Abstract
ENGLISH:
Ijtihad reformulation according to Yusuf al-Qardhawi and Fazlur Rahman is an effort to reinterpret Islamic law in modern era as a response to the issue of the closed gate of ijtihad. The problems discussed in this thesis are the factors behind ijtihad reformulation in the views of scholars, their similarities, the differences and the implication of ijtihad reformulation in al-Qardhawi’s and Rahman’s ideas. As a result, this thesis will be an alternative answer to reveal the problem of ijtihad.
The type of this research is bibliographic research using qualitative-descriptive approach. The data used is secondary data. The method of collecting data is documentation. The analyzing process is to collect required data and analyze them by descriptive-comparative method to locate the similarities and the differences between both scholars.
The result of this study is obvious. There are three main factors influencing al- Qardhawi and Rahman in ijtihad reformulation. In the case of al-Qardhawi, the three important aspects encouraging him in doing ijtihad are, firstly, the fanatic attitude of Egyptians in implementing their religiouns way of life (madhab). Secondly, in political arena, imprealism and colonialism, influence some aspects, such as political, religious, and Egyptian Islamic culture. Thirdly, the fanatic attitude of Egyptians is not an obstacle for al-Qardhawi in exploring his brilliant ideas.
On the other hand, there are three triggering factors in Rahman’s ijtihad. Firstly, there was a controversy between modernist and fundamentalist groups in formulating a new country, Pakistan. Secondly, political influence, there is a debate in constitution establishment of Pakistan. Thridly, conservative attitude of Pakistan makes Rahman move to Chicago.
In terms of similarities and differences, there is similar background between al- Qardhawi and Rahman, such as their educational and family backgrounds. Conversely, there are some differences between both scholars. They have different approaches towards Islamic law. They also differ in madhab, social life, teachers, and thought reputation. In the area of ijtihad, both thinkers agree to use al-Qur’an and hadis as the main sources of Islamic law, but, they define ijtihad differently. They apply their own methods and procedures of ijtihad. Theoretically, the result of this research will be the following discussion about ijtihad in modern interpretation. Practically, on the other side, this research will be a solution to overcome numerous problems in current situation.
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Masalah Pemikiran hukum
Islam sebagai produk pemahaman dari pesan-pesan teks Al-Quran dan Hadis selalu
mengalami perkembangan. Hal ini tidak lepas dari kondisi dan tuntunan
masyarakat yang sarat dengan dinamika. Dalam kaitan ini pula maka peran ijtihad
sebagai upaya untuk menggali dan mengembangkan hukum Islam menjadi sangat
penting. Dalam perjalanan sejarahnya, hukum Islam menjadi suatu kekuatan yang
dinamis dan kreatif. Hal ini dapat dilihat dari instruksi Rasulullah saw.
kepada sahabat dalam menghadapi realitas sosiologis umat pada waktu itu. Akan
tetapi dalam melakukan ijtihad, mereka tidak mengalami problem metodologis,
karena apabila mereka mendapatkan kesulitan dalam menyimpulkan hukum, mereka
dapat langsung berkonsultasi kepada Nabi. 1 Peran ijtihad pada masa ini masih
sangat terbatas terutama pada masalahmasalah keperdataan. Penyebabnya adalah
karena Islam pada masa periode ini 1 Lihat, Josep Schatcht, Pengantar Hukum
Islam (Jogjakarta: Islamika, 2003), 27. Tiga generasi pertama setelah wafat
Nabi (632 M) atau dengan kata lain abad I Islam dalam banyak hal adalah periode
yang sangat penting dalam hukum Islam, meskipun karena kurangnya bukti-bukti
kontemporer merupakan periode yang sangat kabur. Dalam periode ini banyak
gambaran hukum Islam yang berbeda terwujud dan masyarakat Islam awal
menciptakan institusi-institusi hukum sendiri. sekalipun dianut oleh masyarakat
yang berbeda dalam lingkungan jazirah Arab, tetapi tradisi, corak kehidupan
sosial, dan tingkat ekonominya tidak jauh berbeda, sehingga masalah-masalah
yang muncul menuntut penyelesaian yuridis, baik secara kualitatif maupun secara
kuantitatif, hampir sama. Terkadang masalah-masalah ini menjadi latar belakang
turunnya ayat-ayat al-Quran dan hadis. Dalam keadaan seperti ini ijtihad tidak
diperlukan. Namun keadaan demikian berubah setelah Rasulullah wafat. Para
sahabat tidak hanya dihadapkan pada masa-masalah baru, tetapi juga krusial
terutama polemik tentang siapa yang pantas mengganti Nabi untuk memimpin umat
dan kasus-kasus lain yang belum mendapatkan legalitas syara’. 2 Satu-satunya
pilihan bagi para sahabat adalah melakukan ijtihad dengan berpedoman kepada
al-Quran, hadis, dan tindakan-tindakan normatif Nabi yang pernah mereka
saksikan. 3 Dari sisi ini jelas bahwa ijtihad adalah konsep yang fundamental
dan sangat aktif dalam pembentukan syari’ah selama abad VIII dan XI M. Begitu
syari’ah matang sebagai sistem perundang-undangan dan pengembangan berbagai
prinsip dan aturan yang segar dirasakan sudah cukup, maka ruang ijtihad tampak
menyempit menuju titik kepunahannya. Fenomena ini dikenal dalam sejarah
yurisprudensi Islam sebagai tertutupnya pintu ijtihad. 4 2Amir Mu’allim dan
Yusdani, Ijtihad dan Legislasi Muslim Kontemporer ( Yogyakarta: UII Press,
2005), 3-4. 3 Sunah yang terkenal mendukung ijtihad adalah riwayat percakapan
antara Nabi dengan Mu’adz bin Jabal ketika ia ditunjuk menjadi gubernur/hakim
ke Yaman. Diriwayatkan, Nabi bertanya kepada Mu’adz tentang sumber yang akan
digunakan dalam memerintah provesi dan memutuskan perkara di sana. Mu’adz
menjawab, pertama-tama akan mencari dari al-Qur’an, jika al-Quran tidak
memberikan jawaban, maka akan dicari dari Sunah Nabi. Jika tidak ada sunah yang
dapat diterapkan, ia akan menggunakan pendapat/keputusan pribadi. (ajtahidu
ra’yi). Nabi dikabarkan menyetujui urutanurutan sumber syari’ah itu. 4Abdullah
Ahmad An-Na’im, Dekonstruksi Syari’ah (Yogyakarta: LKiS, 2004),46. Selaras
dengan pendapat di atas, bahwa dalam sejarah fiqh Islam, fungsi ijtihad pernah
mengalami kemandegan, karena munculnya institusi ijtihad yang telah dibatasi
oleh kelembagaan para mujtahid mutlak, seperti institusi empat Imam Madzhab
yang sangat populer itu. Menurut Yusuf al-Qardhawi, bahwasanya institusi
ijtihad dipegang oleh tiga kelompok besar, yaitu: Pertama, kelompok yang
menolak ijtihad mentah-mentah dengan alasan bahwa produk ulama mujtahid dan
ulama salaf telah mampu menjawab setiap tantangan zaman dan masalah-masalah
kontemporer. Bahkan ia mewajibkan bertaklid dan bermadzhab serta mengharamkan
ijtihad bagi para ulama kontemporer, baik ijtihad secara menyeluruh maupun
sebagian saja, dengan alasan bahwa bertaklid kepada salah satu madzhab fiqh
hukumnya wajib diyani (wajib dari ketaatan beragama). 5 Kedua, kelompok ini
justru menganjurkan ijtihad secara besar-besaran dan menolak taklid. Kelompok
ini lebih puritan, namun sikap yang menolak taklid membuat sikap yang gegabah
dalam melakukan ijtihad. Dengan kata lain mereka mengharamkan taklid dan
mewajibkan ijtihad pada setiap orang, bahkan sampai pada kalangan awam
sekalipun. Sedangkan kelompok ketiga, lebih moderat dengan tetap bersemangat
agar fiqh Islam senantiasa aktual dengan zamannya, tetapi tidak melepaskan
daratan tempat berpijak ulama pendahulunya (Salafus Salih). Sebab apa yang
dicapai ulama salaf itu, dalam skala global telah memenuhi tuntunan psikologis
dan kebutuhan yurisprudensi pada umumnya. Kelompok ketiga ini memberikan respon
terhadap masalah-masalah aktual dengan metode-metode ijtihad yang memadukan
antara 5Yusuf al-Qardhawi, “al-Ijtihad al-Mu’ashir baina al-Indlibaath wa
al-Infiraathh”, diterjemahkan Abu Barzani, Ijtihad Kontemporer Kode Etik dan
Berbagai Penyimpangan (Surabaya: Risalah Gusti), v. ulama mujtahid dengan
penelitian modern, bahkan secara komprehensif memberlakukan apa yang disebut
sebagai ijtihad kolektif (Ijtihad Jama’i). 6 Rahman juga berpendapat, bahwa
tidak ada yang tahu kapan pintu ijtihad itu ditutup dan tepatnya siapa yang
menutupnya, meskipun ada orang yang berpendapat bahwa pintu ijtihad ditutup
oleh para pengarang di kemudian hari. Hal ini berdasarkan state of affair
(kondisi) pada waktu itu. Oleh karena itu, bisa disimpulkan bahwa sebenarnya
secara formal tidak ada yang namanya penutupan berijtihad oleh siapapun atau
otoritas/sumber tinggi apapun dalam Islam, namun state of affair perlahan-lahan
tapi pasti berlaku dalam dunia Islam di mana pemikiran seluruhnya, sebagai
aturan umum, terhenti. 7 Maraknya isu tertutupnya pintu ijtihad tidak menjadi
penghalang umat Islam untuk mendobrak pintu itu dan memunculkan
pemikiran-pemikiran alternatif berikutnya. Hal ini tidak lepas dengan adanya
perubahan-perubahan sosial yang dihadapi umat Islam pada periode modern, yang
telah mengundang sejumlah masalah serius yang berkaitan dengan hukum Islam. 8
Misalnya upaya pembaharuan Islam yang dilakukan oleh al-Qardhawi dan Rahman.
Hal ini merupakan salah satu contoh dalam mereformulasi 9 fungsi ijtihad. Yusuf
al-Qardhawi merupakan ulama modern yang masih hidup hingga saat ini. Dalam
metode berfikirnya, ia lebih menekankan untuk berijtihad dalam menetapkan
sebuah hukum. Mengingat telah 6artinya kembali.
Sedangkan formulasi adalah merumskan kembali. Reformulasi yang dimaksud dalam
penelitian ini adalah upaya alQardhawi dan Rahman dalam merumuskan kembali
fungsi ijtihad di tengah maraknya isu “tertutupnya pintu ijtihad” tersebut.
Lihat M. Dahlan Y. Al-Barrry dan L. Lya Sofyan Yacub, Kamus Induk Istilah
Ilmiah: Seri Intelektual, (Surabaya: Target Press, ), 221. terjadi perubahan
cukup besar dalam corak kehidupan masyarakat setelah lahirnya revolusi industri,
perkembangan teknologi, dan hubungan-hubungan material secara intenasional.
Dari perubahan yang pesat ini, kemudian al-Qardhawi menganjurkan untuk
menfungsikan peran ijtihad secara kontinyu. 10 Para ahli ushul fiqh memberikan
banyak definisi yang berbeda-beda tentang ijtihad. Dalam hal ini, nampaknya
al-Qardhawi lebih condong pada definisi yang diberikan oleh Imam as-Syaukani
yang dijelaskan dalam bukunya “Irsyad al-Fuhul”, sebagai berikut: “Mencurahkan
kemampuan guna mendapatkan hukum syara’ yang bersifat operasional dengan cara
istimbath (mengambil kesimpulan hukum)”. Implikasi dari definisi di atas adalah
menutup jalan ijtihad atas orang-orang yang tergesa-gesa mengambil hukum dan
orang-orang yang lalai membuat hukum dan seenaknya tanpa memeras kemampuan
terlebih dahulu untuk meneliti dalilnya, memperdalam pemahamannya, dan
mengambil konklusi dari dalil-dalil tersebut serta memperbandingkan dalil-dalil
yang bertentangan dengannya.
Menurut al-Qardhawi, ijtihad tidak hanya
terbatas pada ruang lingkup masalah-masalah baru saja, tetapi ia memiliki
kepentingan lain yang berkaitan dengan khazanah hukum Islam, yaitu dengan
mengadakan peninjauan kembali masalah-masalah yang ada di dalamnya berdasarkan
kondisi yang terjadi pada zaman sekarang serta kebutuhan-kebutuhan manusia
untuk memilih pendapat yang terkuat 10Yusuf al-Qardhawi, Ijtihad Kontemporer,
Op, Cit., 6. 11Yusuf al-Qardhawi, “al-Ijtihad fi al-Syari’ah al-Islamiyah Ma’a
Nadharat Tahliliyah fi al-Ijtihad al-Ma’ashir”, diterjemahkan Achmad Syathori,
Ijtihad Dalam Syari’at Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1987), 2-3. dan paling
cocok dengan merealisasikan tujuan-tujuan syari’at dan kemaslahatan manusia. 12
Sikapnya dalam memperlakukan fiqh berlanjut sampai masa tua. Oleh sebab itu,
tidak heran jika pada saat ia mulai mencapai kematangan dalam dunia fiqh, ia
memilih metode fiqihnya dengan semangat moderasi (wasathiyah), toleransi
(tasamuh), lintas madzhab, dan selalu menghendaki kemudahan bagi umat (taisir)
serta mengakses penggalian hukum secara langsung dari sumbernya yang asli,
yaitu al-Quran dan sunnah shahihah. Dengan metode inilah al-Qardhawi
menjelajahi dunia fiqh, dari tema-tema yang paling kecil, seperti masalah lalat
yang hinggap pada air sampai masalah yang paling besar, seperti bagaimana Islam
menata sebuah negara atau dari tema yang paling klasik, seperti masalah
thaharah sampai yang paling kontemporer, seperti masalah demokrasi, HAM,
peranan wanita dalam masyarakat, dan pluralisme (ta’addudiyah). 13 Fazlur
Rahman juga merupakan ulama modern. Ia sebagai pemikir muslim, sarjana muslim
kaliber Dunia, dan guru besar University of Chicago. Pemikirannya ditandai
dengan cara pikir kritis, analitis, dan sistematis. Di samping itu, ia juga
berani dalam mencari solusi masalah umat Islam, baik di bidang pemikiran,
politik, maupun hukum Islam. Menurut Rahman, ijtihad adalah: ”Ijtihad means
”the effort to understand the meaning of a relevant text or precedent in the
past, containing a rule, and tho alter that rule by extending or restricting or
otherwise modifying it in such a manner that a new situasions can be subsumed
under it by a new solution ” (upaya memahami makna suatu teks atau presiden di
masa lampau yang mempunyai suatu aturan dan untuk mengubah suatu aturan
tersebut dengan memperluas atau 1 membatasi ataupun memodifikasinya dengan
cara-cara sedemikian rupa, hingga suatu situasi baru dapat dicakup di dalamnya
dengan suatu solusi baru). Implikasi metodologi yang terdapat dalam definisi di
atas adalah bahwa teks atau presiden (al-Quran dan sunnah) dapat dipahami untuk
digeneralisasikan sebagai prinsip-prinsip dan prinsip-prinsip tersebut, kemudian
dijadikan aturan baru. Dalam artian, kerja ijtihad adalah meliputi: pemahaman
teks dalam keutuhan konteksnya di masa lampau, pemahaman situasi baru yang
sedang terjadi sekarang, dan pengubahan aturan-aturan hukum yang terkandung di
dalam teks tersebut.
Ijtihad adalah salah satu alternatif yang dipilih oleh
Rahman dalam upaya pembaharuan hukum Islam. Dalam sejumlah karya penelitiannya,
Rahman menekankan aspek metodologi pemikiran Islam di mana hukum merupakan
aspek yang dominan dalam pemikiran metodologinya. Ide dan pemikiran Rahman
terkait dengan metodologi hukum Islam terdapat dalam beberapa bukunya, seperti
Islamic Methodology in History, Islam, Islam and Modernity: Transformation of
Intellectual Tradition, dan Major Themes of the Qur’an. 15 Misalnya dengan
metode historis untuk mempermudah dan mengembangkan ijtihad, dalam
mempertahankan serta mensistematiskan sebuah bangunan teoritis suatu pemikiran
yang di dalam kategori sosial sering kali dibedakan dengan istilah normatif. 16
Rahman mendobrak doktrin “tertutupnya pintu ijtihad” dengan beberapa langkah:
Pertama, menegaskan bahwa ijtihad bukanlah hak privilege (istimewa) atau
eksklusif golongan tertentu dalam masyarakat muslim; Kedua, menolak kualifikasi
14 Fazlur Rahman, “Islam and Modernity: Transformation of Intellectual
Tradition, diterjemahkan Ahsin Mohammad, Islam dan Modernitas: Tentang
Tranformasi Intelektual (Bandung: Pustaka, 1985), 9. 15Ghufron A. Mas’adi,
Pemikiran Fazlur Rahman tentang: Metodologi Pembaharuan Hukum Islam, (Jakarta:
PT. Raja Grafindo Persada, 1998), 6. 16 Fazlur Rahman, “Islam dan Modernitas,”
Loc. Cit. ganjil mengenai ilmu gaib misterius sebagai syarat ijtihad; dan
Ketiga, memperluas cakupan ranah ijtihad klasik. Hasilnya adalah satu
kesimpulan Rahman, ijtihad baik secara teoritis maupun secara praktis
senantiasa terbuka dan tidak pernah tertutup. 17 Dengan adanya kontroversi di
masyarakat terkait dengan isu-isu tertutupnya pintu ijtihad, maka peneliti
tertarik untuk menggali aspek-aspek fundamental dan mekanisme reformulasi ijtihad
versi Yusuf al-Qardhawi dan Fazlur Rahman. Dengan penelitian ini, diharapkan
kontroversi tersebut dapat disikapi secara objektif dan proporsional.
B.
Rumusan Masalah
1. Apa yang melatarbelakangi Yusuf al-Qardhawi dan Fazlur
Rahman dalam mereformulasi ijtihad?
2. Apa persamaan dan perbedaan ijtihad
versi Yusuf al-Qardhawi dan Fazlur Rahman? 3. Mengapa terjadi persamaan dan
perbedaan tersebut?
C. Tujuan Penelitian
Dengan rumusan masalah di atas,
penelitian ini bertujuan untuk mengetahui alasan-alasan fundamental serta
metodologi reformulasi ijtihad versi Yusuf alQardhawi dan Fazlur Rahman. Dengan
demikian, akan terlihat persamaan, perbedaan, dan implikasi antara keduanya.
Selain itu, penelitian ini akan menjadi 17 htt://islamlib.com/id/index.php?page=article&mode=print&id=314.
(diakses pada jumat 07 Maret 2008). salah satu alternatif jawaban di tengah
maraknya isu tertutupnya pintu ijtihad tersebut.
D. Manfaat Penelitian
Dengan
adanya tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini, maka penelitian ini diharapkan
dapat memberikan manfaat dan kegunaan antara lain:
1. Secara teoritis Secara
teoritis hasil penelitian ini dapat dimanfaatkan untuk menambah khazanah ilmu
pengetahuan tentang metode ijtihad kontemporer, khususnya pemikiran Yusuf
al-Qardhawi dan Fazlur Rahman dalam mereformulasi ijtihad.
2. Secara praktis
Secara praktis hasil penelitian ini dapat dimanfaatkan sebagai bahan referensi
bagi civitas akademisi, masyarakat umum, dan peneliti lainnya dalam menggali
suatu fenomena-fenomena sosial, sehingga lebih mampu mengaktualisasi
No comments:
Post a Comment