Jasa Pembuatan Skripsi

Jasa Pembuatan Skripsi
Jasa Pembuatan Skripsi

Friday, June 9, 2017

Jasa Buat Skripsi: download Skripsi al-Ahwal al-Syakhshiyyah,:Penyelesaian sengketa perbankan syariah dengan jalan choice of forum

Abstract

INDONESIA:
Penelitian ini berawal dari relaita yang terjadi dalam dunia peradilan di Indonesia dimana telah tejadi dualisme kewenangan mengadili antara peradilan agama dengan peradilan negeri dalam hal penyelesaian sengketa perbankan syariah. Hal ini (dualisme kewenangan mengadili) disebabkan karena munculnya Undang- Undang No. 21 tahun 2008 tentang Perbankan Syariah yang secara langsung bertentangan dengan Undang-Undang No. 3 tahun 2006 tentang Pengadilan Agama yang memberikan kemungkinan bagi peradilan negeri untuk memeriksa dan mengadili sengketa perbankan syariah selain peradilan agama.
Akibatnya timbul kegelisahan akademik penulis dalam masalah ini dengan memunculkan pertanyaan dasar (basic question) apakah asas personalitas keislaman yang termakstub dalam Undang-Undang No. 3 tahun 2006 secara tidak kontradiksi dengan lahirnya Undang-Undang No. 21 tahun 2008 yang menganut asas pacta sunt servanda. Atas terjawabnya pertanyaan dasar tersebut diharapkan penelitian ini dapat menemukan titik temu atau hubungan asas personalitas keislaman dengan asas pacta sunt servanda. Untuk menjawab pertanyaan tersebut penulis melakukan penelitian hukum yuridis normative dengan menggunakan empat pendektan yakni statute approach, conseptual approach, case approach dan comparative approach.
Dan, setelah melakukan penelitian kajian litelatur maka penulis hasilkan bahwa asas personalitas keislaman yang terkandung dalam Undang-Undang No. 3 tahun 2006 sama sekali tidak bertentangan dengan asas pacta sunt servanda sebagaimana termaktub dalam Undang-Undang No. 21 tahun 2008 dalam hal opsi yang diberikan oleh undang-undang untuk memilih peradilan negeri sebagai forum penyelesaian sengketa perbankan syariah. Yang dimaksud undang-undang dalam hal ini adalah forumnya saja yakni opsi untuk memilih dari segi formilnya bukan dari segi meteriil (hukum/ law). Dimanapun sengketa perbankan syariah selama forum itu disebutkan dalam penjelasas pasal 55 ayat 2 Undang-Undang No. 21 tahun 2008 maka putusan yang dihasilkan tetap sah dengan catatan hukum yang digunakan oleh hakim untuk memutuskan adalah hukum islam bukan yang lain. Penggunaan hukum islam dalam hal ini adalah wajib dan imparetif karena merupakan unsur yang paling dasar pada asas personalitas keislaman. Lagi pula pasal 55 ayat 3 Undang-Undang No. 21 tahun 2008 juga mewajibkan penggunaaan hukum islam dalam penyelesaian sengeketa perbankan syariah.
Atas hasil tersebut penulis menyarankan kepada Mahkamah Konstitusi cq. Majlis hakim pemerikasa permohonan judicial review Undang-Undang No. 21 tahun 2008 untuk sudi kiranya mencantumkan apa-apa yang telah penulis hasilkan pada penelitian ini dalam konsideran putusan permohonan judicial review Undang-Undang No. 21 tahun 2008. Dan juga bagi DPR RI selaku legislator permohonan judicial review Undang-Undang No. 21 tahun 2008 untuk mencoba untuk mereview ulang (legislative review) undang-undang ini baik dari segi ketegasan bahasa atau yang lain sehingga nanti di kemudian hari tidak lagi terjadi permasalahan.


BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
 Kebangkitan ekonomi Islam di Indonesia ditandai dengan berdirinya Bank Muamalat Indonesia pada tahun 1992. Pada saat itu keberadaan sistem perbankan Islam memperoleh payung hukum dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan1 yang kemudian diikuti dengan enam buah peraturan setelahnya.2 Secara tidak langsung dari segi psikologi pasar, Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 ini sudah lebih dari cukup untuk mendorong kepercayaan publik melakukan segala praktek ekonomi Islam di Indonesia. Seiring dengan berjalannya seluruh proses transaksi dalam industri keuangan syariah, sangat dimungkingkan terjadi berbagai sengketa antara nasabah dengan pihak bank. Maka sebagai langkah antisipatif, pemerintah melalui Majelis Ulama 1 Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 31 Undang-Undang No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan 2 Keenam peraturan itu adalah Undang-undang No. 10 tahun 1998 tentang Perbankan, Undang-undang No. 23 tahun 1999 tentang Bank Indonesia, Peraturan Bank Indonesia No. 5/7/PBI/2003 tentang Kualitas Aktiva Produktif bagi Bank Syariah, Peraturan Bank Indonesia No. 5/9/PBI/2003 tentang Penyisihan Penghapusan Aktiva Prodektuif bagi Bank Syariah, Surat Edaran Bank Indonesia No. 2 tahun 2003 perihal Penilaian Aktiva Produktif dalam Penghitungan Aktiva Tertimbang Menurut Resiko dan yang terakhir Undang-undang No. 8 tahun 2008 tentang Perbankan Syariah. xix Indonesia mendirikan Badan Arbitrase Syariah Nasional3 yang sejak awal difungsikan untuk menyelesaikan sengketa perbankan syariah atau dalam skop besarnya ekonomi Islam. Payung hukum yang menaungi menjadi sangat jelas jika merujuk pada Undang-Undang Nomor 30 tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian sengketa4 . Lagipula sebelum lahirnya undang-undang ini Undang-Undang No. 14 tahun 1970 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman sebagaimana yang tersebut dalam pasal 2 ayat (2)5 dan penjelasan pasal 3 ayat (1)6 juga melegalkan praktek penyelesaian sengketa perdata di luar badan atau lembaga yang di bentuk secara sah oleh pemerintah. Di sisi yang lain, di forum litigasi, kewenangan untuk mengadili sengketa perbankan syariah masih menjadi kompetensi absolut Pengadilan Negeri. Asas personalitas keislaman memang sudah lahir dan menjadi wujudnya yang mendekati sempurna di belakang bunyi pasal 1 Undang-Undang No. 7 tahun 1989 tentang Pengadilan Agama. Namun dalam undang-undang ini tidak disebutkan bahwa perbankan syariah termasuk dalam kompetensi absolut Pengadilan Agama sehingga asas personalitas keislamanpun belum melekat pada perkara perbankan syariah. Hal inilah yang menjadi dasar penggolongan sengketa perbankan syariah masih digolongkan pada sengketa perbankan konvensional sehingga menjadi kompetensi absolut Pengadilan Negeri untuk memeriksa dan mengadilinya. 3 Nama dari lembaga ini pada awalnya adalah Badan Arbitrase Muamalat Indonesia atau biasa disingkat dengan BAMUI, namun seiring dengan berkembangnya pemikiran tentang lembaga ini, pada tahun 2003 diganti dengan Badan Arbitrase Syariah Nasional atau disingkat Basyarnas. 4 Lembaran Negara Nomor 138 Undang-Undang Nomor 30 tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian 5 Lembaran Negara Tahun 1970 Nomor 74 Undang-Undang No. 14 tahun 1970 tentang Ketentuanketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman 6 Tambahan Lembaran Negara Nomor 2951 Penjelasan Undang-Undang No. 14 tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman xx Lahirnya Undang-Undang No. 3 tahun 2006 tentang Peradilan Agama7 tentunya memberikan warna baru bagi penyelesaian sengketa perbankan syariah di Indonesia. Dalam pasal 49 undang-undang ini disebutkan bahwa Pengadilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang perkawinan, waris, wasiat, hibah, wakaf, zakat, infaq, shadaqah, dan ekonomi syariah.8 Artinya kewenangan mengadili berdasar jenis perkara atau kompetensi absolut Pengadilan Agama yang dulunya hanya berkutat pada masalah yang tersebut di atas terhitung sejak lahirnya undang-undang ini bertambah satu lagi yakni ekonomi syariah. Menurut beberapa kalangan, lebih dari itu semua lahirnya undang-undang ini menjadi tonggak berpindahnya kompetensi absolut menangani sengketa perbankan syariah dari Pengadilan Negeri ke Pengadilan Agama. Hal ini mereka dukung paling tidak dengan menggunakan dua landasan argumentasi. Pertama argumentasi eksternal, bila dilihat dari kacamata harmonisasi antar peraturan perundangundangan, Undang-Undang No. 3 tahun 2006 bisa dikatakan sebagai lex posterior Undang-Undang No. 2 tahun 1986 tentang Pengadilan Negeri dan menurut bunyi asas lex posterior derograt lex prior maka Undang-Undang No. 3 tahun 2006 harus didahulukan daripada Undang-Undang No. 2 tahun 1986 karena munculnya lebih belakangan daripada Undang-Undang No. 2 tahun 1986. Dari asas yang lain misalnya seperti lex specialis derograt lex generalis Undang-Undang No. 3 tahun 2006 juga menuntut untuk didahulukan daripada Undang-Undang No. 2 tahun 1986. Undang-Undang No. 3 tahun 2006 ini adalah lex specialis dari Undang-Undang No. 7 Lembaran Negara Tahun 2006 Nomor 22 Undang-Undang No. 3 tahun 2006 tentang Pengadilan Agama 8 Ibid pasal 49 xxi 2 tahun 1986 tentang Pengadilan Negeri. Sebagaimana disebutkan dalam pasal 50 Undang-Undang No. 2 tahun 1986 yang berbunyi: Pengadilan Negeri bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara pidana dan perkara perdata di tingkat pertama. Keumuman kata “perkara perdata” ini kemudian dikhususkan oleh Undang-Undang No. 3 tahun 2006 dengan menyebutkan di pasal 49 undang-undang ini, dan termasuk di dalamnya adalah sengketa ekonomi islam atau dalam skop kecilnya adalah perbankan syariah. Yang kedua argumentasi internal, hal penting yang perlu dicatat dalam Undang-Undang No 3 tahun 2006 ini adalah adanya asas pesonalitas keislaman yang terjelma dalam bunyi pasal 1 undang-undang ini yang hal ini merupakan pedoman umum dalam menentukan kewenangan lingkungan Peradilan Agama (kompetensi absolut). Asas ini menggariskan bahwa terhadap orang islam (mukallaf) berlaku hukum islam dan jika terjadi sengketa diselesaikan menurut hukum islam oleh hakim Pengadilan Islam. Dari apa yang digariskan oleh asas personalitas keislaman tersebut dapat ditegaskan bahwa setiap orang islam (mukallaf) baik secara subjektif (faa’iliyyah) ataupun secara objektif (maf’uliyyah) berlaku atau tunduk pada hukum islam. Secara subjek artinya menurut hukum, setiap orang sebagai subjek hukum (mahkum bih) tunduk kepada hukum islam sehingga segala tindakannya harus dianggap dilakukan menurut hukum islam dan jika tidak dilakukan menurut hukum islam maka hal itu dianggap sebagai suatu pelangaran. Sedangkan secara objektif artinya sebagai sesuatu yang menyangkut aspek hukum (naahiyyah al hukmi) orang xxii islam sebagai objek hukum (mahkum bih) harus diukur dan dinilai berdasarkan hukum islam sehingga hukum islam secara imperatif diberlakukan terhadapnya dan karena itu jika terjadi sengketa harus diselesaikan menurut hukum oleh hakim pengadilan agama.9 Termasuk dalam pengertian asas personalitas keislaman ini adalah semua badan hukum islam (muhakkamah al syakhshiyyah) yang ada dalam sistem hukum (nidzam al hukmi) di Indonesia yang dalam hal ini termasuk bank syariah. Terhadap semua badan hukum islam dimaksud baik mengenai status hukumnya maupun mengenai perbuatan dan peristiwa hukum yang menimpanya juga mengenai hubungannya dengan orang atau badan hukum lain serta hak milik (hak al milk) badan hukum tersebut sepanjang berkaitan dengan prinsip-prinsip syariah harus berlaku atau tunduk pada hukum islam dan manakala terjadi pelanggaran atau sengketa harus diselesaikan berdasarkan hukum islam.10 Betapapun lugas dan jelas penjelasan tersebut namun masih banyak juga dari kalangan praktisi maupun ahli yang masih menganggap bahwa Pengadilan Negeri masih mempunyai wewenang untuk menangani sengketa perbankan syariah sekalipun Undang-undnag No. 3 tahun 2006 sudah sangat jelas. Adiwarman A. Karim misalnya Presiden Direktur Karim Business Consulting dalam sebuah artikelnya yang berjudul Choice of Forum Perbankan Syariah mengatakan: Patut digarisbawahi bahwa UU ini –Undang-Undang No. 3 tahun 2006 tentang Peradilan Agama– memberikan kewenangan baru kepada peradilan agama tanpa mengurangi kewenangan peradilan umum untuk 9 Mukti Arto, GARIS BATAS KEKUASAAN PENGADILAN AGAMA DAN PENGADILAN NEGERI, Penerapan Asas Personallitas Keislaman sebagai Dasar Penentuan Kekuasaan Pengadilan Agama di muat dalam Jurnal Varia Pengadilan edisi November 2008 10 Ibid xxiii memeriksa memutus dan menyelesaikan perkara di tingkat pertama di bidang ekonomi secara umum, termasuk ekonomi syariah. Oleh karenaya tugas dan kewenangan pengadilan agama seharusnya di pandang sebagai tambahan pilihan forum peradilan bagi para pelaku perbankan syariah11 Dari sini penulis hanya ingin mengatakan bahwa dualisme mengadili sengketa perbankan syariah di forum litigasi antara Peradilan Agama dengan Peradilan Umum sudah terjadi sejak terbitnya Undang-undang No. 3 tahun 2006 tentang Peradilan Agama. Kekosongan Peraturan Perundang-undangan, Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) ataupun Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) yang seharusnya memberikan kepastian hukum atas ketidakpatian hukum yang terjadi membuat para pihak bebas memilih peradilan mana yang ingin mereka pilih untuk menyelesaikan sengketa, bisa Pengadilan Agama juga bisa Pengadilan Negeri. Kerancuan kompetensi absolut antar dua forum litigasi ini menjadi sangat jelas pasca lahirnya Undang-Undang No. 21 tahun 2008 tentang Perbankan Syariah yang dalam penjelasan pasal 55 ayat 2 menyebutkan bahwa Pengadilan Negeri sebagai salah satu alternatif penyelesaian sengketa perbankan syariah. Adapun bunyi pasalnya adalah sebagai berikut: (1) Penyelesaian perbankan syariah dilakukan oleh pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama. 11 Adiwarman A. Karim, Choice of Forum Perbankan Syariah diambil dari artikel koran harian Kompas. xxiv (2) Dalam hal para pihak telah memperjanjikan penyelesaian sengketa selain sebagaimana dimaksud pada ayat (1), penyelesaian sengketa dilakukan sesuai dengan isi akad.12 Sedangkan Penjelasan Pasal 55 ayat (2) Undang-Undang No. 21 tahun 2008 menyebutkan: Yang dimaksud dengan “penyelesaian sengketa dilakukan sesuai dengan isi akad” adalah upaya sebagai berikut: a. musyawarah; b. mediasi perbankan; c. melalui Badan Arbitrase Syariah Nasional (Basyarnas) atau lembaga arbritase lain; dan melalui dan/atau d. pengadilan dalam lingkungan peradilan umum.13 Sebagai sebuah satu kesatuan dari sebuah undang-undang Penjelasan pasal 55 ayat 2 Undang-Undang No. 21 tahun 2008 sebagaimana yang telah disebutkan di atas secara langsung dan ekplisit telah memberikan wewenang kepada forum litigasi lain yakni Pengadilan Negeri untuk menangani penyelesaian sengketa perbankan syariah di luar Pengadilan Agama. Bisa dikatakan tidak akan menjadi sebuah isu hukum jika Basyarnas adalah lembaga yang dimaksud oleh Undang-undang tentang Perbankan Syariah sebagai lembaga penyelesaian sengketa yang sesuai dengan isi akad karena antara Pengadilan Agama dan Basyarnas memiliki titik singgung yang jelas. Dalam kasus tidak ada kontrak sama sekali antara pihak bank dengan nasabah bahwa jika terjadi sengketa 12 Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 94 Undang-Undang No. 21 tahun 2008 tentang Perbankan Syariah 13 Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4867 Penjelasan Undang-Undang No. 21 tahun 2008 tentang Perbankan Syariah xxv nantinya akan diajukan dalam forum mediasi yang dalam hal ini adalah Basyarnas maka kasus tersebut mutlak menjadi kewenangan Pengadilan Agama untuk mengadilinya. Sedangkan dalam kasus sebelumnya telah ada nota kesepakatan bahwa jika terjadi sengketa antara nasabah dengan bank akan diajukan di forum mediasi maka kewenangan mengadili yang hukum asalnya adalah wewenang Pengadilan Agama akan berpindah dengan sendirinya ke Basyarnas – jika dalam klausa pasal di tulis Basyarnas – menuruti asas kebebasan berkontrak (freedom of contract/ hurriyah al aqd) dan asas pacta sunt servanda atau al ahdu mahfudzun. Akan tetapi, lain halnya jika forum lain di luar Pengadilan Agama dan Basyarnas khususnya Pengadilan Negeri juga dilegalkan untuk dijadikan sebagai pilihan forum bagi para pihak. Alasan yang diberikan oleh para legislator undang-undang ini adalah untuk menghormati asas freedom of contract para pihak yang telah membuat perjanjian. Padahal di satu sisi asas personalitas keislaman yang dianut oleh UndangUndang No. 3 tahun 2006 sebagai isu sentral undang-undang ini menghendaki untuk memutlakkan keberlakuan hukum islam pada perkara-perkara yang telah disebutkan dalam pasal 49 dimana langsung dan secara otomatis asas ini akan melahirkan kompetensi absolut peradilan agama dalam menangani sengketa ekonomi islam dan menuntut adanya ketidakberwenangan lingkungan peradilan lain –termasuk peradilan negeri– untuk memeriksa perkara ekonomi islam.14 Jika dilihat dari sisi yang lain, pemberian wewenang mengadili sengketa perbankan syariah kepada Pengadilan Negeri ini tentunya secara konstitusional ambivalen (ta’arudz) dengan Undang-Undang No. 3 tahun 2006 tentang Pengadilan 14 Kompetensi absolut adalah kewenangan yang diberikan undang-undang kepada pengadilan berdasar jenis perkara yang menuntut ketidakberwenangan lembaga peradilan lain untuk memerkisa perkara tersebut. Lihat Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata, Jakarta: Sinar Grafika, 200 hlm. 92 xxvi Agama. Apalagi pasal-pasal yang berkaitan dengan sengketa telah diatur secara organik dalam undang-undang peradilan terkait. Sekalipun kompetensi yang diberikan kepada peradilan umum ini adalah terkait isi suatu akad, khususnya mengenai choice of forum akan tetapi hal ini secara langsung maupun tidak langsung akan mengarah pada dualisme kompetensi mengadili oleh dua lembaga litigasi. Singkatnya, dualisme wewenang untuk mengadili antara Pengadilan Agama yang mempunyai landasan legal formal Undang-Undang No. 3 tahun 2006 tentang Pengadilan Agama dengan Pengadilan Negeri yang diberikan oleh Undang-Undang No. 21 tahun 2008 tentang Perbankan Syariah dalam penyelesaian kasus perbankan syariah akan menambah angka ketidakpatian hukum (al syakh fi al hukmi) di Negara Indoensia yang nota benenya masih berkiblat pada norma-norma sistem hukum Eropa Kontinental. Permasalahan ini ternyata telah berlangsung lama dan sebagaimana telah diberitakan di beberapa media bahwa permasalahan dualisme kewenangan mengadili antara peradilan agama dengan peradilan negeri ini yang ditimbulkan oleh UndangUndang No. 21 tahun 2008 pada awal bulan Maret lalu telah diajukan ke Mahkamah Konstitsi oleh seorang Dosen Universitas Islam Indonesia, sebagaimana dikutip dalam situs Hukum Online15 sebagai berikut: Persoalan dualisme penyelesaian sengketa perbankan akhirnya bermuara ke Mahkamah Konstitusi (MK). Adalah Dosen Universitas Islam Indonesia, Dadan Muttaqien yang meminta MK agar menyelesaikan persoalan yang sempat membingungkan para praktisi perbankan syariah itu. Dadan mengajukan permohonan judicial review UU No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah dan UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Ketentuan yang diuji adalah penjelasan Pasal 55 15 Dualisme Penyelesaian Sengketa Perbankan Syariah dibawa ke MK, dimuat dalam situs www.hukumonline.com edisi Senin 1 Maret 2010 xxvii ayat (2) huruf d UU Perbankan Syariah serta penjelasan Pasal 59 ayat (1) dan Pasal 59 ayat (3) UU Kekuasaan Kehakiman. Ketiga peraturan ini mengatur penyelesaian sengketa perbankan syariah diselesaikan melalui pengadilan di lingkungan peradilan umum. Penjelasan Pasal 55 ayat (2) UU Perbankan Syariah menyebutkan secara opsional penyelesaian sengketa yang bisa dipilih oleh para pihak. Yakni, a. Musyawarah; b. Mediasi perbankan; c. Melalui Badan Arbitrase Syariah Nasional (Basyarnas) atau lembaga arbitrase lain; dan/atau d. Melalui pengadilan dalam lingkungan peradilan umum. Ketentuan huruf d ini dianggap bisa menjadi persoalan di kemudian hari. Padahal, lanjut Dadan, UU No. 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama menyatakan sebaliknya. Yang mempunyai kewenangan untuk menangani perkara ekonomi syariah yang di dalamnya termasuk perkara sengketa perbankan syariah adalah Peradilan Agama. Artinya, terdapat dualisme penyelesaian sengketa perbankan syariah, di Pengadilan Negeri dan Pengadilan Agama. “Adanya kompetensi peradilan dalam lingkungan peradilan agama dan peradilan umum dalam bidang perbankan syariah selain menunjukan adanya reduksi, juga mengarah pada dualisme kompetensi mengadili oleh dua lembaga litigasi,” ujar Dadan saat membacakan permohonan di ruang sidang MK. Dadan menilai adanya choice of forum dalam penyelesaian sengketa perbankan syariah -berdasarkan Pasal 55 ayat (2) huruf d UU Perbankan Syariah- menunjukan adanya inkonsistensi pembentuk undang-undang dalam merumuskan aturan hukum. Di samping itu, lanjutnya, keberadaan choice of forum itu akan sangat berpengaruh pada daya kompetensi peradilan agama. Terlepas dari apakah Undang-Undang No. 21 tahun 2008 tentang Perbankan Syariah tersebut inkonstitusional atau tidak yang jelas masalah yang tampil dipermukaan adalah undang-undang tersebut telah membawa kebingungan para praktisi ekonomi islam khususnya perbankan syariah dalam mengajukan sengketanya. Ini menunjukkan bahwa Undang-Undang No. 21 tahun 2008 dalam salah satu redaksi pasalnya memang bermasalah, baik ditinjau dari sudut harmoniasasi dengan konstitusi RI atau dengan asas-asas hukum yang merupakan grand sourch peraturan perundang-undangan. Maka bertolak dari wacana di atas, xxviii sebuah penelitian hukum normatif untuk mengetahui persinggungan antar lembaga peradilan kususnya Peradilan Agama dengan Peradilan Negeri dalam menangani sengketa Perbankan Syariah ini sangat urgen untuk dilakukan. Atas dasar itulah penulis tertarik untuk mengadakan penelitian yang lebih mendalam mengenai dualisme kewenangan mengadili antar dua lembaga litigasi ini dengan mengambil judul “PENYELESAIAN SENGKETA PERBANKAN SYARIAH DENGAN JALAN CHOICE OF FORUM”
B.     Batasan Masalah
Pertama sebagaimana yang telah peneliti sebutkan di atas, pada hakikatnya dualisme kewenangan mengadili antara peradilan agama dengan peradilan negeri dalam penyelesaian sengketa perbankan syariah sudah terjadi sejak lahirnya UndangUndang No. 3 tahun 2006. Pengadilan Negeri merasa berhak atas segala hal ihwal proses peradilan di bidang perbankan termasuk juga di dalamnya perbankan syariah sedangkan Peradilan Agama juga lebih merasa berhak untuk mengadili sengketa perbankan syariah sebagai konsekuensi logis dari pencantuman bidang ekonomi islam sebagai kompetensi absolut Pengadilan Agama yang termaktub dalam Undangundang No. 3 tahun 2006. Lebih-lebih pasca lahirnya Undang-Undang No. 21 tahun 2008 tentang Perbankan Syariah, dualisme kewenangan mengadili ini semakin jelas. Maka dalam penelitian ini, peneliti menitikfokuskan pembahasan hanya pada dualisme kewenangan mengadili antara Pengadilan Agama dengan Pengadilan Negeri dalam penyelesaian sengketa perbankan syari’ah pasca lahirnya UndangUndang No. 21 tahun 2008. Dalam hal ini peneliti sengaja mengambil objek pembahasan kerancuan kompetensi absolut antara peradilan agama dan peradilan xxix negeri saja karena keduanya adalah dua forum litigasi yang sama-sama diberikan wewenang oleh undang-undang. Kedua bahwa dalam redaksi pasal 55 ayat 2 disebutkan kalimat “isi akad”. Dalam hukum perjanjian hal ini biasa disebut dengan klausul perjanjian dan dalam kaitannya dengan pembahasan pemilihan forum peradilan (choice of forum) hal ini biasa juga disebut denga kalusul arbitrase. Istilah klasul arbitrase digunakan karena pada dasarnya hanya lembaga arbitrase saja sebagai perwujudan alternatif forum non litigasi yang dijustifkasi oleh peraturan perundang-undangan sebagai lembaga yang sah untuk menyelasaikan sengketa dalam ranah hukum perdata. Kaitannya dengan penelitian ini, beberapa konsep dan istilah penulis tetap mempertahankan untuk menggunakan istilah ini karena opsi pemilihan forum peradilan yang sama-sama dari forum litigasi dilihat dari kewenangan absolut yang dimiliki hanya terjadi saat Undang-Undang No. 21 tahun 2008 ini disahkan.
C.     Rumusan Masalah

Dari gambaran di atas dapat digarisbawahi bahwa Undang-Undang No. 21 tahun 2008 tentang Perbankan Syariah telah memungkinkan bagi pihak yang bersengketa untuk memilih badan peradilan yang akan mereka gunakan dalam rangka penyelesaian sengketa. Artinya undang-undang ini menganut asas pacta sunt servanda sebagai konsekuensi logis dari asas freedom of contract dalam akad yang dibuat oleh para pihak. Bertolak dari hal tersebut maka peneliti mengajukan rumusan masalah apakah asas pacta sunt servanda sebagai konsekuensi logis dari asas freedom of contract xxx yang dianut oleh Undang-Undang No. 21 tahun 2008 tidak bertentangan dengan asas personalitas keislaman yang ada dalam Undang-Undang No. 3 tahun 2006? D. Tujuan Penelitian Untuk mengetahui hubungan asas pacta sunt servanda sebagai konsekuensi logis dari asas freedom of contract yang dianut oleh Undang-Undang No. 21 tahun 2008 dengan asas personalitas keislaman yang ada dalam Undang-Undang No. 3 tahun 2006

Untuk Mendownload Skripsi "Skripsi al-Ahwal al-Syakhshiyyah" :  Penyelesaian sengketa perbankan syariah dengan jalan choice of forumUntuk Mendownload skripsi ini silakan klik link dibawah ini


Artikel Terkait:

No comments:

Post a Comment