Jasa Pembuatan Skripsi

Jasa Pembuatan Skripsi
Jasa Pembuatan Skripsi

Sunday, June 11, 2017

Jasa Buat Skripsi: download Skripsi Psikologi:Efektivitas terapi musik untuk mengoptimalkan fungsi sensori integrasi pada anak autis di Pusat Terapi Terpadu A-plus Malang

Abstract

INDONESIA :
Autis merupakan gangguan perkembangan pervasif yang meliputi gangguan dalam komunikasi, interaksi sosial dan perilaku. Serta kelainan neurobiologi yang mengakibatkan terganggunya pengolahan informasi sensori, sehingga respon adaptif terhadap lingkungan tidak dapat berfungsi secara normal, yang menyebabkan perilaku anak autis akan berbeda dengan anak normal pada umumnya.
Seorang anak harus berpartisipasi aktif dengan lingkungannya untuk dapat memperbaiki organisasi sistem sarafnya, agar fungsi sensori integrasi optimal, maka anak autis harus diberikan aktivitas-aktivitas yang dapat merangsang kinerja otak. Terapi musik pada penelitian ini terdiri dari tiga sesi terapi yaitu sesi mendengar dan menyanyi, sesi gerakan dan sesi memainkan alat musik. Petunjuk inti di balik terapi musik adalah pendekatan nonverbal dalam menghadapi klien, tanpa harus berkata-kata, klien bisa bebas berimprovisasi dengan musik. Terapi musik untuk gangguan autis tidak ditekankan dari segi estetikanya tetapi lebih pada kolaborasi aktif antara terapis dan anak, sehingga anak bisa berkomunikasi dengan terapis melalui musik.
Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui pengaruh terapi musik terhadap peningkatan fungsi sensori integrasi pada anak autis di Pusat Terapi Terpadu A- plus yang berlokasi di Jl. Blitar No. 02 Malang.
Penelitian ini menggunakan metode eksperimen semu (quasi-experimental) yaitu eksperimen yang dilakukan tanpa randomisasi, namun masih menggunakan kelompok kontrol. Subjek penelitian ditentukan secara purposive sampling dan didapatkan dua anak sebagai kelompok perlakuan dan dua anak sebagai kelompok kontrol. Variabel bebas pada penelitian ini adalah terapi musik dan variabel terikatnya adalah fungsi sensori integrasi. Instrumen pengumpulan data yang digunakan adalah dokumentasi dan observasi berstruktur. Penelitian ini dilaksanakan mulai tanggal 18 September sampai dengan 5 Oktober 2007. Analisis data yang digunakan adalah uji Ranking Bertanda Wilcoxon dan uji U Mann-Whitney, dengan menggunakan bantuan program komputer SPSS 12.0 for Windows.
Berdasarkan hasil analisa diketahui bahwa pada kelompok perlakuan untuk uji statistik Ranking Bertanda Wilcoxon pada taraf nyata 20% ( = 0.20) diperoleh asumsi signifikan sebesar 0.180 < 0.20 (p < ), pada kelompok kontrol pada taraf nyata 20% ( = 0.20) diperoleh asumsi signifikan sebesar 0.180 < 0.20 (p < ), yang artinya terdapat perbedaan yang signifikan pada kelompok perlakuan dan kelompok kontrol sebelum dan sesudah perlakuan. Untuk Uji statistik U Mann-Whitney pada taraf nyata 11% ( =0.11) didapatkan asumsi signifikan sebesar 0.102 < 0.11, yang artinya terdapat perbedaan yang signifikan antara kelompok yang mendapatkan perlakuan terapi musik dengan kelompok yang tidak mendapatkan perlakuan terapi musik. Sehingga dapat disimpulkan bahwa terapi musik memberikan peningkatan terhadap fungsi sensori integrasi pada anak autis. Berdasarkan hasil observasi selama perlakuan terapi musik diketahui bahwa anak autis memiliki minat yang tinggi terhadap musik.
ENGLISH :
Autism is pervasive developmental disorder. The disorder include in communication skill, social interaction and behaviors. One of the autism characteristics is neurobiological which caused the interface of sensory information processing. As a result their adapt response toward environment could not work normally and it’s caused the children with autism are different with the normal children.
The child must participate actively with the environment to improve the organization of his nervous system to optimize sensory integration function, so autistic children must doing activities be able stimulate brain function. Music therapy in this research contain of three session that is hear and singing session, movement session, and playing instrument session. Core guidance music therapy is nonverbal approach in facing client, without talk, a client can free improvise with music. Music therapy for autism disorders is not pressuring from the aesthetics of view but more than active collaboration between therapist and child, so child that can communication with therapist by the music.
This research has done for knowing the effect of music therapy on the improvement of sensory integration function at autistic children in the integrated therapy center A-plus which is located in Jl. Blitar No. 2 Malang.
This research using quasi-experimental method. Quasi-experimental method is the experiment which done without random sample, but it still using control group. Research subject is certainly choused in purposive sampling manner. Where, two of them are as group of experiment and the other two as control group. Independent variable in this research is music therapy and the dependent variable is sensory integration function. The collecting data instrument used in this research are documentation and structural observation. This research has done from September 18th up to October 5th 2007. The data analysis used are Wilcoxon Signed Ranks and U Mann-Whitney and also using SPSS 12,0 for windows.
Based on the result of the analysis it can be know that the children with experiment group using Wilcoxon Signed Rank statistic at 20% ( =0.20) got the result about 0.180 < 0.20 (p < ). While in the children of control group at 20% ( =0.20) got the result about 0.180 < 0.20 (p < ). It means that there is a significant different between the groups of experiment and group of control in pretest and posttest. Besides, for the U Mann-Whitney at 11% ( =0.11) got the result about 0.102 < 0.11. It means that there is a significant different between the group with music therapy and the group without. So, it can be conclude that the music therapy can give the improvement toward sensory integration function in autistic children. Based on the observation, the autistic children have high attention in music.

BAB I ]
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
 Masalah Istilah “Autis” sekarang ini bukan lagi merupakan hal asing di lingkungan masyarakat. Beberapa tahun belakangan ini autis sangat ramai dibicarakan baik di media cetak maupun media elektronika, bahkan juga sering diadakan seminar dan pelatihan seputar gangguan autis. Tempat-tempat terapi autis juga sudah banyak tersebar di berbagai kota di Indonesia dan menawarkan jenis terapi yang beragam pula. Autis merupakan gangguan perkembangan pervasif yang mencakup gangguan-gangguan dalam kemampuan interaksi sosial, kemampuan komunikasi dan berbahasa, perilaku tak lazim dan terbatasnya minat atau aktivitas.1Autisme bisa terwujud dalam karakteristik atau gejala-gejala dengan berbagai kombinasi dari yang sangat ringan sampai yang sangat parah sehingga disebut sebagai suatu spektrum. Walaupun autisme dapat didefinisikan sebagai suatu rangkaian gangguan perilaku, tetapi anak-anak dan orang dewasa dengan autisme dapat menunjukkan kombinasi perilaku dengan tingkat keparahan yang berbeda. Sehingga dua anak yang didiagnosis autis dapat berperilaku sangat berbeda satu sama lain.2 Gangguan autistik terjadi 2 sampai 5 kasus pada setiap 10.000 anak di bawah usia 12 tahun. Jika retardasi mental berat dengan ciri autistik 1 Sasanti Yuniar, “Autistic Related Disorder” (Makalah seminar, Surabaya, 2001), 2. 2 Yehosua, dkk., “Terapi Sensori Integrasi, Okupasi dan Wicara Untuk Mengoptimalkan Kemampuan Anak Autis” (Makalah seminar, Semarang: P2GPA, 2002), 2. dimasukkan, angkanya dapat meningkat sampai 20 kasus per 10.000 anak. Gangguan autistik lebih sering ditemukan pada anak laki-laki dibandingkan dengan anak perempuan, dengan perbandingan 4:1, tetapi anak perempuan yang memiliki gangguan autistik cenderung lebih parah dibandingkan pada anak lakilaki.3 Kini jumlah penderita autis di seluruh dunia terus meningkat dari tahun ke tahun. Pada tahun 1987 prevalensi penyandang autis adalah 1 anak per 10.000 kelahiran. Sepuluh tahun kemudian penderita autis meningkat menjadi 1 anak per 500 kelahiran. Dan pada tahun 2000 menjadi 1 anak per 250 kelahiran. Menurut laporan Central for Disease Control (CDC) di Amerika Serikat penderita autis kini mencapai 1 anak per 150 kelahiran dan diperkirakan angka yang sama juga terjadi di tempat lain, termasuk Indonesia.4 Dari sejumlah penelitian yang dilakukan oleh para pakar autis telah disepakati bahwa dijumpai suatu kelainan pada otak anak autis. Ada tiga lokasi di otak yang mengalami kelainan neuro-anatomis, namun sampai saat ini sebab dari kelainan tersebut belum dapat dipastikan. Banyak teori yang diajukan oleh para pakar mulai dari faktor genetika (keturunan), infeksi virus dan jamur, kekurangan nutrisi dan oksigenasi, serta akibat polusi udara, air dan makanan. Diyakini bahwa gangguan tersebut terjadi pada fase-fase pembentukan organ-organ (organogenesis) yaitu pada usia kehamilan 0 – 4 bulan.5 3 Kaplan & Sadock, Sinopsis Psikiatri, (terj.) Widjaja Kusuma (Jakarta; Binarupa Aksara, 1997), 713. 4 Anonimous, Autisme, Ramai Tersesat di Kota Asing (http://www.gatra.com), Akses: 22 Februari 2006. 5 Handojo, Autisma, Petunjuk Praktis dan Pedoman Materi Untuk Mengajar Anak Normal, Autis dan Perilaku Lain (Jakarta; Gramedia, 2004), 14. Dugaan tentang adanya kelainan otak pada anak autis ini dinyatakan juga oleh 17 penelitian yang dilakukan di sepuluh pusat penelitian, antara lain di Kanada, Perancis dan Jepang yang melibatkan 250 penyandang autisme dimana pada kebanyakan dari mereka ditemukan pengecilan pada daerah cerebellum yang menyebabkan kacaunya lalu lalang impuls di otak. Cerebellum bukan saja mengatur keseimbangan, tapi juga ikut berperan dalam proses sensorik, berfikir, daya ingat, belajar, berbahasa dan juga perhatian. Yang sangat khas pada anak autis adalah ketidakmampuannya untuk mengalihkan perhatian dengan cepat.6 Anak autis juga mengalami masalah pada sensori integrasinya, menurut Jean Ayers, sebagaimana dikutip Yehosua, sensori integrasi adalah kemampuan untuk mensintesa, mengorganisir dan memproses masuknya informasi sensori yang diterima dari tubuh dan lingkungan sehingga didapatlah respon langsung yang bermanfaat. Sensori integrasi merupakan proses normal dari fungsi otak (Brain Function) dalam menerima input dari orang lain dan lingkungan, juga perasaan. Dari mengumpulkan dan menyatukan input juga mempergunakannya untuk merencanakan tindakan yang sesuai.7 Sensori integrasi yang terganggu menyebabkan proses kerja fungsi otak yang tidak semestinya dari saat penerimaan input hingga dilanjutkan ke sistem syaraf perasa untuk diterjemahkan ini mengalami gangguan. 8 6 Melly Budhiman, “Pentingnya Diagnosis Dini dan Penatalaksanaan Terpadu pada Autisme” (Makalah simposium, Surabaya:Fakultas kedokteran Universitas Airlangga, 1998), 6. 7 Yehosua, dkk., “Terapi Sensori Integrasi, Okupasi dan Wicara untuk Mengoptimalkan Kemampuan Anak Autis” (makalah seminar, Semarang: P2GPA, 2002), 28. 8 Ibid., 30. Sensory Integration Disfunction (SID) ini terjadi pada sistem susunan saraf pusat (Central Nervous System) di dalam otak (Brain). SID merupakan gangguan dari proses sensori “input “, yang meliputi: 1. Gangguan Vestibular menunjukkan bahwa otak gagal memproses informasi yang datang dari Reseptor Vestibular yang terletak di sisi-sisi telinga, sehingga menyebabkan anak tidak memiliki keseimbangan tubuh. 2. Gangguan Tactile menunjukkan, bahwa stimulus yang datang dari reseptor kulit tidak terproses dengan baik sehingga menyebabkan terganggunya respon yang diterima melalui kulit yang berupa merasa dan meraba. 3. Gangguan Proprioceptive menunjukkan bahwa proses dari otak ke muscle (otot) dan joint (persendian) tidak dapat tersalurkan dengan baik sehingga menyebabkan terganggunya otot dan sendi.9 Saat kebutuhan akan pengintegrasian sensori berjalan sejajar dengan tuntutan lingkungan, seorang anak dapat merespon secara efisien, kreatif dan memuaskan pada saat-saat menyenangkan dalam bermain. Kata “menyenangkan” adalah kata kunci dalam sensori integrasi, seorang anak yang senang diangkat ke atas, diayun, dipeluk, memanjat, berlari, melompat dan sebagainya adalah merupakan sesuatu yang natural. Mereka bergerak karena merupakan kebutuhan akan makanan bagi otaknya.10 Namun yang terjadi pada anak autis mereka tidak bisa menikmati kata “menyenangkan” dalam bermain karena terganggunya fungsi sensori integrasi, sehingga mereka tidak bisa berperilaku seperti anak normal pada umumnya. 9 Ibid., 29. 10 Anonimous, Sensori Integrasi (http://www.putrakembara.org.), Akses: 22 Februari 2006. Mereka bisa saja tiba-tiba terjatuh saat sedang berlari, keseimbangan tubuh mereka kurang sehingga tidak bisa berjalan dengan lurus. Akibat dari terganggunya sensori integrasi juga menyebabkan anak autis oversensitive,11 sehingga mereka menunjukkan perilaku-perilaku misalnya: menutup telinga saat mendengar bunyi kran walaupun bagi anak normal bunyi kran sama sekali tidak mengganggu, sentuhan atau pelukan dipersepsikan sebagai tindakan yang sangat menyakitkan. Ada juga anak autis yang undersensitive, 12 perilaku yang tunjukkan misalnya: mengabaikan ucapan yang diarahkan pada dirinya, sehingga mereka sering disangka tuli, perilaku melukai diri sendiri tidak dipersepsikan sakit, orangtua mungkin akan panik melihat tangan anaknya berdarah-darah akibat ulahnya sendiri, sementara si anak justru tenang-tenang saja. Seiring dengan meningkatnya jumlah kasus autis, kian bervariasi pula pendekatan yang digunakan untuk menangani gangguan autis ini, di antaranya terapi perilaku, terapi obat-obatan (biomedikasi), psikoterapi, maupun terapi baru yang terus dikembangkan yang dapat digolongkan sebagai terapi alternatif. Terapi-terapi tersebut muncul karena gangguan autis yang bersifat pervasif, sehingga pengobatan autis tidak cukup dari satu aspek saja, tetapi harus dilakukan secara holistik. Menurut Ayres, Sensori Integrasi adalah: Sensory integration occurs when a child spontaneously plans and executes a successful adaptive response to sensory input. The chil must participate actively with the environment to improve the organization of his nervous system. The drive "to do" must come from within the child, even though 11 Oversensitive: Respon berlebihan anak-anak autistik terhadap stimuli sensorik. Lihat Kaplan & Sadock, Sinopsis Psikiatri, (terj.) Widjaja Kusuma (Jakarta; Binarupa Aksara, 1997), 717. 12 Undersensitive: Kurang responsif pada anak-anak autistik terhadap stimuli sensorik. Lihat Kaplan & Sadock, Ibid. he has been unable "to do" successfully before. He must take each developmental step himself, even though development has been difficult for him in the past. The equipment used in sensory integrative therapy is designed to entice the child into activities that provide sensations that tend to organize young human brains."13 Agar sensori integrasi dapat berfungsi secara normal maka seseorang harus melakukan aktifitas-aktifitas yang bisa merangsang otak untuk terus berkembang, karena kerja otak disebabkan oleh perilaku dan perhatian manusia terhadap lingkungannya.14 Aktifitas mendengarkan dapat merangsang fungsi auditori, menggerakkan tubuh dapat mengembangkan fungsi vestibular dan proprioseptif, dan sebagainya. Aktifitas-aktifitas tersebut dapat dirangkum menjadi suatu terapi yang bukan saja menyenangkan tetapi juga memaksimalkan fungsi-fungsi yang ada dalam sistem sensori integrasi, yaitu terapi musik. Terapi musik dirancang dengan pengenalan mendalam terhadap keadaan dan permasalahan klien, sehingga akan berbeda untuk tiap orang. Setiap terapi musik juga akan berbeda maknanya untuk orang yang berbeda. Namun semua terapi musik mempunyai tujuan yang sama, yaitu membantu mengekspresikan perasaan, membantu rehabilitasi fisik, memberi pengaruh positif terhadap kondisi suasana hati dan emosi, meningkatkan memori, serta menyediakan kesempatan yang unik untuk berinteraksi dan membangun kedekatan emosional.15 Otak manusia adalah otak yang musikal, dan irama memiliki kekuatan yang secara langsung mempengaruhi kognisi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar kemampuan manusia belum benar-benar diketahui. Kemampuan 13 Jean Ayres, Sensory Integration and the Child, (review) Allison Martin  musikal terdapat dalam otak pada tingkat ketidaksadaran, sehingga walaupun seseorang sungguh-sungguh percaya bahwa mereka tidak memiliki kekuatan musikal, sebenarnya mereka tidak benar-benar tahu. Penelitian tentang otak mengungkapkan bahwa sebenarnya yang bukan musisipun memiliki musikalitas yang tinggi, hanya saja mereka tidak mengetahuinya.16 Menurut Gardner (dalam Djohan) dijelaskan bahwa setiap manusia paling sedikit memiliki delapan kemampuan intelegensi yang berbeda. Salah satunya adalah intelegensi musik.17seringkali orang dengan kebutuhan khusus belajar lebih baik melalui musik karena bagian dari otak musik adalah bagian tertua dari struktur otak yang paling sedikit mengalami kerusakan akibat cacat lahir atau kecelakaan. Demikian pula lingkungan yang beraneka ragam dapat merubah kemampuan otak dan intelegensi menjadi tidak statis. 18 Dalam Journal of the American Medical Association (dalam Campbell) ditulis komunikasi nonverbal diantara anak penderita autisme yang memainkan drum dengan ahli terapi yang bermain piano dapat berfungsi membawa si anak keluar dari isolasinya.19 Hal senada juga dijelaskan oleh Clive E. Robbins direktur Nordoff-Robbins Music Therapy Center di New York University (dalam Campbell) bahwa improvisasi dengan musik ini sangat ampuh untuk anak yang tidak mampu berhubungan dengan dunia dengan baik, tidak bisa manjalin 16 Djohan, Psikologi Musik (Yogyakarta: Buku Baik, 2005), 88-89. 17 Ibid., 230. 18 Ibid., 230. 19 Efek Mozart: Memanfaatkan Kekuatan Musik Untuk Mempertajam Pikiran, Meningkatkan Kreativitas, dan Menyehatkan Tubuh ed. Don Campbell (terj.) T. Hermaya ( Jakarta: Gramedia, 2002), 287. hubungan manusiawi, atau mengalami kesulitan berkomunikasi, yang merupakan cara untuk menjangkau ke dalam pikiran si anak.20 Penelitian yang dilakukan oleh Applebaum, dkk (dalam Djohan) dijelaskan bahwa kinerja anak autistik lebih baik daripada anak normal dalam mengimitasi nada yang berasal dari vokal, piano dan synthesizer. Selain itu ditemukan bahwa musik dapat menjadi motivator efektif dan modalitas yang memungkinkan anak autis belajar materi non musik dan menekankan penggunaannya sebagai penguatan sensori positif dalam mengurangi stimulasi diri.21 Penelitian-penelitian tentang manfaat terapi musik juga dilakukan oleh Warwick (dalam Djohan) yang menyatakan bahwa perilaku sosial dan relasi interpersonal anak-anak yang menderita autisme meningkat setelah mendapat terapi musik. Peningkatan juga terjadi pada koordinasi motorik, perilaku komunikasi dan kemampuan bahasa.22 Anak-anak merasakan kebahagiaan ketika mereka bergoyang, menari, bertepuk, dan bernyanyi bersama seseorang yang mereka percayai dan cintai, bahkan sementara mereka merasa senang dan terhibur, musik membantu pembentukan perkembangan mental, emosi serta ketrampilan sosial dan fisik mereka selain memberi mereka kegairahan dan keterampilan yang mereka perlukan untuk mulai belajar secara mandiri.23 Di kota Malang terapi musik telah diterapkan di beberapa tempat terapi autis, salah satunya di Pusat Terapi Terpadu “A-plus” yang terletak di jalan Blitar. Terapi musik yang ditawarkan di yayasan tersebut diberikan dalam dua bentuk 20 Ibid., 287. 21 Djohan, Terapi Musik, Teori dan Aplikasi, ed. Djohan (Jogjakarta: Galang Press, 2006), 164. 22 Ibid., 165. 23 Djohan, Psikologi Musik (Yogyakarta: Buku Baik, 2005), 141. yaitu secara aktif (anak dilibatkan secara langsung untuk memainkan alat musik atau menyanyikan beberapa lagu) dan secra pasif (anak hanya diperdengarkan musik). Oleh karena itu peneliti tertarik untuk meneliti tentang “Efektivitas Terapi Musik untuk Mengoptimalkan Fungsi Sensori Integrasi pada Anak Penyandang Autis”. B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka peneliti merumuskan permasalahan penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Bagaimana tingkat fungsi sensori integrasi anak autis pada kelompok perlakuan saat pretest dan posttest di Pusat Terapi Terpadu A plus Malang? 2. Bagaimana tingkat fungsi sensori integrasi anak autis pada kelompok kontrol saat pretest dan posttest di Pusat Terapi Terpadu A plus Malang? 3. Adakah efektivitas terapi musik dalam mengoptimalkan fungsi sensori integrasi pada anak penyandang autis di Pusat Terapi Terpadu A-Plus Malang? C. Tujuan Penelitian Berdasarkan rumusan masalah tersebut, maka tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Untuk mengetahui tingkat fungsi sensori integrasi anak autis pada kelompok perlakuan saat pretest dan posttest di Pusat Terapi Terpadu A plus Malang. 2. Untuk mengetahui tingkat fungsi sensori integrasi anak autis pada kelompok kontrol saat pretest dan posttest di Pusat Terapi Terpadu A plus Malang. 3. Untuk mengetahui efektivitas terapi musik dalam mengoptimalkan fungsi sensori integrasi pada anak penyandang autis di pusat terapi terpadu A Plus Malang. D. Manfaat Penelitian Adapun manfaat penelitian ini adalah: 1. Secara teoritis Untuk mengembangkan konsep-konsep serta teori-teori psikologi terutama dalam usaha menumbuhkan psikologi musik di Indonesia. Memberikan wacana baru tentang terapi dalam bidang kesehatan atau klinis, serta menambah khazanah keilmuan terutama dalam bidang psikologi klinis. 2. Secara praktis Bagi anak penyandang autis akan memberikan suatu alternatif terapi yang lebih murah dan aman, karena tidak menimbulkan efek samping yang negatif bagi pengguna terapi musik itu sendiri.


Untuk Mendownload Skripsi "Skripsi Psikologi" : Efektivitas terapi musik untuk mengoptimalkan fungsi sensori integrasi pada anak autis di Pusat Terapi Terpadu A-plus Malang." Untuk Mendownload skripsi ini silakan klik link dibawah ini
DOWNLOAD

Artikel Terkait:

No comments:

Post a Comment