Abstract
INDONESIA:
Menjalani kehidupan sebagai seorang narapidana merupakan suatu bentuk kehidupan yang sarat akan penderitaan. Seorang terpidana terpaksa ataupun tidak akan mengalami berbagai macam kehilangan, seperti kehilangan kepribadian, kemerdekaan, pelayanan, hubungan antar lawan jenis, dan kehilangan harga diri. Kehilangan-kehilangan di atas secara akumulatif dirasakan oleh narapidana dan ditenggarai dapat membuat hidup narapidana kehilangan akan makna. Dalam situasi krisis seperti itu, keberadaan agama dalam kehidupan narapidana sangat penting adanya. Agama dapat menjadi resource yang berkontribusi nyata dalam melahirkan kebermaknaan hidup pada diri narapidana. Penelitian ini mengangkat permasalahan mengenai: 1) bagaimana tingkat religiusitas narapidana; 2) bagaimana tingkat kebermaknaan hidup narapidana; 3) bagaimana pengaruh religiusitas terhadap kebermaknaan hidup narapidana di Lembaga Permasyarakatan Wanita Kelas II A Malang.
Tujuan dari penelitian ini adalah: 1) mengetahui tingkat religiusitas narapidana; 2) mengetahui tingkat kebermaknaan hidup narapidana; 3) mengetahui pengaruh religiusitas terhadap kebermaknaan hidup narapidana di Lembaga Permasyarakatan Wanita Kelas II A Malang.
Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif. Metode pengambilan sampel menggunakan teknik pusposive sampling, melalui teknik tersebut diperoleh subjek penelitian sebanyak 70 narapidana dari jumlah populasi 310 orang. Kebermaknaan hidup diidentifikasi sebagai variabel terikat, sedangkan religiusitas sebagai variabel bebas. Metode pengumpulan data dilakukan dengan metode skala model Likert, meliputi skala religiusitas melalui dimensi yang dikemukakan Glock & Stark dan skala kebermaknaan hidup yang diadaptasi dari MLQ Steger & Frazier, serta dilengkapi metode observasi, wawancara, dan dokumentasi.
Hasil uji validitas menunjukan bahwa skala religusitas yang terdiri dari 50 aitem, sebanyak 47 aitem dinyatakan sahih dan tiga aitem dinyatakan gugur. Sedangkan skala kebermaknaan hidup yang terdiri dari 10 aitem seluruhnya dinyatakan sahih. Dari hasil analisa, ditemukan persamaan regresi sebagai berikut: 1) Mayoritas religiusitas narapidana berada pada level sedang yaitu sebanyak 56 responden dengan jumlah persentase 80%; 2) Mayoritas makna hidup narapidana berada pada level sedang yaitu sebanyak 49 responden dengan jumlah persentase 70%; 3) Terdapat pengaruh positif dan signifikan antara tingkat religiusitas terhadap kebermaknaan hidup narapidana dengan koefisien regresi sebesar 0,558 dan r2 sebesar 0,311. Hal ini berarti bahwa 31,1% pengaruh religiusitas terhadap kebermaknaan hidup narapidana sedangkan sisanya 66,9% dipengaruhi oleh faktor lain.
ENGLISH:
Spending life as a prisoners is a form of life that the terms of the suffering. A prisoner has no choice to get various kinds of loss, such as loss of personality, independence, service, relationships among the opposite sex, and loss of self esteem. Losses accumulated over perceived by prisoners and allegedly can make life of prisoners would lose meaning. In such a crisis situation, the presence of religion in the lives of the prisoners is essential. Religion can be a real contributing resource in the delivery of meaningfulness of life on the prisoners. This study raised issues concerning: 1) how the level of religiosity prisoners, 2) how the level meaningfulness of life prisoners, 3) how the influence among religiosity towards the meaningfulness of life of prisoners in Correctional Institution for Women’s Class II A Malang.
The purpose of this research were: 1) to find out the level of prisoners religiosity; 2) to find out the level of prisoners meaningfulness of life; 3) to find out the influence among religiosity towards the meaningfulness of life of prisoners in Correctional Institution for Women Class II A Malang.
This research use a quantitative approach. The sampling method using purposive sampling technique. Through the technique of research subjects were obtained by 70 prisoners of the population 310 people. Religiosity is identified as independent variables, whereas Meaningfulness of life as the dependent variable. Methods of data collection was conducted using Likert-scale model, which includes the scale of the proposed dimensions of religiosity by Glock & Stark and the scale meaningfulness of life adapted from MLQ Steger & Frazier, and completed with observations, interview, documentation methods.
Validity test results indicate that the religiosity scale consisting of 50 items showed that 47 items declared valid and three item disqualified. While meaningfulness of life scale consisting of 10 items showed that all items declared valid. Based on the analysis of research, regression date conclude 1) the majority of prisoners religiosity is in the middle level as 56 respondent with percentage 80%; 2) the majority of prisoners meaningfulness of life is in the middle level as 49 respondent with percentage 70%; 3) there are positive and significant influence of religiosity with the meaningfulness of life in prisoners with regression coefficient 0,558 and r2 0,311. This means that 31,1% the influence of religiosity towards meaningfulness of life prisoners while the remaining 66.9% influenced by other factors.
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang Masalah
Dilihat dari sisi jenis kelamin
pelakunya, kejahatan tidak hanya dilakukan oleh kaum pria tetapi juga dilakukan
oleh kaum wanita. Keterlibatan wanita sebagai pelaku kriminal bukan merupakan
suatu hal yang baru lagi. Hampir setiap hari pemberitaan media massa baik cetak
maupun elektronik mengekspos pelaku kejahatan yang dilakukan oleh wanita
walaupun intensitasnya lebih kecil dibandingkan kaum pria. Dalam tinjauan
biologis, wanita merupakan kaum yang lemah dan kurang kuat dibandingkan kaum
pria dan dari kacamata psikologis, wanita adalah kaum yang lebih cenderung
menggunakan perasaan daripada akal. Sangat memperihatinkan kiranya, melihat
wanita seperti sosok demikian dapat turut serta menjadi penyumbang pelaku
kriminal. Negara Republik Indonesia adalah negara yang berdasar atas hukum
(rechstaat) sebagaimana yang tercantum dalam UUD 1945 maka seluruh tatanan
kehidupan harus berlandaskan hukum.1 Oleh karena itu warga negara yang
melanggar hukum akan mendapatkan ganjaran hukum yang sesuai dengan
perbuatannya. Sejalan dengan itu, Bartens (1993) mengatakan bahwa 1 Kitab
Undang Undang Dasar 1945 2 manusia atau individu yang melanggar norma hukum
maka akan diberikan sanksi pidana.2 Sanksi pidana merupakan peraturan yang
menentukan perbuatanperbuatan yang dapat dihukum dan bentuk hukuman yang dapat
diberikan. Pemberian sanksi pidana ini bertujuan untuk menyadarkan diri si
pelanggar hukum dari perilaku yang menyimpang. Seorang pelanggar hukum setelah
melewati prosedur pemeriksaan dan telah mendapatkan kepastian hukum, maka akan
resmi menyandang status sebagai narapidana.3 Menurut Undang-Undang Nomor 12
tahun 1995, narapidana adalah terpidana yang menjalani pidana hilang kebebasan
di dalam penjara. 4 Menurut Wilson (2005), narapidana adalah manusia yang
bermasalah yang harus dipisahkan dari masyarakat untuk belajar bermasyarakat
dengan baik. 5 Pendapat senada juga dilontarkan oleh Harsono (1995) yang
menyatakan bahwa narapidana adalah manusia yang sedang berada di persimpangan
jalan, tengah mengalami dissosialisasi dengan masyarakat, tengah merencanakan
kehidupan baru setelah keluar dari lembaga permasyarakatan/rutan.6 Tindak
pidana yang diberikan kepada narapidana selalu direalisasikan dalam bentuk
pembinaan, karena hal ini merupakan kewajiban 2 Siahaan, GT. 2008. Hubungan
Harga Diri Dengan Makna Hidup Pada Narapidana. Skripsi, Universitas Sumatera
Utara, Medan. Hal 1 3 Ibid. Hal 2 4 Undang-Undang No 12, 1995 5 GT. 2008.
Hubungan Harga Diri Dengan Makna Hidup Pada Narapidana. Skripsi, Universitas
Sumatera Utara, Medan. Hal 2 6 Harsono. 1995. Sistem Baru Pembinaan Narapidana.
Jakarta : Djambatan. Hal 53 3 utama Negara dalam membina mental pelaku kriminal
agar dapat berintegrasi secara sehat dengan masyarakat setelah kembali sebagai
anggota masyarakat yang bebas dan bertanggung jawab. Berdasarkan data statistik
tahun 2003 jumlah narapidana wanita di Indonesia sebanyak 861 orang, tahun 2004
sebanyak 864 orang dan pada tahun 2005 jumlah narapidana wanita sebanyak 876
orang.7 Sedangkan di daerah Malang, pada tahun 2011 jumlah narapidana wanita
berkisar 301 orang. 8 Jumlah ini cenderung mengalami perubahan dari waktu ke
waktu seiring meningkatnya jumlah pelaku kejahatan. Dari data di atas
memperlihatkan bahwa tingkat pelanggaran hukum di Indonesia yang melibatkan
kaum wanita menunjukkan trend peningkatan dari tahun ke tahun. Hal ini
menandakan bahwa kaum wanita sebagai insan lemah juga dapat melakukan perbuatan
yang melanggar hukum, akibatnya mereka harus mendekam di lembaga
permasyarakatan. Harsono (1995), dalam bukunya yang berjudul “sistem baru
pembinaan narapidana” menyatakan bahwa kehidupan di lembaga permasyarakatan
memberikan dampak dalam berbagai aspek seperti dampak fisik dan dampak
psikologis. Dampak psikologis yang dialami oleh narapidana merupakan dampak
yang paling berat untuk dijalani. Dampak psikologis akibat hukuman penjara
tersebut antara lain kehilangan akan kepribadian, kehilangan akan keamanan,
kehilangan akan kemerdekaan, 7 Suwarto. 2008. Pengembangan Ide Individualisasi
Pidana dalam Pembinaan Narapidana Wanita (studi pembinaan narapidana wanita
kelas II A Tanjung Gustav Medan). Desertasi USU. Hal 180 8 Dokumen Lembaga
Permasyarakatan Wanita Kelas II A Malang 4 kehilangan akan komunikasi pribadi,
kehilangan akan pelayanan, kehilangan akan hubungan antar lawan jenis,
kehilangan akan harga diri, kehilangan akan kepercayaan, dan kehilangan akan
kreativitas.9 Selanjutnya, Kartono (1991) menambahkan bahwa akibat dari masa
penahanan, narapidana akan mengembangkan reaksi stereotipe yaitu cepat curiga,
lekas marah, cepat benci dan pendendam. Akibat lainnya yaitu banyak narapidana
dari penjahat kecil-kecilan menjadi penjahat yang lebih “lihay” dengan
ketrampilan tinggi dan perilaku bertambah kejam karena pernah mengalami shock
mental. Selain itu pada umumnya kondisi kepribadian narapadina di lembaga
pemasyarakatan cukup buruk, mereka merasa tidak berdaya menghadapi hidup yang
sulit, tidak punya inisiatif, marasa bersalah, merasa sebagai orang yang
rendah, diremehkan, menyalahkan hidup, berpandangan negatif terhadap masa
depan, dan tidak mampu menggali arti dalam hidupnya.10 Permasalahan di atas
sangat rentang dihinggapi oleh semua narapidana baik narapidana laki-laki
terlebih narapidana wanita. Hal ini diperkuat dengan hasil penelitian yang dilakukan
Bureau of Justice Statistics yang menemukan fakta bahwa pada tahun 1998
sebanyak 23,6 % narapidana wanita teridentifikasi mengalami gangguan kesehatan
mental dibanding pria yang hanya 15,8 %, bahkan setiap 1 dari 4 wanita di dalam
penjara 9 Harsono. 1995. Sistem Baru Pembinaan Narapidana. Jakarta : Djambatan.
Hal 81 – 82 10 Puspita, Anggraeny. 2008. Hubungan antara Konsep Diri dengan
Kecenderungan Fobia Sosial pada Narapidana di Lembaga Pemasyarakatan Klas II B
Magetan. Skripsi, UMS. Hal 2 5 teridentifikasi mengalami gangguan kesehatan
mental. 11 Sedangkan pada tahun 2005 hampir sepertiga jumlah narapidana wanita
(73,1 %) mengalami gangguan kesehatan mental dibandingkan pria yang hanya
sekitar 55 %.12 Hasil penelitian ini memperjelas bahwa kecenderungan wanita
menderita tekanan kejiwaan lebih besar daripada laki-laki, oleh karena itu,
perlu adanya penanganan khusus dalam menyikapi permasalahan tersebut. Lembaga
Permasyarakatan Wanita Kelas II A Malang merupakan lembaga milik pemerintah
yang tugas utamanya menampung individu yang mengalami permasalahan hukum dan
sekaligus bertugas memberikan pembinaan dari berbagai aspek seperti
keterampilan, kesenian, dan intelektual. Di samping itu adapula kegiatan
pembinaan yang bernuansa keagamaan dan bahkan kegiatan ini merupakan kegiatan
yang menempati posisi terpadat di antara kegiatan pembinaan lainnya. Adapun
kegiatan keagamaan yang sudah terjadwal di Lembaga Permasyarakatan Wanita Kelas
II A Malang dilaksanakan sebanyak empat hingga lima kali seminggu, meliputi kegiatan
pengajian, ta’siah, dan ceramah keagamaan yang mendatangkan narasumber dari
luar lembaga permasyarakatan, ditambah lagi beberapa kegiatan rutin tahunan
seperti maulid nabi, isra’ miraj, pelaksanaan pondok ramadhan dan shalat
tarawih bersama. Selain itu, kewajiban seorang muslim dalam menjalankan shalat
11 The sentencing Project, research and advocacy for reform. Laporan
penelitian, Bureau of Justice Statistics. Hal 2-3 12 Ibid. Hal 4 6 lima waktu
juga harus dilaksanakan secara berjamaah di mesjid yang ada di lingkungan
lembaga permasyarakatan.13 Kegiatan keagamaan ini pada prinsipnya bertujuan
untuk membentuk pribadi yang sehat secara psikologis, bertanggungjawab, serta
diharapkan mampu menyikapi setiap permasalahan hidup yang mereka hadapi secara
tepat yang sesuai dengan pandangan agama. Beberapa hasil penelitian telah
membuktikan bahwa keyakinan terhadap agama akan membuahkan sikap mental
positif; sedangkan tipisnya keyakinan terhadap agama membuat orang cenderung
bermental negatif (stress, putus asa, dendam, iri, berprasangka buruk, dan lain
sebagainya) yang akibatnya melemahkan sistem imunitas tubuhnya.14 Banyak
penelitian menemukan bahwa pola-pola tertentu keterlibatan agama benar-benar
memiliki dampak positif pada kesehatan dan kualitas hidup orang dewasa (Idler,
2006). Bahkan, Hooyman dan Kiyak (2005) menunjukkan bahwa ada manfaat yang
signifikan dan konsisten dengan fisik dan mental orang dewasa dari pengaruh
religiusitas. Partisipasi dalam kegiatan keagamaan, khususnya dalam kehidupan
dapat mengurangi risiko kematian, menurunkan prevalensi penyakit fisik,
meningkatkan fungsi kekebalan yang lebih baik, tekanan darah rendah, dan
umumnya menjadikan umur lebih panjang. Secara psikologis, partisipasi dalam
kegiatan keagamaan 13 Dokumen Lembaga Permasyarakatan Wanita Kelas II A Malang
14 Sentuhan Kalbu Melalui Kultum, Hal 236 7 dikaitkan dengan penurunan
prevalensi penyakit mental, dan peningkatan pemulihan dari gangguan depresi.15
Larson (1992) dan beberapa pakar lainnya dalam berbagai penelitian yang berjudul
Religius Commitment and health, menyimpulkan bahwa di dalam memandu kesehatan
manusia yang serba kompleks ini dengan segala keterkaitannya, hendaknya
komitmen agama sebagai suatu kekuatan (spiritual power) jangan diabaikan begitu
saja. Agama dapat berperan sebagai pelindung lebih daripada sebagai penyebab
masalah. Agama hadir sebagai suatu jalan keluar atas permasalahan yang dapat
membuat kehidupan menjadi penuh ketabahan, penerimaan, dan kesadaran, serta
selalu memiliki harapan positif dalam menjalani hidup. 16 Agama sebagai sistem
keyakinan menyediakan konsep tentang hakikat dan makna hidup, namun ia tidak
terdapat pada tataran formalitas keagamaan, maka dari itu formalitas agama
harus dilampaui. Kemampuan melampaui hal tersebut akan melahirkan sikapsikap
religius individu dan pada akhirnya menjadikan kehidupan individu terasa
berharga dan bermakna. Menurut Meichati (1983), kehidupan beragama dapat
memberikan kekuatan jiwa bagi seseorang untuk menghadapi tantangan hidup. Agama
dapat pula memberikan bantuan moril dalam menghadapi krisis yang menimpanya.
Keyakinan beragama dapat meningkatkan kehidupan itu sendiri 15 Jessica l, York.
2008. religiosity and successful aging: the buffering role of religion against
normative and traumatic stressors in community-residing older adults . Thesis,
Master of Arts in Clinical Psychology . Cleveland State University. Hal 9-11
16Tasmara, Toto. 2001. Hubungan Antara Tingkat Religiusitas dan Kebermaknaan
Hidup Seseorang. www.basiliasubiyanti.blogspot.com, diakses pada tanggal 5
november 2011 8 ke dalam suatu nilai spiritual. Hal tersebut menjadikan hidup
seseorang bermakna dalam berbagai kondisi, memperoleh ketenangan dalam hidup,
merasakan dan meyakini adanya kekuatan tertinggi yang menaungi kehidupan
sehingga akan memberikan kemantapan batin, bahagia, dan terlindungi.17 Frankl
juga menjelaskan bahwa adanya dimensi kerohanian pada manusia di samping
dimensi ragawi dan kejiwaan. Individu dapat menemukan makna dengan menemui
kebenaran melalui realisasi nilai-nilai yang berasal dari agama. Oleh karena
itu dalam menemukan makna hidup dapat diperoleh melalui keterlibatan individu
dalam aktivitas religius. Melaksanakan tata cara ibadah yang diajarkan agama,
dilaksanakan dengan khidmat akan menimbulkan perasaan tenang, tentram, tabah
serta merasakan mendapat bimbingan dalam melakukan tindakan.18 Kenyataan lain
di lapangan memperlihatkan bahwa masih dijumpai narapidana yang mengalami
krisis akan makna dalam kehidupannya seperti mengalami stress dan depresi yang
ditunjukkan dengan perilaku narapidana yang cenderung menarik diri dari
pergaulan antar sesama narapidana, duduk termenung, pandangan tampak kosong,
terlihat tanpa ekspresi dan seakanakan memiliki beban pikiran yang begitu
berat. Di samping itu, berdasarkan hasil wawancara dari beberapa narapidana,
ditemukan data bahwa kebanyakan narapidana merasa kehidupannya hancur ketika
harus menjalani 17 Ibid 18 Bastaman, H.D. 2007. Logoterapi: Psikologi untuk
Menemukan Makna Hidup dan Meraih Hidup Bermakna. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Hal 68 9 pidana di lembaga permasyarakatan, mereka merasa terkekang dan jauh
dari cinta kasih orang-orang terdekatnya. 19 Berikut ini petikan wawancara
dengan salah satu narapidana, yaitu: Sebelum saya masuk di sini saya bekerja di
salah satu instansi pemerintah yang ada di daerah Surabaya, rasanya saya malu
sekali dan tidak habis pikir bisa hidup di sini yang serba terkekang dan
dibatasi. Rencana-rencana yang sejak lama saya rencanakan harus terputus
seketika. Saya di sini juga sering rindu sama anak dan suami, saya tidak tahu
kabar mereka, yang mengurus mereka siapa, saya merasa bersalah sama mereka.
Saya merasa terkekang, dibatasi dan serba diawasi di sini dan ingin segera
keluar dan berkumpul bersama keluarga kembali.20 Beberapa permasalahan di atas
merupakan manifestasi dari tekanan psikologis kehidupan penjara yang terus
mendera para narapidana. Akibatnya narapidana yang sedianya mendapatkan
pembinaan dan pengayoman justru harus terperangkap pada kesimpangsiuran masa
depan, kehidupan mereka jauh dari kebahagiaan, dan cita-cita serta tujuan hidup
mereka seakan-akan terputus di tengah jalan sehingga tujuan utama pemidanaan
tidak dapat tercapai dengan maksimal. Menurut Frankl, realitas yang dialami
narapidana di atas dapat dikategorikan sebagai bentuk kitidakbermaknaan hidup
yang jika terus menerus terjadi akan menimbulkan permasalahan yang lebih rumit,
seperti melahirkan karakter otoriter, konformis dan neurosis noogenik,.
Otoriter merupakan gambaran pribadi dengan kecenderungan untuk memaksakan 19 Berdasarkan
hasil observasi dan wawancara selama PKLI di Lembaga Permasyarakatan Wanita
Kelas II A Malang pada tanggal 17 Juli 2011, pukul 11.00 am. 20 Data hasil
wawancara selama PKLI di Lembaga Permasyarakata Wanita Kelas II A Malang pada
tanggal 17 Juli 2011, pukul 11.00 am. 10 segala sesuatunya menurut sudut
pandang mereka sendiri. karakter konformis adalah gambaran pribadi dengan
kecenderungan kuat untuk tunduk dan selalu berusaha mengikuti tuntutan
lingkungan walaupun tidak sesuai dengan keinginan pribadinya. Sedangkan
Neurosis noogenik yaitu suatu keadaan yang dapat menghambat penyesuaian diri
seseorang yang ditandai dengan perasaan bosan, hampa, kehilangan minat dan
inisiatif, keputusasaan, dan melihat hidup tidak ada artinya lagi.21 Manusia
sebagai mahluk rohaniah, sangat rentang kehilangan arti, makna, tujuan atau
peran dalam hidupnya. Kehilangan makna hidup akan mengganggu jiwa dan dapat
menimbulkan keputusasaan, merasa diri tak berharga, bunuh diri, nekad, dan
tindakan fatal lainnya. Kasus-kasus demikian tepat sekali kalau diberi
bimbingan, penyuluhan, pembinaan, dan terapi dengan menggunakan pendekatan dari
segi agama. Pandangan filosofis agama diharapkan mampu menyembuhkan gangguan
mental dengan pemberian makna, arti, tujuan, dan peranan kepada hidup dan
kehidupan seseorang. Pendekatan agama dengan melalui usaha langsung untuk
mempengaruhi pandangan hidup dan cara memandang kehidupan dengan nasihat,
ajakan, bimbingan, logika, argumentasi, keimanan, dan pertobatan seringkali
mampu mendorong usaha membawa pada kedamaian dan ketenangan jiwa, membuka tutup
penyaluruan tekanan batin, mendobrak serta 21 Bastaman, H.D. 2007. Logoterapi:
Psikologi untuk Menemukan Makna Hidup dan Meraih Hidup Bermakna. Jakarta: PT
Raja Grafindo Persada. Hal 81-84 11 menghilangkan mekanisme pertahanan diri,
hambatan dan gangguan mental.22 Pemberian makna pada hidup yang tertinggi
adalah pengabdian dalam hubungan dengan pencipta-Nya Yang Maha Kuasa. Manusia
harus mempunyai kesadaran yang adekuat mengenai hubungannya dengan Tuhan untuk
dapat menyelesaikan dengan baik kesukaran, ketakutan, konflik, dan frustasi
dalam kehidupan sehari-hari. Kesadaran dan keyakinan akan adanya Tuhan Yang
Maha Esa akan merangsang rasa rendah hati, makin mengenali dirinya sendiri dan
dapat memberikan rasa aman yang mendalam. Keimanan dan keyakinan bahwa Tuhan
betul-betul memperhatikan mahluk-Nya, melimpahkan rahmat dan karunia-Nya, bagi
yang memohon. Semua itu merupakan jaminan paling aman untuk kemantapan mental
dan ketenangan jiwa. Keimanan dapat mencegah ketakutan, kecemasan,
kekhawatiran, rendah diri, dan lain-lainnya yang dapat membahayakan kesehatan
mental dan integritas kepribadian.23 Makna hidup selalu berhubungan dengan
sikap optimisme seseorang dalam menjalani kehidupannya, baik dalam keadaan
senang maupun dalam keadaan menderita. Menurut Bastaman, makna hidup merupakan
hal-hal yang dianggap sangat penting dan sangat berharga serta memberikan nilai
khusus bagi seseorang, sehingga layak dijadikan tujuan dalam kehidupan (the
purpose in life). Pengertian di atas sejalan dengan 22 Ahyadi, Abdul Aziz.
2001. Psikologi Agama, Kepribadian Muslim Pancasila. Bandung: Sinar Baru
Algensindo. Hal 175 23 Ibid. Hal 221 12 pendapat Frankl bahwa, makna hidup
adalah suatu keadaan penghayatan hidup yang penuh makna dan membuat individu
merasakan hidupnya lebih bahagia, lebih berharga, dan memiliki tujuan untuk
dipenuhinya.24 Singkatnya, makna hidup diartikan sebagai cara pandang seseorang
terhadap diri, kehidupan, dan hubungan antara dirinya dengan orang lain. Ketidakberhasilan
menemukan dan memenuhi makna hidup biasanya menimbulkan penghayatan hidup tanpa
makna (meaningless), hampa, gersang, merasa tidak memiliki tujuan hidup, merasa
hidupnya tidak berarti, bosan, dan apatis.25 Berpijak dari pandangan di atas maka
keberadaan makna hidup pada diri seseorang sangat penting adanya terlebih jika
orang tersebut berada dalam situasi dan kondisi yang menekan serta diselimuti
penderitaan batin seperti kehidupan narapidana di lembaga permasyarakatan.
Ketika seseorang harus memasuki kehidupan barunya di penjara, terpaksa ataupun
tidak, ia harus mengalami banyak kehilangan sehingga kemampuan seseorang
menggali makna dalam hidupnya sangat penting adanya. Adapun penelitian ini akan
mengarah pada usaha menemukan fakta mengenai seberapa besar pengaruh dari
dimensi religiusitas yang dimiliki oleh para narapidana terhadap kebermaknaan
hidup mereka. Sehubungan dengan hal tersebut maka penulis mengangkat judul
penelitian tentang 24 Bastaman, H.D. 2007. Logoterapi: Psikologi Untuk Menemukan
Makna Hidup dan Meraih Hidup Bermakna. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. Hal
79 25 Ibid. Hal 80 13 “PENGARUH RELIGIUSITAS TERHADAP KEBERMAKNAAN HIDUP
NARAPIDANA DI LEMBAGA PERMASYARAKATAN WANITA KELAS II A MALANG”. B. Rumusan
Masalah Penelitian mengenai kebermaknaan hidup narapidana di Lembaga
Permasyarakatan Wanita Kelas II A Malang dilakukan dengan rumusan masalah
sebagai berikut: 1. Bagaimana tingkat religiusitas narapidana di Lembaga
Permasyarakatan Wanita Kelas II A Malang? 2. Bagaimana tingkat kebermaknaan
hidup narapidana di Lembaga Permasyarakatan Wanita Kelas II A Malang? 3.
Bagaimana pengaruh religiusitas terhadap makna hidup narapidana di Lembaga
Permasyarakatan Wanita Kelas II A Malang? C. Tujuan Penelitian Berdasarkan
rumusan masalah penelitian di atas maka tujuan daripada penelitian ini
difokuskan untuk: 1. Mengetahui tingkat religiusitas narapidana di Lembaga
Permasyarakatan Wanita Kelas II A Malang. 2. Mengetahui tingkat kebermaknaan
hidup narapidana di Lembaga Permasyarakatan Wanita Kelas II A Malang. 3.
Mengetahui pengaruh religiusitas terhadap makna hidup narapidana di Lembaga
Permasyarakatan Wanita Kelas II A Malang. 14 D. Manfaat Penelitian Dari paparan
tujuan penelitian di atas maka penelitian ini diharapkan mampu memberikan manfaat
bagi beberapa pihak, antara lain: 1. Manfaat teoritis a. Bagi diri pribadi
peneliti dapat menambah khasanah pengetahuan peneliti dalam lingkup kehidupan
dunia permasyarakatan khususnya mengenai religiusitas dan kebermaknaan hidup
narapidana di Lembaga Permasyarakatan Wanita Kelas II A Malang. b. Diharapkan
dapat memberikan masukan dan manfaat bagi perkembangan ilmu psikologi,
khususnya psikologi klinis, psikologi sosial dan psikologi agama mengenai
kehidupan penjara. 2. Manfaat praktis a. Hasil penelitian ini dapat menjadi
masukan kepada para psikolog, psikiater, pegawai lapas, dan pihak-pihak yang
terkait dengan masalah mengenai religiusitas dan makna hidup narapidana. b.
Dapat memberikan informasi sehingga memudahkan pihak yang berkeinginan untuk
melakukan penelitian serupa atau pihak yang ingin melakukan penelitian
lanjutan.
Untuk Mendownload Skripsi "Skripsi Psikologi" : Pengaruh religiusitas tehadap kebermaknaan hidup narapidana di lembaga permasyarakatan wanita kelas II A Malang." Untuk Mendownload skripsi ini silakan klik link dibawah ini
DOWNLOAD
No comments:
Post a Comment