Jasa Pembuatan Skripsi

Jasa Pembuatan Skripsi
Jasa Pembuatan Skripsi

Wednesday, June 14, 2017

Jasa Buat Skripsi: download Skripsi Psikologi:Perbedaan strategi emotional focused coping remaja anti asuhan Adz-Dzikraa Arjasa Situbondo: Ditinjau dari tipe kepribadian ekstrovert dan introvert

Abstract

INDONESIA:
Masa remaja merupakan masa “storm and stress”. Banyaknya persoalan yang remaja hadapi, terkadang berujung pada stres. sering kali terjadi pada banyak remaja dalam lingkungan yang berbeda. Salah satu lingkungan yang berpotensi timbulnya banyak stres yaitu remaja yang tinggal dipanti asuhan. Hal tersebut dikarenakan banyaknya perubahan yang terjadi bagi remaja tersebut mulai dari perubahan lingkungan, hilangnya figur lekat, perubahan kebiasaan dan lain-lain. Ketika stress, seseorang akan melakukan upaya menghadapi stres (coping), salah satu diantaranya adalah emotional focused coping, dimana inividu lebih memilih mengurangi stresnya dengan cara mengatur emosi mereka. Satu diantara banyak faktor yang mempengaruhi pemilihan coping itu adalah tipe kepribadian.
Penelitian ini dilakukan di Arjasa Situbondo, dengan tujuan (1) untuk mengetahui strategi tingkat strategi emotional focused coping pada Remaja Panti Asuhan (2) untuk mengetahui tipe kepribadian remaja panti asuhan dan (3) untuk mengetahui apakah ada perbedaan tingkat strategi emotional focused coping remaja panti asuhan ditinjau dari tipe kepribadian ekstrovert dan introvert.
Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif. Subjek penelitian ini berjumlah 62 responden yang dipilih dengan dengan menggunakan metode random sampling. Dalam pengumpulan data, menggunakan skala emotional focused coping dan tipe kepribadian. Analisa data dalam penelitian ini menggunakan teknik T-test dengan menggunakan bantuan SPSS 16.0 dari windows.
Hasil dari penelitian yang dilakukan, diketahui bahwa (1) tingkat emotional focused coping pada remaja panti asuhan masuk kategori rendah berjumlah jumlah 27 orang (43,6%), tinggi 24 orang (38, 7%) dan 11 orang (17,7%) (2) remaja panti yang berkepribadian ekstrovert sebanyak 32 orang (51,6%) dan 30 orang (48, 4%) berkepribadian introvert (3) terdapat perbedaan emotional focused coping yang signifikan pada remaja yang berkepribadian eksrovert dan introvert dimana remaja yang berkepribadian eksrovert lebih tinggi dengan rata-rata 67.6875 dari pada remaja yang berkepribadian introvert dengan rata- rata 43.8667
ENGLISH:
Adolescence is a time of "storm and stress". Many problems that teenagers face, sometimes lead to stress. often occurs in adolescents in many different environments. One of the potential emergence of a lot of environmental stress that teens are at the orphanage. That is because many changes are happening for the youth ranging from environmental change, the loss figure closely, change habits and others. When stress, someone will make an effort to deal with stress (coping), one of them is emotional focused coping, which prefers individu reduce stress by regulating their emotions. One of the many factors that influence the selection of coping with it is personality type.
The research was conducted in Arjasa Situbondo, with the aim of (1) to determine the level of strategy emotional focused coping strategies in Adolescents Orphanage (2) to determine the personality type orphanages and youth (3) to determine whether there are differences in levels of emotional focused coping strategies teens home care in terms of extrovert and introvert personality type.
This study uses a quantitative approach. Subject of this study is 62 respondents were selected using a random sampling method. In data collection, using a scale of emotional focused coping and personality type. Analysis of the data in this study using T-test using SPSS 16.0 from windows.

The results of the research conducted, it is known that (1) the level of emotional focused coping in adolescents orphanage lower numbered category number 27 people (43.6%), high 24 (38, 7%) and 11 men (17.7% ) (2) juvenile homes is extroverted as many as 32 people (51.6%) and 30 men (48, 4%) introverted (3) there is a difference significant emotional focused coping in adolescents with personality eksrovert and introverted personality whereby adolescents eksrovert higher with an average of 67.6875 of the introverted adolescents with an average of 43.8667

BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
 Masalah Masa remaja adalah masa transisi dari masa kanak-kanak menuju masa dewasa. Masa remaja berlangsung antara usia 12 sampai 21 tahun dan terbagi menjadi masa remaja awal usia 12 sampai 15 tahun, masa remaja pertengahan usia 15 sampai 18 tahun, dan masa remaja akhir usia 18 sampai 21 tahun (Monks, 2002). Masa remaja dianggap sebagai masa labil, dimana individu berusaha mencari jati dirinya dan mudah sekali menerima informasi dari luar dirinya tanpa ada pemikiran lebih lanjut. (Hurlock, 2004). Masa peralihan yang dialami oleh remaja mendorong mereka untuk menghadapi berbagai tuntutan dan tugas perkembangan yang baru. Tugas perkembangan yang harus dijalankan oleh remaja menurut Havighurst (Hurlock, 1994) yaitu mencapai hubungan baru dan yang lebih matang dengan teman-teman sebaya baik pria maupun wanita, mencapai peran sosial pria atau wanita, menerima keadaan fisiknya dan menggunakan tubuhnya secara efektif, mengharapkan dan mencapai perilaku sosial yang bertanggungjawab, mencapai kemandirian emosional dari orang tua dan orang dewasa lainnya, mempersiapkan karir ekonomi, mempersiapkan perkawinan dan keluarga, memperoleh perangkat nilai dan sistem etis sebagai pegangan untuk berperilaku mengembangkan ideologi. 2 Banyaknya tugas perkembangan remaja tersebut menuntut dirinya untuk dapat melaksanakannya, dan jika remaja tak mampu memenuhi kebutuhankebutuhannya tersebut maka akan timbul perasaan kecewa atau frustasi pada diri remaja. Perasaan konflik dan kecewa dapat dipastikan terjadi pada siswa remaja yang berupaya untuk mencapai dua tujuan yang bertentangan. (Hardy 1974, Kugelmann, 1973 dalam Elida Prayitno, 2000). Pada masa ini pula, sebagian besar remaja mengalami banyak hambatanhambatan dalam menjalani kehidupannya. Hall (dalam Papalia, 1998) menyebutkan bahwa periode ini merupakan periode badai dan tekanan “storm and stress”. Karena dalam fase ini ditandai oleh perubahan besar yaitu diantaranya kebutuhan untuk beradaptasi dengan perubahan fisik dan psikologis, pencarian identitas dan membentuk hubungan baru termasuk mengekspresikan perasaan seksual. (Santrock, 1998). Sebuah penelitian yang dilakukan oleh Walker (2002) pada 60 orang remaja, mengalami stress. Salah satu penyebabnya adalah tragedi yang ada dalam kehidupan mereka misalnya, kematian, perceraian dan penyakit yang dideritanya atau diderita anggota keluarganya. Begitu pula hasil penelitian dari Furnamawati (2007), penelitian tersebut menyatakan bahwa sebagian besar remaja yang tinggal di panti asuhan memiliki kecenderungan depresi tingkat sedang yang cenderung ke tinggi, dari 112 anak diantaranya 15 orang depresi rendah, sedang 55 orang dan 42 orang dengan depresi tinggi. Panti asuhan adalah tempat untuk memelihara anak-anak yang orang tuanya tidak mampu mengasuh dan membiayai mereka. Anak yang dirawat di 3 panti asuhan tidak semuanya dirawat sejak bayi atau kecil, sehingga perubahan yang tiba-tiba dari kehidupan sebelumnya ke kehidupan di panti asuhan biasanya menyebabkan kesulitan dalam beradaptasi. Hal yang paling sering terjadi pada anak panti asuhan sebagai reaksi terhadap stres berupa gangguan makan dan tidur, sikap antisosial, kecemasan, kemarahan, perilaku menghindar, dan rasa takut. (Kaplan & Sadock, 1995). Penghuni panti asuhan bukan saja dari kalangan anak-anak, akan tetapi mulai dari anak-anak hingga dewasa. Penghuni panti asuhan tersebut adalah orang-orang yang mengalami berbagai permasalahan sosial (Muchti, 2000). Dari sensus penduduk yang dilakukan pemerintah pada tahun 2004 tercatat sebanyak 5,2 juta anak mengalami permasalahan sosial dan sebagian besar adalah remaja. Remaja yang tinggal di panti asuhan, diantaranya ada yang sudah tidak mempunyai ayah atau ibu bahkan ada yang sudah tidak mempunyai keduanya, ketika mereka mengalami masalah seperti kegagalan dalam berprestasi di sekolah, nilai ujian yang buruk, dan masalah dengan teman sebaya akan menimbulkan stress, dan untuk menyelesaikan masalah tersebut dibutuhkan motivasi dan dukungan dari orang tua. Namun, bagi remaja yang tinggal di panti asuhan, tidak adanya orang tua di dekat mereka untuk memotivasi dan mendukung mereka dalam mengatasi masalah akan memperpanjang stres mereka. Selain itu, kebutuhan akan kasih sayang dari kedua orang tua dapat menyebabkan beban pikiran yang akan menimbulkan stres. Stress merupakan salah satu reaksi atau respon psikologis manusia saat dihadapkan pada hal-hal yang dirasa sudah melampaui batas atau dianggap sulit 4 untuk dihadapi. Stres membuat seseorang yang mengalaminya berpikir dan berusaha keras dalam menyelesaikan suatu permasalahan atau tantangan dalam hidup. Stres memang merupakan bagian dari dinamika kehidupan manusia. Mustahil, orang sepanjang hidupnya tidak pernah mengalami stress. Namun demikian, masing-masing individu telah diberi kemampuan untuk dapat beradaptasi dengan keadaan yang menyebabkan stress (stressor). Definisi stres dari respon mengacu pada keadaan stres, reaksi seseorang terhadap stres, atau berada dalam keadaan di bawah stress. (Lazarus & Folkman, 1984). Kemampuan mengelola stress ini dalam istilah psikologi disebut dengan strategi coping. Lazarus dan Folkman (dalamYusuf dan Nurihsan, 2006) mendefinisikan coping sebagai suatu proses mengelola tuntutan (internal atau eksternal) yang ditaksir sebagai beban karena di luar kemampuan diri individu. Sementara Weiten dan Llyod (dalam Siswanto, 2007) mengemukakan bahwa coping merupakan upaya-upaya untuk mengatasi, mengurangi atau mentoleransi ancaman atau beban perasaan yang terjadi karena stress. Sederhananya, coping dapat diartikan sebagai reaksi individu ketika menghadapi stress. Kemampuan coping pada setiap individu berbeda-beda tergantung pada beberapa faktor seperti kondisi individu, kepribadian, sosial kognitif, hubungan dengan lingkungan sosial dan strategi coping yang dipilih (Smet, 1944). Dalam pemilihan strategi coping, berbeda-beda untuk tiap-tiap individu tergantung bagaimana permasalahan yang dihadapi dan bagaimana situasi yang 5 mempengaruhi stressor tersebut. Strategi coping yang dapat dipilih ada dua, yaitu strategi problem focused coping dan strategi emotional focused coping. Strategi problem focused coping digunakan untuk mengurangi stressor atau mengatasi stres dengan cara mempelajari cara-cara atau ketrampilanketrampilan yang baru. Individu akan cenderung menggunakan strategi ini bila dirinya yakin dapat merubah situasi yang mendatangkan stres. Sedangkan strategi emotional focused coping digunakan untuk mengatur respon emosional terhadap stres. Pengaturan ini melalui perilaku individu, seperti penggunaan alkohol, bagaimana meniadakan fakta-fakta yang tidak menyenangkan, melalui strategi kognitif. Bila individu tidak mampu mengubah kondisi yang penuh dengan stres, maka individu akan cenderung untuk mengatur emosinya. (Smet, 1994). Berkaitan dengan penelitian ini, ternyata Emotional focused coping lebih sesuai dilakukan oleh subjek yang berusia berkisar antara 17 sampai 20 tahun karena mereka belum mencapai tahap perkembangan yang matang untuk bisa menggunakan problem focused coping. (Tanumidjojo, 2004). Sedangkan berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan oleh Basuki, Yudiarso, dan Tanumidjojo (2004) mengungkapkan bahwa orang akan cenderung menggunakan strategi coping yang tergolong dalam Emotional focused coping, dimana metode ini memang lebih sesuai untuk mengatasi stress yang disebabkan oleh kondisi yang tidak dapat dirubah ataupun dengan kondisi yang dapat dirubah namun dalam jangka waktu yang cukup lama. Menurut Lazarus (dalam Effendi, 1999) Emotional focused coping adalah upaya untuk mencari dan memperoleh rasa nyaman dan memperkecil tekanan 6 yang dirasakan, yang diarahkan untuk mengubah faktor dalam diri sendiri dalam cara memandang atau mengartikan situasi lingkungan, yang memerlukan adaptasi yang disebut pula perubahan internal. Emotional focused coping berusaha untuk mengurangi, meniadakan tekanan, untuk mengurangi beban pikiran individu, tetapi tidak pada kesulitan yang sebenarnya. Menurut Pramadi (2003) Emotional focused coping merupakan respon yang mengendalikan penyebab stress yang berhubungan dengan emosi dan usaha memelihara keseimbangan yang efektif. Perilaku coping yang berpusat pada emosi yang digunakan untuk mengatur respon emosional terhadap stress. Sementara menurut Hapsari (2002) Emotional focused coping merupakan pelarian dari masalah dimana individu menghindari masalah dengan cara berkhayal atau membayangkan seandainya dia berada pada situasi yang menyenangkan. Menurut Lazarus dkk (dalam Aldwin dan Revenson 1987) indikator yang menunjukkan strategi yang berorientasi pada emotional focused coping yaitu Escapism (pelarian dari masalah), Minimazation (menganggap masalah seringan mungkin) , self blame (menyalahkan diri sendiri), seeking meaning (mencari hikmah yang tersirat). Emotional focused coping memungkinan individu melihat sisi kebaikan (hikmah) dari suatu kejadian, mengharap simpati dan pengertian orang lain atau mencoba melupakan segala sesuatu yang berhubungan dengan hal yang telah menekan emosinya, namun hanya bersifat sementara (Folkman & Lazarus, 1985). Maksudnya individu belajar mencoba dan mengambil hikmah atau nilai dari segala usaha yang telah dilakukan sebelumnya dan dijadikan latihan pertimbangan 7 untuk menyelesaikan masalah berikutnya, hal ini merupakan bentuk emotional focused coping adaptif,contohnya jika ada masalah dapat diceritakan kepada teman atau anggota keluarga. Hal ini bertujuan agar beban dapat berkurang walaupun hanya bersifat sementara karena individu menyelesaikan masalah dengan cara represi yaitu berusaha menekan masalah yang dihadapinya. Namun masalah yang sebenarnya belum terselesaikan atau dilupakan untuk sementara waktu saja. Kecenderungan individu dalam memilih strategi coping dipengaruhi oleh beberapa faktor. Menurut Lazarus dan Folkman (dalam Pramadi dan Lasmono, 2003) sumber-sumber individual seseorang seperti pengalaman, persepsi, kemampuan intelektual, kesehatan, kepribadian, pendidikan dan situasi yang dihadapi sangat menentukan proses penerimaan suatu stimulus yang kemudian dapat dirasakan sebagai tekanan atau ancaman. Faktor yang mempengaruhi coping sebagai upaya untuk mengatasi stress adalah dukungan sosial dan kepribadian (Asiyah, 2012). Syamsu yusuf (2004) mengemukakan faktor-faktor yang mempengaruhi coping sebagai upaya mereduksi atau mengatasi stress adalah dukungan sosial (social support) dan kepribadian (personality). Dukungan sosial, menurut Syamsu Yusuf diartikan sebagai pemberian bantuan atau pertolongaan terhadap seseorang yang mengalami stress dari orang lain yang memiliki hubungan dekat (saudara atau teman). Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan oleh Anggarani (2009) dinyatakan bahwa ada hubungan antara dukungan sosial dengan strategi coping pada penderita pasca stroke. 8 Menurut Syamsu Yusuf (2004) kepribadian mempunyai pengaruh yang cukup berarti terhadap coping atau usaha dalam mengatasi stress yang dihadapinya, seperti kepribadian hardiness, optimis dan humoris. Begitu juga dengan penelitian yang dilakukan oleh Scheir dan Carver (1985) membuktikan bahwa terdapat korelasi antara sikap optimis dengan kesehatan fisik yang baik pada para mahasiswa. Selain itu Martin dan Lefcourt (Syamsu Yusuf, 2004) juga menenemukan bahwa humor dapat berfungsi untuk mengurangi dampak negatif stress terhadap suasana hati atau perasaan seseorang. Sehingga dari sini terlihat bahwa kepribadian seseorang cukup berperan dalam coping yang dipilih. Setiap manusia memiliki tipe kepribadian yang melekat pada diri mereka. Tiap individupun berbeda-beda kepribadiannya. Tipe kepribadian menurut Eysenck dibagi menjadi dua, yaitu tipe kepribadian ekstrovert dan introvert. Eysenk menegaskan bahwa individu dengan kepribadian ekstrovert cenderung mampu mengekspresikan perasaannya dengan lebih bebas, tidak perlu merasa takut terhadap akibatnya, dan berani bertanggungjawab atas apa yang dilakukannya. Sedangkan tipe kepribadian introvert adalah kebalikan dari trait ekstrovert, yakni sulit bergaul, statis, pasif, ragu, taat aturan, sedih, minus, lemah, dan penakut. Individu dengan tipe kepribadian ini cenderung tertutup, susah mengungkapkan apa yang diinginkannya, dan takut menanggung akibat atas perbuatannya Dalam penelitian terdahulu, yang dilakukan oleh Wulandari (2002) ditemukan bahwa ada perbedaan emotional focused coping dalam hubungan interpersonal antara remaja yang mengikuti les musik klasik dan yang tidak 9 mengikuti les musik klasik. Hal ini juga dibuktikan pula oleh Theodora Elma Tambuwun (2011) bahwa ada perbedaan penggunaan emotional focused coping pada tiga divisi di Adira Insurance. Kedua penelitian tersebut diperkuat kembali oleh Tirza Alvina Ruth (2011) yang menyatakan bahwa ada perbedaan penggunaan strategi emotional focused coping antara yang menggunakan motor dan yang menggunakan mobil. Berkaitan dengan penelitian diatas, peneliti melihat fenomena di panti asuhan adz-Dzikraa Arjasa Situbondo. Panti asuhan ini merupakan salah satu panti asuhan yang ada di Situbondo, dengan jumlah populasi remaja sebanyak 248 orang. Studi pendahuluan yang dilakukan adalah metode wawancara terhadap 4 orang anak remaja yang tinggal di panti asuhan Adz-Dzikraa ini. Dari wawancara tersebut didapat informasi bahwa mereka pernah mengalami masalah yang menjadi beban pikiran seperti permasalahan dalam keluarganya, keinginan untuk membeli sesuatu yang tidak terwujud, rindu dengan orang tua, susah menyesuaikan diri dengan lingkungan panti ataupun di luar panti. Peneliti juga melakukan observasi, dan terlihat pada wajah mereka yang sedih ketika peneliti bertanya mengenai keberadaan orang tuanya. Peneliti juga menanyakan tentang cara mereka menghadapi masalah atau mengatasi stress tersebut, beberapa remaja mengaku sudah cukup dengan membaca shalawat, menangis pada saat sholat malam, menyendiri, sedangkan yang lain mengaku dapat meringankannya dengan berkumpul bercanda ria bersama teman. Terlihat jelas bahwa cara-cara tersebut merupakan strategi tipe emotional focused coping, di mana seseorang berupaya 10 mengatasi ketegangan melalui pengatasan terhadap reaksi emosional yang mereka rasakan. Munculnya strategi emotional focused coping disebabkan oleh beberapa faktor, salah satunya adalah tipe kepribadian, dan diantara banyak jenis tipe kepribadian adalah ekstrovert dan introvert. Bermula dari sini, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian tentang“ Perbedaan Strategi Emotional Focused Coping Pada Remaja Panti Asuhan Adz-Dzikraa Arjasa Situbondo ditinjau dari Tipe Kepribadian Ekstrovert dan Introvert “. B. Rumusan Masalah 1. Bagaimana tingkat strategi emotional focused coping pada remaja panti asuhan Adz-Dzikraa? 2. Bagaimana tipe kepribadian pada remaja panti asuhan Adz-Dzikraa? 3. Bagaimana perbedaan strategi emotional focused coping remaja panti asuhan Adz-Dzikraa ditinjau dari tipe kepribadian ekstrovert dan introvert? C. Tujuan Penelitian 1. Untuk mengetahui tingkat strategi emotional focused coping pada remaja panti asuhan Adz-Dzikraa. 2. Untuk mengetahui tipe kepribadian pada remaja panti asuhan AdzDzikraa. 11 3. Untuk mengetahui perbedaan tingkat strategi emotional focused coping remaja panti asuhan Adz-Dzikraa ditinjau dari tipe kepribadian ekstrovert dan introvert. D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoritis Peneliti berharap penelitian ini akan membawa manfaat pada pengembangan teori keilmuan psikologi pada umumnya dan psikologi klinis pada khususnya. 2. Manfaat Praktis Diharapkan hasil penelitian ini dapat dijadikan bahan pertimbangan pengasuh, pendidik, guru, dan orang – orang yang berhubungan dengan panti asuhan dan anak asuhnya agar menjadi lebih baik lagi.

Untuk Mendownload Skripsi "Skripsi Psikologi" : Perbedaan strategi emotional focused coping remaja anti asuhan Adz-Dzikraa Arjasa Situbondo: Ditinjau dari tipe kepribadian ekstrovert dan introvert" Untuk Mendownload skripsi ini silakan klik link dibawah ini

DOWNLOAD

Artikel Terkait:

No comments:

Post a Comment