Abstract
INDONESIA:
Hukum acara merupakan pedoman para hakim dalam melaksanakan proses beracara di peradilan baik berada di lingkup Peradilan Umum maupun di Peradilan Agama. Dalam undang-undang yang mengatur tentang prosedur beracara di persidangan menyatakan bahwa hakim wajib mengikuti apa yang telah tertulis dalam undang-undangan serta bagaimananpun keadaan yang terdapat di dalam persidangan hakim tidak boleh menyimpang dari hukum acara tersebut.
Pembahasan dalam penelitian ini berkaitan dengan proses pemeriksaan perkara yang dilakukan oleh hakim di Pengadilan Agama Mojokerto. Fokus terhadap masalah adalah penggabungan dua tahapan yakni antara tahap pembuktian dan putusan yang dijadikan dalam satu waktu sidang. Tujuan utama penelitian ini adalah untuk memahami secara komprehensif tentang pandangan majelis hakim dalam melaksanakan proses pemeriksaan perkara dengan menggabungkan dua tahapan, dan untuk mengetahui bagaimana pandangan hakim lainnya terkait proses penggabungan dua tahapan tersebut.
Adapun metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah jenis penelitian empiris, dengan perolehan data yang bersifat deskriptif, sedangkan pendekatan yang digunakan adalah pendekatan kualitatif. Sebagian besar data diperoleh dari data primer, yang dikumpulkan langsung dari informan yaitu para hakim di Pengadilan Agama Mojokerto. Kemudian, didukung dengan sumber data sekunder dalam menganalisis hasil penelitiannya dengan menggunakan metode analisis kualitatif-deskriptif.
Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa menurut pandangan mayoritas hakim Pengadilan Agama Mojokerto terkait proses pelaksanaan pemeriksaan perkara dengan menggunakan penggabungan dua tahapan itu diperbolehkan, sebab penggabungan tersebut tidak bertentangan dengan undang-undang tentang Hukum Acara. Oleh sebab itu, tidak terdapat sanksi bagi hakim yang melaksankan proses penggabungan dua tahapan. Selain itu sebagai pertimbangan lain adalah untuk lebih efisien, baik dari segi waktu atau biaya pada saat proses di persidangan, pendapat ini juga dilandasi dengan asas sederhana, cepat, dan biaya ringan. Namum, terdapat salah satu hakim yang berpendapat bahwa, meskipun proses penggabungan dua tahapan ini tidak melanggar undang-undang akan tetapi semestinya penggabungan tersebut tidak lakukan dengan alasan agar majelis hakim yang menangani perkara dapat lebih memahami pokok perkara dan dapat memberi jawaban akhir berupa putusan dengan seadil-adilnya.
ENGLISH:
Procedural law is the guide for the judges in executing the proscessof civil procedure both in Public Court and Religous Court. A legislation regulating the procedure in a court session stating that a judge is obligated to implement the regulation written in legilation. In addition, the judge cannot deviate from the prosedural law despite any situasion that may occur in the court session.
The matters discussed in the study are related to a case investigation process carried out by the judges in Mojokerto Religious Court. It focuses on the problem of the joining of two stages that is the stage of proof an verdict provision in a court session. The main purpose of the study is comprehensively understanding the panel of judges in executing the case investigation process by joining two stages. Moreover, the syudy also aims to point out other jugdes’ perspective regarding the joining process.
This present study employs an empirical method which acquires descriptive data, while the approach used is qualitative approach. Most of the data are primary data which are obtained/collected from the informants, the judges of Mojokerto Religious Court directly. Furthermore, it is supported by the secondary data sources in analysing the result of the study using descriptive qualitative analysis method.
Based on the result of the study, it could be concluded that the majority of Religious Court judges of Mojokerto allows the process of case investigation using the merger of two phases, because this merger is not incompatible to the law of procedural law. Therefore, there is no sanction for the judges who apply the process of two phases merging. Moreover, another consideration is to be more efficient both the time and the cost during the process in the court. This opinion is also based on the principle of simplicity, rapidity and low cost. However, one of the judges argued that although the process of merging these two phases does not break the law but the merger should not be done on the grounds that the judge who hadles the case may more understand the subject matter and possible to give the final answer in the form of fair verdict.
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Masalah Hukum materiil, baik yang tertulis
sebagaimana tertuang dalam peraturan perundang-undangan atau bersifat tidak
tertulis merupakan pedoman bagi setiap warga masyarakat bagaimana mereka
selayaknya berbuat atau tidak berbuat di dalam masyarakat.1 Dari sini dapat
dipahami, bahwa hukum itu bukanlah sekedar untuk pedoman bacaan, dilihat ataupun
diketahui, melainkan juga untuk ditaati dan dilaksanakan. Pada hakikatnya,
pelaksanaan hukum materiil itu umumnya berada dalam kekuasaan masing-masing
individu yang melakukan hubungan keperdataan tanpa melalui pejabat atau
instansi yang berwenang. Akan 1 Bambang Sugeng dan Sujayadi, “Hukum Acara
Perdata Dokumen Litigasi Perkara Perdata ”, (Jakarta : Kencana, 2011), h. 7. 2
tetapi sesuatu yang sering terjadi adalah hukum materiil tersebut dilanggar.
Sehingga dari sini ada pihak yang merasa dirugikan dan terjadilah gangguan
keseimbangan kepentingan di dalam masyarakat. Melihat dari hal tersebut, maka
hukum materiil yang telah dilanggar haruslah ditegakkan melalui sistem penegak
hukum yang telah ditetapkan oleh hukum. Penegak hukum yang dimaksudkan adalah
seluruh pejabat yang melakukan tugas untuk menegakkan hukum di suatu negara
sesuai dengan peraturan perundang-undang yang berlaku, seperti halnya :
kepolisian, kejaksaan serta badan peradilan, baik peradilan umum ataupun juga
peradilan agama. Salah satu dari penegak hukum yang ada di negara indonesia ini
adalah peradilan agama. Fungsi dari peradilan agama adalah untuk menegakkan
hukum serta memenuhi rasa keadilan dalam masyarakat. Ketentuan tentang Hukum
Acara yang berlaku di lingkungan Pengadilan Agama baru disebut secara tegas
sejak diterbitkan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang susunan dan
Kekuasaan Peradilan Agama, selain itu juga di dalamnya diatur tentang Hukum
Acara yang berlaku di lingkungan Peradilan Agama.2 Kemudian dirubah dengan
Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 selanjutnya disempurnakan dengan Undang-undang
Nomor 50 Tahun 2009 tentang Peradilan Agama. Penyempurnaan terhadap
Undang-undang tentang Peradilan Agama ini memberikan penjelasan yang lebih
detail mengenai Hukum 2 H. Abdul Manan, “Penerapan Hukum Acara Perdata Di
Lingkungan Peradilan Agama” (Jakarta: Kencana, 2006), h. 7. 3 Acara yang
berlaku di Peradilan Agama. Dalam Pasal 54 Undang-undang Nomor 7 Tahun 19893
dijelaskan bahwa Hukum Acara yang berlaku pada pengadilan yang berlaku di lingkup
Peradilan Agama adalah Hukum Acara perdata yang berlaku pada pengadilan di
lingkungan Peradilan Umum kecuali yang telah diatur secara khusus dalam
undang-undang ini. Dari penjelesan tersebut sudah sangat jelas bahwa Hukum
Acara yang dipergunakan di dalam Peradilan Agama adalah seperti halnya Hukum
Acara yang berlaku di Peradilan Umum, baik dari segi tahapan beracara atau dari
segi pemeriksaan perkaranya, kecuali peraturan yang khusus diatur dalam
Peradilan Agama. Adapun sumber Hukum Acara yang berlaku di lingkungan Peradilan
Umum diberlakukan juga untuk lingkungan Peradilan Agama, diantaranya, Het
Herzience Indonesie Reglement (HIR), Burgerlijke Wetbook voor Indonesia (BW),
Yurisprudensi tentang Hukum Acara, serta Doktrin-doktrin yang dikemukakan oleh
para sarjana. Dalam sumber Hukum Acara di lingkungan Peradilan Agama tersebut
juga disebut tentang prosedur-prosedur beracara di pengadilan yang di dalamnya
terdapat beberapa tahapan. Tahapan-tahapan tersebut berawal dari masuknya surat
gugatan atau permohonan di pengadilan yang telah diterima oleh Majelis Hakim,
kemudian proses selanjutnya yaitu upaya damai oleh Majelis Hakim yang kemudian
dilanjutkan dengan cara mediasi. Tahap berikutnya adalah proses pemeriksaan
yang mencakup 3 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama. 4
jawaban dari tergugat, replik dan duplik oleh Penggugat dan Tergugat atau
Pemohon dan Termohon, setelah itu dilanjutkan dengan kesimpulan dari kedua
pihak dan terakhir putusan hakim. Tahapan-tahapan ini sesuai dengan yang
tertuang dalam HIR (Het Herzience Indonesie Reglement) yang terkait dengan
Hukum Acara yang berlaku di Peradilan Agama.4 Oleh sebab itu, sesuai dengan
ketentuan Pasal 178 HIR, apabila pemeriksaaan telah selesai, maka Majelis Hakim
melakukan musyawarah untuk mengambil putusan yang akan dijatuhkan. Proses
pemeriksaan dianggap selesai apabila telah menempuh beberapa tahapan,
diantaranya tahap jawaban dari tergugat sesuai Pasal 121 HIR yang kemudian
dibarengi dengan replik dari penggugat maupun duplik dari tergugat dan setelah
itu dilanjutkan dengan proses pembuktian dan konklusi.5 Disamping itu, menurut
Pasal 20 Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman,
menyatakan bahwa semua putusan pengadilan hanya sah dan mempunyai kekuatan
hukum apabila diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum. Sebelum putusan
diambil majelis hakim secara rahasia melakukan sidang permusyawaratan dan
setiap hakim wajib menyampaikan pertimbangan atau pendapat tertulis terhadap
perkara yang sedang diperiksa dan menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari
putusan. Apabila dalam sidang permusyawaratan hakim yang rahasia 4 Pasal 132a,
164 dan 178 HIR tentang Gugatan Penggugat/Pemohon, Macam-Macam Alat Bukti dan
Putusan Pengadilan. 5 M. Yahya Harahap, “Hukum Acara Perdata tentang Gugatan,
Persidangan, Penyitaan, Pembuktian dan Putusan Pengadilan ” (Jakarta: Sinar
Grafika Offset, 2008), h. 797. 5 itu tidak tercapai mufakat bulat, maka
pendapat hakim yang berbeda wajib dimuat dalam putusan.6 Tahapan dalam proses
beracara yang telah tertulis dalam Undangundang yang mengatur tentang Hukum
Acara di Peradilan Agama tersebut harus ditempuh sesuai dengan urutan
tahapannya dari awal hingga akhir pemeriksaan. Jika ada salah satu tahapan yang
terlewati, maka akibat hukum dari proses tersebut, karena tidak memenuhi
prosedur yang telah berlaku dalam Hukum Acara di lingkup Peradilan. Namun,
kenyataan yang terjadi di lapangan itu sangatlah berbeda. Ada beberapa
Peradilan dalam melaksanakan proses beracara di persidangan tidak sesuai dengan
peraturan perundang-undangan yang telah mengaturnya, yaitu tidak terpenuhinya
tahapan dalam beracara. Fenomena seperti itulah yang menjadikan pertanyaan
besar dikalangan masyarakat, khususnya dikalangan akademisi yang mengetahui
tentang prosedur beracara di lingkup Peradilan. Dari sinilah yang menjadikan
dasar oleh peneliti dengan menempatkan proses beracara di penradilan khususnya
di Pengadilan Agama dalam kerangka berfikir penelitian ini adalah karena
Pengadilan Agama juga tidak luput dari kekurangan-kekurangan dalam melaksanakan
Hukum Acara yang berlaku di pengadilan. Akan tetapi, dalam hal ini yang menjadi
permasalahan adalah apabila proses beracara di Pengadilan Agama tidak sesuai
dengan Undang-undang Hukum Acara Peradilan 6 Ahmad Mujahidin, “Pembaharuan Hukum
Acara Peradilan Agama”, (Bogor : Ghalia Indonesia, 2012), h. 227. 6 Agama yang
berlaku. Maka akan berdampak pada akibat hukum dari proses tersebut, yaitu
putusan yang telah diputus tanpa melewati tahapan yang telah ditetapkan oleh
Peraturan Perundang-undangan. Karena pada hakikatnya, proses beracara di
persidangan tersebut haruslah mengacu pada Undang-undang yang sedang berlaku di
Indonesia. Dari beberapa Pengadilan Agama yang melaksanakan proses tersebut,
salah satunya adalah di Pengadilan Agama Mojokerto yang melaksanakan proses
beracara tidak sesuai dengan undang-undang yang sedang berlaku, yakni seperti
halnya rangkapnya antara Pembuktian dan Putusan Hakim menjadi satu waktu
sidang. Pada semestinya, sesuai dengan peraturan yang ada yaitu antara proses
pembuktian dan putusan tidak bersamaan dalam satu waktu. Akan tetapi, proses
penggabungan kedua tahapan tersebut dilakukan di Pengadilan Agama Mojokerto.
Dari fenomena tersebut yang menjadi kejanggalan oleh peneliti terhadap proses
beracara di persidangan yang sebenarnya dan membuat peneliti merasa perlu
meneliti lebih dalam adalah mengenai Hukum Acara di lingkup Peradilan Agama
serta ingin mengetahui bagaimana pandangan para hakim terhadap fenomena yang
sedang terjadi di lingkup Peradilan Agama tentang proses beracara di
persidangan, dengan judul penelitian yaitu “Pandangan Hakim Terhadap
Penggabungan Tahap Pembuktian dan Tahap Putusan Sidang Dalam Satu Waktu Sidang
” (Studi di Pengadilan Agama Mojokerto). 7 B. Rumusan Masalah Dari apa yang
telah dikemukakan pada latar belakang masalah, maka dapat dirumuskan sebagai
pokok kajian dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Bagaimana
pandangan hakim terhadap penggabungan tahap pembuktian dan tahap putusan sidang
dalam satu waktu sidang? 2. Apa sanksi bagi hakim melaksanakan proses
penggabungan tahap pembuktian dan tahap putusan sidang dalam satu waktu sidang?
C. Tujuan Penelitian 1. Untuk mengetahui pandangan hakim terhadap penggabungan
tahap pembuktian dan tahap putusan sidang dalam satu waktu sidang. 2. Untuk
mengetahui sanksi bagi hakim melaksanakan proses penggabungan tahap pembuktian
dan putusan sidang dalam satu waktu sidang. D. Manfaat Penelitian Dengan
diadakannya penelitian ini, diharapkan hasil yang diperoleh peneliti nantinya
dapat bermanfaat bagi penulis khususnya dan bagi masyarakat pada umumnya. 1.
Manfaat Teoritis Secara teoritik penelitian ini diharapkan dapat ikut
memperkaya khazanah pengetahuan dalam mengembangkan ilmu-ilmu hukum acara, 8
khususnya yang terkait dengan masalah hukum acara di Pengadilan Agama, sebagai
bahan wacana, sumbangan teori bagi masyarakat, pemerintah, akademisi, lembaga
swadaya masyarakat, instansi yang terkait, dan pihak-pihak yang bersangkutan.
2. Manfaat Praktis a. Bagi Peneliti Untuk menambah wawasan tentang hukum acara
di pengadilan terutama masalah sistem rangkap antara pembuktian dan putusan di
Pengadilan Agama dan aspek hukum yang ada di instansi Pengadilan Agama
Mojokerto. b. Bagi Masyarakat Sebagai bahan informasi agar masyarakat lebih
mengetahui terhadap proses beracara dan mengetahui hukum acara yang berlaku di
Pengadilan Agama. c. Bagi Instansi terkait Sebagai bahan acuan guna pengadaan
penyuluhan sistem hukum acara dalam proses beracara di Pengadilan Agama. 9 E.
Definisi Operasional Demi menghindari persepsi lain mengenai istilah-istilah
yang ada, maka perlu adanya penjelasan mengenai definisi istilah dan
batasanbatasannya. Ini bertujuan dalam skripsi lebih terfokus pada permasalahan
yang akan dibahas. Adapun definisi dan batasan istilah yang berkaitan dengan
judul dalam penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut : 1. Pandangan Hakim :
asumsi hakim dalam menanggapi sesuatu keadaan sesuai dengan keilmuan serta
pengalaman yang telah beliau alami khususnya dalam masalah menangani perkara.
2. Penggabungan Tahapan: Proses pelaksanaan pemeriksaan perkara dalam beracara
di muka persidangan yang dilakukan dalam waktu yang bersamaan. 3. Pembuktian :
Salah satu tahapan dalam beracara di persidangan yang fungsinya adalah untuk
menentukan proses perkara, serta untuk meyakinkan tentang dalil-dalil yang
telah dikemukakan dalam suatu perkara. 4. Putusan Sidang : Suatu pernyataan
yang diucapkan oleh hakim dalam persidangan bertujuan untuk mengakhiri
persidangan, sekaligus untuk menyelesaikan suatu perkara atau sengketa oleh
para pihak. 10 F. Sistematika Pembahasan Untuk memperoleh sebuah karya ilmiah
yang terarah dan sistematis, maka perlu disusun sistematika pembahasan. Dalam
penelitian ini, ada lima sistematika, yaitu: Bab I yang merupakan awal dari
penyusunan penelitian, dalam bab ini memuat tentang latar belakang masalah yang
diambil, yaitu sebuah rangkuman yang mengupas tentang faktor-faktor yang
melatarbelakangi bahwa masalah ini perlu dan penting untuk diadakan penelitian.
Dari latar belakang masalah yang telah dipaparkan di atas, akan memunculkan
beberapa pertanyaan yang terkait hal tersebut, maka peneliti mencantumkan
beberapa pertanyaan tersebut dalam poin rumusan masalah. Dari rumusan masalah
yang akan peneliti bahas, memiliki tujuan yang tercantum dalam tujuan penelitian.
Selain itu, juga memiliki manfaat yang tercantum dalam manfaat penelitian yang
memuat tentang manfaat penelitian bagi peneliti khususnya dan bagi masyarakat
pada umumnya serta definisi operasional yang menjelaskan secara singkat
mengenai hal-hal yang diteliti oleh peneliti dan sistematika pembahasa yang
menjadikan gambaran dasar dan alur penelitian yang akan dapat dipahami dengan
jelas. Selanjutnya, dalam bab II juga memaparkan tentang kajian pustaka yang
berisi tentang penelitian terdahulu, yang berfungsi sebagai tolak ukur
perbedaan masalah yang dikaji supaya peneliti tidak dianggap menjiplak peneliti
orang lain. Dalam bab ini, juga terdapat kerangka teori yang membahas secara
sekilas tentang teori-teori penelitian yang akan 11 dilakukan. Dalam kerangka
teori ini peneliti memasukan tentang pengertian pembuktian dan putusan, manfaat
dan tujuan pembuktian tujuan, dan lain sebagainya. Kerangka teori tersebut
nantinya dipergunakan untuk rujukan penelitian dalam menganalisa permasalahan
yang sedang diteliti. Pada bab III, memaparkan tentang metode penelitian.
Metode penelitian ini bertujuan untuk memudahkan peneliti untuk mengkaji dan
menganilis data yang diperoleh. Dalam metode penelitian ini mencakup beberapa
point penting, yaitu jenis penelitian, pendekatan penelitian, lokasi
penelitian, jenis dan sumber data, metode pengumpulan data, dan metode
pengolahan data. Manfaat dari bab ini adalah unuk mengetahui metode yang
digunakan dalam proses penelitian tersebut. Pada bab IV, menjelaskan atau
menjawab tentang hasil penelitian dan pembahasan dengan mengacu pada
teori-teori yang sudah dipaparkan, yang mana dalam penelitian tersebut adalah
mengenai tahap pembuktian dan tahap putusan hakim yang digabung dalam satu
waktu sidang serta menguraikan data-data lapangan yang diperolah selama
penelitian yaitu dengan teknik wawancara serta memaparkan dan analisis data
yang berisi tentang penyajian hasil analisis, yang mana hasil dari analisis
disesuaikan dengan rumusan masalah, yang bertujuan untuk mengetahui pandangan para
hakim terkait penggabungan tahap pembuktian dan tahap putusan sidang. 12 Bab V,
merupakan bab terakhir yang berisi Kesimpulan dan Saran. Dalam kesimpulan
menegaskan kembali mengenai penelitian ini dengan memahaminya secara konkrit
dan utuh. Oleh sebab itu, dalam kesimpulan ini penulis mencoba memperjelas
dengan sesingkat mungkin jawaban dari rumusan masalah. Sehingga lebih
memudahkan pembaca untuk memahami isi dari penelitian ini tanpa harus membaca
keseluruhannya. Sedangkan saran memuat beberapa anjuran bagi akademik baik bagi
masyarakat maupun bagi peneliti selanjutnya, guna untuk memberi masukan kepada
orang-orang yang bersangkutan.
DOWNLOAD
No comments:
Post a Comment