perundang-undangan yang ada belum dianggap mencukupi nilai-nilai keadilan yang diharapkan oleh para hakim dan pihak-pihak yang berperkara. 4. Sistematika Penulisan Dan Pembahasan Dalam mempermudah memahami isi dari sebuah penelitian maka perlu disajikan sistematika penulisan dan pembahasan. Disini kami akan memaparkan peulisan dan pembahasan secara sistematis dari penelitian yang telah kami lakukan. 18 Nur Shofa Ulfiati. Ijtihad Hakim dalam Memutuskan Perkara Perceraian. (Malang. Skripsi, 2009) 11 Bab I merupakan Pendahuluan yang terdiri dari latar belakang masalah, identifikasi masalah, rumusan masalah, definisi oprasional, tujuan penelitian, manfaat dari hasil penelitian, penelitian terdahulu dan sistematika pembahasan. Bab II terdiri dari kajian pustaka. Didalamnya mencakup konsep kewarisan Islam secara general dengan beberapa sub babnya yang terdiri dari dasar hukum keawarisan Islam, sebab-sebab mewaris, rukun mewaris, syarat mewaris, penggugur hak waris, bagian-bagian ahli waris, dan asas-asas hukum kewarisam Islam. Ijtihad dalam hukum Islam yang didalamnya terdiri dari definisi ijtihad, syarat dan unsur-unsur ijtihad, macam-macam ijtihad, fungsi ijtihad dan metode ijtihad. Kewenangan Pengadilan Agama dalam menangani perkara kewarisan. Hukum kewarisan dalam kompilasi hukum Islam. Dan yang terakhir adalah Ijtihad hakim pengadilan agama. Bab III terdiri dari metode penelitian yang di dalamnya berisi lokasi penelitian, jenis penelitian, pendekatan penelitian, sumber data, teknik pengumpulan data, teknik pengelolaan data dan teknik pengecekan keabsahan data. Bab IV terdiri dari paparan data yang berisi deskripsi pengadilan agama Blitar, yuridiksi pengadilan agama Blitar, sejarah pengadilan agama Blitar, kasus-kasus kewarisan di pengadilan agama Blitar. Analisis data memaparkan bagaimana prosedur ijtihad yang dilakukan oleh hakim pengadilan agama Blitar dalam menangani perkara kewarisan dan alasan mengapa hakim pengadilan agama Blitar memilih untuk melakukan ijtihad pada perkara tersebut disertai dengan analisis dari data-data yang ada. 12 Bab V berisi kesimpulan dari penelitian ini dan saran-saran pada para pihak terkait dengan penelitian yang kami lakukan.
Untuk Mendownload Skripsi "Skripsi al-Ahwal al-Syakhshiyyah" :  Ijtihad hakim Pengadilan Agama Blitar dalam perkara warisan: Studi di Pengadilan Agama BlitarUntuk Mendownload skripsi ini silakan klik link dibawah ini


Artikel Terkait:

No comments:

Post a Comment