Abstract
INDONESIA:
Praktek perkawinan telah berjalan demikian lama, seumur dengan generasi manusia itu sendiri yakni sejak zaman Nabi Adam a.s hingga di zaman modern yang dinamikanya terus mengalami banyak perubahan. Aturan-aturan tentang perkawinanpun juga telah mengalami banyak perubahan sejalan dengan perkembangan zaman tersebut. Begitu pula dengan praktek perkawinan di Indonesia, yang diatur dalam Undang-undang dan harus dicatatkan. Berawal dari maraknya praktek nikah sirri di Indonesia, baru-baru ini Negara Indonesia diramaikan dengan adanya RUU Hukum Materiil Peradilan Agama Bidang Perkawinan, atau disebut dengan Rancangan Undang-Undang Nikah Sirri. Dalam pembahasan Rancangan Undang-Undang tersebut, yang telah menuai kontroversi adalah adanya suatu upaya pemidanaan bagi para pelaku nikah sirri. Berangkat dari persoalan di atas, penelitian ini bertujuan ingin mengetahui pendapat dari kyai NU di Kota Malang terhadap pelaku perkawinan yang tidak dicatatkan dan adanya upaya pemidanaan bagi pelaku perkawinan yang tidak dicatatkan.
Persoalan diatas peneliti masukkan dalam jenis penelitian field research. Pendekatan yang digunakan adalah kualiatif deskriptif. Untuk memperoleh data, maka peneliti menggunakan metode wawancara dan dokumentasi. Data yang diperoleh, kemudian diolah dengan menggunakan teknik Editing, Classifying, Verifying, Analysing, dan Concluding.
Dari data yang terkumpul, maka bisa disimpulkan bahwa para kyai NU di Kota Malang memandang bahwa perkawinan yang tidak dicatatkan di Indonesia adalah perkawinan yang sah secara syari’at namun bukan perkawinan yang baik. Dengan alasan, bahwa perkawinan yang baik adalah perkawinan yang bertujuan untuk terciptanya keluarga yang sakinah, mawaddah wa rohmah, dan untuk mewujudkannya harus disesuaikan dengan konteks dimana pelaku hidup dan tinggal. Sedangkan ketentuan pemidanaan bagi pelaku perkawinan yang tidak dicatatkan dianggap oleh kyai NU di Kota Malang sebagai usaha untuk menertibkan masyarakat dan memberikan perlindungan bagi kaum perempuan. Akan tetapi para kyai NU tidak sepakat kalau sampai para pelaku perkawinan yang tidak dicatatkan itu harus dipidanakan. Sesungguhnya perkawinan itu dalam wilayah perdata dan pemberlakuan sanksi perdata sudah cukup untuk mewujudkannya. Namun para kyai pesantren Kota Malang berbeda pendapat terkait bentuk sanksinya.
ENGLISH:
The practice of marriage has been running for so long, the rest of the generations of man himself that since Prophet Adam to the modern times that the continuing dynamical to experience many changes with the development era. So, the marriage practices in Indonesia which is set by law and must be recorded. Originated from the rampant practice of Nikah Sirri in Indonesia, was recently in Indonesian the plan of statute with the material justice field of religious marriage, or it is called Nikah Sirri. In the discussion of legislation draft, which has drawn controversy is the existence of a punishment for the performer Nikah Sirri. From this problem, this research aims to find out and describe the opinions and view of Islamic teacher of NU on the performer of not recorded marriage and the effort of punishment for the performer of marriage that is not recorded.
The researcher includes this problem in to field research design and uses descriptive quantitative approach. To collect the data, the researcher uses interviews and documentation methods. The data will process with the editing, classifying, verifying, analyzing and concluding technique.
The research result can be concluded that the Islamic teacher of NU on Malang give some opinions and views that the marriage without the record is permitted on Islamic law but it not good marriage process. The reasons are, the good marriage process is the marriage that aimed into Sakinah, Mawaddah and Rahmah family. And the certainty of punishment to the performer into marriage that is not recorded, the Islamic teacher of NU have an opinion if it’s to organize the society and give be under the protection to woman. But they are not agreeing if given the punishment to the performer of Nikah Sirri. Because, the marriage is one of the domains of Islamic civil law and the consequence of the violation is on the Islamic law civil.
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Masalah Dalam pandangan Islam, perkawinan itu
merupakan suatu ibadah, di samping ibadah, perkawinan juga merupakan sunnah
Allah dan sunnah Rasul. Sunnah Allah, berarti menurut qudrat dan iradat Allah
dalam penciptaan alam ini, sedangkan sunnah Rasul berarti suatu tradisi yang
telah ditetapkan oleh Rasul untuk dirinya sendiri dan untuk umatnya.1
Pernikahan merupakan sesuatu yang dipandang sakral oleh semua agama dan sesuatu
yang didambakan oleh setiap manusia normal. Menikah atau melangsungkan suatu
perkawinan merupakan fitrah manusia yang tidak dapat dihilangkan, tetapi harus
dilaksanakan dengan jalan yang benar agar tidak 1Amir Syarifuddin, Hukum
Perkawinan Islam di Indonesia (Jakarta: Kencana, 2007), 41. 1 2 menyimpang dari
aturan yang ada dan tidak menimbulkan malapetaka bagi kehidupan manusia.
Manusia membutuhkan pelengkap hidup berupa perkawinan, laki-laki membutuhkan
perempuan sebagai pasangannya begitu juga dengan perempuan membutuhkan
laki-laki sebagai pasangannya. Di dalam Al-Qur‟an dinyatakan bahwa hidup
berpasang-pasangan, hidup berjodoh-jodoh adalah naluri segala makhluk Allah,
termasuk manusia,2 sebagaimana firman-Nya dalam surat AdzDzariyat ayat 49: “
Dan segala sesuatu Kami ciptakan berpasang-pasangan agar kamu mengingat
kebesaran Allah ” (Adz- Dzariyat : 51). 4 Pernikahan merupakan sarana untuk
membantu kita sebagai manusia agar tetap terhormat dan terjaga, dan pernikahan
juga merupakan sebuah bentuk hubungan yang berbeda dengan bentuk hubungan yang
lain. Dia berbentuk bukan karena hubungan darah, bahkan kedudukannya lebih suci
dari ikatan apapun. Sebuah hubungan yang mengikat anak manusia dengan sangat
kuat. Hubungan yang akan melahirkan ketenangan, ketentraman dan kasih sayang.5
Perkawinan itu juga merupakan sunnah Rasul yang pernah dilakukannya selama
hidupnya dan menghendaki umatnya berbuat yang sama. untuk melangsungkan
perkawinan itu tidaklah berlaku secara mutlak tanpa persyaratan, artinya setiap
orang yang hendak melaksanakan perkawinan harus memenuhi segala
persyaratan-persyaratan yang telah ditentukan. Dalam implementasinya, praktek
perkawinan merupakan sebuah praktek yang berjalan demikian lama, seumur dengan
generasi manusia itu sendiri yakni sejak zaman Nabi Adam a.s sebagai manusia
dan sekaligus sebagai Nabi pertama kemudian berjalan di masa Nabi Muhammad SAW
sebagai Nabi terakhir hingga di zaman modern yang dinamikanya terus mengalami
banyak perubahan. Aturanaturan yang mengatur tentang perkawinanpun juga telah
mengalami banyak perubahan sejalan dengan perkembangan zaman tersebut. Seperti
halnya pada zaman Nabi, tidak ada ketentuan teknis administratif yang
mengharuskan secara mengikat pada pelaksanaan perkawinan, sekalipun ada ayat
al-Qur‟an yang menganjurkan untuk mencatat segala bentuk transaksi mu‟amalah.
Berbeda dengan zaman sekarang, dikarenakan banyaknya jumlah penduduk dan akses
masing-masing individu dalam memenuhi kebutuhan hidupnya yang mengharuskan
ekspansi di wilayah-wilayah baru, sehingga supaya tidak ada pihak yang
dirugikan dan memberikan jaminan serta kepastian hukum, maka terbitlah
aturan-aturan yang mengharuskan pencatatan perkawinan. Secara umum Negara
berhak membuat aturan-aturan yang mengarah kepada maslahat umum, dan Negara
berhak memberikan sangsi kepada orangorang yang melanggarnya. Hal itu dimaksudkan
agar setiap pernikahan yang dilangsungkan antara kedua mempelai mempunyai
kekuatan hukum, sehingga diharapkan bisa meminimalisir adanya kejahatan,
penipuan atau kekerasan di dalam rumah tangga, yang biasanya wanita dan
anak-anak yang menjadi korban 4 utamanya. Karena itulah ada Undang-undang yang
mengatur tentang itu semua, seperti UU No. 1 Tahun 1974. Salah satu prinsip
dari Undang-undang perkawinan menurut M. Yahya Harahap adalah kesadaran akan
hukum agama dan keyakinan masing-masing warga negara bangsa Indonesia yaitu
perkawinan harus dilakukan berdasarkan hukum agama dan kepercayaan
masing-masing. Di samping itu perkawinan harus memenuhi administratif
pemerintahan dalam bentuk pencatatan (akta nikah).7 Akan tetapi dalam
prakteknya di Negara kita ini, masih ada masyarakat yang tidak mengikuti syarat
administratif untuk mencatatkan pernikahan, dan hal itu biasa disebut dengan
Nikah Sirri. Fenomena nikah sirri atau yang biasa disebut dengan perkawinan
yang tidak dicatatkan, merupakan fakta yang tidak dapat dipungkiri. Para
pelakunya bahkan melibatkan banyak kalangan, mulai dari rakyat biasa sampai
kalangan selebritis. Bahkan, perkawinan model seperti itu juga santer di
kalangan pejabat pemerintah. Bagi masyarakat yang melakukan praktek nikah
sirri, mereka beranggapan bahwa praktek nikah sirri itu lebih efisien, dan
tidak berbelit-belit. Ada juga yang berdalih karena ingin menikah dua kali,
dari pada terjadi suatu perzinahan, lebih baik melakukan nikah sirri. Di
samping itu juga masyarakat menganggap bahwa nikah sirri itu tidak perlu
mengeluarkan biaya yang terlalu banyak. Berawal dari maraknya praktek nikah
sirri di Indonesia, baru-baru ini Negara Indonesia di ramaikan dengan adanya
RUU Hukum Materiil Peradilan Agama Bidang Perkawinan, atau umumnya di masyarakat
disebut dengan 7Amir Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di
Indonesia (Jakarta: Kencana, 2006), 51. 5 Rancangan Undang-Undang Nikah Sirri.
Banyak sekali kita mendapat informasi baik dari media cetak maupun media
elektronik yang memberitakan tentang hal itu. Seiring dengan munculnya RUU
terkait larangan nikah sirri itulah, banyak sekali muncul pro dan kontra yang
sangat tajam di tengah masyarakat. Sebagian menerima larangan nikah sirri itu
dengan alasan bahwa RUU tersebut dapat memberikan perlindungan terhadap hak-hak
dan kehormatan perempuan dan anak-anak. Kelompok ini menganggap bahwa
pernikahan sirri selama ini lebih banyak dilakukan dengan motif yang kurang
bisa dipertanggungjawabkan secara sosial dan hukum. Sementara itu, kelompok
yang tidak setuju dengan RUU itu menganggap bahwa nikah sirri atau perkawinan
yang tidak dicatatkan memiliki legitimasi secara teologis (agama), terutama
Islam, dengan menyandarkan pada kesahihan teks-teks ayat suci yang memang
memperbolehkan cara pernikahan seperti itu. Jadi, rancangan produk hukum itu
berada dalam dua arus opini yang sama-sama kuat sehingga tidak mudah untuk dirumuskan
menjadi undang-undang.Di dalam pembahasan Rancangan Undang-Undang tersebut yang
telah menuai kontroversi adalah tentang adanya suatu upaya pemidanaan bagi para
pelaku nikah sirri. Berangkat dari persoalan di atas, peneliti bermaksud untuk
melakukan sebuah penelitian yaitu dengan tujuan ingin mengetahui pendapat dari
kyai NU di Kota Malang terhadap adanya upaya pemidanaan bagi pelaku perkawinaan
yang tidak dicatatkan. Hal ini dilakukan mengingat sosok Kyai NU di Kota Malang
tidak hanya memiliki kredibilitas dalam bidang ilmu Agama saja, akan tetapi
8Gunarto, http://m.suaramerdeka.com, (diakses 4 maret 2010). 6 banyak juga yang
telah berpredikat sebagai sarjana yang menguasai ilmu pengetahuan umum dan juga
mengikuti perkembangan fiqh khususnya dalam bidang munakahat yang berkembang di
Indonesia.
B. Batasan Masalah
Untuk memudahkan pembaca dalam memahami isi
penelitian ini, maka terlebih dahulu perlu dikemukakan batasan yang menjadi
fokus dalam penelitian yang peneliti lakukan. Sesuai dengan judul penelitian
KETENTUAN PIDANA BAGI PELAKU PERKAWINAN YANG TIDAK DICATATKAN DALAM PANDANGAN
KYAI NU DI KOTA MALANG maka dapat dipahami bahwa dalam penelitian ini hanya
membahas dan membatasi pada masalah Pandangan Kyai Nahdlatul Ulama (NU) Kota
Malang yang aktif di organisasi keagamaan dan lembaga pemerintahan seperti KUA
(Kantor Urusan Agama) dan MUI (Majlis Ulama Indonesia), yang memiliki pesantren
dan memiliki santri yang terdiri dari pelajar dan mahasiswa, terhadap adanya
suatu ketentuan pemidanaan bagi para pelaku perkawinan yang tidak dicatatkan.
Adapun yang disebut dengan Kyai Nahdlatul Ulama (NU) Kota Malang adalah para
Kyai yang secara struktural maupun fungsional berada di dalam organisasi
Nahdlatul Ulama Kota Malang dan dapat pula Kyai yang berfahamkan sama dengan
faham Nahdlatul Ulama, yaitu faham Ahlussunnah Wal-Jama‟ah. Hal ini ditujukan
agar penelitian yang dilakukan sesuai dengan tujuan penelitian.
B.
Rumusan
Masalah
Untuk melakukan proses penelitian,
agar penelitian yang dilakukan tidak keluar dari pembahasan, maka peneliti
memberikan rumusan masalah sebagai berikut : 1. Bagaimana pendapat Kyai NU di
Kota Malang terhadap perkawinan yang tidak dicatatkan? 2. Bagaimana pendapat
Kyai NU di Kota Malang terhadap adanya ketentuan pemidanaan bagi pelaku
perkawinan yang tidak dicatatkan? D. Tujuan Penelitian Kaitannya dengan
permasalahan di atas, maka tujuan penelitian adalah 1. Untuk mengetahui
pendapat Kyai NU di Kota Malang terhadap perkawinan yang tidak dicatatkan. 2.
Untuk mengetahui pendapat dari Kyai NU di Kota Malang terhadap adanya ketentuan
pemidanaan bagi pelaku perkawinan yang tidak dicatatkan.
E. Manfaat Penelitian
Penelitian ini setidaknya mempunyai dua
manfaat yang menjadi harapan peneliti. Secara teoritis, penelitian ini
diharapkan dapat menjadi sumbangan pemikiran dalam bidang keilmuan syariah
khususnya dalam bidang Munakahat serta dari hasil penelitian ini diharapkan
dapat digunakan sebagai pijakan bagi mahasiswa untuk penelitian selanjutnya
yang berkaitan dengan permasalahan ini, dan juga penelitian ini diharapkan bisa
memberikan manfaat bagi pembaca dan masyarakat pada umumnya. 8 Sementara secara
praktis, penelitian ini diharapkan dapat menjadi sebuah masukan konstruktif
bagi lembaga Legislasi yaitu DPR sebagai pembentuk Rancangan Undang-Undang,
agar nantinya dalam pembuatan RUU untuk selanjutnya tidak merugikan beberapa
pihak, akan tetapi bisa diterima oleh semua kalangan masyarakat.
F. Definisi Operasional
Definisi operasional dibuat untuk
memudahkan pembaca dalam memahami kosa kata atau istilah-istilah asing yang ada
dalam judul skripsi peneliti, adapun istilah-istilah tersebut adalah sebagai
berikut; 1. Pidana mempunyai arti kejahatan atau tindak kejahatan kriminal.9
Dalam penelitian ini maksud dari kata pidana adalah suatu sangsi atau hukuman
yang dikenakan kepada pelaku perkawinan yang tidak dicatatkan. 2. Perkawinan
tidak dicatatkan adalah Pernikahan yang sah secara agama namun tidak dicatatkan
dalam lembaga pencatatan sipil negara.
G. Sistematika Pembahasan Agar pembahasan
dalam penelitian ini mudah dipahami, maka peneliti menganggap perlu untuk
membatasi penulisan tulisan ini dengan sistematika pembahasan, sebagaimana
tercantum di bawah ini: BAB I : Menjelaskan pendahuluan, yang di dalamnya
menguraikan gambaran dari pokok bahasan dan tujuan yang dimaksudkan sesuai
dengan penelitian atau yang melatarbelakangi penulisan ini, selain itu juga
terdapat 9 Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta: PN Balai
Pustaka, 1982), 750. 10Arif Mahmudi, Kuingin Menikah, Tapi.... (Solo: PT. Aqwam
Media Profetika, 2009), 17. 9 batasan masalah, rumusan masalah, tujuan
penelitian, manfaat penelitian, definisi operasional, hal ini digunakan untuk
memudahkan penelitian agar tidak terjadi kesamaan dalam penelitian, dan
sistematika pembahasan. BAB II : dalam Bab ini berisi tentang kajian pustaka,
di mana di dalamnya membahas tentang penelitian terdahulu, pengertian, rukun dan
syarat perkawinan dalam fiqh, Undang-undang No. 1 Tahun 1974, dan (KHI)
Kompilasi Hukum Islam, perkawinan yang tidak dicatatkan, penyebab terjadinya
perkawinan yang tidak dicatatkan, akibat hukum dari perkawinan yang tidak
dicatatkan, kemudian pelaksanaan perkawinan menurut UU No. 1 Tahun 1974 yang di
dalamnya mencakup pencatatan perkawinan, tata cara perkawinan, dan pidana. Hal
ini digunakan agar tidak terjadi perluasan pembahasan. BAB III : Bab ini
merupakan suatu tehnik atau metode penulisan penelitian yang diteliti dan
dianalisis agar dalam penulisan penelitian ini bisa terarah, dan dalam metode
penelitian memuat jenis dan pendekatan penelitian, sumber data, tekhnik
pengumpulan data, tekhnik pengolahan data dan tehnik analisis data. BAB IV:
Merupakan paparan dan analisis data yang meliputi: Biodata informan dan
data-data dari hasil penelitian dengan kyai NU di Kota Malang terhadap
perkawinan yang tidak dicatatkan dan tentang adanya Ketentuan pidana bagi
pelaku perkawinan yang tidak dicatatkan, yang kemudian data tersebut dianalisis
sehingga memudahkan para pembaca untuk memahaminya. BAB V: Dalam Bab ini
merupakan Bab terakhir yakni penutup, yang berisi tentang kesimpulan dari hasil
penelitian yang telah dilakukan dan berisikan saran-saran setelah dilakukannya
penelitian oleh peneliti.
Untuk Mendownload Skripsi "Skripsi al-Ahwal al-Syakhshiyyah" : Ketentuan pidana bagi pelaku perkawinan yang tidak dicatatkan dalam pandangan kyai Nahdlatul Ulama (NU) Kota Malang" Untuk Mendownload skripsi ini silakan klik link dibawah ini
No comments:
Post a Comment