Abstract
INDONESIA:
Memaafkan sering diberikan oleh korban karena dituntut memenuhi peran sosial dalam masyarakat. Selain itu, korban bersedia memaafkan karena merasa mempunyai moral yang tinggi dan ingin mendapat penghargaan dari orang yang menyakiti. Terdapat beberapa factor yang mempengaruhi memaafkan, salah satunya adalah harga diri. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah terdapat hubungan antara harga diri dengan memaafkan pada remaja putri.
Populasi dalam penelitian ini adalah siswi SMA Islam Al Maarif Singosari Malang. Pengambilan sampel dilakukan dengan menggunakan teknik random sampling dengan jumlah sampel yaitu 61 siswi.
Rancangan penelitian menggunakan penelitian kuantitatif korelasi dan pengambilan data menggunakan metode skala dan wawancara. Pada pengolahan data untuk menguji validitas menggunakan Product Moment Correlation dari Pearson, dan realibilitas memakai Alpha Cronbach. Pengolahan data tersebut diolah dengan program SPSS 16.0 for Windows.
Berdasarkan hasil analisis deskriptif diperoleh hasil bahwa skor mean untuk variabel harga diri adalah 69, sedangkan skor mean untuk variable memaafkan adalah 47.8. Pada variabel harga diri, dari 61 sampel sebanyak 9 siswi (14,8%) memiliki tingkat memaafkan pada kategori tinggi, sebanyak 41 siswi (67,2%) berada pada kategori sedang, sedangkan sebanyak 11 siswi (18%) masuk pada kategori rendah. Pada variabel memaafkan dari 61 sampel sebanyak 10 siswi (16,39%) memiliki tingkat memaafkan yang masuk pada kategori tinggi, sebanyak 43 siswi (70,5%) berada pada kategori sedang, sedangkan sebanyak 8 siswi (13,11%) berada pada kategori rendah. Secara keseluruhan, mayoritas dari 61 sampel siswi SMA Islam Al Maarif Singosari Malang memiliki tingkat harga diri dan tingkat memaafkan pada kategori sedang. Berdasarkan analisis korelasional diperoleh r hitung = 0,401 sig 0,001 < 0,05, maka terdapat hubungan yang positif antara harga diri dengan memaafkan pada remaja putri di SMA Islam Al Maarif Singosari Malang.
ENGLISH:
Forgiveness is often given by the victim as required to meet the social role in society. In addition, the victim is willing to forgive because they feel that they have high moral ground and to get respect from people who hurt them. There are several factors that influence forgiveness, one of them is a personality characteristic that include self-esteem. This study aims to determine whether there is a correlation between self-esteem and forgiveness of female students at SMA Islam Al Maarif Singosari Malang.
The population in this study was high school student at SMA Islam Al Maarif Singosari Malang. The random sampling technique was applied and the number of the sample was 61 students.
The design of study was quantitative research in the form of correlation. The methods of data collection were scale and interviews. The data validity was analyzed using Pearson Product Moment Correlation, and the data reliability was analyzed using Cronbach Alpha. The the data was processed using SPSS 16.0 for Windows.
Based on the results of descriptive analysis, it was found out that the mean score for the self-esteem variable was 69, while the mean score was 47.8 for the forgiveness variable. On the self-esteem variable, as many as 61 samples from 9 girls (14.8%) was in high level of category in forgiveness and a total of 41 students (67.2%) in middle category while as many as 11 students (18%) in the low category. On Forgiveness variables from 61 samples, 10 students (16.39%) was in high level category of forgiveness, 43 students (70.5%) in the middle category, and eight students (13.11%) are in low category. Overall, the majority of the 61 samples of SMA Islam Al Maarif Singosari Malang were in middle category in forgiveness. Based on correlation analysis obtained by calculating r = 0.401 sig 0.001 <0.05, it was concluded that there is a positive correlation between self-esteem and forgiveness of Female Students at SMA Islam Al Maarif Singosari Malang.
BAB I
PENDAHULUAN
1.1.
Latar
Belakang Masalah
Masa remaja merupakan periode yang penting
dalam rentang kehidupan, periode ini membedakan dengan periode sebelum dan
sesudahnya, periode ini antara 12-23 tahun (Hurlock, 1993). Pada masa ini
individu mulai mengembangkan hubungan dengan teman sebaya, sebagian besar
waktunya dihabiskan untuk berhubungan atau bergaul dengan teman-teman sebaya
mereka. Hubungan teman sebaya mempunyai arti yang sangat penting bagi kehidupan
remaja. Hartup (1982) mencatat bahwa pengaruh teman sebaya memberikan
fungsi-fungsi social dan psikologis yang penting bagi remaja. Bahkan dalam
studi lain ditemukan bahwa hubungan teman sebaya yang harmonis selama masa
remaja, dihubungkan dengan kesehatan mental yang positif pada usia setengah
baya (Hightower, 1990). Remaja dalam hubungan dengan teman sebaya sangat
penting, mereka mempromosikan kerjasama, konflik manajemen, dan harga diri
(Hartup, 1996). Kelly dan Hansen (1987) menyebutkan beberapa fungsi positif
dari teman sebaya, yakni mengontrol impuls-impuls agresif. Melalui interaksi
dengan teman sebaya, remaja belajar bagaimana memecahkan
pertentangan-pertentangan dengan caracara yang lain selain dengan tindakan
agresi langsung. Fungsi lainnya yakni dengan meningkatkan
keterampilan-keterampilan social, mengembangkan kemampuan penalaran, dan
belajar untuk mengekspresikan perasaan-perasaan 2 dengan cara-cara yang lebih
matang. Melalui percakapan dan perdebatan dengan teman sebaya, remaja belajar
mengekspresikan ide-ide dan perasaan-perasaan serta mengembangkan kemampuan
dalam memecahkan masalah. Tak menutup kemungkinan dalam proses kehidupan remaja
hidup dengan teman sebaya, karena adanya fungsi tersebut membuat remaja
akhirnya mengambil tindakan positif dalam menyelesaikan pertentangan dan
ketegangan yang tengah dia alami, misalnya dengan menempuh sikap saling
memaafkan. Selain itu, teman sebaya juga memiliki fungsi meningkatkan harga
diri (self esteem). Menjadi orang yang disukai oleh sejumlah besar teman-teman
sebayanya membuat remaja merasa enak atau senang tentang dirinya (Desmita,
2009: 220-221). Antara laki-laki dan perempuan, meskipun berada pada masa yang
sama masih memiliki perbedaan. Umumnya perempuan dianggap sebagai sosok yang
emosional, penuh perasaan, sedangkan seorang laki-laki itu tidak terpengaruh
oleh emosional perasaan mereka dan cenderung lebih logis. Stereotype ini
sangatlah kuat dan meresap kesannya pada budaya kita (Shields dalam Santrock,
2003). Sumber rusaknya emosi menurut Seamand (1972) ada dua, yaitu: a)
kegagalan memaafkan orang lain (fail to forgive) dan b) kegagalan menerima
permintaan maaf dari orang lain (fail to receive forgiveness). Kegagalan pada
dua hal itu menyebabkan kebencian dan kedendaman terus berlanjut sehingga
merusak sistem emosi. Terdapat beberapa contoh kasus yang melibatkan remaja
putri salah satunya adalah masalah asmara yang melibatkan lawan jenisnya.
Penelitian pada 120 remaja putri di Kabupaten Purworejo, Jawa Timur menemukan
bahwa 31% 3 pernah dipukul oleh pasangannya, 18% pernah mendapatkan hinaan atau
kata-kata kasar dari pasangannya, dan 26% dipaksa membelikan pulsa untuk
pasangannya. Sedangkan Rifka Annisa, sebuah Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM)
menemukan sebanyak 385 kasus KDP dari total 1683 kasus kekerasan yang ditangani
selama 1994-2011. Selain itu, selama bulan Januari hingga Juni 2011 PKBI
Yogyakarta juga menemukan 27 kasus kekerasan dalam pacaran yang 15% di
antaranya kekerasan fisik, 57% kekerasan emosional, 8% kekerasan ekonomi, dan
20% kekerasan ekonomi. (Mitra INTI Foundation, 2012) Selain itu kasus lain
terjadi di Kediri yakni kasus pengeroyokan yang dilakukan oleh sejumlah
perempuan yang diduga masih berstatus pelajar terhadap seorang mahasiswi.
Mereka menamakan diri sebagai "Geng Pujasera Kabupaten Kediri". Geng
itu beranggotakan para perempuan yang masih berusia remaja. (Antara News, 2012)
Worthington, Sandage & Berry (dalam McCullought, Pargament & Thoresen,
2000) melakukan sebuah penelitian mengenai pemaafan dan salah satu hasil
diskusi penelitiannya mengemukakan bahwa salah satu target kategori populasi
yang berpotensi untuk mengurangi trauma dengan menggunakan intervensi pemaafan
adalah victim of aggressive trauma (seperti, kekerasan seksual, kekerasan
fisik, kekerasan dalam rumah tangga dan korban perkosaan). Jadi berdasarkan
hasil penelitian tersebut bahwa untuk memulihkan korban kekerasan maka salah
satu pendekatan yang bisa digunakan adalah menggunakan pendekatan pemaafan. 4
McCullough dkk. (1997) mengemukakan bahwa memaafkan merupakan seperangkat
motivasi untuk mengubah seseorang untuk tidak membalas dendam dan meredakan
dorongan untuk memelihara kebencian terhadap pihak yang menyakiti serta
meningkatkan dorongan untuk konsiliasi hubungan dengan pihak yang menyakiti.
Enright (dalam McCullough dkk., 2003) mendefinisikan memaafkan sebagai sikap
untuk mengatasi hal- hal yang negatif dan penghakiman terhadap orang yang
bersalah dengan tidak menyangkal rasa sakit itu sendiri tetapi dengan rasa
kasihan, iba dan cinta kepada pihak yang menyakiti. Zechmeister dan Romero
(2002), menyatakan bahwa memaafkan sering diberikan oleh korban karena dituntut
memenuhi peran sosial dalam masyarakat. Selain itu, korban bersedia memaafkan
karena merasa mempunyai moral yang tinggi dan ingin mendapat penghargaan dari
orang yang menyakiti. Pemaafan juga secara sosial dijadikan instrumen untuk
menghalangi keinginan seseorang membalas dendam. Agama-agama dan nilai-nilai
yang berkembang dalam kehidupan masyarakat manusia umumnya meletakkan pemaafan
atau pemberian maaf (forgiveness) ini sebagai salah satu pilar ajarannya.
Pemaafan atau pemberian maaf sendiri berarti menghapus luka atau bekas-bekas
luka dalam hati (Shihab, 2001). Dalam agama Islam misalnya, Allah ‘azza wa
jalla memerintahkan manusia untuk memberikan maaf kepada orang lain: 4 öN è drâx÷n$$sù öN à 6 © 9 #x r ß tã öN à 2Ï»s9÷rr&ur öN ä3Å_ºurør& ô`ÏB cÎ) (#þq ã ZtB#uä úïÏ% © !$# $pk r'¯»t ÇÊÍÈ í OÏm § Ö q à ÿxî © !$# cÎ*sù (#r ã Ïÿøós?ur (#q ß sxÿóÁs?ur (#q à ÿ÷ès? bÎ)ur 5
Artinya: “apabila kamu memaafkan, dan melapangkan dada serta melindungi,
sesungguhnya Allah maha pengampun lagi maha penyayang” (QS AtTaghabun, 64: 14).
Nabi Muhammad Shallahu ‘Alaihi Wasalam adalah pribadi yang mudah memberi maaf
dalam sejarah kemanusiaan. Muhammad dikenal mudah memaafkan seseorang yang
menyakitinya (Kartanegara, 2006). “Forgiveness research” atau penelitian
tentang perilaku memaafkan merupakan bidang yang kini banyak diteliti ilmuwan
di sejumlah bidang keilmuan seperti kedokteran, psikologi dan kesehatan. Hal
ini karena sikap memaafkan ternyata memiliki pengaruh terhadap kesehatan jiwa
raga, maupun hubungan antar-manusia. Jurnal ilmiah Explore edisi
Januari/Februari 2008, Vol. 4, No. 1 memaparkan bahwa perilaku memaafkan
mendatangkan manfaat kesehatan bagi orang yang memaafkan. Lebih jauh dari itu,
penelitian terbaru mengisyaratkan pula bahwa pengaruh memaafkan ternyata juga
berimbas baik pada kehidupan orang yang dimaafkan. Worthington Jr., pakar
psikologi di Virginia Commonwealth University, AS, dkk merangkum kaitan antara
memaafkan dan kesehatan., di jurnal Explore, Mei 2005, Vol.1, No. 3,
Worthington dkk memaparkan dampak sikap memaafkan terhadap kesehatan jiwa raga,
dan penggunaan “obat memaafkan” dalam penanganan pasien. (dalam Latuadi, 2009)
McCullough (1997) dalam studi pertanyaannya mendapatkan bukti menerima suatu
apologi akan memudahkan individu untuk memberi maaf dengan cara menigkatkan
empati untuk pelaku. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa empati dapat
mempengaruhi pemberian maaf dengan cara menfasilitasi empati 6 pada pelaku.
Studi yang lain memperkuat keterkaitan maaf dengan empati. Orang yang memafkan
penganiaya cenderung memiliki tingkat tinggi empati terhadap mereka
(McCollough, dkk, 2002), dan semakin tinggi seseorang dapat memaafkan maka
semakin tinggi pula tingkat empatinya. Penelitian lainnya adalah penelitian
tentang hubungan antara harga diri dengan perilaku merokok siswa laki-laki oleh
Fitri Indhana (2010) yang menghasilkan harga diri siswa tersebut masuk dalam
kategori sedang dengan prosentase 71% dan perilaku merokoknya berada pada
kategori rendah dengan prosentase 85%. Selai itu, ada hubungan yang signifikan
negative antara harga diri dengan perilaku merokok yaitu semakin tinggi harga
diri maka perilaku merokok semakin rendah. Adapun perbedaan penelitian yang
dilakukan oleh McCullough dkk dan Fitri dengan penelitian yang akan dilakukan
peneliti adalah terletak pada variablenya yakni variable bebasnya adalah harga
diri dan variable terikatnya adalah memaafkan. Enright (2001) mengatakan bahwa
pemaafan (forgiveness) merupakan pilihan (choice) apakah seseorang memilih
memafkan atau tidak memaafkan, jadi tidak semua orang mau memaafkan dan mampu
melakukan pemaafan setelah melalui peristiwa yang menyakitkan. Ada beberapa
alasan yang mendasari mengapa seseorang tidak mau atau enggan untuk memaafkan.
Menurut Baumeister, Exline & sommer (dalam Worthington, 1998), faktor yang
mempengaruhi untuk memilih memaafkan adalah banyaknya pengorbanan yang harus
dilakukan, kecenderungan munculnya kembali peristiwa yang menyakitkan,
penderitaan diri yang masih dirasakan, harga diri dan dendam. Faktor lain yang
juga mempengaruhi adalah respon pelanggar, karakteristik serangan, kualitas 7
hubungan interpersonal, faktor kepribadian, nilai-nilai agama, proses emosional
dan kognitif, lamanya waktu setelah peristiwa yang menyakitkan tersebut
terjadi. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa harga diri memainkan peran
sebagai factor dalam mempengaruhi seseorang dalam memaafkan. Harga diri menurut
Coopersmith (1974) (dalam Ragil Nur, 2011) merupakan evaluasi yang dibuat
individu dan kebisaaan memandang dirinya, terutama sikap menerima, menolak dan
indikasi besarnya kepercayaan individu terhadap kemampuan, keberartian,
kesuksesan dan keberhargaan. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa harga diri
mengandung arti suatu hasil penilaian individu terhadap dirinya dan diungkapkan
dalam sikap-sikap yang bernilai positif maupun negative (Tambunan, 2001).
Menurut Maslow (Hasyim Muhammad, 2002) menjadikan harga diri sebagai salah satu
dari hierarki kebutuhan manusia. Kebutuhan ini berasal dari dua hal, pertama:
keinginan akan kekuatan, prestasi, kecukupan, keunggulan, kemampuan dan
kepercayaan diri (yang kesemuanya itu berasal dari diri sendiri); kedua: nama
baik, gengsi, prestise, status, ketenaran dan kemuliaan, dominasi, pengakuan,
perhatian, arti penting, martabat atau apresiasi (yang kesemuanya itu berasal
dari orang lain). Peneliti melakukan proses wawancara dengan menggunakan metode
tanya-jawab (perbincangan santai) pada 11 November 2011 yang dilakukan dengan 3
orang (remaja putri, di jam dan tempat yang berbeda), peneliti dapat menemukan
ketika seseorang memiliki perasaan bersalah karena suatu hal pada orang lain,
ada keinginan untuk meminta maaf tanpa ada penekanan dari pihak 8 lain atau
karena keterpaksaan. Begitu pula dengan orang yang menjadi korban, kadang
terbersit dalam hatinya untuk memaafkan orang yang telah melukainya (baik fisik
maupun hatinya) meskipun orang tersebut belum meminta maaf. Selain itu, orang-orang
yang telah memaafkan ini mengaku bahwa mereka merasa tenang, plong, dan
kebencian seketika menghilang dari hatinya. Berikut pernyataan salah seorang
narasumber pada 13 November 2011: “Akhirnya aku bisa memaafkan dia, diriku
sendiri dan keadaan yang telah terjadi. Rasanya begitu tenang, nyaman dan
merasa bahwa aku adalah orang yang beruntung, bahkan aku selalu tersenyum
ketika bertemu dengannya dan bukan karena terpaksa. Kehidupanku yang indah
terlalu sayang untuk dipakai nangis……” “Karena aku takut aku ntar kepikiran
untuk membalas dia, jadi mending enggak deh…” Kutipan wawancara di atas
merupakan contoh situasi di mana seseorang merasakan sakit dalam hatinya, namun
dia menyadari dia harus bangkit. Hal itu memunculkan kesadaran yang akhirnya
dapat menuntunnya untuk bisa memaafkan perbuatan temannya, dirinya dan keadaan
itu. Bukannya perasaan sedih yang selalu menyertainya setelah itu, namun justru
perasaan tenang, nyaman dan beruntung, bahkan dia menjadi lebih senang
tersenyum, meskipun memang dari awal dirinya adalah orang yang ceria. Dia
cenderung optimis dalam memandang kehidupan. Selain itu, dia juga memiliki
kepedulian terhadap orang lain, sekalipun itu orang yang telah melukainya. Di
SMA Islam Al Maarif Singosari, pada tahun 2010 tercatat sekitar 25% remaja
putri yang memiliki kelompok-kelompok (geng), tahun 2011 sekitar 67% siswi
putri terlibat permasalahan dengan rekannya atau pihak pengajar dan tahun 2012
sekitar 49% siswi putri terlibat dalam kelompok-kelompok yang merugikan 9 teman
sekolahnya. Beberapa kasus yang pernah terjadi diantaranya adalah konflik
dengan kelompok lain karena masalah kesalahpahaman dan masalah asmara antar
individu yang akhirnya melibatkan kelompoknya. Selain itu ada juga permasalahan
peminjaman barang, melanggar peraturan sekolah, permasalahan dengan orang tua
(kurangnya perhatian atau korban perceraian orang tua), ketidaknyamanan atau
sulitnya bergaul dengan teman sekelas, dan masalah dengan pengajar. (sumber
guru BP) Berdasarkan hasil observasi (tanggal 15 Desember 2011) terhadap 3
orang siswinya, 2 orang diantaranya mengaku bisa atau dengan mudah memaafkan
orang yang telah menyakiti perasaan mereka dan merasa nyaman juga bisa bersikap
baik kepada orang yang telah menyakiti hatinya setelah melakukan proses
memaafkan. Namun satu orang yang lain, mengaku sulit memaafkan perbuatan orang
yang telah melukainya, dia mengakui bahwa dirinya adalah orang yang sulit
menerima kenyataan dan sulit menghilangkan perasaan sakitnya itu. Ketiga subjek
memiliki permasalahan yang sama yakni perseteruan dengan teman dalam
kesehariannya dan masalah percintaan. Selama menempuh pendidikan di SMA Islam
Al Maarif Singosari tentunya setiap individu berinteraksi dengan individu lain.
Selama berinteraksi dengan individu lain tak menutup kemungkinan terjadi
konflik baik yang tercipta karena kesengajaan ataupun ketidaksengajaan dan
kesalahpahaman yang memunculkan perasaan sakit hati. Hal itu dapat menimbulkan
ketidakharmonisan antar individu maupun kelompok, dari sini dapat dilihat
apakah individu tersebut mampu untuk saling memaafkan ataukah tidak dan berada
pada tingkat manakah 10 harga diri individu, mengingat harga diri menjadi salah
satu faktor yang mempengaruhi pemaafan. Memperhatikan kondisi tersebut,
peneliti berkeinginan untuk mengkaji lebih lanjut tentang hubungan antara harga
diri yang dikemukakan oleh Coopersmith dengan memaafkan yang dihasilkan oleh
penelitian McCullough dkk pada remaja putrid di SMA Islam Al Maarif Singosari
Malang. 1.2. Rumusan Masalah 1. Bagaimana tingkat memaafkan remaja putri di SMA
Islam Al Maarif Singosari Malang? 2. Bagaimana tingkat harga diri remaja putri
di SMA Islam Al Maarif Singosari Malang? 3. Adakah hubungan antara harga diri
(self esteem) dengan memaafkan (forgiveness) pada remaja putri di SMA Islam Al
Maarif Singosari Malang? 1.3. Tujuan Penelitian Adapun tujuan dari penelitian
ini adalah peneliti ingin mengetahui: 1. Tingkat memaafkan remaja putri di SMA
Islam Al Maarif Singosari Malang 2. Tingkat harga diri remaja putri di SMA
Islam Al Maarif Singosari Malang 3. Ada atau tidaknya hubungan antara harga
diri (self esteem) dengan memaafkan (forgiveness) pada remaja putri di SMA
Islam Al Maarif Singosari Malang 11 1.4. Manfaat Penelitian. a. Secara Teoritis
1. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan bagi pengembangan ilmu
Psikologi khususnya Psikologi Sosial. 2. Memotivasi akademisi muslim dalam
menemukan hazanah Islam dalam penelitian-penelitian lain, terutama pada
kepribadian yang dimunculkan dari sikap teladan Rasulullah Muhammad SAW. b.
Secara Praktis Memberikan wacana yang menguatkan mengenai konsep memaafkan
dalam hubungannya dengan harga diri remaja yang kemudian dikembangkan dalam
bentuk perilaku sehari-hari atau secara khusus dalam bentuk terapi memaafkan
Untuk Mendownload Skripsi "Skripsi Psikologi" :Hubungan antara harga diri (self esteem) dengan memaafkan (forgiveness) pada remaja putri di SMA Islam Al Maarif Singosari Malang" Untuk Mendownload skripsi ini silakan klik link dibawah ini
DOWNLOAD
No comments:
Post a Comment