Abstract
INDONESIA:
Advokat adalah orang yang berprofesi memberikan jasa hukum, konsultasi hukum, bantuan hukum, menjalankan kuasa, mewakili, mendampingi, membela dan membela tindakan lain untuk kepentingan hukum klien. Namun belakangan ini profesi mulia ini menjadi tercoreng dengan ulah oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab yang terlibat dalam tindak kejahatan makelar kasus.
Adanya pengakuan sarjana syari’ah dalam undang-undang no 18 tahun 2003 mengenai sarjana yang dapat meniti karir sebagai advokat bukan saja menjadi kabar gembira bagi alumni fakultas syari’ah yang berkeinginan menjadi advokat, akan tetapi bagi pengguna jasa hukum (masyarakat) juga.
Pengadilan agama yang tidak serta merta menggunakan hukum acara peradilan umum akan tetapi menggunakan kitab-kitab klasik sebagai dasar beracara di pengadilan agama merupakan prospek yang begitu besar bagi advokat syari’ah yang dalam kurikulum perkuliahannya selalu diajarkan mengenai hal tersebut. Mayoritas advokat selama ini beracara di pengadilan agama adalah advokat secara umum perlu dipertanyakan kompetensi mereka terhadap kepahaman terhadap hukum acara yang berlaku di pengadilan agama, karena hal ini sangat mengganggu dalam proses penegakan hukum di pengadilan agama.
APSI DPC Malang Raya sebagai wadah dari advokat syari’ah seharusnya menjadi penggerak untuk merespon peluang yang selama ini ada pada advokat syari’ah, namun kondisi sebaliknya yang ada pada APSI DPC Malang Raya selama ini sejak pendirian 16 januari 2009 hanya ada tiga perkara yang masuk. Kenyataan ini merupakan sebuah masalah juga ketika melakukan penjaringan calon-calon advokat syari’ah.
Jenis penelitian ini masuk pada field research (penelitian lapangan) sedangkan pendekatannya menggunakan deskriptif analitis, lokasi penelitian di kantor APSI DPC Malang Raya, teknik pengumpulan data yang dipergunakan adalah wawancara dan dokumentasi, teknik pengolahan data menggunakan langkah editing, classifying dan verifying. Dan teknik analisis data menggunakan analisis deskriptif.
Hasil penelitian menyatakan bahwa para yang peneliti wawancarai tidak mengetahui eksistensi APSI DPC Malang Raya sedangakan mahasiswa fakultas Syari’ah yang peneliti wawancarai mengetahui eksistensi APSI DPC Malang Raya selama ini namun belum optimal, kendala-kendala internal mendominasi DPC Malang Raya seperti sumber daya manusia kurang memadai, etos kerja kurang dan dana yang tidak mencukupi. Upaya-upaya selama ini dalam mengeksiskan APSI DPC Malang Raya hampir semuanya tidak terlaksana karena bebenturan dengan kerdala-kendala yang disebutkan tadi.
ENGLISH:
Advocate is a person who is providing legal services, legal consultation, legal assistance, exercise authority, represent, assist, defend, and other measures to defend the legal interests of clients. But lately this noble profession to be tainted with work personality elements are not responsible for the broker involved in a crime case
The recognition of Shariah scholars in the law no 18 of 2003 regarding the scholar who can pursue a career as an advocate not only be good news for abiturient faculty who wish to become an advocate sharia, but for users of legal services (community) is also
Islamic courts that do not necessarily use the public judicial procedural law but to use the classic books as the basis for court proceedings in which religion is so great prospects for Shariah advocates that the curriculum was always taught lecture about it. The majority of lawyers in court during these proceedings is an advocate of religion in general have questioned their competence of understanding on the procedural law applicable in the courts of religion, because this is very disturbing in the process of law enforcement in religious courts.
APSI DPC Malang as container from advocates of sharia should be the driving force to respond to the opportunities that have been there on the advocate sharia, but otherwise the conditions that exist at the APSI DPC Malang far since the establishment of 16 January 2009
there were only three cases that enter . This fact is also a problem when candidates advocate shariah conducting cadre
This study was entered in field research (field research), while the approach using deskripti fanalitis, research sites in Malang DPC APSI office, data collection techniques employed a dalah interviews and documentation, data processing techniques using step editing, classifying and verifying. And data analysis techniques using analisis deskriptif.
there were only three cases that enter . This fact is also a problem when candidates advocate shariah conducting cadre
This study was entered in field research (field research), while the approach using deskripti fanalitis, research sites in Malang DPC APSI office, data collection techniques employed a dalah interviews and documentation, data processing techniques using step editing, classifying and verifying. And data analysis techniques using analisis deskriptif.
The results of the researchers stated that the interview did not know the existence of APSI DPC Malang student while the faculty of Sharia which researchers interviewed know the existence of Malang APSI DPC during this but not optimal, internal constraints dominate DPC Malang as inadequate human resources , work ethic and lack of insufficient funds. The efforts so far in the existing DPC APSI Malang almost everything does not take place because the clash with the constraints mentioned earlie
BAB I
PENDAHULUAN
A.
LATAR
BELAKANG MASALAH
Pasal 1 ayat 3 undang-undang dasar
1945 menyatakan, bahwa Negara Indonesia adalah Negara hukum. Konsepsi Negara
hukum mengandung pengertian bahwa Negara memberikan jaminan dan perlindungan
hukum bagi warga Negara melalui pelembagaan peradilan yang bebas dan tidak
memihak serta penjaminan hak asasi manusia. Dengan demikian, setiap warga
Negara mempunyai kedudukan dan derajat yang sama didepan hukum (equality before
the law), mempunyai hak yang sama dalam memperoleh keadilan, perlakuan, dan
perlindungan hukum serta mempunyai hak pula dalam menuntut keadilan dan 2
kebenaran tanpa adanya diskriminatif. Namun demikian apa yang diamanatkan dalam
undang-undang dasar 1945 tersebut masih jauh dari kenyataan, masih banyak kita
jumpai adanya warga masyarakat yang tidak berdaya dalam mendapatkan keadilan
dan perlindungan hukum, meskipun pemerintah sendiri sudah mengupayakan adanya
penegakan supremasi hukum, namun upaya tersebut hingga kini masih belum
terlaksana dengan baik. Ketidakberdayaan masyarakat dalam mendapatkan keadilan
dan perlindungan hukum ditambah lagi merebaknya kasus-kasus korupsi, kolusi dan
nepotisme (KKN) di kalangan pemerintah orde baru, politisi bahkan di dunia
peradilan merupakan sejarah yang kelam bagi bangsa Indonesia. Keadaan yang
demikian ini mengilhami munculnya fase baru bagi sejarah bangsa Indonesia
dengan lahirnya era reformasi yang ditandai dengan runtuhnya kekuasaan rezim
orde baru. Salah satu semangat reformasi ini adalah bagaimana menciptakan suatu
pemerintahan yang baik (Good Governance). Untuk mewujudkan hal tersebut, maka
penegakan hukum (rule of law) mutlak diperlukan dan ini iperlukan
karakter-karakter, antara lain sebagai berikut: 1. Supremasi hukum (the
supremacy of law) 2. Kepastian hukum (legal certainty) 3. Hukum yang responsive
4. Penegakan hukum yang konsisten dan non diskriminatif 5. Indepedensi
peradilan Dalam rangka mewujudkan prinsip-prinsip Negara hukum dalam kehidupan
masyarakat dan bernegara inilah, maka profesi penasehat hukum (advokat, pengacara
praktek) sangat dibutuhkan keberadaannya disamping unsur 3 penegak hukum yang
lain, seperti hakim, jaksa, polisi. Meskipun eksistensi profesi penasehat hukum
sangat diperlukan dalam rangka memperoleh kedilandan keberadaan serta penegakan
supremasi hukum, namun tidak kita pungkiri bahwa masih banyak masyarakat yang
menilai negatif terhadap profesi penasehat hukum, sehingga sering dijumpai
istilah pengacara hitam (devil advocate). Terlepas kontroversi yang mengiringi
profesi pengacara, legalitas penasehat hukum juga terdapat pada agama Islam
yang mengajarkan umatnya untuk saling tolong-menolong, bantu-membantu dalam hal
kebaikan, dan Islam pun mengajarkan umatnya untuk memberikan bantuan bagi yang
membutuhkan, sebagaimana firman Allah, QS. Al-Maidah: 2 © !$# ¨bÎ) ( © !$# (#qà)¨?$#ur 4 Èbºurôãèø9$#ur ÉOøOM}$# n?tã (#qçRur$yès? wur ( 3uqø)G9$#ur ÎhÉ9ø9$# n?tã (#qçRur$yès?ur ÇËÈ É>$s)Ïèø9$# ßÏx©
Artinya: “tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan
jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. dan bertakwalah kamu
kepada Allah, Sesungguhnya Allah Amat berat siksa-Nya”.1 Ayat di atas
menyatakan bahwa Allah menganjurkan manusia untuk saling tolong-menolong selama
hal tersebut tidak mengandung kejahatan. Di dalam Islam, keberadaan advokat
merupakan perintah Allah SWT dan Rasulnya bagi upaya penyelesaian perkara
secara islah. Islam memberikan dukungan moral bagi advokat dalam memberikan
jasa hukum kepada masyarakat sebagai ibadah, fardu kifayah dengan prinsip amar
ma’ruf nahi munkar, menyuruh kepada kebaikan dan mencegah kepada kemungkaran
antara sesama manusia dan prinsip saling tolong menolong. 1 Mahmud Yunus,
Tarjamah Al-Qur’an Al-Karim (Bandung: PT. Al-Ma’arif, 1993), hal. 280 4 Dalam
memohon bantuan kepada ahli hukum, biasanya pihak yang membutuhkan memberikan
kuasa pada pengacara atau advokat. Pengacara atau advokat inilah yang akan
membimbing serta menolong pihak yang berperkara dalam melaksanakan seluruh
peraturan yang berlaku terhadap orang yang menghadapi perkara di pengadilan.
Advokat sebagai pemberi bantuan hukum atau jasa hukum kepada masyarakat atau
klien yang menghadapi masalah hukum, keberadaannya sangat dibutuhkan. Apalagi
dengan semakin meningkatnya kesadaran hukum maasyarakat serta kompleksnya
masalah hukum. Profesi advokat termasuk profesi mulia, karena ia dapat menjadi
mediator bagi para pihak yang bersengketa tentang suatu perkara baik yang
berkaitan dengan perkara pidana, perdata (termasuk perdata khusus yang berkaitan
dengan perkara dalam agama Islam), maupun dalam tata usaha Negara. Advokat juga
dapat menjadi fasilitator dalam mencari kebenaran dan menegakkan keadilan untuk
membela hak asasi manusia dan memberika pembelaan hukum yang bersifat bebas dan
mandiri.2 Bagi advokat kebebasan profesi (free profession) sangat penting,
tidak sekedar demi profesi advokat itu sendiri, melainkan juga guna mewujudkan
kepentingan yang lebih luas, yaitu terciptanya lembaga peradilan yang bebas
(independent judiciary) yang merupakan prasayarat dalam menegakkan rule of 2
Rahmat Rosyadi dan Sri, Advokat dalam perspektif Islam dan Hukum Positif
(Jakarta: Ghalia Indonesia, 2003), hal. 18 5 law3 dan melaksanakan nilai-nilai
demokrasi.4 Semakin bebas profesi advokat, semakin bebas lembaga pengadilan,
semakin mudah menegakkan rule of law dan akan semakin demokratis pula suatu
negara, terutama di lembaga Pengadilan Agama yang merupakan salah satu
pelaksanaan kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan yang beragama
Islam.5 Namun kenyataannya di masyarakat profesi advokat terkadang menimbulkan
pro dan kontra, terutama yang berkaitan dengan perannya dalam memberikan jasa
hukum, ada sebagian masyarakat yang menganggap para advokat adalah orang yang
pandai memutarbalikkan fakta. Pekerjaan ini dianggap pekerjaan orang yang tidak
mempunyai hati nurani, karena selalu membela orangorang yang salah, mendapat
kesenangan di atas penderitaan orang lain, mendapat uang dengan cara menukar
kebenaran dan kebatilan dan sebagainya, cemoohan yang bernada negatif.6 Di
antara sekian banyak profesi hukum, advokat merupakan jenis profesi yang paling
banyak menimbulkan kontroversi. Situasi demikian tidak hanya dirasakan pada
Negara-negara berkembang, tetapi juga negara-negara maju. Dalam berbagai survey
di Amerika Serikat, profesi advokat masih menempati profesi terhormat.
Pengacara naik pamornya karena banyak memimpin dunia. Berangkat dari profesi
ini dan terbukti mereka semua orang-orang yang cerdas, rasional dan orang-orang
yang pandai berargumentasi. Namun, ironisnya dalam 3 Rule of law adalah konsep
tentang common law yaitu seluruh aspek negara menjunjung tinggi supremasi hukum
yang dibangun diatas prinsip keadilan dan egalitarian. Lihat Kusmiaty, dkk..
Tata Negara (Jakarta : PT Bumi Aksara, 2000) 4 Ibid.,hal. 19 5 Bambang Waluyo,
Implementasi Kekuasaan Kehakiman RI, (Jakarta: PT. Sinar Grafika, 1992), hal,
24 6 Rahmat Rosyadi dan Sri Hartini, op.cit. hal. 19 6 jajak pendapat lainnya
advokat dan pengacara ternyata juga mendapat predikat profesi yang paling tidak
disukai. Mereka dipandang sebagai kumpulan orang yang senang memutar balikkan
fakta, membat gelap persoalan yang sudah jelas dan tidak bermoral karena
mengambil keuntungan dari penderitaan orang lain.7 Selama ini terdapat kesan
pro dan kontra di masyarakat terhadap peran advokat yang berpraktek di
pengadilan. Bagi yang kontra memberi kesan negatif sedangkan bagi yang pro
memberikan kesan yang positif terhadap kehadiran dan peran advokat di
pengadilan agama. Adanya kesan negatif bagi sebagian masyarakat, bahwa untuk
mendapatkan jasa hukum sekarang memerlukan biaya tinggi dan membuat rumit
masalah yang dianggap sederhana sehingga lambat dalam penyelesaiannya. Akan
tetapi dipihak lain ada kesan positif masyarakat, bahwa untuk berperkara di
Pengadilan Agama dengan menggunakan jasa advokat dapat memudahkan urusan
administratif dan juga memberikan kepuasan serta dapat memenuhi rasa keadilan
sekalipun dalam posisi kalah. Oleh karena itu seorang advokat yang akan
melakukan praktek di pengadilan agama untuk mendampingi atau menjadi kuasa atas
nama kliennya agar mendapat simpatik masyarakat, tentu harus mengikuti hukum
acara yang berlaku di Pengadilan Agama. Dengan mengikuti aturan ini dapat
meminimalkan praktek yang menyimpang, sehingga dapat dipertanggungjawabkan prosedurnya.
Mengenai hukum acara yang berlaku di lingkungan pengadilan agama diatur dalam
bab IV Undang-Undang nomor 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama 7 Dardju
Darmodjo, Shidarta, Pokok-Pokok Filsafat Hukum, (Jakarta: Gramedia Utama,
2000), hal. 307 7 pasal 54 yang menyatakan: ” Hukum acara yang berlaku pada
pengadilan dalamlingkungan Pengadilan Agama adalah hukum acara perdata yang
berlaku pada pengadilan dalam pengadilan umum, kecuali yang telah diatur secara
khusus dalam undang-undang ini”. Fenomena yang sekarang terjadi diakibatkan
adanya fakta di lapangan yang menunjukkan masih banyak pengacara praktek yang
keberadaannya masih menunjukkan sikap yang egoistis dan tidak menjalankan
perilaku yang baik sebagaimana disyaratkan dalam kaidah kode etiknya. Demikian
juga masih kita jumpai seorang pengacara praktek yang dalam profesinya hanya
terpaku kepada bagaimana cara agar bisa memenangkan perkara dan membebaskan
kliennya dari segala tuntutan hukum (dengan berbagai cara). Ada juga pengacara
praktek yangselalu menggunakan konspirasi dengan oknum jaksa untuk menjadi
pengacara terhadap perkara-perkara tertentu, seperti kasus korupsi, narkoba dan
sebagainya. terlebih parah lagi pengacara praktek yang dalam menjalankan
profesinya itu tidak mempunyai kecakapan dibidang hukum yang dikedepankan
adalah kasak-kusuk mencari oknum polisi, jaksa dan hakim yang bisa disuap untuk
meringankan bahkan bisa membebaskan kliennya dari segala tuntutan hukum.
Keadaan demikian harus segera diatasi agar penilaian negatif masyarakat terhadap
profesi pengacara pengacara praktek yang kelam ini berangsur-angsur baik. Untuk
mewujudkan hal tersebut, manurut Artijo Alkostar seorang pengacara 8 praktek
dalam menjalankan profesinya haruslah memenuhi unsur-unsur dasar, sebagai
berikut:8 1. Knowledge: seorang lawyer yang berkompeten memiliki pemahaman
tentang hukum dan institusi hukum dan dapat mengkorelasikan dengan problema
hukum secara efektif. 2. Legal Skill: seorang lawyer harus mampu menganalisa
kasus dan menyelesaikan dengan baik 3. Office management: seorang lawyer harus
mempunyai kemampuan manajerial. 4. Character: seorang lawyer harus mempunyai
watak melayani kliennya secara professional. 5. Capability: seorang lawyer
harus mempunyai kebugaran fisik dan psikis sehingga bisa melakukan peran
profesinya dengan baik. Pro dan kontra yang terjadi dalam dunia kepengacaraan
harus direspon dengan sebuah tanggapan yang serius, Asosiasi Pengacara Syari’ah
Indonesia (APSI) merupakan salah satu solusi yang diharapkan bisa menepis
anggapan miring masyarakat selama ini. APSI yang merupakan wadah dari para
Advokat Syari’ah sudah seharusnya lebih bisa memegang etika profesi hukum dari
pada pengacara yang lain dikarenakan label syari’ah yang ada, permasalahan yang
ditimbulkan selama ini dikarenakan kurang bisanya para advokat memegang etika
kepengacaraannya masing-masing. Pemberitaan di media massa mengenai 8 Alkostar,
Artidjo, Sarjana Syari’ah Dan Profesi Advokat: Peluang Dan Tantangan, Seminar
Nasional dan Temu Alumni Fakultas Syari’ah UIN Kalijaga Yogyakarta, 2004, hal.
2 9 beberapa pengacara yang diduga menjadi makelar kasus makin mempertebal
anggapan miring masyarakat tentang profesi advokat yang ada. Dalam konteks yang
lain yakni pengadilan agama, ada permasalahan yang timbul selama ini yaitu
rata-rata pengacara yang beracara disana adalah alumni dari fakultas hukum yang
dalam kurikulum perkuliahannya tidak pernah diajarkan tentang kitab-kitab
klasik padahal hukum acara di Pengadilan Agama tidak murni hukum acara di
Peradilan Umum, sebuah keniscayaan seorang advokat yang beracara di sana harus
menguasai hukum acara Pengadilan Agama yang didalamnya terdapat hukum acara
yang diambil dari kitab-kitab klasik, permasalahan ini sebetulnya bisa
diakomodir oleh lulusan Syari’ah yang sehariharinya belajar tentang kitab
klasik. Satu hal yang lebih riskan lagi yaitu pengacara non muslim yang
berperkara disana padahal pengadilan agama menganut asas personalitas
keIslaman. Persoalan yang lebih spesifik ini semakin mendesak tentang bagaimana
pentingnya keberadaan APSI. Namun terlepas dengan pentingnya keberadaan
Asosiasi Pengacara Syari’ah Indonesia (APSI), ada permasalahan membuat penulis
tertarik ingin meneliti lebih jauh lagi di DPC APSI Malang Raya, selama kurang
lebih setahun ini hanya ada dua perkara yang masuk yaitu dibidang perdata cerai
gugat dan dibidang pidana adalah kekerasan dalam rumah tangga (KDRT)9 , fakta
ini bisa dijadikan dasar bagi eksistensi APSI selama ini.. Dengan pertimbangan
inilah penulis ingin meneliti yang berjudul “EKSISTENSI ASOSIASI PENGACARA
SYARI’AH INDONESIA (APSI) DPC MALANG RAYA”
B.
Batasan
Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah penulis
uraikan pada pembahasan terdahulu, maka timbullah suatu pemasalahan bagi
penulis dengan batasan Bagaimana Eksistensi Asosiasi Pengacara Syari’ah
Indonesia (APSI) DPC Malang Raya
C.
Rumusan
Masalah
Agar penelitian ini lebih terarah dan tidak
keluar dari tujuan sesungguhnya, maka penulis merumuskan pembahasan ini dalam
persoalan mendasar tentang : 1. Bagaimana eksistensi APSI DPC Malang Raya
selama ini ? 2. Apa saja Kendala-kendala internal dan eksternal yang dihadapi
APSI DPC Malang Raya ? 3. Upaya apa yang dilakukan APSI DPC Malang Raya untuk
memperkuat eksistensinya ?
D.
Tujuan
dan Manfaat
Penelitian Sesuai dengan pokok
masalah di atas, penelitian ini mempunyai tujuan sebagai berikut: 1. Untuk
menganalisa kendala-kendala secara internal maupun eksternal dihadapi APSI DPC
Malang raya 2. Untuk menganalisa upaya APSI DPC Malang Raya untuk mengeksiskan
organisasinya Adapun kegunaan penelitian yang dapat diambil dari hasil
penelitian ini, penulis berharap hasilnya dapat bermanfaat, yaitu: 11 1. Secara
teoritis: Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan penjelasan secara
teori mengenai kendala-kendala yang dihadapi APSI (Asosiasi Pengacara Syari’ah
Indonesia) DPC Malang Raya 2. Secara praktis: sebagai bahan literatur dan akan
menjadi tambahan ilmu yang bermanfaat bagi Mahasiswa/Mahasiswi Fakultas
Syari’ah yang mempunyai keinginan menjadi pengacara
Untuk Mendownload Skripsi "Skripsi al-Ahwal al-Syakhshiyyah" : Eksistensi Asosiasi Pengacara Syari’ah Indonesia (APSI) DPC Malang Ray" Untuk Mendownload skripsi ini silakan klik link dibawah ini
No comments:
Post a Comment