Abstract
INDONESIA:
Kaidah fiqhiyah merupakan bagian yang tak terpisahkan dari studi hukum Islam secara keseluruhan, karena kaidah fiqhiyah merupakan salah satu ilmu dari beberapa ilmu yang antara satu dengan yang lainnya saling melengkapi dalam upaya memahami hukum Islam secara komprehensif. Akan tetapi begitu banyaknya pembahasan yang terdapat dalam kaidah fiqhiyah karena dipandang memiliki arti penting oleh para Fuqaha’, menjadikan kaidah fiqhiyah memiliki nuansa, baik tentang simbol yang digunakan maupun tentang cakupan graduasinya.
Berawal dari hal tersebut, dalam penelitian ini dibahas mengenai salah satu nuansa yang ada dalam kaidah fiqhiyah yakni perbedaan perbendaharaan dalam merumuskan kaidah cabang dari salah satu kaidah asasi. Perbedaan tersebut datang dari Imam Syafi’iy dan Imam Abu Hanifah yang telah merumuskan kaidah yang berbeda mengenai hukum asal sesuatu. Menurut Imam Syafi’iy, hukum asal segala sesuatu adalah boleh sampai ada dalil yang menunjukkan keharamannya. Sedangkan menurut Imam Abu Hanifah adalah sebaliknya, yakni hukum asal segala sesuatu haram sampai ada dalil yang memperbolehkannya.
Oleh karena itulah, penelitian ini juga difokuskan pada persamaan dan perbedaan dari kaidah yang dicetuskan oleh Imam Syafi’iy dan Imam Abu Hanifah serta sebab-sebab terjadinya perbedaan kaidah dengan meninjau latarbelakang sosial budayanya.
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah bibliograpich research, yakni mengambil teori, konsep dan ide yang terkait dengan permasalahan di atas. Dalam metode analisis digunakan teknik komparatif dan deskriptif analisis. Sebagai hasil dari penelitian ini, dapat disimpulkan bahwa kaidah yang dicetuskan oleh keduanya memiliki persamaan dan perbedaan. Persamaan dari kedua kaidah tersebut adalah sama-sama sebagai kaidah cabang dari kaidah asasi al yaq nu l yuz lu bi al syak. Sedangkan perbedaannya, dari segi akibat hukum yang dihasilkan dari kedua kaidah tersebut, dalam kaidah yang dicetuskan oleh Imam Syafi’iy menyatakan bahwa hukum asal segala sesuatu itu boleh sampai ada dalil yang mengharamkannya dan menurut Imam Abu Hanifah hukum asal sesuatu itu haram sampai ada dalil yang memperbolehkannya, selain akibat hukum tersebut perbedaannya juga terletak pada penggunaan dasar hukum yang berbeda. Yang menyebabkan terjadinya perbedaan tersebut antara lain adalah karena perbedaan wilayah dalam menerapkan kedua kaidah tersebut. Kaidah yang dicetuskan oleh Imam Syafi’iy diterapkan dalam masalah muamalah, sedangkan kaidah yang dicetuskan oleh Imam Abu Hanifah diterapkan dalam masalah ibadah.
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Masalah Al Quran dan Hadits merupakan sumber
utama dalam hukum Islam, keduanya adalah sebagai petunjuk dan pedoman bagi
hidup manusia. Secara garis besar segala aspek kehidupan manusia telah diatur
dalam al Quran, dan dirinci serta diperjelas dalam Hadits Rasulullah SAW.
Sedangkan untuk hal-hal yang belum diatur dalam al Quran dan Hadits umat
manusia dituntut untuk mencari jawaban atas problema yang dihadapinya dengan
tetap berpedoman pada sumber utama tersebut. Dengan demikian diperlukan adanya
pembahasan dan penggalian untuk mendapatkan ketetapan hukum syar’iy agar
ditemukan jawaban atas problemaproblema yang dihadapi umat manusia. Dalam upaya
penggalian hukum tersebut diperlukan adanya alat-alat sebagai sarana dalam
proses mendapatkan hasil yang di antaranya adalah salah satu disiplin ilmu yang
tak kalah pentingnya yaitu kaidah fiqh , yang merupakan rangkaian katakata yang
disusun oleh para ahli fiqh yang mengandung beberapa makna yang digali dari
nash-nash yang otoritatif dan prinsip-prinsip umum syariah. Kaidah fiqh
merupakan bagian dari studi fiqh. Untuk mempelajari seluruh hal yang berkaitan
dengan hukum Islam, yaitu al Quran dan Hadits sebagai sumber hukum yang
disepakati, sejarah hukum Islam, ushul al fiqh, kaidah ushul fiqh, kaidah fiqh,
filsafat hukum Islam merupakan satu keharusan karena antara yang satu dengan
yang lainnya saling melengkapi. Atas dasar hal tersebut, mendalami kaidah fiqh
memiliki arti yang sangat penting karena merupakan bagian yang tak terpisahkan
dari studi hukum Islam secara keseluruhan. Tanpa memahami kaidah fiqh,
pemahaman seseorang terhadap hukum Islam menjadi tidak komperehensif. Kaidah
fiqh adalah suatu perkara yang kulli yang bersesuaian dengan juziyah yang
banyak dari padanya diketahui hukum-hukum juziyah itu, atau dengan kata lain
adalah hukum-hukum yang berkaitan dengan asas hukum yang dibangun oleh syar’iy
serta tujuan-tujuan yang dimaksud dalam pensyariatannya. 1 Arti penting yang
dimiliki oleh kaidah fiqh dapat dilihat dari dua sudut, pertama, dari sudut
sumber. Dari sudut ini, kaidah merupakan media untuk memahami dan menguasai
maqâshid al syâri’ah, karena dengan mendalami beberapa nash dapat ditemukan
persoalan esensial dalam satu persoalan. Kedua, dari segi istinbath al ahkam,
kaidah fiqh mencakup beberapa persoalan yang sudah dan belum terjadi. 2 Oleh
karena itu, kaidah fiqh dapat dijadikan sebagai salah satu alat 1 Mukhlis
Usman, Kaidah-kaidah Ushuliyah dan Fiqhiyah (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,
1996), 98. 2 Jaih Mubarok, Kaidah Fiqh; Sejarah dan Kaidah-kaidah Asasi
(Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002), 25. dalam menyelesaikan persoalan
yang telah terjadi dan mungkin belum terjadi yang belum ada ketentuan atau
kepastian hukumnya. Fungsi atau kegunaan dari kaidah fiqh yang dapat digunakan
oleh orangorang yang mempelajari hukum Islam di antaranya adalah: 3 1.
Mempermudah dalam menguasai materi hukum, karena kaidah telah dijadikan patokan
yang mencakup banyak persoalan. 2. Kaidah membantu menjaga dan menguasai
persoalan-persoalan yang banyak diperdebatkan, karena kaidah dapat
mengelompokkan persoalan-persoalan berdasarkan illat yang dikandungnya. 3.
Mendidik orang yang berbakat fiqh dalam melakukan analogi (ilhaq) dan takhrij
untuk mengetahui hukum permasalahan baru. 4. Mempermudah orang yang berbakat
fikih dalam mengikuti (memahami) bagian-bagian hukum dengan mengeluarkannya dari
tema yang berbeda-beda serta meringkasnya dalam satu topik tertentu. 5.
Meringkas persoalan-persoalan dalam satu ikatan menunjukkan bahwa hukum
dibentuk untuk menegakkan maslahat yang saling berdekatan atau menegakkan
maslahat yang lebih besar. 6. Pengatahuan tentang kaidah merupakan kemestian
karena kaidah mempermudah cara memahami furu’ yang bermacam-macam. Dalam
memandang kaidah fiqh para Fuqaha’ sependapat bahwa disiplin ilmu tersebut
memang memiliki urgensi dan fungsi yang penting dalam usaha-usaha mempelajari
hukum Islam. Penyusunan dan perumusan kaidah fiqh dilakukan secara bertahap,
sehingga mengalami pertumbuhan dan perkembangan tersendiri. Ketika 3 Ibid., 28.
wacana fiqh mengalami perkembangan, kaidah fiqh mengikutinya secara perlahan.
Namun sebaliknya, ketika kreatifitas dalam wacana fiqh mengalami kemandegan,
maka penyusunan, perumusan, dan pembukuan kaidah fiqh makin berkembang. 4 Pada
umumnya pembahasan kaidah fiqh berdasarkan kaidah-kaidah asasiah dan
kaidah-kaidah ghairu asasiah. 5 Kaidah-kaidah asasiah adalah kaidah yang
disepakati oleh para Imam Madzahib tanpa diperselisihkan kekuatannya. Adapun
kaidah asasiah ini berjumlah lima yaitu: 6
(Adat itu dapat dijadikan pertimbangan dalam menetapkan hukum) Sedang kaidah ghairu asasiah adalah kaidah yang merupakan pelengkap dari kaidah asasiah yang keabsahannya masih tetap diakui. Mengenai jumlah dari kaidah ghairu asasiah ini di antara para Fuqaha’ berbeda-beda, ada yang menyatakan 19 kaidah, 40 kaidah dan masih ada pula beberapa pendapat lain. 7 4 Cik Hasan Bisri, Model Penelitian Fiqh, Jilid I (Cet.I; Jakarta: Prenada Media, 2003), 104. 5 Mukhlis Usman, Op. Cit., 105. 6 Abi Bakar al Ahdal al Yamini al Syâfi’i, Al Farâidl Al Bahiyah (Surabaya: Al Hidayah, 1965), 30. 7 Mukhlis Usman, Op. Cit., 106. Begitu banyaknya pembahasan-pembahasan yang terdapat dalam kaidah fiqh adalah karena dipandang memiliki arti penting oleh para Fuqaha’. Perumusan kaidah fiqh merujuk kepada substansi fiqh dari beragam madzhab fiqh. Ketika madzhab fiqh telah menjadi entitas dan identitas ulama, masing-masing madzhab memiliki rumusan dan perbendaharaan kaidah fiqh. 8 Oleh karena itu, dalam berbagai hal, dalam kaidah terdapat nuansa, baik tentang simbol (istilah) yang digunakan maupun tentang cakupan graduasinya. Keragaman kaidah fiqh merupakan kekayaan intelektual dalam ilmu fiqh. Salah satu contoh perbedaan perbendaharaan yang dihasilkan oleh Imam Madzhab di antaranya adalah kaidah yang merupakan cabang dari kaidah asasiah "
Untuk Mendownload Skripsi "Skripsi Hukum Bisnis Syariah" : Kaidah fiqhiyah mengenai hukum asal sesuatu menurut Imam Syâfi’iy dan Imam Abû Hanîfah: Studi komparatif" Untuk Mendownload skripsi ini silakan klik link dibawah ini
No comments:
Post a Comment