Jasa Pembuatan Skripsi

Jasa Pembuatan Skripsi
Jasa Pembuatan Skripsi

Thursday, June 8, 2017

Jasa Buat Skripsi: download Skripsi al-Ahwal al-Syakhshiyyah:Reformulasi ijtihad dalam perspektif Yusuf al-Qardhawi dan Fazlur Rahman

Abstract

ENGLISH:
Ijtihad reformulation according to Yusuf al-Qardhawi and Fazlur Rahman is an effort to reinterpret Islamic law in modern era as a response to the issue of the closed gate of ijtihad. The problems discussed in this thesis are the factors behind ijtihad reformulation in the views of scholars, their similarities, the differences and the implication of ijtihad reformulation in al-Qardhawi’s and Rahman’s ideas. As a result, this thesis will be an alternative answer to reveal the problem of ijtihad.
The type of this research is bibliographic research using qualitative-descriptive approach. The data used is secondary data. The method of collecting data is documentation. The analyzing process is to collect required data and analyze them by descriptive-comparative method to locate the similarities and the differences between both scholars.
The result of this study is obvious. There are three main factors influencing al- Qardhawi and Rahman in ijtihad reformulation. In the case of al-Qardhawi, the three important aspects encouraging him in doing ijtihad are, firstly, the fanatic attitude of Egyptians in implementing their religiouns way of life (madhab). Secondly, in political arena, imprealism and colonialism, influence some aspects, such as political, religious, and Egyptian Islamic culture. Thirdly, the fanatic attitude of Egyptians is not an obstacle for al-Qardhawi in exploring his brilliant ideas.
On the other hand, there are three triggering factors in Rahman’s ijtihad. Firstly, there was a controversy between modernist and fundamentalist groups in formulating a new country, Pakistan. Secondly, political influence, there is a debate in constitution establishment of Pakistan. Thridly, conservative attitude of Pakistan makes Rahman move to Chicago.

In terms of similarities and differences, there is similar background between al- Qardhawi and Rahman, such as their educational and family backgrounds. Conversely, there are some differences between both scholars. They have different approaches towards Islamic law. They also differ in madhab, social life, teachers, and thought reputation. In the area of ijtihad, both thinkers agree to use al-Qur’an and hadis as the main sources of Islamic law, but, they define ijtihad differently. They apply their own methods and procedures of ijtihad. Theoretically, the result of this research will be the following discussion about ijtihad in modern interpretation. Practically, on the other side, this research will be a solution to overcome numerous problems in current situation.


BAB I
PENDAHULUAN
A.     Latar Belakang
 Masalah Pemikiran hukum Islam sebagai produk pemahaman dari pesan-pesan teks Al-Quran dan Hadis selalu mengalami perkembangan. Hal ini tidak lepas dari kondisi dan tuntunan masyarakat yang sarat dengan dinamika. Dalam kaitan ini pula maka peran ijtihad sebagai upaya untuk menggali dan mengembangkan hukum Islam menjadi sangat penting. Dalam perjalanan sejarahnya, hukum Islam menjadi suatu kekuatan yang dinamis dan kreatif. Hal ini dapat dilihat dari instruksi Rasulullah saw. kepada sahabat dalam menghadapi realitas sosiologis umat pada waktu itu. Akan tetapi dalam melakukan ijtihad, mereka tidak mengalami problem metodologis, karena apabila mereka mendapatkan kesulitan dalam menyimpulkan hukum, mereka dapat langsung berkonsultasi kepada Nabi. 1 Peran ijtihad pada masa ini masih sangat terbatas terutama pada masalahmasalah keperdataan. Penyebabnya adalah karena Islam pada masa periode ini 1 Lihat, Josep Schatcht, Pengantar Hukum Islam (Jogjakarta: Islamika, 2003), 27. Tiga generasi pertama setelah wafat Nabi (632 M) atau dengan kata lain abad I Islam dalam banyak hal adalah periode yang sangat penting dalam hukum Islam, meskipun karena kurangnya bukti-bukti kontemporer merupakan periode yang sangat kabur. Dalam periode ini banyak gambaran hukum Islam yang berbeda terwujud dan masyarakat Islam awal menciptakan institusi-institusi hukum sendiri. sekalipun dianut oleh masyarakat yang berbeda dalam lingkungan jazirah Arab, tetapi tradisi, corak kehidupan sosial, dan tingkat ekonominya tidak jauh berbeda, sehingga masalah-masalah yang muncul menuntut penyelesaian yuridis, baik secara kualitatif maupun secara kuantitatif, hampir sama. Terkadang masalah-masalah ini menjadi latar belakang turunnya ayat-ayat al-Quran dan hadis. Dalam keadaan seperti ini ijtihad tidak diperlukan. Namun keadaan demikian berubah setelah Rasulullah wafat. Para sahabat tidak hanya dihadapkan pada masa-masalah baru, tetapi juga krusial terutama polemik tentang siapa yang pantas mengganti Nabi untuk memimpin umat dan kasus-kasus lain yang belum mendapatkan legalitas syara’. 2 Satu-satunya pilihan bagi para sahabat adalah melakukan ijtihad dengan berpedoman kepada al-Quran, hadis, dan tindakan-tindakan normatif Nabi yang pernah mereka saksikan. 3 Dari sisi ini jelas bahwa ijtihad adalah konsep yang fundamental dan sangat aktif dalam pembentukan syari’ah selama abad VIII dan XI M. Begitu syari’ah matang sebagai sistem perundang-undangan dan pengembangan berbagai prinsip dan aturan yang segar dirasakan sudah cukup, maka ruang ijtihad tampak menyempit menuju titik kepunahannya. Fenomena ini dikenal dalam sejarah yurisprudensi Islam sebagai tertutupnya pintu ijtihad. 4 2Amir Mu’allim dan Yusdani, Ijtihad dan Legislasi Muslim Kontemporer ( Yogyakarta: UII Press, 2005), 3-4. 3 Sunah yang terkenal mendukung ijtihad adalah riwayat percakapan antara Nabi dengan Mu’adz bin Jabal ketika ia ditunjuk menjadi gubernur/hakim ke Yaman. Diriwayatkan, Nabi bertanya kepada Mu’adz tentang sumber yang akan digunakan dalam memerintah provesi dan memutuskan perkara di sana. Mu’adz menjawab, pertama-tama akan mencari dari al-Qur’an, jika al-Quran tidak memberikan jawaban, maka akan dicari dari Sunah Nabi. Jika tidak ada sunah yang dapat diterapkan, ia akan menggunakan pendapat/keputusan pribadi. (ajtahidu ra’yi). Nabi dikabarkan menyetujui urutanurutan sumber syari’ah itu. 4Abdullah Ahmad An-Na’im, Dekonstruksi Syari’ah (Yogyakarta: LKiS, 2004),46. Selaras dengan pendapat di atas, bahwa dalam sejarah fiqh Islam, fungsi ijtihad pernah mengalami kemandegan, karena munculnya institusi ijtihad yang telah dibatasi oleh kelembagaan para mujtahid mutlak, seperti institusi empat Imam Madzhab yang sangat populer itu. Menurut Yusuf al-Qardhawi, bahwasanya institusi ijtihad dipegang oleh tiga kelompok besar, yaitu: Pertama, kelompok yang menolak ijtihad mentah-mentah dengan alasan bahwa produk ulama mujtahid dan ulama salaf telah mampu menjawab setiap tantangan zaman dan masalah-masalah kontemporer. Bahkan ia mewajibkan bertaklid dan bermadzhab serta mengharamkan ijtihad bagi para ulama kontemporer, baik ijtihad secara menyeluruh maupun sebagian saja, dengan alasan bahwa bertaklid kepada salah satu madzhab fiqh hukumnya wajib diyani (wajib dari ketaatan beragama). 5 Kedua, kelompok ini justru menganjurkan ijtihad secara besar-besaran dan menolak taklid. Kelompok ini lebih puritan, namun sikap yang menolak taklid membuat sikap yang gegabah dalam melakukan ijtihad. Dengan kata lain mereka mengharamkan taklid dan mewajibkan ijtihad pada setiap orang, bahkan sampai pada kalangan awam sekalipun. Sedangkan kelompok ketiga, lebih moderat dengan tetap bersemangat agar fiqh Islam senantiasa aktual dengan zamannya, tetapi tidak melepaskan daratan tempat berpijak ulama pendahulunya (Salafus Salih). Sebab apa yang dicapai ulama salaf itu, dalam skala global telah memenuhi tuntunan psikologis dan kebutuhan yurisprudensi pada umumnya. Kelompok ketiga ini memberikan respon terhadap masalah-masalah aktual dengan metode-metode ijtihad yang memadukan antara 5Yusuf al-Qardhawi, “al-Ijtihad al-Mu’ashir baina al-Indlibaath wa al-Infiraathh”, diterjemahkan Abu Barzani, Ijtihad Kontemporer Kode Etik dan Berbagai Penyimpangan (Surabaya: Risalah Gusti), v. ulama mujtahid dengan penelitian modern, bahkan secara komprehensif memberlakukan apa yang disebut sebagai ijtihad kolektif (Ijtihad Jama’i). 6 Rahman juga berpendapat, bahwa tidak ada yang tahu kapan pintu ijtihad itu ditutup dan tepatnya siapa yang menutupnya, meskipun ada orang yang berpendapat bahwa pintu ijtihad ditutup oleh para pengarang di kemudian hari. Hal ini berdasarkan state of affair (kondisi) pada waktu itu. Oleh karena itu, bisa disimpulkan bahwa sebenarnya secara formal tidak ada yang namanya penutupan berijtihad oleh siapapun atau otoritas/sumber tinggi apapun dalam Islam, namun state of affair perlahan-lahan tapi pasti berlaku dalam dunia Islam di mana pemikiran seluruhnya, sebagai aturan umum, terhenti. 7 Maraknya isu tertutupnya pintu ijtihad tidak menjadi penghalang umat Islam untuk mendobrak pintu itu dan memunculkan pemikiran-pemikiran alternatif berikutnya. Hal ini tidak lepas dengan adanya perubahan-perubahan sosial yang dihadapi umat Islam pada periode modern, yang telah mengundang sejumlah masalah serius yang berkaitan dengan hukum Islam. 8 Misalnya upaya pembaharuan Islam yang dilakukan oleh al-Qardhawi dan Rahman. Hal ini merupakan salah satu contoh dalam mereformulasi 9 fungsi ijtihad. Yusuf al-Qardhawi merupakan ulama modern yang masih hidup hingga saat ini. Dalam metode berfikirnya, ia lebih menekankan untuk berijtihad dalam menetapkan sebuah hukum. Mengingat telah 6artinya kembali. Sedangkan formulasi adalah merumskan kembali. Reformulasi yang dimaksud dalam penelitian ini adalah upaya alQardhawi dan Rahman dalam merumuskan kembali fungsi ijtihad di tengah maraknya isu “tertutupnya pintu ijtihad” tersebut. Lihat M. Dahlan Y. Al-Barrry dan L. Lya Sofyan Yacub, Kamus Induk Istilah Ilmiah: Seri Intelektual, (Surabaya: Target Press, ), 221. terjadi perubahan cukup besar dalam corak kehidupan masyarakat setelah lahirnya revolusi industri, perkembangan teknologi, dan hubungan-hubungan material secara intenasional. Dari perubahan yang pesat ini, kemudian al-Qardhawi menganjurkan untuk menfungsikan peran ijtihad secara kontinyu. 10 Para ahli ushul fiqh memberikan banyak definisi yang berbeda-beda tentang ijtihad. Dalam hal ini, nampaknya al-Qardhawi lebih condong pada definisi yang diberikan oleh Imam as-Syaukani yang dijelaskan dalam bukunya “Irsyad al-Fuhul”, sebagai berikut: “Mencurahkan kemampuan guna mendapatkan hukum syara’ yang bersifat operasional dengan cara istimbath (mengambil kesimpulan hukum)”. Implikasi dari definisi di atas adalah menutup jalan ijtihad atas orang-orang yang tergesa-gesa mengambil hukum dan orang-orang yang lalai membuat hukum dan seenaknya tanpa memeras kemampuan terlebih dahulu untuk meneliti dalilnya, memperdalam pemahamannya, dan mengambil konklusi dari dalil-dalil tersebut serta memperbandingkan dalil-dalil yang bertentangan dengannya. 
Menurut al-Qardhawi, ijtihad tidak hanya terbatas pada ruang lingkup masalah-masalah baru saja, tetapi ia memiliki kepentingan lain yang berkaitan dengan khazanah hukum Islam, yaitu dengan mengadakan peninjauan kembali masalah-masalah yang ada di dalamnya berdasarkan kondisi yang terjadi pada zaman sekarang serta kebutuhan-kebutuhan manusia untuk memilih pendapat yang terkuat 10Yusuf al-Qardhawi, Ijtihad Kontemporer, Op, Cit., 6. 11Yusuf al-Qardhawi, “al-Ijtihad fi al-Syari’ah al-Islamiyah Ma’a Nadharat Tahliliyah fi al-Ijtihad al-Ma’ashir”, diterjemahkan Achmad Syathori, Ijtihad Dalam Syari’at Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1987), 2-3. dan paling cocok dengan merealisasikan tujuan-tujuan syari’at dan kemaslahatan manusia. 12 Sikapnya dalam memperlakukan fiqh berlanjut sampai masa tua. Oleh sebab itu, tidak heran jika pada saat ia mulai mencapai kematangan dalam dunia fiqh, ia memilih metode fiqihnya dengan semangat moderasi (wasathiyah), toleransi (tasamuh), lintas madzhab, dan selalu menghendaki kemudahan bagi umat (taisir) serta mengakses penggalian hukum secara langsung dari sumbernya yang asli, yaitu al-Quran dan sunnah shahihah. Dengan metode inilah al-Qardhawi menjelajahi dunia fiqh, dari tema-tema yang paling kecil, seperti masalah lalat yang hinggap pada air sampai masalah yang paling besar, seperti bagaimana Islam menata sebuah negara atau dari tema yang paling klasik, seperti masalah thaharah sampai yang paling kontemporer, seperti masalah demokrasi, HAM, peranan wanita dalam masyarakat, dan pluralisme (ta’addudiyah). 13 Fazlur Rahman juga merupakan ulama modern. Ia sebagai pemikir muslim, sarjana muslim kaliber Dunia, dan guru besar University of Chicago. Pemikirannya ditandai dengan cara pikir kritis, analitis, dan sistematis. Di samping itu, ia juga berani dalam mencari solusi masalah umat Islam, baik di bidang pemikiran, politik, maupun hukum Islam. Menurut Rahman, ijtihad adalah: ”Ijtihad means ”the effort to understand the meaning of a relevant text or precedent in the past, containing a rule, and tho alter that rule by extending or restricting or otherwise modifying it in such a manner that a new situasions can be subsumed under it by a new solution ” (upaya memahami makna suatu teks atau presiden di masa lampau yang mempunyai suatu aturan dan untuk mengubah suatu aturan tersebut dengan memperluas atau 1 membatasi ataupun memodifikasinya dengan cara-cara sedemikian rupa, hingga suatu situasi baru dapat dicakup di dalamnya dengan suatu solusi baru). Implikasi metodologi yang terdapat dalam definisi di atas adalah bahwa teks atau presiden (al-Quran dan sunnah) dapat dipahami untuk digeneralisasikan sebagai prinsip-prinsip dan prinsip-prinsip tersebut, kemudian dijadikan aturan baru. Dalam artian, kerja ijtihad adalah meliputi: pemahaman teks dalam keutuhan konteksnya di masa lampau, pemahaman situasi baru yang sedang terjadi sekarang, dan pengubahan aturan-aturan hukum yang terkandung di dalam teks tersebut. 
 Ijtihad adalah salah satu alternatif yang dipilih oleh Rahman dalam upaya pembaharuan hukum Islam. Dalam sejumlah karya penelitiannya, Rahman menekankan aspek metodologi pemikiran Islam di mana hukum merupakan aspek yang dominan dalam pemikiran metodologinya. Ide dan pemikiran Rahman terkait dengan metodologi hukum Islam terdapat dalam beberapa bukunya, seperti Islamic Methodology in History, Islam, Islam and Modernity: Transformation of Intellectual Tradition, dan Major Themes of the Qur’an. 15 Misalnya dengan metode historis untuk mempermudah dan mengembangkan ijtihad, dalam mempertahankan serta mensistematiskan sebuah bangunan teoritis suatu pemikiran yang di dalam kategori sosial sering kali dibedakan dengan istilah normatif. 16 Rahman mendobrak doktrin “tertutupnya pintu ijtihad” dengan beberapa langkah: Pertama, menegaskan bahwa ijtihad bukanlah hak privilege (istimewa) atau eksklusif golongan tertentu dalam masyarakat muslim; Kedua, menolak kualifikasi 14 Fazlur Rahman, “Islam and Modernity: Transformation of Intellectual Tradition, diterjemahkan Ahsin Mohammad, Islam dan Modernitas: Tentang Tranformasi Intelektual (Bandung: Pustaka, 1985), 9. 15Ghufron A. Mas’adi, Pemikiran Fazlur Rahman tentang: Metodologi Pembaharuan Hukum Islam, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1998), 6. 16 Fazlur Rahman, “Islam dan Modernitas,” Loc. Cit. ganjil mengenai ilmu gaib misterius sebagai syarat ijtihad; dan Ketiga, memperluas cakupan ranah ijtihad klasik. Hasilnya adalah satu kesimpulan Rahman, ijtihad baik secara teoritis maupun secara praktis senantiasa terbuka dan tidak pernah tertutup. 17 Dengan adanya kontroversi di masyarakat terkait dengan isu-isu tertutupnya pintu ijtihad, maka peneliti tertarik untuk menggali aspek-aspek fundamental dan mekanisme reformulasi ijtihad versi Yusuf al-Qardhawi dan Fazlur Rahman. Dengan penelitian ini, diharapkan kontroversi tersebut dapat disikapi secara objektif dan proporsional.
 B. Rumusan Masalah
 1. Apa yang melatarbelakangi Yusuf al-Qardhawi dan Fazlur Rahman dalam mereformulasi ijtihad?
 2. Apa persamaan dan perbedaan ijtihad versi Yusuf al-Qardhawi dan Fazlur Rahman? 3. Mengapa terjadi persamaan dan perbedaan tersebut? 
C. Tujuan Penelitian
 Dengan rumusan masalah di atas, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui alasan-alasan fundamental serta metodologi reformulasi ijtihad versi Yusuf alQardhawi dan Fazlur Rahman. Dengan demikian, akan terlihat persamaan, perbedaan, dan implikasi antara keduanya. Selain itu, penelitian ini akan menjadi 17 htt://islamlib.com/id/index.php?page=article&mode=print&id=314. (diakses pada jumat 07 Maret 2008). salah satu alternatif jawaban di tengah maraknya isu tertutupnya pintu ijtihad tersebut. 
D. Manfaat Penelitian
 Dengan adanya tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini, maka penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat dan kegunaan antara lain: 
1. Secara teoritis Secara teoritis hasil penelitian ini dapat dimanfaatkan untuk menambah khazanah ilmu pengetahuan tentang metode ijtihad kontemporer, khususnya pemikiran Yusuf al-Qardhawi dan Fazlur Rahman dalam mereformulasi ijtihad. 
2. Secara praktis Secara praktis hasil penelitian ini dapat dimanfaatkan sebagai bahan referensi bagi civitas akademisi, masyarakat umum, dan peneliti lainnya dalam menggali suatu fenomena-fenomena sosial, sehingga lebih mampu mengaktualisasi

Untuk Mendownload Skripsi "Skripsi Hukum Bisnis Syariah" :   Reformulasi ijtihad dalam perspektif Yusuf al-Qardhawi dan Fazlur RahmanUntuk Mendownload skripsi ini silakan klik link dibawah ini


Artikel Terkait:

No comments:

Post a Comment