Abstract
INDONESIA:
Dalam penulisan skripsi ini, peneliti membahas mengenai Praktik Poliandri Dikalangan Tenaga Kerja Wanita (TKW). Praktik poliandri ini dilakukan oleh TKW saat berada di tempat atau negara dimana ia bekerja. Model perkawinan ini dilakukan tanpa izin suami pertama, meski sebagian kecil berdasarkan kesepakatan antara kedua belah pihak, dengan alasannya masing-masing.
Rumusan masalah yang dikaji dalam penelitian ini adalah: Bagaimana praktik poliandri dikalangan Tenaga Kerja Wanita (TKW) yang berasal dari Desa Patokpicis Kecamatan Wajak Kabupaten Malang, Mengapa terjadi praktik poliandri dikalangan Tenaga Kerja Wanita (TKW) yang berasal dari Desa Patokpicis Kecamatan Wajak Kabupaten Malang, dan Bagaimana pandangan masyarakat Desa Patokpicis Kecamatan Wajak Kabupaten Malang tentang praktik poliandri Tenaga Kerja Wanita (TKW).
Penelitian ini menggunakan jenis penelitian lapangan (field research) dan menggunakan pendekatan deskriptif kualitatif. Metode pengumpulan data menggunakan wawancara tidak terstruktur, observasi, dan dokumentasi, sedangkan teknik analisis datanya melalui proses menelaah seluruh data yang terkumpul, melakukan penafsiran data, dan membuat kesimpulan.
Berdasarkan hasil penelitian, terdapat praktik poliandri di desa Patokpicis, tepatnya di dusun Sumbersuko, yang dilakukan oleh Tenaga Kerja Wanita (TKW) dan bekerja di Bali. Pelaku poliandri dan suami pertama adalah warga asli desa Patokpicis, sedangkan suami kedua adalah seorang turis berkewarganegaraan Perancis. Pernikahan kedua terjadi atas sepengetahuan dan persetujuan dari suami pertama, akan tetapi suami kedua tidak mengetahui status istrinya yang telah menikah. Latar Belakang praktek poliandri dikalangan TKW tersebut antara lain rendahnya perekonomian masyarakat desa, kemudian memilih untuk beralih ke cara yang instan seperti menjadi TKW, keinginan untuk memenuhi kebutuhan biologis, dan minimnya pengetahuan agama. Pendapat masyarakat, khususnya tokoh agama dan tokoh masyarakat mengenai hukum praktik poliandri adalah haram karena tidak terdapat dalam syari’at Islam dan juga tidak diatur dalam hukum perkawinan di Indonesia, serta solusi untuk menyikapi praktik poliandri dikalangan TKW di Patokpicis antara lain mempertebal keimanan dengan mendalami agama Islam, memaksimalkan pemberdayaan masyarakat untuk meningkatkan perekonomian, serta memberikan sanksi yang tegas bagi pasangan yang melanggar perjanjian antara suami istri.
ENGLISH:
In this thesis, researcher discusses about polyandry practice among the Women Migration Workers (TKW). The polyandry is practiced by Women Migration Workers in the place or country where they work. This kind of marriage is commited without the first husband’s permission although few of them are based on both agreements with husband and wife different reasons.
The statement of problems which are discussed in this research are; What are the practice of polyandry among the Women Migration Workers (TKW) in Patokpicis, Wajak, Malang. What are the reasons for Women Migration Workers (TKW) in Patokpicis, Wajak, Malang to practice polyandry. What are Patokpicis’ people opinions about polyandry which are practiced by Women Migration Workers (TKW).
This research is a field research and it uses a descriptive qualitative approach. This research uses unstructured interviews, observation, and documentation for its data collecting technique, then its data analysis technique is applied by reviewing as well as, and interpretating the data, making conclusions.
Based on the research results, there is a polyandry practice in Patokpicis, exactly in Sumbersuko, which is practiced by the Women Migration Worker (TKW) and works in Bali. The practitioner of polyandry and her first husband are the natives of Patokpicis, but her second husband is a tourist from France. Her second marriage is held by her first husband’s permission, but her second husband does not know about the status of his wife who had married. After her second marriage, the practitioner of polyandry lives in Bali with her second husband and her son, and first husband lives in Patokpicis with money and gift of his wife. The backgrounds of the polyandry practice among the Women Migration Workers (TKW) are the economy low of level, choosing instant ways through a Woman Migration Worker, the desire to meet biological neccessities, and the minimum of
religious knowledge. People’s opinion, especially the scholar’s opinion about polyandry practice among the Women Migration Workers in Islam and Indonesia’s law is haram, and also about the solution to solve it is by studying Islam, maximizing to increase economic level, and giving punishment to the couple who disobey that agreement.
religious knowledge. People’s opinion, especially the scholar’s opinion about polyandry practice among the Women Migration Workers in Islam and Indonesia’s law is haram, and also about the solution to solve it is by studying Islam, maximizing to increase economic level, and giving punishment to the couple who disobey that agreement.
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Perkawinan poliandri, khususnya yang terjadi
di Patokpicis, Wajak, Malang, terjadi karena ada kesepakatan antara pasangan
suami istri, yang istrinya adalah TKW (Tenaga Kerja Wanita). Para istri yang
TKW tersebut melakukan praktik poliandri di tempat mereka bekerja (Hongkong,
Malaysia, dan Arab Saudi), dengan masih menyandang status sebagai istri sah
dari suami yang berada di Indonesia atau dalam arti istri-istri tersebut tidak
ditalak oleh suami pertama. Hal tersebut merupakan faktor yang menjadikan para
TKW betah bekerja di luar negeri selama kurang lebih 7-10 tahun.1 Dari informasi
yang didapatkan, beberapa TKW dari Arab Saudi kembali ke Indonesia dengan
membawa bayi, rela menikah dengan sesama 1 Surotul, wawancara (Wajak, 27
Februari 2012). 2 TKI karena telah ditolong meski telah bersuami di Indonesia2
, memiliki hubungan dekat laiknya pasangan lesbian dengan sesama TKW (penyuka
sesama perempuan) dan menggugat cerai suaminya (pelaku merupakan seorang TKW di
Hongkong), kemudian lebih memilih untuk bersama dengan pasangan lesbiannya
tersebut di kota lain. 3 Selain itu, di Desa Patokpicis terdapat beragam kasus
yang juga tidak lepas dari permasalahan TKW. Beberapa suami dari para TKW
seperti mendapatkan kesempatan emas ketika ditinggal istri-istrinya bekerja ke
luar negeri. Diantaranya bahkan secara langsung “njajan” yaitu dengan menggunakan
jasa Wanita Tuna Susila (WTS), berselingkuh dengan tetangga desa, ataupun
menikah lagi meski tanpa izin istri pertama. Ketidakteraturan yang disebabkan
oleh banyaknya warga desa yang menjadi TKI, menyebabkan perangkat desa
mengalami kesulitan untuk melakukan pendataan dan mengetahui siapa saja yang
ada di luar negeri, yang telah kembali, ataupun yang kembali hanya untuk
sementara waktu. Karena para TKI tersebut tidak mengurus segala yang
diperlukannya di kantor Kelurahan kecuali untuk membuat paspor. Hal itu yang
menyulitkan pendataan warga. Praktik poliandri tersebut bermula dari
ketidakberdayaan ekonomi masing-masing pasangan suami istri. Sebelum si istri
memutuskan untuk menjadi TKW, kebanyakan dari pasangan tersebut bergantung pada
hasil panen, yaitu hasil dari sawah yang dikerjakan sendiri. Karena hasil yang
2Towib, wawancara (Wajak, 13 April 2012). 3Dartono, wawancara (Wajak, 14 April
2012). 3 didapatkan masih kurang mencukupi segala kebutuhan, maka si istri pun
memilih untuk menjadi TKW, meskipun tidak ada jaminan akan terpenuhinya segala
kebutuhan hidup. Keinginan menjadi TKW juga disebabkan oleh gaya hidup sebagian
besar masyarakat Desa Patokpicis yang dipengaruhi oleh sugesti bahwa kesuksesan
akan menyertai orang-orang yang bekerja di luar negeri. Sebagaimana manusia
dewasa lainnya, apalagi bagi yang telah berkeluarga, kebutuhan bukan hanya
nafkah lahir, seperti pemenuhan kebutuhan ekonomi, akan tetapi juga nafkah
batin, seperti kasih sayang, perhatian, serta pemenuhan kebutuhan biologis bersama
pasangan. Faktorfaktor tersebut adalah kendala-kendala yang sulit dihindari
oleh TKW yang hidup berjauhan dari suami dan keluarga. Maka dari itu, beberapa
TKW bersedia untuk menikah lagi, meski tanpa sepengetahuan suami pertama.
Praktik poliandri tidak hanya dilakukan oleh kalangan TKW saja, akan tetapi
juga oleh masyarakat Desa Patokpicis, meski ia bekerja di Bali, bukan bekerja
di luar negeri. Suami pertama mengizinkan istrinya untuk menikah lagi, dan
sebelumnya hingga saat ini, suami kedua tidak mengetahui bahwa wanita yang
dinikahi tersebut telah berstatus sebagai istri orang. Karena pernikahannya
yang kedua tersebut, ia dapat membeli lahan dan mendirikan rumah lengkap dengan
isinya di Desa, yang kini ditempati oleh suami pertamanya. Dari kasus ini,
tampak bahwa pasangan suami istri, khususnya istri-istri tersebut tidak
mencerminkan suatu ikatan atau komitmen perkawinan yang 4 disebut dengan
mitsaqan ghalidza. Unsur ibadah tidak lagi tergambar dari model perkawinan
tersebut. Ikatan yang pada awalnya dikukuhkan untuk dapat mencapai tujuan
akhirat, akhirnya hanya mengedepankan kepentingan duniawi dan hawa nafsu,
sehingga tidak ada lagi rasa saling menghormati dan menghargai di antara
pasangan tersebut. Dan yang lebih penting lagi bahwa praktek poliandri tidak
dibenarkan oleh Negara bahkan hukumnya haram menurut agama Islam. Kaitannya
dengan kasus di atas, pada masa Sahabat Ali as, dikatakan bahwa sekelompok
perempuan yang berjumlah kurang lebih empat puluh orang, menemui Sayyidina Ali
as dan kemudian mengajukan pertanyaan: “Kenapa Islam membolehkan lelaki untuk
beristri lebih dari satu, dan tidak membolehkan perempuan untuk bersuami lebih
dari satu? Dan apakah ini bukan sebuah diskriminasi yang tidak adil?” kemudian
Sayyidina Ali as minta disiapkan cangkir-cangkir berisi air, dan masing-masing
perempuan itu disodori secangkir air. Kemudian perempuan-perempuan itu diminta
untuk menuangkan air tersebut ke dalam sebuah mangkok besar, dan setelah itu
Sayyidina Ali meminta mereka untuk mengisi kembali cangkir mereka dengan air
yang sebelumnya ada di cangkir masing-masing. Mereka semua bertanya mana
mungkin bisa dilakukan, karena air sudah bercampur, sehingga tidak mungkin
memilah-milahnya. Sayyidina Ali kemudian menjelaskan bahwa jika seorang
perempuan memiliki beberapa suami, tentunya dia melakukan hubungan seksual
dengan beberapa suaminya itu, dan kemudian dia pun mengandung. Bagaimana
caranya untuk mengidentifikasi bahwa bayi yang 5 dikandung dan kemudian
dilahirkan itu adalah anaknya suami yang ini atau yang itu? Tanya Sayyidina
Ali. Yang tersebut di atas baru dalam sudut pandang laki-laki. Awal mula
poliandri, dalam suku Naires, yang bermukim di pantai Malabar, kaum laki-laki
hanya boleh beristri satu, sedangkan kaum perempuan bisa memiliki lebih dari
satu suami. Adat istiadat ini dipengaruhi oleh kebangsawanan suku Naires yang
terdiri dari orang-orang militer dari semua bangsa. Di Eropa, orang-orang
militer dilarang melakukan pernikahan, di Malabar, di mana iklimnya menuntut
akan kesenangan yang lebih besar, yaitu dengan menjadikan perkawinan sebagai
beban yang seringan mungkin, seorang istri diserahkan kepada banyak lelaki,
dengan konsekwensi antara lain memperkecil ikatan emosional dalam urusan rumah
tangga dan keluarga, dan membiarkan mereka untuk dikuasai sepenuhnya oleh
semangat militer. 4 Menurut Montesquieu, sebagaimana dikutip oleh Murtadha
Muthahhari, ketika poliandri dipraktekkan di kalangan masyarakat Naires di
pantai Malabar, merupakan peristiwa, kejadian, atau alasan ketika perempuan
memiliki kekuatan, telah mengambil kesempatannya untuk mengenakan poliandri
kepada laki-laki. Maka dari itu, periode-periode ini harus dipandang sebagai
periode-periode keemasan bagi perempuan, sementara sesungguhnya kita tahu bahwa
zaman jahiliyyah atau zaman sebelum Islam datang, merupakan zaman kegelapan dan
zaman mengerikan bagi kehidupan kaum perempuan. Disebutkan pula bahwa adat
istiadat poliandri dikalangan 4Murtadha Muthahhari, Perempuan dan Hak-haknya
Menurut Pandangan Islam (Jakarta: Penerbit Lentera, 2009), 297. 6 masyarakat
Naires berlangsung bukan karena otoritas dan kehormatan perempuan. Keputusan
ini diambil demi kepentingan menjauhkan orang militer dari ikatan emosional
keluarga dan juga untuk menjaga eksistensi semangat kegagahan atau keberanian.5
Kesulitan terbesar dalam poliandri, yang menyebabkan adat ini tidak berhasil
dalam praktik ialah tidak diketahuinya ayah dari anak yang dilahirkan, sehingga
dalam perkawinan model ini hubungan antara ayah dan anak tidak pasti.
Sebagaimana komunisme seksual tidak mendapat tempat untuk berpijak, demikian
pula poliandri tidak dapat populer dalam masyarakat manapun. Kehidupan keluarga
yang merupakan bangunan perlindungan yang aman bagi generasi penerus dan
keterpautan yang tegas antara satu generasi dengan generasi berikutnya
merupakan tuntutan naluriah watak manusia. Apabila poliandri terdapat
dikalangan tertentu, hal tersebut hanyalah suatu kebetulan dan pengecualian,
tidak dapat dijadikan argumen bahwa pola perkawinan seperti itu sesuai untuk
diterapkan di masyarakat. B. Rumusan Masalah Permasalahan penelitian ini
dirumuskan sebagai berikut: 1. Bagaimana praktik poliandri dikalangan Tenaga
Kerja Wanita (TKW) yang berasal dari Desa Patokpicis Kecamatan Wajak Kabupaten
Malang? 5Muthahhari, Perempuan, 306. 7 2. Mengapa terjadi praktik poliandri
dikalangan Tenaga Kerja Wanita (TKW) yang berasal dari Desa Patokpicis
Kecamatan Wajak Kabupaten Malang? 3. Bagaimana pandangan masyarakat Desa
Patokpicis Kecamatan Wajak Kabupaten Malang tentang praktik poliandri
dikalangan Tenaga Kerja Wanita (TKW)? C. Batasan Masalah Dalam penelitian ini
untuk menghindari pembahasan yang terlalu melebar dan penulisan yang kurang
mengarah dari pokok permasalahan sehingga sulit untuk mendapatkan suatu
kesimpulan konkret, maka peneliti merasa perlu adanya batasan-batasan yang
jelas yaitu latar belakang terjadinya praktik poliandri dikalangan Tenaga Kerja
Wanita (TKW) yang berasal dari Desa Patokpicis, serta pandangan tokoh
masyarakat desa yang menyatakan ketidaksepakatannyamengenai hukum praktik poliandri
tersebut, meskipun dalam aspek yang berbeda-beda, serta solusi yang ditawarkan
untuk menanggulanginya. D. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah: 1.
Untuk mengetahui praktik poliandri dikalangan Tenaga Kerja Wanita (TKW) yang
berasal dari Desa Patokpicis Kecamatan Wajak Kabupaten Malang. 8 2. Untuk
memahami latar belakang terjadinya praktik poliandri dikalangan Tenaga Kerja
Wanita (TKW) yang berasal dari Desa Patokpicis Kecamatan Wajak Kabupaten
Malang. 3. Untuk memahami pendapat masyarakat Desa Patokpicis Kecamatan Wajak
Kabupaten Malang tentang praktik poliandri Tenaga Kerja Wanita (TKW). E.
Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoritis Penelitian ini diharapkan dapat
memberikan pengetahuan mengenai poliandri, baik dari segi hukum Islam, hukum perdata
Islam, maupun hukum positif yang berlaku di Indonesia, khususnya bagi
masyarakat yang bersangkutan yaitu masyarakat Desa Patokpicis Kecamatan Wajak
Kabupaten Malang, dan umumnya bagi seluruh masyarakat Indonesia. 2. Manfaat
Praktis Secara praktis penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi
tentang potret pelaku poliandri di Desa Patokpicis Kecamatan Wajak Kabupaten
Malang, apa yang menjadi sebab, dan akibat yang ditimbulkan dari praktik
poliandri tersebut. 3. Manfaat bagi Penulis Bagi penulis, penelitian ini
diharapkan dapat menambah khasanah keilmuan khususnya mengenai praktik
poliandri di Desa Patokpicis 9 Kecamatan Wajak Kabupaten Malang untuk
pengembangan teori hukum, khususnya hukum keperdataan Islam, dengan mengkaji
sebab dan memberikan sumbangan ide untuk mengatasi akibat yang ditimbulkan dari
praktik poliandri. F. Definisi Operasional Dari penelitian yang peneliti angkat
dalam judul “Praktik Poliandri dikalangan Tenaga Kerja Wanita (TKW) (Studi
Pandangan Masyarakat Desa Patokpicis Kecamatan Wajak Kabupaten Malang)”,
terdapat istilah ‘poliandri’ yang dalam bahasa Belanda disebut polyandrie6 ,
yaitu sistem perkawinan yang memperbolehkan seorang wanita mempunyai suami
lebih dari satu orang dalam waktu yang bersamaan. Dalam UndangUndang Perkawinan
larangan perkawinan poliandri ini ditentukan dalam pasal 3 ayat 1, yang
menentukan bahwa pada asasnya seorang wanita hanya boleh mempunyai seorang
suami, dan larangan ini bersifat mutlak.7 Penelitian ini lebih spesifik pada
praktik poliandri yang dilakukan oleh kalangan TKW (Tenaga Kerja Wanita).
Istilah TKW (Tenaga Kerja Wanita) dalam penelitian ini adalah wanita warga
negara Indonesia yang menjadi tenaga kerja baik di dalam maupun di luar negeri.
6M. Marwan, Jimmy P, Kamus Hukum (Dictionary of Law Complete Edition),
(Surabaya: Reality Publisher, 2009), 512. 7Ny. Soemiyati, S. H, Hukum
Perkawinan Islam dan Undang-undang Perkawinan (Yogyakarta: Liberty, 2004), 84.
10 G. Penelitian Terdahulu Penelitian mengenai perkawinan poliandri sudah
banyak dilakukan, antara lain: Penelitian yang dilakukan oleh Abdul Hamid
berjudul Poliandri sebagai alasan menafkahi suami penderita lumpuh (Studi kasus
Keramat Kelurahan Sungai Bilu Kecamatan Banjarmasin Timur Kota Banjarmasin
Kalimantan Selatan)8 yang dapat disimpulkan bahwa yang melatar belakangi istri
melakukan poliandri adalah karena suami sudah tidak memiliki kemampuan lagi
untuk menjadi kepala rumah tangga dan tidak mampu memberikan nafkah lahir dan
batin kepada istri dan anaknya. Adapun penyebab dari semua ini, suami sakit
akibat lumpuh total selama 12 tahun. Praktek poliandri yang terjadi pada kasus
ini sebenarnya mendapatkan dampak negatif, karena atas dasar unsur kasihan
kepada suami pertama sehingga harus melakukan poliandri demi menafkahi suami
pertama dan anaknya. Tidak hanya itu saja, istri juga kurang memperhatikan lagi
suami pertama akibat telah mempunyai suami yang baru. Hal tersebut tidak bisa
dikatakan begitu saja bahwa ini poliandri yang sebenarnya. Karena dilihat dari
suami kedua saja yang aktif dalam menjalankan fungsi kepala rumah tangga. Islam
juga melarang dan mengharamkan praktek poliandri ini, yang telah dijelaskan
dalam Al Qur’an dan Hadist. 8Abdul Hamid, Poliandri sebagai Alasan Menafkahi
Suami Penderita Lumpuh (Studi kasus Keramat Kelurahan Sungai Bilu Kecamatan
Banjarmasin Timur Kota Banjarmasin Kalimantan Selatan), Skripsi, (Malang:
Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang, 2009). 11 Penelitian
yang dilakukan oleh Nafisatul Mukhoiyaroh berjudul Dampak sosiologis pola
perkawinan poliandri9 , dapat disimpulkan bahwa terdapat dua pelaku praktik
poliandri. Alasan yang mendasari Pelaku pertama yaitu karena faktor psikologis
di mana suami kedua merupakan mantan pacar sewaktu muda. Sedangkan faktor yang
mendukung pelaku kedua untuk melakukan praktik poliandri karena alasan
keyakinan yang diikutinya, yaitu bahwa dirinya telah kerasukan Syekh Abdul
Qodir Jaelani, hingga bersuami tujuh orang. Perbedaan latar belakang
masingmasing pelaku ternyata berbanding lurus dengan dampak sosial yang ditimbulkan,
yaitu bagi pelaku pertama mendapatkan reaksi keras dari masyarakat, khususnya
juga keluarga suami. Bagi pelaku kedua tidak mendapatkan reaksi penolakan dari
para suaminya, dan hanya mendapat penolakan dari masyarakat dan sebagian
keluarga yang tidak sepaham. Kemudian penelitian yang dilakukan oleh Irma Nur
Hayati berjudul Implikasi perkawinan poliandri terhadap keharmonisan keluarga
menurut pandangan masyarakat RT. V RW. XVI Kecamatan Tompokersan Kabupaten
Lumajang.10 Peneliti ini menyimpulkan bahwa pemahaman para pelaku poliandri
terhadap bentuk perkawinan ini adalah terbatas. Pembatasan yang dimaksud adalah
dalam memahami sebuah arti dari hakekat keluarga, yang belum dimengerti dan
ditambah lagi kurangnya 9Nafisatul Mukhoiyaroh, Dampak Sosiologis Pola
Perkawinan Poliandri, Skripsi, (Malang: Universitas Islam Negeri Maulana Malik
Ibrahim Malang, 2010). 10Irma Nur Hayati, Implikasi Perkawinan Poliandri
terhadap Keharmonisan Keluarga Menurut Pandangan Masyarakat RT V RW XVI
Kecamatan Tompokersan Kabupaten Lumajang, Skripsi, (Malang: Universitas Islam
Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang, 2009). 12 pemahaman dalam membentuk
keluarga sakinah. Selain itu pandangan para tokoh masyarakat terhadap
perkawinan ini adalah ketidaksetujuan dan menyatakan bahwa perkawinan ini tidak
sah, haram dilakukan apapun alasannya. Adapun implikasi dari perkawinan
poliandri ini adalah berimplikasi terhadap keharmonisan keluarga, terutama
psikologis anak, dan ada pengecualian dalam kehidupan bersosialisasi dalam
kehidupan masyarakat. Penelitian yang dilakukan oleh Ahmad Junaidi berjudul
Migrasi Pekerja “Metu” di Desa Patokpicis Kecamatan Wajak Kabupaten Malang.
Peneliti menyimpulkan, banyaknya warga Desa Patokpicis yang menjadi pekerja
“metu” disebabkan oleh warga asli Desa Patokpicis yang mengembangkan
kepercayaan bahwa mereka tidak akan berhasil bila berusaha (bekerja) di
kampungnya sendiri, dan ketika mendapatkan kesempatan, maka tidak ada alasan
untuk tetap bekerja di kampung. Perilaku bekerja metu juga mengakibatkan pola mobilitas
sosial yang khas, antara lain: masuknya individu-individu pekerja metu yang
sebelumnya menduduki derajat sosial rendah ke dalam strata sosial ekonomi yang
lebih tinggi, dan turunnya derajat sekelompok individu bukan pekerja metu,
khususnya yang bertahan di sektor pertanian, yang sebelumnya menduduki derajat
sosial ekonomi relatif tinggi, ke dalam strata sosial ekonomi yang lebih
rendah. Bermula dari kepercayaan dan perilaku tersebut, maka berdampak pula
pada pola perkawinan para 13 pekerja “metu”, yang sebagian besar mengalami
keretakan rumah tangga, meski dengan alasan yang beragam. 11 Dalam penelitian
ini, sebagaimana penelitian terdahulu yang telah ada, juga mendeskripsikan
mengenai pola perkawinan poliandri yang haram dan bertentangan dengan Islam
dalam pandangan masyarakat manapun. Perbedaannya, pada penelitian ini lebih
khusus membahas dan meneliti mengenai praktik poliandri dikalangan TKW yang
alasannya bukan karena masalah kesehatan ataupun akibat tidak terpenuhinya
nafkah, akan tetapi karena jarak yang memisahkan pasangan suami-istri yang
sehat secara lahir tersebut dan kurangnya pengetahuan agama, sehingga istri
memilih untuk memiliki pasangan lagi. Sedangkan pada penelitian-penelitian yang
terdahulu, alasan-alasan dilakukannya poliandri adalah dikarenakan suami
pertama lumpuh, tidak bisa menafkahi, tergoda oleh mantan pacar, dan alasan
lain yang berbau kepercayaan. H. Sistematika Pembahasan Bagian ini terdiri dari
lima bab yang meliputi: BAB I : Pendahuluan, yang meliputi latar belakang, memaparkan
tentang apa yang menjadi ketertarikan peneliti untuk meneliti praktik poliandri
yang terjadi dikalangan TKW (Tenaga Kerja Wanita) ini, dan sebagai deskripsi
awal dari kondisi masyarakat yang menjadi objek penelitian. 11Ahmad Junaidi,
“Migrasi Pekerja Metu di Desa Patokpicis Kecamatan Wajak Kabupaten Malang”,
http: //stain-jember.ac.id/2012/02/09/migrasi-pekerja-metu/ diakses tanggal 24
Juni 2012. 14 Rumusan masalah, merupakan sesuatu yang menjadi fokus penelitian
dalam bentuk pertanyaan-pertanyaan yang nantinya akan dibahas dalam penelitian.
Batasan masalah, tujuannya agar penelitian ini tidak keluar dari pembahasan
yang seharusnya, tujuan penelitian, merupakan sesuatu yang ingin dituju yang
merupakan jawaban dari rumusan masalah, manfaat penelitian, berisi tentang
kontribusi yang diberikan oleh penelitian ini, sistematika pembahasan,
menjelaskan secara singkat mengenai isi pada masing-masing bab. Definisi
Operasional, untuk memudahkan pembaca dalam memahami istilah yang digunakan
dalam judul penelitian, serta menyamakan pemahaman antara pembaca dan peneliti.
Manfaat Penelitian berisi tentang manfaat yang diperoleh baik bagi peneliti,
maupun bagi pihak-pihak lain, ketika penelitian ini selesai. Penelitian
Terdahulu, memaparkan tentang penelitian yang memiliki kesamaan kajian, akan
tetapi berbeda substansi serta objek penelitian. Sistematika Pembahasan yang
merupakan pola dasar dari penelitian ini dalam bentuk bab dan sub bab yang
saling berkaitan. BAB II: Kajian Pustaka, yang mengkaji tentang definisi poliandri
yang memang mutlak haram hukumnya meskipun dengan berbagai alasan, beserta
dalil-dalil Al Qur’an dan Hadist yang mengindikasikan keharaman poliandri yang
menjelaskan secara mendetail mengenai titik pusat keharaman poliandri yaitu
larangan untuk menikahi wanita muhshanat atau wanita yang telah bersuami.
Selain itu, dalam kajian teori ini juga dijelaskan mengenai perbedaan dan
persamaan antara poligini dan 15 poliandri, yang lebih menekankan bahwa
poliandri merupakan pola perkawinan yang pada dasarnya tidak sesuai dengan
kondisi emosional dan psikis wanita sebagai subjek di dalamnya, sehingga
disebutkan bahwasanya wanita cenderung bermonogami, tidak seperti laki-laki
yang lebih cenderung berpoligini. Selain itu, poliandri merupakan salah satu
bentuk dari bentuk-bentuk perkawinan pada masa Arab Jahiliyyah sebagaimana yang
diriwayatkan oleh Sayyidah Aisyah r.a, yang kini haram untuk dipraktekkan
dengan tujuan untuk menjaga kemurnian keturunan yang ada. BAB III: Metodologi
Penelitian dalam bab ini dipaparkan dalam bentuk metode-metode penelitian
ilmiah dengan langkah-langkah tertentu yang pada mulanya adalah paparan tentang
jenis penelitian yang digunakan, paradigma penelitian, pendekatan penelitian,
lokasi penelitian, sumber data, teknik pengumpulan data, teknik pengolahan dan
analisis data yang akan digunakan sebagai pedoman dalam menganalisis data yang
berkaitan dengan praktik poliandri dikalangan TKW (Tenaga Kerja Wanita) dalam
pandangan masyarakat Desa Patokpicis Kecamatan Wajak Kabupaten Malang. BAB IV:
Bab ini berisi paparan data, meliputi: gambaran mengenai kondisi objek
masyarakat Desa Patokpicis, Kecamatan Wajak, Kabupaten Malang, kondisi
penduduk, kondisi keagamaan, kondisi ekonomi, serta mendeskripsikan tentang
latar belakang dilakukannya praktik poliandri dan pandangan masyarakat tentang
praktik poliandri Tenaga Kerja Wanita 16 (TKW) tersebut. Dalam bab ini
sekaligus menjawab rumusan masalah yang telah ditetapkan sebelumnya. BAB V: Bab
ini berisi penutup yaitu seluruh rangkaian pembahasan berupa kesimpulan dengan
uraian singkat serta menyimpulkan jawaban atas rumusan masalah yang ada dalam
penelitian ini, dan saran-saran dari hasil penelitian tentang praktik poliandri
dikalangan TKW yang bermanfaat untuk peneliti dan pembaca. Selanjutnya akan
dilampirkan daftar pustaka yang menjadi rujukan peneliti dalam penulisan
laporan penelitian yang terkait dengan praktik poliandri dikalangan TKW (Tenaga
Kerja Wanita) ini. Serta lampiran-lampiran yang diperoleh peneliti saat
melakukan penelitian di lapangan.
Untuk Mendownload Skripsi "Skripsi al-Ahwal al-Syakhshiyyah" : Praktik poliandri di kalangan Tenaga Kerja Wanita (TKW): Studi pandangan masyarakat Desa Patokpicis Kecamatan Wajak Kabupaten Malang." Untuk Mendownload skripsi ini silakan klik link dibawah ini
No comments:
Post a Comment