Abstract
INDONESIA :
Berbelanja saat ini sudah menjadi suatu kebiasaan di kalangan para mahasiswi, kebiasaan berbelanja tersebut menimbulkan perilaku adiktif dalam berbelanja (shooping addiction) yang menyebabkan konsekuensi-konsekuensi negatif seperti hutang yang berlebihan, masalah keuangan yang serius, dan pada tahap yang ekstrim dapat merusak kehidupan individu. Perilaku tersebut dipengaruhi oleh konsep diri dari masing-masing individu. Penelitian ini mencoba untuk mengetahui seberapa besar pengaruh konsep diri terhadap perilaku shopping addiction dengan rumusan masalah sebagai berikut: (1) Bagaimana tingkat konsep diri pada Mahasiswi Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang? , (2) Bagaimana tingkat perilaku shopping addiction pada Mahasiswi Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang?, (3) Bagaimana pengaruh antara konsep diri terhadap perilaku shopping addiction pada Mahasiswi Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang?
Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kuantitatif dengan variabel dependen konsep diri dan variabel independen shopping addiction. Pengambilan sampel menggunakan teknik purposive random sampling dengan jumlah sampel sebanyak 150 orang. Analisa data menggunakan analisis regresi sederhana.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa ada pengaruh yang signifikan antara konsep diri dan shoppng addiction. Individu dengan konsep diri yang tinggi memiliki perilaku shopping addiction yang rendah, begitu juga sebaliknya individu dengan konsep diri yang rendah memiliki perilaku shopping addiction yang tinggi. Analisi regresi yang menggunakan SPSS 15.0 for windows menunjukkan bahwa thit lebih besar dari pada t(1,161 > 0,67615) hal ini membuktikan bahwa ada pengaruh yang signifikan antara X (konsep diri) terhadap Y (shopping addiction).
ENGLISH :
Today, shopping has become a habit among some female students. Those shopping habits lead to an addictive behavior which led to negative consequences such as excessive debt, serious financial problem, and finally can lead to a messy life. Those behavior influenced by the self-concept of each individuals. This research aims to discover the level of influence of self-concept on shopping addiction behavior. The object of study in this research is: (1) How is the degree of self-concept of female students in Maulana Malik Ibrahim Islamic State University of Malang? (2) How is the degree of shopping addiction of female students in Maulana Malik Ibrahim Islamic State University of Malang? (3) How is the level of influence of self-concept on shopping addiction of female students in Maulana Malik Ibrahim Islamic State University of Malang?
Research methodology applied in this research is quantitative method with self-concept as dependent variable and shopping addiction as independent variable. Sample collection in this research using the purposive random sampling technique involving 150 female students. Data analysis in this research implements simple regression analysis.
This research show that there is a significant influence between female students self-concept and shopping addiction. Female students with high degree of self-concept having low degree of shopping addiction behavior, and vice versa, female students with low degree of self-concept having high degree of shopping addiction behavior. Regression analysis using SPSS 15.0 for Windows show that thit greater than t(1.161 > 0.67615). These facts prove that X (self-concept) has significant influence on Y (shopping addiction).
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Banyak orang di sekitar kita yang memiliki
kegemaran untuk berbelanja kegemaran ini bahkan sudah menjadi suatu kebutuhan,
apalagi didukung dengan semakin banyaknya tempat–tempat perbelanjaan seperti
departemen store yang biasa kita sebut mall. Bagi orang-orang yang tinggal di
kota-kota besar mereka benar-benar dimanjakan oleh hadirnya berbagai macam
pusat perbelanjaan tersebut, terlebih lagi bagi mereka yang tidak bisa
mengendalikan keinginan mereka untuk membeli sesuatu yang mereka sukai. Bahkan
ada beberapa orang yang rela berhutang kesana kemari untuk membeli barang yang
mereka sukai, dengan tersedianya berbagai macam kebutuhan di mall tersebut maka
masyarakat semakin terdorong untuk melakukan pembelian bahkan secara berlebihan
seringkali perilaku ini sudah bukan lagi hanya untuk memenuhi kebutuhan utama
semata tetapi untuk memenuhi kebutuhan yang sifatnya untuk menaikkan prestige
(martabat), menjaga gengsi, mengikuti mode dan berbagai alasan yang kurang
penting agar tidak ketinggalan jaman. Suatu budaya yang terus berkembang saat ini
adalah perilaku adiktif (kecanduan) berupa budaya berbelanja. Menurut Roberts
dan Sepulveda (dalam Hyojkin dkk, 2003) budaya berbelanja telah berkembang
menjadi salah satu dorongan terkuat yang dapat membentuk individu dan 2
masyarakat. Perilaku adiktif berbelanja ini disebut dengan shopping addiction
atau compulsive buying. sebutan bagi seseorang yang mengalami shopping
addiction adalah shopaholic. Definisi dari compulsive buying adalah perilaku
berbelanja yang kronis, berulang yang telah menjadi respon utama dalam suatu
situasi atau perasaan negative (O’Guinn & Faber, 1992 dalam Edwards, 1993).
Menurut Karen O’Connor (2003) dengan berbelanja seorang shopaholic tidak
mengantisipasi reward seperti layaknya seorang penjudi, tetapi sebuah pikiran
atau ide ketika berbelanja yaitu seperti telah memiliki suatu objek dan
timbulnya kesenangan serta optimisme. Kesenangan tersebut terasa sangat
menyenangkan dalam diri seseorang sehingga menjadi kekuatan utama ketika
berbelanja. Ketika menghadapi perasaan–perasaan negatif dan kesulitan dalam
hidup, berbelanja dirasakan sebagai cara yang paling ampuh untuk
menghilangkannya. Shopaholic mengalami kepuasan dan dengan berbelanja seperti
telah memberikan makna hidup dan membuatnya lupa akan kesedihan – kesedihannya.
Shopping addiction sama dengan tingkah laku adiksi lainnya seperti alkohol atau
obat–obatan, membuat suatu perubahan biochemical dalam individu yang memberikan
suatu kesenangan dalam dirinya, sesuatu yang diinginkan, menimbulkan
kebahagiaan dan menghilangkan rasa sakit atau putus asa. Ketika kegiatan
berbelanja telah berakhir ia akan merasakan suatu penyesalan atau depresi yang
dialaminya maka orang tersebut akan pergi berbelanja lagi sehingga pola
perilaku berbelanja akan berulang terus. Hal 3 ini berkaitan dengan teori
Arenson (2003) yang menyatakan bahwa brain chemistry merupakan suatu kunci yang
mendorong perilaku shopping addiction. Suatu aktivitas elektrik dalam bagian
tertentu otak merupakan dasar dari perasaan senang dan sedih. Shopaholic
mengulang tingkah laku tertentu yang menyebabkan aktivitas dalam sel saraf otak
dan menimbulkan emosi sensitif. Setiap tingkah laku yang berbeda- beda
menimbulkan sensasi yang berbeda pula. Kondisi sosial, lingkungan, sifat
kepribadian, pola komunikasi keluarga, juga memiliki kaitan yang erat dengan
shopping addiction.(O’Guinn dan Faber, 1987 dalam Edwards, 1993). Keadaan
shopping addiction ini apabila tidak ditangani secepatnya akan menimbulkan
konsekuensi-konsekuensi negatif seperti hutang yang berlebihan, masalah keuangan
yang serius, dan pada tahap ekstrim berbelanja menjadi adiktif dan merusak
kehidupan individu. (Edwards, 1993). Selain itu juga shopping addiction
memiliki konsekuensi buruk pada hubungan pertemanan, hubungan keluarga, dan
hubungan pacaran. Perasaan–perasaan negatif seperti depresi, dan kecemasan yang
timbul merupakan suatu bagian dari affect defense yang didasari teori
psikoanalisa. Dalam perspektif teori psikoanalisa perilaku manusia adalah hasil
dari interaksi tiga sistem utama dalam kepribadian yaitu id, ego, dan super
ego. Kecemasan memiliki peran yang besar dalam teori psikoanalisa. Tujuan dari
kecemasan pada individu adalah untuk mengingatkan adanya bahaya seperti rasa
sakit. Tetapi seringkali ego dalam diri seseorang tidak 4 dapat dikontrol lagi
karena telah didominasi oleh rasa cemas. Dalam situasi seperti itu berfikir
secara rasional telah gagal dan ego menjadi suatu mekanisme protektif yang
irasional, disebut dengan defense mechanism (Thombs, dalam Hamanda 2008) Buku
introduction of addiction (Thombs, dalam Hamanda 2008) menyebutkan bahwa
menurut pemikiran psikoanalisa, orang yang tercandu menggunakan benda–benda
seperti drugs, alkohol, atau dalam hal ini berbelanja sebagai suatu defense
mechanism (Khantzian, 1980: Wurmser, 1980 dalam Hamanda 2008). Contohnya pada
pecandu obat–obatan atau alkohol, mereka menggunakan obat–obatan dan alkohol
untuk melindungi diri mereka dari kecemasan, depresi, kebosanan, rasa bersalah,
rasa malu dan emosi negatif lainnya. Para psikoanalisa menyatakan bahwa mereka
melihat afeksi negatif yang dirasa pecandu bukan sebagai akibat dari penggunaan
obat–obatan tetapi sebagai penyebab mereka tercandu. Pola kehidupan shopaholic
ini banyak sekali dipengaruhi oleh tuntutan dari gaya hidup baru yang lebih
mementingkan penampilan fisik sebagai poin utama dalam penilain. Apabila
seorang tidak puas dengan penampilan fisiknya maka membeli barang-barang yang
dapat menunjang penampilannya agar lebih mudah diterima oleh lingkungan
pergaulannya. Hal–hal yang bersifat fisikpun tak henti–hentinya menjadi incaran
para shopaholic. Mall tentu akan menyambut dengan hangat keinginan warga kota
tersebut sehingga mall tidak akan lagi sekedar menjadi tempat untuk berbelanja,
namun sudah menjadi lingkungan hidup warga kota dimana 5 mereka mengalami transformasi
dari sekedar pengunjung menjadi konsumen yang mencandu (shoping addict) (Halim,
2008) Loudon dan Bitta (1993) berpendapat bahwa remaja adalah kelompok yang
berorientasi banyak berbelanja karena remaja suka mencoba hal-hal yang baru,
tidak realistik dan cenderung boros. Lingkungan pergaulan remaja punya banyak
pengaruh terhadap minat, sikap, pembicaraan, penampilan dan perilaku lebih
besar dibandingkan dengan pengaruh keluarga. Hurlock (1996), hal ini disebabkan
pada masa remaja mereka lebih banyak berada diluar rumah, mereka berusaha untuk
melepaskan diri dari pengaruh orang tuanya. Remaja sadar dukungan sosial itu
dipengaruhi oleh penampilan yang menarik berdasarkan apa yang dikenakan dan
dimiliki, sehingga tidak mengherankan bila pembelian terhadap pakaian dan
asesoris pada masa remaja dianggap penting. Meilaratri (2004) Remaja putri
lebih banyak membelanjakan uangnya dari pada remaja putra untuk kepentingan
penampilan seperti pakaian, kosmetik, aksesoris, sepatu, dll. Beberapa dari
remaja putri ini mengaku bahwa mereka tidak bisa menahan diri mereka ketika
mereka memiliki keinginan untuk membeli barang atau produk yang hendak mereka
beli. Umumnya para remaja ini tidak memepertimbangkannya terlebih dahulu dan
langsung membelinya karena bagi mereka yang paling utama adalah mereka
mendapatkan barang yang mereka inginkan saat itu juga. Kebanyakan dari para
shopaholic tersebut memiliki berbagai macam alasan 6 untuk membeli barang yang
tidak dibutuhkan tersebut salah satunya adalah kalau tidak segera dibeli nanti
takut kehabisan dan tidak mendapatkannya, seandainya mereka sedang tidak
memiliki uang maka mereka akan berusaha untuk mendapatkan uang tersebut salah
satu caranya adalah dengan cara meminjam uang ke teman mereka, selain itu pada
umumnya apabila mereka akan membeli sebuah barang atau produk mereka tidak
melakukan survey terlebih dahulu, alasannya adalah agar mereka tidak terlalu
lama–lama dalam memilih barang yang cocok dan sesuai dengan pilihan dan selera
mereka. (Hasibuan, 2009) Seringkali kita tidak menyadari bahwa disekitar kita
atau bahkan diri kita sendiri itu adalah seorang shopaholic, shopaholic adalah
sebutan bagi seseorang yang mengalami shopping addiction, hal ini dikarenakan
para shopaholic tersebut sangat sulit untuk membedakan antara kebutuhan dan
keinginan mereka, seringkali ketika berbelanja mereka akan merasa kebingungan
apakah barang yang akan dibeli tersebut merupakan kebutuhan mereka atau bahkan
hanya sekedar keingina mereka saja. Fenomena- fenomena mengenai perilaku
shopping addiction ini kerap kali kita temui dikalangan para remaja akhir
khususnya mahasiswi. Berdasarakan data dari badan pusat statistik, jumlah
remaja indonesia saat ini kurang lebih mencapai 23 persen dari total penduduk
indonesia yang berjumlah 267 juta jiwa, sebanyak 60 juta jiwa tersebut adalah
remaja yang sangat berpotensial bagi para pemasar produk remaja, yang
dipasarkan bisa berupa pakaian, aksesoris dan lain sebagainya. Pada dasarnya
remaja lebih 7 peduli pada trend yang sedang berkembang di pasaran dibanding
kelompok usia yang lain, mereka tidak hanya berperan sebagai trendsetter bagi
remaja-remaja seusianya saja tetapi juga mampu menjadi trendsetter bagi
populasi secara umum (Martin & Bush 2006 ). Bagi para remaja berbelanja
menjadi pelampiasan mereka dari jenuhnya rutinitas dalam menuntut ilmu, yang
pada akhirnya menjadikan remaja tersebut hanya dapat menjadi generasi yang
boros. Apalagi bagi remaja yang memiliki orang tua berada dan sedang
melanjutkan pendidikan di luar kota serta jauh dari pengawasan orang tua,
seringkali pola hidup mereka akan berubah mengikuti pola hidup di kota dengan
mengetahui kehidupan perkotaan yang memiliki segala fasilitas juga tuntutan
dalam pergaulannya. Mereka menjadi suka berbelanja karena berbelanja dapat
menjadi sarana untuk menunjukkan identitas dan status sosial ekonominya dalam
masyarakat. Pada dasarnya berbelanja merupakan kesenangan bagi semua orang
khususnya pada remaja putri. Karena remaja putri cenderung lebih mudah
terpengaruh oleh teman sebayanya dan remaja putri juga lebih mudah tergiur oleh
adanya barang–barang bagus yang sedang ngetrend apa lagi jika barang–barang
tersebut sedang di potong harga atau di diskon maka remaja putri tersebut tidak
akan berfikir dua kali untuk membelinya. Berdasarkan hasil penelitian yang
telah dilakukan oleh (W Mahestu 2006) menyatakan bahwa rata–rata niat beli
kelompok wanita lebih tinggi dari pada niat beli kelompok pria. 8 Sebenarnya
belanja itu sah- sah saja selama masih dalam batas kewajaran, berbelanja
dikatakan tidak wajar apabila seseorang berbelanja bukan atas keperluannya
tetapi hanya untuk kesenangan saja, perilaku shopaholic sebenarnya tidak jauh
berbeda dengan perilaku konsumtif yang sering kita dengar selama ini, sikap ini
dapat muncul dikarenakan konsep diri yang salah dari remaja tersebut, misalnya
remaja putri yang menilai dirinya tidak tinggi atau pendek dan mereka malu
dengan keadaan fisiknya maka remaja putri tersebut akan banyak membeli sepatu
atau sandal yang tinggi. Brooks (Rakhmad, 1991)menyatakan bahwa konsep diri
adalah suatu pandangan dan perasaan seseorang tentang dirinya serta persepsi
tentang dirinya ini dapat bersifat psikis maupun sosial. Jadi konsep diri
adalah apa yang kita persepsikan terhadap diri kita, bagaimana kita
mempersepsikan diri kita sendiri, semua orang pada dasarnya memiliki konsep
diri yang berbeda adalah “bagaimananya” persepsi itu kita ciptakan, pikirkan,
dan rasakan. Ada orang yang mempersepsikan dirinya sebagai sosok yang memiliki
kekurangan fisik misalnya kurang tinggi maka persepsi ini kemudian akan
mendorongnya untuk membeli banyak sepatu yang memiliki hak yang tinggi, dengan
dorongan semacam inilah para remaja putri yang kebanyakan mahasiswi ini banyak
terjebak dalam dunia shopaholic. Brooks (dalam Rakhmat, 2005) mendefenisikan
bahwa melalui konsep diri individu dapat memperoleh gambaran tentang dirinya
secara 9 utuh. Baik yang bersifat fisik, sosial dan psikologis diperoleh
melalui pengalaman dan interaksi individu dengan orang lain. Dodgson dan Wood
(1998), mengatakan bahwa individu yang mempunyai konsep diri negatif akan
merasa dirinya selalu gagal, merasa tidak mampu dan mempunyai pandangan yang
buruk tentang dirinya. Sebaliknya individu yang mempunyai konsep diri positif
mempunyai pandangan yang menyenangkan tentang keadaan dirinya. Konsep diri
merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi perilaku shopping addiction.
Adapun dari penelitian terdahulu yang dilakukan Parma (2007) yang berjudul
Hubungan Antara Konsep Diri Dengan Perilaku Konsumtif Remaja Putri Dalam
Pembelian Kosmetik Melalui Katalog Di SMA Negeri 1 Semarang, mengungkapkan
bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara konsep diri seorang remaja
dengan perilaku konsumtif. Berdasarkan penelitian yang dilakukan dapat
disimpulkan bahwa Konsep diri memberikan pengaruh 12,2% terhadap perilaku
konsumtif remaja putri dalam pembelian kosmetik melalui katalog di SMA Negeri 1
Semarang. Kondisi ini mengisyaratkan bahwa konsep diri merupakan salah satu
faktor yang mempengaruhi perilaku konsumtif remaja putri dalam pembelian kosmetik
melalui katalog. Sedangkan sisanya sebesar 87,8 % ditentukan oleh faktor-faktor
lain yang tidak diungkap dalam penelitian ini dan juga turut berperan dalam
melahirkan perilaku konsumtif remaja putri dalam pembelian kosmetik melalui
katalog. 10 Penelitian mengenai compulsive buying yang dilakukan oleh Hamidah
(2008) menyatakan bahwa dari 54 responden berjenis kelamin wanita, 10 responden
yang tergolong high compulsive buying dimana 6 responden memiliki secure
attachment dan 4 responden dengan avoidant attachment. Kemudian 36 responden
yang tergolong medium compulsive buying dimana 26 responden memiliki secure
attechment, 9 responden memiliki avoidant attachment, dan 1 orang memiliki
anxious attechment. Terdapat 8 responden tergolong low compulsive buying dimana
7 responden memiliki secure attachment, dan 1 orang memiliki avoidant
attechment. Dalam penelitian ini juga dilihat hubungan hubungan attechment
style dengan shopping addiction, dan juga ingin melihat hubungan shopping
addiction dengan variabel dari data kontrol yaitu limit kartu kredit, hubungan
tempat tinggal masa kecil, dengan kebahagiaan masa kecil dan status pernikahan
orangtua. Dari beberapa penelitian di atas membuktikan bahwa memang ada
pengaruh yang signifikan antara konsep diri dengan perilaku shopping addiction
atau compulsive buying , perilaku shopping addiction sendiri merupakan sebuah
perilaku adiktif, yaitu perilaku berbelanja yang kronis, berlebihan, repetitif
dan dan dapat merusak kehidupan seseorang. Adapun permasalahan yang ingin diteliti
oleh peneliti disini adalah apakah konsep diri Mahasiswi Universitas Islam
Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang itu berpengaruh terhadap perilaku shopping
addiction yang dimiliki oleh Mahasiswi tersebut, oleh karena itu dengan adanya
feneomena–fenomena 11 disekitar dan penelitian terdahulu maka peneliti tertarik
untuk melakukan penelitian dengan judul “Pengaruh Konsep Diri Terhadap Perilaku
Shopping Addiction pada Mahasiswi Universitas Islam Negeri Maulana Malik
Ibrahim Malang”. B. Rumusan Masalah 1. Bagaimana tingkat konsep diri pada
Mahasiswi Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang? 2. Bagaimana
tingkat perilaku shopping addiction pada Mahasiswi Universitas Islam Negeri
Maulana Malik Ibrahim Malang? 3. Bagaimana pengaruh antara konsep diri terhadap
perilaku shopping addiction pada Mahasiswi Universitas Islam Negeri Maulana
Malik Ibrahim Malang? C. Tujuan Penelitian 1. Untuk mengetahui tingkat konsep
diri pada Mahasiswi Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang. 2.
Untuk menetahui tingkat perilaku shopping addiction pada Mahasiswi Universitas
Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang. 3. Untuk mengetahui pengaruh antara
konsep diri terhadap perilaku shopping addiction pada Mahasiswi Universitas
Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang. 12 D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat
Teoritis Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan yang memperkaya
kajian teori dan riset psikologi konsumen dan sosial, serta dapat dijadikan
bahan pertimbangan pada penelitian-penelitian selanjutnya. 2. Manfaat Praktis
Memberi masukan kepada seluruh aspek masyarakat terutama kepada para mahasiswi
tentang pengaruh konsep diri seorang shopping addiction untuk mencegah perilaku
shopping addiction tersebut, karena pengaruh yang ditimbulkan dari perilaku shopping
addiction ini dapat merugikan banyak pihak baik itu pelaku shopping addiction
maupun orang–orang yang ada di sekitarnya.
DOWNLOAD
No comments:
Post a Comment