Jasa Pembuatan Skripsi

Jasa Pembuatan Skripsi
Jasa Pembuatan Skripsi

Friday, June 9, 2017

Jasa Buat Skripsi: download Skripsi al-Ahwal al-Syakhshiyyah:Konstelasi perkawinan campuran dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia

Abstract

INDONESIA:
Di Indonesia, ketentuan yang berkenaan dengan perkawinan telah diatur dalam peraturan perundang-undangan negara, yakni Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974tentang Perkawinan. Sejalan dengan berlakunya undang-undang tersebut, ada satu hal yang harus mendapatkan perhatian dan menjadi satu fenomena yang masih diperdebatkan, yaitu tentang perkawinan campuran. Hal ini disebabkan karena adanya dua atau lebih sistem hukum yang digunakan. Perbedaan dasar hukum yang dipakai dan perbedaan dalam menafsirkan hukum menjadi masalah utama dalam perkawinan campuran tersebut.
Berangkat dari permasalahan tersebut, penulis tertarik untuk melakukan penelitiannya, apalagi setelah diketahui bahwa dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, sebenarnya telah ada pasal-pasal yang mengaturnya, akan tetapi, aturan tersebut masih menimbulkan ketidakpastian dan juga perdebatan di kalangan para praktisi hukum. Untuk menemukan kepastian hukum dari perkawinan campuran yang telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan tersebut, maka, penulis mengangkat dua permasalahan, yakni (1) Apakah ruang lingkup perkawinan campuran yang diakui di Indonesia setelah berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan?, dan (2) Bagaimanakah syarat-syarat pelaksanaan yang berkaitan dengan perkawinan campuran menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan?. Untuk menjawab pertanyaan tersebut, penulis melakukan penelitian hukum normatif dengan menggunakan dua pendekatan, yakni statute approach, dan historical approach.
Setelah melakukan penelitian secara literatur, akhirnya penulis menyimpulkan bahwa ruang lingkup dari perkawinan campuran yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yakni pada Pasal 57, hanyalah perkawinan campuran yang disebabkan beda kewarganegaraan. Perkawinan campuran yang terjadi di Indonesia harus dilangsungkan menurut hukum yang berlaku di Indonesia, yakni harus dilakukan menurut hukum masing-masing pihak, tidak ada hukum yang berlaku di luar agama dan kepercayaannya. Selain itu, perkawinan tersebut juga harus dicatatkan di Kantor Catatan Sipil atau Kantor Urusan Agama. Atas hasil tersebut, saran penulis, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 perlu ditinjau kembali, perlu adanya peraturan pelaksanaan yang mengatur secara khusus dan terperinci dalam pelaksanaan perkawinan campuran, serta adanya kebijaksanaan pemerintah Republik Indonesia dalam mengatasi masalah-masalah yang kemungkinan terjadi sebagai akibat dari perkawinan campuran antara warganegara Indonesia dengan warganegara Asing.
ENGLISH:
In Indonesia, the provisions relating to marriage has been arranged in state legislation, namely Law No. 1 Year 1974 on Marriage. In line with the enactment of these laws, there is one thing to get attention and become a phenomenon that is still debated, which is about a mixed marriage. This is due to the existence of two or more legal system that is used. Differences in the legal basis used and the differences in interpreting the law became a major problem in such a mixed marriage.
Departure from these problems, the author is interested in conducting research, especially when he found that under Law No. 1 Year 1974 on Marriage, in fact has no provisions that govern them, however, these rules still lead to uncertainty and debate among practitioners law. To find the legal certainty of a mixed marriage that has been regulated in Law No. 1 Year 1974 on Marriage, then, the authors raised two issues, namely (1) Is the scope of mixed marriages are recognized in Indonesia after the enactment of Law Number 1 Year 1974 on Marriage? and (2) How is the implementation of the requirements associated with mixed marriages by Law No. 1 Year 1974 about Marriage?. To answer these questions, the author conducted a normative legal research by using two approaches, namely statute approach, and the historical approach.
After doing the research literature, the author finally concludes that the scope of a mixed marriage as stipulated in Law No. 1 Year 1974 on Marriage ie in Article 57, which caused a mixed marriage is different nationality. Mixed marriages that occurred in Indonesia should be conducted under applicable law in Indonesia, which must be done according to the law of each party, there is no law that applies outside of religion and belief. In addition, the marriage must also be listed in the Registry Office or the Office for Religious Affairs.

On these results, the authors suggested, Law No. 1 Year 1974 to be reviewed, the need for regulations governing the implementation of specific and detailed in the implementation of mixed marriages, and the existence of the government policy of the Republic of Indonesia in overcoming the problems that may occur as a result of mixed marriage between a citizen of Indonesia with foreign nationals.

BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Manusia sebagai makhluk sosial selalu hidup bersama dengan manusia lainnya dalam suatu pergaulan hidup. Hidup bersama antar manusia, antara lain untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, baik yang bersifat jasmani maupun yang bersifat rohani. Interaksi manusia dalam masyarakat melahirkan berbagai hubungan, baik yang bersifat individual maupun yang bersifat kolektif. Salah satu hubungan manusia yang individual adalah hubungan antara seorang pria dengan seorang wanita dalam ikatan perkawinan. Di Indonesia, ketentuan yang berkenaan dengan perkawinan telah diatur dalam peraturan perundang-undangan negara yang khusus berlaku bagi warga negara Indonesia. Aturan yang dimaksud adalah dalam bentuk undang-undang yaitu Undang-Undang Nomor 1 Tahun 19745 dan peraturan pelaksanaannya dalam bentuk Peraturan Pemerintah Nomor 9 tahun 19756 . Dengan keluarnya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, maka keanekaragaman hukum perkawinan yang selama ini menjadi pegangan dan berlaku bagi berbagai golongan warga negara dalam masyarakat dan dalam berbagai daerah dapat diakhiri. Sejalan dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan tersebut, ada satu hal yang harus mendapatkan perhatian dan menjadi satu fenomena yang masih diperdebatkan, yaitu tentang perkawinan campuran. Fenomena ini tidak hanya terjadi di kalangan selebritis, namun juga sudah terjadi di kalangan masyarakat umumnya yang hampir terjadi di seluruh wilayah Indonesia. Perkawinan campuran seringkali menjadi masalah tersendiri bagi mereka yang terlibat di dalamnya, mulai masalah mengenai syarat-syarat perkawinan yang harus dipenuhi, prosedur yang harus dilalui, hingga hukum yang harus digunakan. Perbedaan dasar hukum yang dipakai dan perbedaan dalam menafsirkan hukum menjadi masalah utama dalam perkawinan campuran tersebut. Hal ini disebabkan karena adanya dua atau lebih sistem hukum yang digunakan dimana pihak yang terkait terkadang belum memahami sepenuhnya hukum yang berlaku, terutama berkaitan dengan sistem hukum yang berlaku di Indonesia. Oleh sebab itu diperlukan aturan yang jelas dan tegas mengenai perkawinan campuran agar tidak terjadi ambiguitas dan kebingungan hukum bagi pihak yang terkait dalam menafsirkan hukum yang berlaku. 5Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1974 Nomor 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan. 6Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1975 Nomor 12 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 Tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan. Sebelum dikeluarkannya Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan, di Indonesia telah ada 3 bentuk peraturan perundang-undangan mengenai perkawinan campuran. Ketiga bentuk peraturan perundang-undangan itu adalah: 1. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (BW) 2. Ordonansi Perkawinan Kristen Indonesia (HOCI) S. 1933 Nomor 74 3. Peraturan Perkawinan Campuran (Staatsblad 1898 Nomor 158), yang lebih dikenal dengan Gemengde Huwelijken Remengde (GHR) Ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam ketiga bentuk peraturan perundangundangan tersebut setelah dikeluarkannya UUP, sebagaimana diketahui antara lain yang merupakan prinsip umum dalam perundang-undangan bahwa peraturan perundang-undangan yang setingkat derajatnya yang ditetapkan kemudian, menghapuskan ketentuan-ketentuan yang berlawanan dalam perundang-undangan sederajat yang mendahuluinya. Maka, secara otomatis ketiga bentuk peraturan perundang-undangan itu tidak berlaku lagi. Namun, selama ketentuan hukum yang sebelumnya belum diatur sendiri oleh Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan ketentuan hukum tersebut tidak bertentangan, tetap dinyatakan berlaku. Sebagaimana dirumuskan dalam pasal 66 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, bahwa: Untuk perkawinan dan segala sesuatu yang berhubungan dengan perkawinan berdasarkan atas Undang-Undang ini, maka dengan berlakunya UndangUndang ini ketentuan-ketentuan yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek), Ordonansi Perkawinan Indonesia Kristen (Huwelijks Ordonantie Christen Indonesiers S.’1993 No. 74), Peraturan Perkawinan Campuran (Regeling op de gemengde Huwelijken S. 1898 No. 158), dan peraturan-peraturan lain yang mengatur tentang perkawinan sejauh telah diatur dalam Undang-Undang ini, dinyatakan tidak berlaku. 7 Menurut GHR8 pasal 1, arti perkawinan campuran adalah: “Yang dinamakan Perkawinan Campuran, ialah perkawinan antara orang-orang yang, di Indonesia tunduk kepada hukum-hukum yang berlainan.”9 Menurut pendapat kebanyakan ahli hukum dan yurisprudensi, yang dimaksudkan diatur selaku perkawinan campuran itu adalah perkawinan antara seorang laki-laki dan seorang perempuan yang masing-masing pada umumnya takluk pada hukum yang berlainan.10 Definisi ini sangat luas jangkauannya, tidak membatasi arti perkawinan campuran pada perkawinan-perkawinan antar warganegara Indonesia atau antar penduduk Indonesia dan dilangsungkan di Indonesia, asalkan pihak-pihak yang melangsungkan perkawinan di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan adalah perkawinan campuran. Di dalamnya termasuk juga perkawinan antara orang-orang yang berlainan kewarganegaraan, tempat, golongan dan agama. Karena perbedaan kewarganegaraan, tempat, golongan dan agama itu, maka berlainan pula hukum yang mengatur perkawinan mereka. 7 Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1974 Nomor 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan. 8 Peraturan Perkawinan Campuran yang berlaku sebelum dibentuknya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, yang merupakan peraturan yang dibentuk oleh kolonial Belanda untuk mengatur perkawinan campuran yang terjadi di Indonesia. 9 Staatsblad 1898 No. 158. 10Sudargo Gautama, Segi-Segi Hukum Peraturan Perkawinan Campuran (Staatsblad 1898 No. 158), (Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 1996), 55. Hukum yang berlainan ini antaranya dapat disebabkan karena perbedaan kewarganegaraan, kependudukan dalam berbagai regio Kerajaan Belanda, golongan rakyat, tempat kediaman maupun agama. Sedangkan pengertian perkawinan campuran yang dirumuskan dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, tepatnya pada pasal 57, adalah: Yang dimaksud dengan perkawinan campuran dalam Undang-Undang ini ialah perkawinan antara dua orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan, karena perbedaan kewarganegaraan dan salah satu pihak berkewarganegaraan Asing dan salah satu pihak berkewarganegaraan Indonesia.11 Dari definisi pasal 57 Undang-Undang Perkawinan ini dapat diuraikan unsurunsur perkawinan campuran sebagai berikut: 1. Perkawinan antara seorang pria dan seorang wanita 2. Di Indonesia tunduk pada aturan yang berbeda 3. Karena perbedaan kewarganegaraan 4. Salah satu pihak berkewarganegaraan Indonesia Unsur pertama jelas menunjuk kepada asas monogami dalam perkawinan. Unsur kedua menunjukkan kepada perbedaan hukum yang berlaku bagi pria dan wanita yang melakukan perkawinan itu. Tetapi perbedaan itu bukan karena perbedaan agama, suku bangsa, golongan di Indonesia melainkan karena unsur ketiga karena perbedaan kewarganegaraan. Perbedaan kewarganegaraan ini bukan kewarganegaraan asing semuanya, melainkan unsur keempat bahwa salah satu kewarganegaraan itu ialah kewarganegaraan Indonesia. Dengan rumusan tersebut di atas, maka pengertian perkawinan campuran menjadi lebih sempit daripada pengertian yang diberikan oleh GHR, baik menurut 11Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1974 Nomor 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan. ilmu hukum maupun yurisprudensi tentang perkawinan campuran sebelum diundangkannya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Dengan diundangkannya undang-undang tersebut, pembentuk undang-undang memberikan pengertian perkawinan campuran dalam arti hanya perkawinan antara warganegara Indonesia dan warganegara asing. Di samping itu, Undang-Undang ini juga tidak menentukan menurut hukum pihak mana perkawinan campuran itu harus dilangsungkan.12 Kemudian, pasal 59 ayat 2 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, menentukan bahwa: “Perkawinan campuran yang dilangsungkan di Indonesia dilakukan menurut Undang-Undang Perkawinan ini.”13 Dari kata-kata tersebut dapat ditarik kesimpulan, seolah-olah ada atau akan diadakan tata cara perkawinan untuk perkawinan campuran yang berbeda dengan G.H.R (Staatsblad 1898 No. 158). Akan tetapi, harapan ini tidak kunjung datang yang menimbulkan keragu-raguan atau ketidakpastian, hukum manakah yang akan berlaku untuk perkawinan campuran itu.14 Berangkat dari uraian di atas, maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitiannya terhadap perkawinan campuran, dengan mengangkat judul “Konstelasi Perkawinan Campuran dalam Peraturan Perundang-undangan di Indonesia”. 12R. Soetojo Prawirohamidjojo, Pluralisme Dalam Perundang-undangan Perkawinan di Indonesia (Surabaya: Airlangga University Press, 1988), 92. 13Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1974 Nomor 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan. 14R.
B.     Batasan Masalah
Dalam melakukan penelitian yang berjudul “Konstelasi Perkawinan Campuran dalam Peraturan Perundang-Undangan di Indonesia” ini, peneliti menfokuskan penelitiannya hanya dalam ruang lingkup pemaknaan yang diberikan oleh Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan syarat-syarat pelaksanaan yang berkaitan dengan perkawinan campuran tersebut dengan dikaitkan pada peraturan perkawinan campuran sebelum undang-undang ini diundangkan dengan melihat sejarah dan latar belakang dari adanya pengaturan perkawinan campuran tersebut, baik dari sejarah dan latar belakang terhadap peraturan sebelum adanya UUP maupun setelah resmi diundangkannya undang-undang tersebut.
C. Rumusan Masalah
 1. Apakah ruang lingkup perkawinan campuran yang diakui di Indonesia setelah berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan? 2. Bagaimanakah syarat-syarat pelaksanaan yang berkaitan dengan perkawinan campuran menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan?
D. Tujuan Penelitian
 1. Untuk mengetahui ruang lingkup perkawinan campuran yang diakui di Indonesia setelah berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan 2. Untuk mengetahui syarat-syarat pelaksanaan yang berkaitan dengan perkawinan campuran menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan
E. Manfaat Penelitian

 1. Secara teoritis Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat dalam rangka pengembangan keilmuan di bidang hukum perkawinan pada umumnya dan secara khusus di bidang hukum perkawinan campuran. 2. Secara praktis a. Sebagai bagian informasi bagi masyarakat mengenai ketentuan hukum dan masalah-masalah yang terkait dengan perkawinan campuran dikarenakan beda kewarganegaraan yang dilangsungkan di Indonesia b. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan pertimbangan dan masukan bagi pemerintah dan lembaga Legislatif dalam rangka penyempurnaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, khususnya dalam persoalan perkawinan campuran.
Untuk Mendownload Skripsi "Skripsi al-Ahwal al-Syakhshiyyah" : Konstelasi perkawinan campuran dalam peraturan perundang-undangan di IndonesiaUntuk Mendownload skripsi ini silakan klik link dibawah ini


Artikel Terkait:

No comments:

Post a Comment