Abstract
INDONESIA:
Peraturan Mahkamah Agung dibuat secara rinci dengan tujuan agar proses mediasi yang dibantu oleh mediator dapat dapat berjalan dengan lancar dan menuai keberhasilan, dengan pasal-pasal pengaturan yang terperinci akan memberikan beban kepada para pihak. Hal tersebut merupakan salah satu efek jika sebuah aturan diatur dengan rigid dan detail. Salah satu ketentuan menarik dari PERMA No. 1 tahun 2008 adalah Pasal 2 ayat 3, yang menyatakan bahwa: “Tidak menempuh prosedur mediasi berdasarkan peraturan ini merupakan pelanggaran terhadap pasal 130 HIR yang mengakibatkan putusan batal demi hukum”.
Dari Pasal tersebut maka timbulah kegelisahan akademik tentang kekuatan imperaif mediasi itu sendiri yang menyebutkan putusan batal demi hukum jika tidak melakukan mediasi kemudian bagaimanakah pandangan hakim Pengadilan Agama Kabupaten Malang terhadap kekuatan imperatif mediasi dan bagaimana kekuatan hukum PERMA menurut Undang-undang No 10 Tahun 2004 tentang Peraturan Pembuatan Undang-undang.
Penelitian ini menggunakan metode Yuridis empiris atau penelitian Hukum empiris dengan pendekatan deskriptif kualitatif, skripsi ini akan menggambarkan beberapa data yang diperoleh dari lapangan dengan melakukan wawancara Hakim Pengadilan Agama Kabupaten Malang, dan juga dokumentasi sebagai metode pengumpulan data. Kemudian dilanjutkan dengan proses editing, diklasifikasikan, kemudian dianalisa. Selain itu, proses analisa tersebut juga didukung dengan kajian pustaka sebagai referensi untuk memperkuat data yang diperoleh dari lapangan. Sehingga dengan proses semacam itu, dapat diperoleh kesimpulan sebagai jawaban atas dua pertanyaan diatas.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa mediasi memiliki kekuatan yang imperatif karena memang harus dilaksanakan sebagaimana Peraturan Mahkamah Agung No. 1 tahun 2008 tentang prosedur mediasi, hanya saja para hakim kurang setuju dengan adanya pernyataan pada isi pasal 2 ayat 3 yang menyatakan putusan batal demi hukum. Dan kekuatan hukum dari PERMA ini adalah mengikat muthlak mengingat di naungi oleh Undang-undang Dasar 1945 dan Undang-undang No. 3 tahun 2009 tentang perubahan kedua atas Undang- undang No. 14 tahun 1985 tentang Mahkamah Agung dalam kewenanganya mengeluarkan peraturan yang bersifat diakui dan mengikat sesuai Pasal 7 ayat (4) beserta penjelasanya.
ENGLISH:
Regulation of Supreme Court made in detail with a purpose to process of mediation assisted by mediator can walk at ease and reach efficacy, with sections arrangement of detailed will give burden to the parties. The mentioned represent one of the effect if a order arranged with rigid and of detail. One of the rule withdraw from PERMA No.1 2008 is section 2 article 3, expressing that: "Do not go through procedure of mediation pursuant to this regulation represent collision to section 130 HIR that resulting decision cancel for the of law".
From the section hence arising restlessness of academic about strength of imperative mediation itself that mentioning decision cancel for the shake of law, otherwise conduct mediation then how judge view justice of religion sub-province of Malang to strength of imperative mediation and how legal force of PERMA according to code of No.10 2004 about regulation of legislating.
This research use method of juridical empirical or research of empirical law with descriptive qualitative approach, this thesis will depict some obtained data of field by interview judge justice of religion sub-province of Malang, as well as documentation as data collecting method. Then continued with process of editing, clarification, and analysis. Besides, the analysis process is also supported with book study as reference to strengthen obtained data of field. So that with process a kind of this, can be obtained by conclusion in response to two question above.
Result of this research indicate that mediation have the power of which is imperative because it is true have to be executed as regulation of supreme court of No.1 2008 about procedure of mediation, just only all judge less agree with the existence of statement at content section 2 article 3 expressing decision cancel for the shake of law. And legal force of this PERMA is to fasten absolute remember under the aegis of constitution 1945 and code of No.14 1985 about supreme court in its his authority having release regulation that recognizably and fasten as according to section 7 article 4 along with its clarification.
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Penelitian Dalam proses beracara di Peradilan
Agama telah dikenal adanya negosiasi dengan bantuan pihak ketiga yang biasa
disebut dengan proses mediasi. Dalam mediasi, yang memainkan peran utama adalah
pihak-pihak yang bertikai. Pihak ketiga (mediator) berperan sebagai pendamping
dan penasihat. Sebagai salah satu mekanisme menyelesaikan sengketa, mediasi
digunakan di banyak masyarakat dan diterapkan kepada berbagai kasus konflik.
Prosedur mediasi telah diatur Dalam PERMA No. 1 tahun 2008, dan memiliki produk
hukum berupa Akta perdamaian yang pengertianya adalah akta yang memuat isi
kesepakatan perdamaian dan putusan hakim yang menguatkan kesepakatan perdamaian
tersebut. 2 Menurut Prof. Takdir Rahmadi mediasi adalah suatu proses
penyelesaian sengketa antara dua pihak atau lebih melalui perundingan atau cara
mufakat dengan bantuan pihak netral yang tidak memiliki kewenangan memutus.
Pihak netral tersebut disebut mediator dengan tugas memberikan bantuan
procedural dan substansial. 1 Menurut Fuller, mediator memiliki beberapa fungsi
yaitu katalisator 2 pendidik, penerjemah, narasumber, penyandang berita jelek,
agen realitas dan sebagai kambing hitam (scapegoat).3 Istilah mediasi ini baru
populer di Indonesia pada tahun 2000-an. Jika melihat proses mediasi, akar-akar
penyelesaian sengketa melalui cara ini sudah dikenal jauh sebelum kemerdekaan,
dimana seseorang yang terlibat dalam persengketaan, cara menyelesaikan perkara
dilakukan dengan cara damai dan melibatkan pihak ketiga. Pihak ketiga tersebut
biasanya adalah tokoh masyarakat, tokoh agama atau pimpinan adat. Pada dasarnya
mediasi muncul secara resmi dilatarbelakangi dengan adanya realitas sosial
dimana pengadilan sebagai satu lembaga penyelesaian perkara dipandang belum
mampu menyelesaikan perkaranya sesuai dengan harapan masyarakat. Kritik
terhadap lembaga peradilan disebabkan karena banyak faktor, antara lain
penyelesaian jalur litigasi pada umumnya lambat (waste of time), pemriksaan
sangat formal (folrmalistic), sangat teknis (technically), dan 1 Takdir Rahmadi.
Mediasi penyelesaian sengketa melalui pendekatan mufakat (Jakarta : PT Raja
Grafindo Persada, 2010) , 12-13. 2 Fungsi sebagai katalisator diperlihatkan
dengan kemampuan mendorong lahirnya suasana yang konstruktif bagi dialog atau
komunikasi diantara para pihak dan bukan sebaliknya, yakni menyebarkan
terjadinya salahpengertian dan polarisasi di antara para pihak. 3 Ibid, hlm :
14-15 3 perkara yang masuk pengadilan sudah overloaded. Disamping itu keputusan
pengadilan selalu diakhiri dengan menang dan kalah, sehingga kepastian hukum
dipandang merugikan salah satu pihak berperkara. Hal ini berbeda jika
penyelesaian perkara melalui jalur mediasi, dimana kemauan para pihak dapat
terpenuhi meskipun tidak sepenuhnya. Penyelesaian ini mengedepankan kepentingan
dua pihak sehingga putusannya bersifat win-win solution.4 Dalam mediasi,
penyelesaian perselisihan atau sengketa lebih banyak muncul dari keinginan dan
inisiatif para pihak, sehingga mediator berperan membantu mereka mencapai
kesepakatan-kesepakatan.5 sehingga penciptaan perdamaian melalui proses mediasi
ini bergantung pada para pihak yang bersengketa sendiri untuk sepakat berdamai
dengan mediator hanya sebagai pendamping. Latarbelakang kelahiran mediasi di
atas menjadikan keberadaan mediasi sangat penting di tengah semakin banyaknya
perkara yang masuk di pengadilan. Cara penyelesaian sengketa jalur non litigasi
ini sudah diperkenalkan sejak masa pemerintahan Belanda. Cara ini dilakukan
dengan penerapan cara-cara damai sebelum perkara disidangkan. Pertama kali aturan-aturan
tersebut diperkenalkan oleh pemerintahan Hindia Belanda melalui Reglement op de
burgerlijke Rechtvordering atau disingkat Rv pada tahun 1894. Disamping itu
pemerintah Indonesia juga telah mengeluarkan beberapa aturan melalui surat
edaran, peraturan-peraturan, dan perundangan-undangan. 4 Mukhsin Jamil.
Mengelolah konflik membangun damai (Semarang : Walisongo Press, 2010), 212. 5
Syahrizal Abbas, MEDIASI (Jakarta : KENCANA, 2009), 6. 4 Penyelesaian non
litigasi ini telah dirintis sejak lama oleh para ahli hukum. Mahkamah Agung
sebagai lembaga tinggi negara merasa paling bertanggungjawab untuk
merealisasikan undang-undang tentang mediasi. MA menggelar beberapa Rapat Kerja
Nasional pada September 2001 di Yogyakarta yang membahas secara khusus penerapan
upaya damai di lembaga peradilan. Hasil Rakernas ini adalah SEMA No. 1 tahun
2002 tentang Pemberdayaan Pengadilan Tingkat Pertama Menerapkan Lembaga Damai.
MA juga menyelenggarakan temu karya tentang mediasi pada Januari 2003. Hasil
temu karya tersebut adalah PERMA No. 2 tahun 2003. Semangat untuk menciptakan
lembaga mediasi sudah ada sejak Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia, Bagir
Manan menyampaikan pidatonya pada 7 Januari 2003 dalam temu karya mediasi.
Bagir Manan mendorong pembentukan Pusat Mediasi Nasional (National Mediation
Center). Delapan bulan kemudian, tepatnya 4 September 2003 Pusat Mediasi
Nasional resmi berdiri, sesaat sebelum Mahkamah Agung mengeluarkan PERMA No. 2
tahun 2003.6 Setelah dilakukan evaluasi terhadap pelaksanaan Prosedur Mediasi
di Pengadilan berdasarkan Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia No. 2
Tahun 2003, ternyata ditemukan beberapa permasalahan yang bersumber dari
Peraturan Mahkamah Agung tersebut, sehingga Peraturan Mahkamah Agung No. 2
Tahun 2003 perlu direvisi dengan maksud untuk lebih mendayagunakan mediasi yang
terkait dengan proses berperkara di Pengadilan PERMA No. 1 Tahun 2008 terbit
setelah melalui sebuah kajian oleh tim yang dibentuk Mahkamah Agung. 6 Mukhsin
Jamil. Op.Cit. hlm :213 5 PERMA No. 1 Tahun 2008 Pasal 4 menyebutkan bahwa
Jenis Perkara Yang Dimediasi Kecuali perkara yang diselesaikan melalui prosedur
pengadilan niaga, pengadilan hubungan industrial, keberatan atas putusan Badan
Penyelesaian Sengketa Konsumen, dan keberatan atas putusan Komisi Pengawas
Persaingan Usaha.7 semua sengketa perdata yang diajukan ke Pengadilan Tingkat
Pertama wajib lebih dahulu diupayakan penyelesaian melalui perdamaian dengan
bantu Mediasi merupakan salah satu proses penyelesaian sengketa yang lebih
cepat dan murah, serta dapat memberikan akses keadilan yang lebih besar kepada
para pihak dalam menemukan penyelesaian sengketa yang memuaskan dan memenuhi
rasa keadilan, pengintegrasian mediasi ke dalam proses beracara di pengadilan
dapat menjadi salah satu instrumen efektif mengatasi masalah penumpukan perkara
di pengadilan serta memperkuat dan memaksimalkan fungsi lembaga non-pradilan
untuk penyelesaian sengketa di samping proses pengadilan yang bersifat memutus
(ajudikatif). Hukum acara yang sepanjang ini berlaku, baik Pasal 130 HIR maupun
Pasal 154 RBg, mendorong para pihak yang bersengketa untuk menempuh proses
perdamaian yang dapat diintensifkan dengan cara mengintegrasikan proses mediasi
ke dalam prosedur berperkara di Pengadilan. Dengan memperhatikan wewenang Mahkamah
Agung dalam mengatur acara peradilan yang belum cukup diatur oleh peraturan
perundang-undangan, maka demi kepastian, ketertiban, dan 7 Syahrizal Abbas. Op.
Cit. hlm : 311 6 kelancaran dalam proses mendamaikan para pihak dalam
menyelesaikan suatu sengketa perdata, kedua aturan tersebut menjadi landasan.8
Terbitnya PERMA No. 1 Tahun 2008 ini sebagai suatu yang positif untuk membantu
masyarakat, advokat, dan hakim untuk lebih memahami mediasi Jika dibandingkan
dengan PERMA No. 2 Tahun 2003, PERMA No. 1 tahun 2008 memang lebih komprehensif
Jumlah pasal juga jauh lebih banyak dan lebih detail mengatur proses mediasi di
pengadilan. Walaupun lebih detail, lebih lengkap belum tentu lebih baik. Karena
mediasi sebagai salah satu cara penyelesaian sengketa, merupakan proses yang
seharusnya fleksible dan memberikan kesempatan luas kepada para pihak untuk
melakukan perundingan atau mediasi itu sendiri agar mencapai hasil yang
diinginkan. Seringkali pengaturan yang rigid atau detail akan memberikan beban
kepada para pihak. Hal tersebut merupakan salah satu efek jika sebuah aturan
diatur dengan rigid dan detail. Salah satu ketentuan menarik dari PERMA No. 1
tahun 2008 adalah Pasal 2 ayat 3, yang menyatakan bahwa: “Tidak menempuh
prosedur mediasi berdasarkan peraturan ini merupakan pelanggaran terhadap pasal
130 HIR yang mengakibatkan putusan batal demi hukum”. Ketentuan ini perlu
diperhatikan berbagai pihak, semua putusan pengadilan dapat batal demi hukum
jika tidak melakukan prosedur mediasi yang didasarkan PERMA No. 1 Tahun 2008
ini. Di dalam proses litigasi atas perkara perdata, tugas hakim pertama-tama
adalah mengupayakan perdamaian, jika ini 8 Mushadi. Mediasi dan Resolusi
konflik di Indonesia (Semarang : Walisongo Press, 2007), 95. 7 tidak
dilaksanakan maka putusan apapun dapat batal demi hukum.9 Dari sinilah PERMA
No. 1 Tahun 2008 memiliki kekuatan yang imperatif. Dari salah satu pasal PERMA
diatas maka berkenaan langsung dengan produk hukum seorang hakim pengadilan
Agama. Karena jalannya suatu proses peradilan akan berakhir dengan adanya suatu
putusan Hakim. Dalam hal ini, Hakim terlebih dahulu menetapkan fakta-fakta
(kejadian-kejadian) yang dianggapnya benar dan berdasarkan kebenaran yang
didapatkan ini kemudian Hakim baru dapat menerapkan hukum yang berlaku antara kedua
belah pihak yang berselisih (berperkara), yaitu menetapkan “hubungan hukum”.
Putusan Peradilan Perdata (Peradilan Agama adalah Peradilan Perdata) selalu
memuat perintah dari pengadilan kepada pihak yang kalah untuk melakukan
sesuatu, atau untuk berbuat sesuatu, atau untuk melepaskan sesuatu atau
menghukum sesuatu. Jadi dictum vonis selalu bersifat condemnatoir artinya
menghukum atau bersifat constitutoir artinya menciptakan. perintah dari
pengadilan ini, jika tidak dituruti dengan sukarela, dapat dilakukan secara
paksa disebut eksekusi.10 Dan putusan yang demikian ini dapat batal demi hukum
jika tidak melalui proses mediasi terlebih dahulu sesuai dengan ketentuan pasal
130 HIR yang mash menjadi salah satu landasan hukum bagi Peradilan Agama dalam
proses beracaranya. Dengan adanya kekuatan imperatif yang melekat pada mediasi
maka perlu kita ketahui kedudukanya PERMA No.1 tahun 2008 tentang prosedur
mediasi dalam Hirarki perundang-undangan sesuai dengan Undang-undang No. 9
Mushadi. Op. Cit. hlm : 101. 10 Erfaniah Zuhriah. Peradilan Agama di Indonesia
(Malang : UIN-Malang Press. 2008), 267. 8 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan. Dalam Undang-undang No. 10 Tahun 2004 menyebutkan
tentang hirarki perundangundangan yang terletak pada pasal 7 ayat 1 yang
berbunyi : (1) Jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan adalah sebagai
berikut : a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; b.
Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang; c. Peraturan
Pemerintah; d. Peraturan Presiden; e. Peraturan Daerah. 11 Dari pasal diatas
perlu kita telusuri kembali tentang kedudukan PERMA itu sendiri sehingga
nantinya dapat kita ketahui tentang asal mula kekuatan imperatifnya, karena
PERMA merupakan Peraturan perundang-undangan dibawah Undang-undang yang
dikeluarkan oleh Mahkamah Agung. Proses mediasi atau perdamaian yang berlaku
pada Peradilan Agama juga telah dijelaskan dalam dasar Hukum Islam yakni
Al-qur’an maupun hadist didalamnya tertera banyak penjelsan bahwa jika ada pertikaian
maka wajiblah diselesaikan dengan proses damai agar tidak menimbukan suatu
kerugian bagi salah satu pihak yang bertikai. Dalam beberapa riwayat hadis juga
telah dijelaskan tentang perdamaian bagi dua orang yang sedang bersengketa.
Umar Ibnu Khattab mengemukakan, bahwa menyelesaikan suatu perkara berdasarkan
putusan hakim 11 Widodo Ekatjahjana. Pembentukan Peraturan Perundang-undangan
(Bandung : PT. Citra Aditya Bakti.2008), 51 9 sungguh tidak menyenangkan dan
dapat menimbulkan perselisihan dan pertengkaran yang berlanjut, oleh karena itu
sebaiknya dihindari. 12 Istilah perdamaian ini telah tercantum dalam Al-Qur’an
yang merupakan kitab suci agama Islam. Pada umumnya, komunikasi merupakan hal
penting dalam penyelesaian sengketa. Komunikasi secara langsung antara para
pihak akan lebih produktif menyelesaikan sengketa, sehingga dapat menghindari
kekerasan dan merendahkan biaya. Pihak ketiga merupakan bagian integral dalam
intervensi membangun damai dengan memfasilitasi komunikasi, menghindari tensi,
dan membantu memperbaiki hubungan silaturrahmi. Islam mendorong intervensi
aktif, khususnya diantara sesama muslim.13 Sebagai mana QS Al-Hujurat ayat 9
yang berbunyi : Artinya : dan kalau ada dua golongan dari mereka yang beriman
itu berperang hendaklah kamu damaikan antara keduanya! tapi kalau yang satu
melanggar Perjanjian terhadap yang lain, hendaklah yang melanggar Perjanjian
itu kamu perangi sampai surut kembali pada perintah Allah. kalau Dia telah
surut, damaikanlah antara keduanya menurut keadilan, dan hendaklah kamu Berlaku
adil; Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang Berlaku adil.14 Bagi
sebagian kalangan, ayat ini telah dijadikan legitimasi untuk penggunaan
kekerasan dalam islam, dan kemudian menyangkal hipotesis orang 12 Jaih,
Mubarrok. Peradilan Agama di Indonesia (Bandung : Pustaka Bani Quraisy. 2004),
122. 13 Syahrizal Abbas. Op. Cit. hlm : 137 14 Departemen Agama. Op. Cit. hlm :
412. 10 yang cinta damai. Padahal esensi dari ayat ini adalah mendukung konsep
mediasi atau arbitrase dalam penyelesaian sengketa secara fair dengan
intervensi pihak ketiga. Misi Islam dalam ayat ini adalah menghindari agresi
dan setiap muslim wajib menyelesaikan konflik secara damai, dalam QS An-Nisa
ayat 114 disebutkan bahwa : Artinya : tidak ada kebaikan pada kebanyakan
bisikan-bisikan mereka, kecuali bisikan-bisikan dari orang yang menyuruh
(manusia) memberi sedekah, atau berbuat ma'ruf, atau Mengadakan perdamaian di
antara manusia. dan Barangsiapa yang berbuat demikian karena mencari keredhaan
Allah, Maka kelak Kami memberi kepadanya pahala yang besar.15 Dalam Islam juga
kita kenal dengan adanya Istilah Tahkim yang pengertianya adalah adanya dua
orang atau lebih yang meminta kepada orang lain agar diputuskan perselisihan
yang terjadi diantara mereka dengan hukum Syar’i.16 Dasar diberlakukanya Tahkim
dalam Islam adalah sebagaimana QS An.Nisa’ ayat 35 yang berbunyi Artinya : dan jika kamu khawatirkan ada
persengketaan antara keduanya, Maka kirimlah seorang hakam dari keluarga
laki-laki dan seorang hakam dari keluarga perempuan. jika kedua orang hakam itu
bermaksud Mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada
suami-isteri itu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.17
Singkatnya Islam menghindari agresi dan tindakan kekerasan dalam penyelesaian
sengketa. Islam menawarkan pendekatan damai anti kekerasan, melalui
identifikasi sejumlah problem dan akar penyebab terjadinya konflik. 18 Dari
landsan beberapa ayat Al-Qur’an diatas maka sudah sepatutnya mediasi
diaplikasikan dalam beracara di Pengadilan Agama, mengingat anjuran agama yang
lebih mengutamakan perdamaian. PERMA No. 1 Tahun 2008 tersebut mempunyai
keistimewaan tersendiri, yakni pada pasal 2 yang menyatakan bahwa tanpa mediasi
maka putusan batal demi hukum. PERMA No. 1 Tahun 2008 tersebut juga memberikan
manfaat yang sangat besar terhadap proses berperkara di Pengadilan Agama karena
juga mencakup asas peradilan yang Sederhana, Cepat, dan Biaya Ringan. PERMA No.
1 Tahun 2008 ini diberlakukan adalah untuk mengurangi penumpukan perkara di
Pengadilan maupun di Mahkamah Agung. Dalam kamus Bahasa Indonesia Imperatif
berarti bersifat memerintah atau memberi komando, mempunyai hak untuk memberi
komando, dan bersifat menguatkan atau memaksa.19 Mediasi memiliki kekuatan
imperatif yang komando atau perintahnya harus dilaksanakan dengan berlandaskan
pasal 130 HIR maka 17 Departemen Agama. Op. Cit. hlm : 66 . 18 Syahrizal Abbas.
Op. Cit. hlm : 138. 19 Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Kamus Besar Bahasa
Indonesia. (Jakarta : Balai Pustaka. 1989), 327. 12 kekuatan ini berlaku,
sehingga putusan batal demi hukum jika tidak melalui proses mediasi terlebih
dahulu. Dari paparan diatas maka peneliti akan membahas tentang kekuatan
imperatif yang terkandung dalam mediasi yang akan diketahui melalui pendapat
Hakim Pengadilan Agama Kabupaten Malang dan juga akan peneliti kaji tentang
kekuatan hukum PERMA No. 1 Tahun 2008 menurut Undang-undang No. 10 Tahun 2004
tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Dengan demikian maka peneliti
akan melakukan penelitian dengan judul ; “PANDANGAN HAKIM PENGADILAN AGAMA
KABUPATEN MALANG TERHADAP KEKUATAN IMPERATIF MEDIASI”.
B.
Batasan
Masalah
Menurut hemat penulis, obyek penelitian atau
permasalahan yang dibahas disini perlu dibatasi dan ditegaskan agar dalam
penelitiannya bisa lebih fokus dan terarah sehingga nantinya hasil yang
diharapkan dari penelitian berkualitas dan jelas. Pada penelitian ini, penulis
memfokuskan pada dua hal pokok permasalahan yang akan diteliti. Pertama
berkaitan dengan Pandangan Hakim Pengadilan Agama Kabupaten Malang terhadap
kekuatan Imperatif mediasi dan yang kedua tentang Kekuatan Hukum PERMA No. 1
Tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi menurut Undang-undang No. 10 Tahun 2004
tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
C.
Rumusan
Masalah
Berdasarkan persolan-persolan di atas,
penelitian ini mencoba memberikan rumusan masalah sebagai berikut: 1. Bagaimana
pandangan Hakim Pengadilan Agama Kabupaten Malang terhadap kekuatan Imperatif
mediasi? 2. Bagaimana kekuatan hukum PERMA No. 1 Tahun 2008 Berdasarkan
Undang-undang No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan ?
D.
Tujuan
Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Mendeskripsikan dan menganalisis Pandangan Hakim Pengadilan Agama Kabupaten
Malang terhadap kekuatan Imperatif mediasi. 2. Mendeskripsikan dan menganalisis
kekuatan hukum PERMA No. 1 Tahun 2008 Berdasarkan Undang-undang No. 10 Tahun
2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan E. Definisi Operasional
Untuk memperjelas maksud dan tujuan dari penelitian ini, maka diperlukan adanya
definisi perasional. Adapun yang dimaksud dengan definisi operasional adalah
penjelasan beberapa kata kunci yang berkaitan dengan judul atau penelitian,
yang terdiri atas : 14 1. Hakim : Seseorang yang mempunyai fungsi mengadili
serta mengatur administrasi Pengadilan. 2. Imperatif : bersifat memerintah atau
memberi komando, mempunyai hak untuk member komando, dan bersifat menguatkan
atau memaksa. 3. Mediasi : suatu proses penyelesaian sengketa antara dua pihak
atau lebih melalui perundingan atau cara mufakat dengan bantuan pihak netral
yang tidak memiliki kewenangan memutus.
E.
Kegunaan
Penelitian
Dalam penelitian ini diharapkan
dapat digunakan dalam ranah teoritis dan ranah praktis. Secara toritis,
penelitian ini diharapkan mampu menambah khazanah keilmuan Fakultas Syariah
terutama Jurusan Al-Ahwal Al-Syakhshiyah terkait dengan Pandangan Hakim
Pengadilan Agama Kabupaten Malang terhadap kekuatan imperatif mediasi dan juga
Kekuatan Hukum PERMA No. 1 Tahun 2008 Berdasarkan Undang-undang No. 10 Tahun
2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Secara praktis,
penelitian ini diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan mencapai gelar
Sarjana Hukum Islam (S.Hi) dan juga mampu memberikan pemahaman kepada
masyarakat bahwa dalam proses beracara Perdata di Pengadilan Agama terdapat
asas wajib mendamaikan yang ketentuan ini perlu diperhatikan berbagai pihak,
semua putusan pengadilan dapat batal demi hukum jika tidak melakukan prosedur
mediasi yang didasarkan PERMA No.1 Tahun 2008 ini. Di dalam proses litigasi
atas perkara perdata, tugas hakim 15 pertama-tama adalah mengupayakan
perdamaian, jika ini tidak dilaksanakan maka putusan apapun dapat batal demi
hukum.. Sedangkan saran merupakan harapan penulis kepada semua pihak yang
kompeten atau ahli dalam masalah ini, agar penelitian yang dilakukan oleh
penulis dapat memberikan kontribusi yang maksimal.
Untuk Mendownload Skripsi "Skripsi al-Ahwal al-Syakhshiyyah" Pandangan Hakim Pengadilan Agama Kabupaten Malang terhadap kekuatan imperatif mediasi " Untuk Mendownload skripsi ini silakan klik link dibawah ini
No comments:
Post a Comment