Abstract
INDONESIA:
Sudah menjadi kodrat manusia sebagai makhluk individu juga mahkluk sosial. Untuk itu, hubungan sosial menjadi penting bagi setiap manusia. Akan tetapi, tidak menutup kemungkinan hubungan dengan orang lain akan menimbulkan konflik. Hal tersebut tergantung pada individu dalam menyikapi dan menangani konflik tersebut. Data awal diperoleh bahwa setelah terjadinya pelanggaran, responden tidak bisa bersikap seperti sebelumnya. Walaupun mereka sudah berusaha memberikan maaf atau bahkan telah memaafkan, tetapi masih sering muncul pikiran-pikiran yang mengingatkan kejadian tersebut dan membuat hati tidak tenang, bahkan muncul keinginan untuk melihat orang yang telah menyakitinya merasakan hal yang sama atau bahkan lebih. Hal tersebut membuktikan bahwa memaafkan hanya sebatas verbal, tidak ada keinginan untuk memperbaiki hubungan yang bahkan berdampak pada terganggunya kesejahteraan psikologis.
Mengacu latar diatas, penelitian ini dilakukan untuk menjawab rumusan masalah. Adapun tujuan dari penelitian ini yaitu untuk mengetahui tingkat forgiveness, mengetahui tingkat psychological well-being, dan untuk membuktikan adanya hubungan forgiveness dengan psychological well-being pada mahasiswa baru Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang.
Rancangan penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif korelasional. Sampel penelitian sebanyak 399 dari 1983 mahasiswa baru Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang angkatan 2011 dan pengumpulan data menggunakan instrumen penelitian berupa skala untuk masing-masing variabel dan wawancara. Analisis data menggunakan analisa norma, analisa prosentase, dan analisa korelasi product moment dari Pearson. Uji validitas serta realibilitas memakai Alpha Cronbach. Pengolahan data tersebut diolah dengan menggunakan komputer program Statistical Product and Service Solution (SPSS) 16.0 for windows.
Berdasarkan analisa penelitian, diperoleh hasil sebagai berikut: Pada variabel forgiveness, yakni 51.6% (175 mahasiswa baru) dengan kategori tinggi, 45.1% (153 mahasiswa baru) dengan kategori sedang, dan 3.2% (11 mahasiswa baru) dengan kategori rendah. Sedangkan pada varibel psychological well-being, yakni 61.9% (210 mahasiswa baru) dengan kategori tinggi, 37.2% (126 mahasiswa baru) dengan kategori sedang, dan 0.9% (3 mahasiswa baru) dengan kategori rendah. Pada hasil analisa uji hipotesis diperoleh hubungan signifikan yakni rxy = 0.154 dengan Sig = 0.005, dimana probabilitas < 0.05, ini artinya terdapat hubungan yang signifikan positif antara keduanya. Dengan demikian, hipotesis yang diajukan terbukti kebenarannya.
ENGLISH:
It has become a natural of human being that they are as human of individual but also social. So that, social relationship become necessary for each every human being. However, the relationship with others may create conflict. It depends on the individual in solving and handling the conflict. The data is early obtained said that after collision happen, responder (new student) cannot behave as before. Although collision they have tried to forgive or even have forgiven, but that collision related the collision appeared and disturb the vietim. Even there will be a desire to see the collision doer fell same thing or even more. That prove that forgiving is limited or just verbaly, said is there no desire to improve the relationship which may affect into unnormally psychological prosperity.
Related to background above, the problem whith will be is discussed and answered in this research that are the level of forgiveness, and the level of new student’s psycgological well-being at the Maulana Malik Ibrahim State Islamic University of Malang in specially generation 2011, and also the correlation betwen of new student’s forgiveness and new student’s psychological well-being at the Maulana Malik Ibrahim State Islamic University of Malang in specially generation 2011.
This research method is designed is quantitative approach of correlation. Research sampel is 399 taken from 1983 of the new at the Maulana Malik Ibrahim State Islamic University of Malang in specially generation 2011. Data collection the use research instrument in the form of scale to the each interview and variable. Data analysis use the correlation of product moment by Pearson. Validity and realibilitas test use Alpha Cronbach. The data processing is computer program that is Statistical Product and Service Solution (SPSS) 16.0 for windows.
Based on the analisys research, the result are: at the ofvariable forgiveness, the are 51.6% (175 new student) is in high category, 45.1% (153 new student) is in middle category, and 3.2% (11 new student) is in low category. While at varibel psychological well-being, 61.9% (210 new student) is in high category, 37.2% (126 new student) is in middle category, and 0.9% (3 new student) is in low category. Based on the hypotesis test result, it is obtained the significant correlation rxy = 0.154 with Sig = 0.005, while the probability < 0.05. it means that there are positive correlation of both variable. Thereby, proven raised hypothesis is its truth.
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Mahasiswa adalah panggilan untuk orang yang
sedang menjalani pendidikan tinggi di sebuah universitas atau perguruan
tinggi.1 Mahasiswa sebagai agent of change and agent of sosial control,
merupakan jenjang yang ditempuh setelah jenjang SMA sederajat, yang mana sesuai
dengan tahapan perkembangan merupakan masa remaja. Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan menganggap remaja bila sudah berusia 18 tahun yang sesuai dengan
saat lulus dari sekolah menengah.2 Menurut Undang-Undang No.4 tahun 1979
mengenai kesejahteraan anak, remaja adalah individu yang belum mencapai umur 21
tahun dan belum menikah. Berdasarkan batasan-batasan yang diberikan para ahli,
bisa dilihat bahwa mulainya masa remaja relatif sama, tetapi berakhirnya masa
remaja sangat bervariasi.3 Masa remaja merupakan masa peralihan dari masa
kanak-kanak ke masa dewasa, meliputi semua perkembangan yang dialami sebagai
persiapan memasuki masa dewasa. Remaja merupakan masa perkembangan sikap
tergantung (dependence) terhadap orang tua ke arah kemandirian (independence),
minat-minat seksual, perenungan diri, perhatian terhadap nilai-nilai estetika
dan isu-isu moral.4 1 Daryanto, Kamus Bahasa Indonesia Lengkap (Surabaya:
Apollo), Hal. 413. 2 Mohammad Ali dan Mohammad Asrori, Psikologi
Remaja-Perkembangan Peserta Didik (Jakarta: PT Bumi Aksara, 2004), Hal. 19. 3
Ikatan Dokter Anak Indonesia, “Overview Adolescent Health Problems and
Services”, 2012, ,
[31/01/2012]. 4 Elfi Yuliani Rochmah, Psikologi Perkembangan (Yogyakarta:
Teras, 2005), Hlm. 167. 2 Masa remaja seringkali dihubungkan dengan
penyimpangan dan ketidakwajaran. Hal tersebut dapat dilihat dari banyaknya
teori-teori perkembangan yang membahas ketidakselarasan, gangguan emosi dan
gangguan perilaku sebagai akibat dari tekanan-tekanan yang dialami remaja
karena perubahan-perubahan yang terjadi pada dirinya maupun akibat perubahan
lingkungan. Menilik teori perkembangan Erikson yang menyebutkan, masa remaja
berada dalam tahap psikososial yang sangat penting yaitu masa pencarian
identitas, dimana pada fase itu setiap individu diharapkan menemukan siapa
dirinya, dan kemana arah tujuan hidupnya. Karakteristik remaja yang sedang
berproses untuk mencari identitas diri ini juga sering menimbulkan masalah pada
diri remaja.5 Manusia sebagai individu merupakan satu kesatuan dari aspek fisik
atau jasmani dan psikis atau rohani atau jiwa yang tidak bisa dipisahkan.6 Dengan
demikian, penting bagi remaja untuk sehat dan sejahtera baik fisik maupun
psikis. Penelitian tentang psikologi positif mulai mengalami peningkatan. Hal
tersebut disebabkan oleh munculnya kesadaran untuk menciptakan hidup yang lebih
baik. Saat ini para psikolog cenderung meningkatkan emosi-emosi positif para
kliennya, meningkatkan kekuatan dan keutamaan nilai, serta menyediakan sarana
untuk mencapai sebuah hidup yang baik. Psikologi positif didasarkan pada premis
bahwa kita mampu mendapatkan kebahagiaan, kepuasan hidup, dan kinerja yang
optimal.7 Sebenarnya psikologi positif 5 Ikatan Dokter Anak Indonesia,
“Overview Adolescent Health Problems and Services”, 2012, ,
[31/01/2012]. 6Mohammad Ali dan Mohammad Asrori, Psikologi Remaja-Perkembangan
Peserta Didik (Jakarta: PT Bumi Aksara, 2004), Hlm. 1. 7 Putri Nur Winanti dan
Imelda Dian Ika Oriza, “Hubungan antara Kekuatan Karakter dan Kebahagiaan pada
Suku Bugis”, < http://www.google.co.id/>, [12/2011]. 3 bukanlah hal yang
baru, hanya saja sering kali terabaikan. Untuk menunjang hal tersebut, dirasa
perlu adanya pengembangan penelitian terkait psikologi positif. Pemahaman yang
lebih dalam dan lengkap terkait kekuatan psikologi adalah kunci dasar yang
efektif menuju kekuatan psikologi dan fungsi manusia yang optimal.8 Kesehatan
mental terdiri atas hal yang baik sampai dengan yang buruk, dan setiap orang
akan mengalaminya. Pada waktu-waktu tertentu orang terkadang mengalami
masalah-masalah kesehatan mental selama rentang kehidupannya. Fungsi-fungsi
jiwa seperti pikiran, perasaan, sikap, pandangan dan keyakinan hidup, harus
dapat saling membantu dan bekerjasama satu sama lain, sehingga dapat dikatakan
adanya keharmonisan yang menjauhkan orang dari perasaan ragu dan terhindar dari
kegelisahan dan pertentangan batin (konflik).9 Seperti halnya kesehatan fisik,
kesehatan mental sangat penting bagi setiap fase kehidupan. Kesehatan mental
meliputi upaya-upaya mengatasi stres, berhubungan dengan orang lain, dan
mengambil keputusan.10 Hasil studi kasus (Agustus 2011) di Yayasan Rehabilitasi
Mental “Dian Atma Jaya” Lawang Malang, diperoleh data bahwa pasien yang
terdaftar memiliki riwayat psikopatologis yang mayoritas teridentifikasi
gangguan mental pada usia remaja. Dari hasil wawancara dengan pihak yayasan,
Bapak Drs. H. Surjoadi, MM. diketahui bahwa pasien yang terdaftar lebih banyak
dipicu oleh tidak bisanya pasien untuk memaafkan orang-orang di sekitarnya 8
Linley, “Counseling Psychology’s Positive Psychological Agenda: A Model for
Integration and Inspiration”, The Counseling Psychologist of SAGE Journal
Online, Hlm. 1-3 (2006). 9 Psychologymania,”Pengertian dan Karakteristik
Kesehatan Mental “, Artikel Jendela Dunia Psikologi, ,
[5/3/2012]. 10 Ibid. 4 atau bahkan memaafkan dirinya sendiri. Hal tersebut juga
dijumpai pada salah satu warga Dusun Mangiran Desa Lamong Kecamatan Badas
Kabupaten Kediri. Hasil observasi dan wawancara (September 2011) diketahui
terganggu mentalnya ketika usia remaja. Kesehariannya menuliskan angka-angka di
sebuah buku. Dari hasil observasi dan wawancara, angkaangka tersebut adalah
hitungan dosa orang-orang yang pernah menyakitinya yang dihitung berdasarkan
sakit hati yang dirasakan. Menurut teori Maslow, manusia bisa mencapai tingkat
tertinggi jika segala kebutuhannya terpenuhi dengan baik. Manusia akan menuju
puncak aktualisasi diri dengan tingkatan-tingkatan need di bawahnya yang harus
terpenuhi. Faktanya, manusia selalu menginginkan kehidupan yang baik. Setiap
orang pasti menginginkan kesejahteraan, baik kesejahteraan lahir maupun batin.
Kesejahteraan lahir kaitannya dengan terpenuhinya kebutuhankebutuhan untuk
mempertahankan hidup, sedangkan kesejahteraan batin meliputi terpenuhinya
kebutuhan-kebutuhan untuk kenyamanan hidup. Stanley Hall berpendapat bahwa masa
remaja merupakan masa badai dan tekanan (storm and stress), masa yang penuh
dengan permasalahan.11 Disisi lain, remaja butuh akan kesejahteraan psikologis
dalam hidupnya. Pondasi untuk mendapatkan kesejahteraan psikologis yaitu
individu berfungsi secara psikologis (positive psychological functioning).
Dalam bukunya Hurlock, Peaget menyatakan bahwa secara psikologis, remaja adalah
suatu usia dimana individu menjadi terintegrasi ke dalam masyarakat dewasa,
suatu usia di mana anak tidak merasa bahwa dirinya berada di bawah tingkat
orang 11 Ikatan Dokter Anak Indonesia, “Overview Adolescent Health Problems and
Services”, 2012, ,
[31/01/2012]. 5 yang lebih tua melainkan merasa sama, atau paling tidak
sejajar. Memasuki masyarakat dewasa ini mengandung banyak aspek afektif, lebih
atau kurang dari usia pubertas.12 Remaja juga sedang mengalami perkembangan
pesat dalam aspek intelektual. Transformasi intelektual dari cara berfikir
remaja ini memungkinkan mereka tidak hanya mampu mengintegrasikan dirinya ke
dalam masyarakat dewasa, tapi juga merupakan karakteristik yang paling menonjol
dari semua perkembangan.13 Tugas perkembangan masa remaja difokuskan pada upaya
meninggalkan sikap dan perilaku kekanak-kanakan serta berusaha untuk mencapai
kemampuan bersikap dan berperilaku secara dewasa.14 Tugas perkembangan remaja
yang amat penting adalah mampu menerima keadaan dirinya, memahami peran jenis
kelamin, mengembangkan kemandirian, mengembangkan tanggung jawab pribadi dan
sosial, menginternalisasikan nilai-nilai moral, dan merencanakan masa depan.15
Psychological Well-Being (PWB) atau kesejahteraan psikologis oleh Ryff
dirumuskan dengan mengintegrasikan teori-teori psikologi klinis, psikologi
perkembangan dan teori kesehatan mental Ryff juga merujuk konsep kriteria
kesehatan mental positif dari Jahoda, sehingga akhirnya Ryff menyimpulkan bahwa
individu dikatakan mendapatkan kesejahteraan psikologis jika memenuhi beberapa
dimensi-dimensinya.16 Adapun dimensidimensi dalam kesejahteraan psikologis
yaitu penerimaan diri (self 12 Mohammad Ali dan Mohammad Asrori, Psikologi
Remaja-Perkembangan Peserta Didik (Jakarta: PT Bumi Aksara, 2004), Hlm. 9. 13
Ibid. 14 Ibid., Hlm. 10. 15 Ibid., Hlm. 12. 16 Ryff, “Happiness is Everything,
or is it? Exploration on the Meaning of Psychological WellBeing”, Journal of
Personality and Social Psychology, Vol. 57, No.6, (1989). 6 acceptance),
hubungan positif dengan orang lain (positive relations with other),
otonomi/kemandirian (autonomy), penguasaan lingkungan (environmental mastery),
tujuan hidup (purpose in life), dan pengembangan pribadi (personal growth).
Sudah menjadi kodrat manusia yang tidak hanya sebagai makhluk individu tetapi
juga mahkluk sosial, dimana keduanya tidak bisa dipisahkan. Manusia akan
berperan sebagai mahkluk sosial kapanpun dan dimanapun ia berada. Untuk itu, hubungan
sosial menjadi penting bagi setiap manusia. Hubungan satu sama lain tentunya
akan menimbulkan interaksi diantaranya, baik yang disengaja maupun tidak.
Didalam interaksi, akan menimbulkan pengalaman-pengalaman, baik positif maupun
negatif. Pengalamanpengalaman tersebut bisa berupa hal-hal yang menimbulkan
rasa senang, aman, dan nyaman. Akan tetapi, tidak menutup kemungkinan hubungan
dengan orang lain akan menimbulkan konflik. Menjalin hubungan dengan orang lain
harus siap dengan segala resiko, bahkan tidak berhubungan dengan orang lain pun
ada resikonya. Hal tersebut tergantung pada individu dalam menyikapi dan
menangani konflik tersebut. Locke mengakui kalau individu memiliki temperamen
yang berbeda-beda, namun secara keseluruhan lingkunganlah yang membentuk
jiwa.17 Konflik yang tidak dapat diatasi secara baik, sering kali menjadi lebih
besar dan berkepanjangan. Rasa sakit hati dan pikiran-pikiran negatif terhadap
orang lain yang kemudian disertai dengan keinginan untuk pembalasan adalah hal
yang sering menyertai ketika konflik tidak dapat 17 William Crain, Teori
perkembangan (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007), Hlm. 6. 7 diredam. Menurut
Baron dan Byrne ada empat pilihan reaksi yang mungkin dilakukan ketika konflik
yaitu pertama adalah sikap aktif menyelesaikan konflik. Kedua adalah loyalty
atau sikap menunggu dengan harapan konflik dapat terselesaikan dengan
sendirinya. Sikap ketiga adalah exit atau melarikan diri dari penyelesaian
konflik. Sikap keempat adalah berharap masalah menjadi lebih buruk.18 Forgiveness
atau memaafkan juga bisa memberikan manfaat untuk kesehatan jiwa. Selain
kesehatan raga, orang yang memaafkan pihak yang mendzaliminya mengalami
penurunan dalam hal mengingat-ingat peristiwa pahit tersebut. Dalam diri orang
pemaaf, terjadi pula penurunan emosi kekesalan, rasa getir, benci, permusuhan,
perasaan khawatir, marah dan depresi (murung). Di samping itu, kajian ilmiah
membuktikan bahwa memaafkan terkait erat dengan kemampuan orang dalam
mengendalikan dirinya. Hilangnya pengendalian diri mengalami penurunan ketika
orang memaafkan dan hal ini menghentikan dorongan untuk membalas dendam.19
Michael E. McCullough memberikan definisi bahwa forgiveness merupakan satu set
perubahan-perubahan motivasi dimana suatu organisme menjadi semakin menurunnya
motivasi untuk membalas terhadap pelaku, semakin menurun motivasi untuk
menghindari pelaku, dan semakin termotivasi oleh niat baik dan keinginan untuk
berdamai dengan pelaku. Dengan memaafkan akan tercipta hubungan yang positif
dengan orang lain, walaupun pernah terjadi konflik diantaranya. Hubungan yang
positif 18 Syafiq, “Pemaafan Solusi Aktif Selesaikan Konflik”, 2008, ,
[28/11/2011]. 19 QuickSTART Indonesia, “Motivasi Memaafkan Adalah Kebutuhan”,
Article, ,
[12/12/2011]. 8 dengan orang lain merupakan salah satu dimensi dari
kesejahteraan psikologis. Dalam berbagai penelitian juga telah ditemukan bahwa
memaafkan ternyata memiliki pengaruh terhadap kesehatan jiwa raga, maupun
hubungan antar manusia.20 Dari uraian diatas, muncul asumsi bahwa ada hubungan
antara forgiveness dengan psychological well-being. Akan tetapi, penelitian
yang ada hanya berlaku non-indigenous dan teori-teori yang ada hanya mengacu
pada teori barat. Untuk itu, perlu memunculkan kembali topik ini untuk
menstandartkan konsep yang ada pada nilai dasar islam dan bersifat indigenous
(pribumi). Penelitian yang telah ada diluar negeri membuktikan bahwa ada
hubungan antara forgiveness dengan psychological well-being. Pada konsep islam,
yang mengacu pada dalil aqli dan naqli juga menjelaskan bahwa ketika orang
bersedia memaafkan dan berlapang dada, maka akan disuka oleh Allah (QS.
An-Nuur, 24:22). Forgivenes (memaafkan) orang lain adalah nilai hidup yang
universal sifatnya. Semua agama dan semua doktrin kearifan menilainya sebagai
tindakan terpuji. Dalam agama, memaafkan juga sebagai bukti keimanan yang
abstrak. Kepada orang yang memaafkan, Tuhan hanya mengatakan balasannya pahala
dan surga.21 Bangsa-bangsa di dunia ini menyikapi kesalahan kepada orang lain
yang dilakukannya dengan cara yang berbeda-beda. Orang-orang Eropa dan 20
Anonimus, “New Forgiveness Research Looks at its Effect on Others”, The Journal
of Science and Healing, Vol 4. No 1.2 008. ,
[10/12/2011]. 21 Ardian Kustian. “Memaafkan Orang Lain”, Artikel, ,
[18/7/2012]. 9 Amerika banyak yang tampil gentle. Gentleman adalah laki-laki
yang memiliki budi pekerti atau perilaku dengan standar tinggi. Salah satu ciri
penting yang mereka miliki adalah kesediaan untuk meminta maaf. Mereka segera
meminta maaf begitu kesalahan itu mereka lakukan. Kita percaya bahwa sekalipun
suatu perbuatan salah atau memalukan kita lakukan, tetap ada jalan bagi
seseorang untuk memperbaiki diri. Jalan untuk menghapus perbuatan yang
memalukan atau perbuatan salah adalah menghapus kesalahan dengan jalan sosial (meminta
maaf kepada orang lain) dan spiritual (bertaubat kepada Tuhan) dan melakukan
perbuatan yang baik dengan jalan sosial (berbuat positif kepada sesama) dan
spiritual (berbuat baik kepada Tuhan).22 Ketertarikan penulis diperkuat dengan
hasil wawancara yang dilakukan di lingkungan Universitas Islam Negeri (UIN)
Maulana Malik Ibrahim (Maliki) Malang yang diwakili 12 mahasiswa dari
masing-masing fakultas yang dipilih random, masing-masing 6 mahasiswa laki-laki
dan 6 mahasiswa perempuan pada bulan Desember 2012. Dari hasil wawancara dapat
diketahui bahwa mereka memiliki kesamaan. Walau pernyataan yang diungkapkan
tidak sama persis, tetapi dapat dikelompokkan dalam masalah yang sama.
Responden memaknai maaf sebagai keputusan untuk melupakan kejadian menyakitkan.
Alasan yang diberikan untuk memaafkan adalah melihat dari hubungan sebelumnya
dengan yang telah menyakitinya. Semua mengatakan bahwa yang menyakitinya adalah
orang yang memiliki hubungan 22 Fuad Nashori, “Memaafkan dan Meminta Maaf”,
Artikel, ,
[18/7/2012]. 10 dekat dengannya, diantaranya adalah teman, pacar, juga
keluarga. Dalam pikiran mereka ketika tersakiti baik dengan sengaja ataupun
tidak adalah kecewa dan marah, akan tetapi usaha untuk berfikir positif selalu
dilakukan dengan harapan ini adalah modal untuk kedewasaan. Berat tidaknya
kejadian yang menyakitkan, mereka lihat dari seberapa sakit hati yang mereka
rasakan. Hal tersebut sangat berhubungan dengan rentan waktu yang dibutuhkan
untuk memberikan maaf pada orang yang menyakitinya. Berikut salah satu
pernyataan yang diungkap oleh salah satu mahasiswa: “Orang yang menyakiti Saya
ya ada yang dekat banget, ada yang sekedar dekat, bahkan tidak kenal. Saat itu
rasanya benci, marah, tapi ya gak bisa membalas karena bertolak belakang dengan
perasaan Saya yang sebenarnya ingin mengikhlaskannya.” (Selasa, 13 Desember
2011) Menyikapi hal tersebut, mereka lebih memilih menghindar dan berusaha
melupakan, atau tetap berhubungan tapi akan sering mengingatkan pada kejadian
yang menyakitkan. Jadi, meskipun mereka mengatakan telah berusaha memberikan
maaf, akan tetapi hubungan dan sikap yang muncul tidak bisa seharmonis seperti
sebelum kejadian menyakitkan tersebut, bahkan seringkali muncul rasa ingin
melihat orang yang telah menyakitinya juga merasakan apa yang pernah mereka
rasakan. Berikut salah satu pernyataan yang diungkap oleh salah satu mahasiswa:
“Awalnya Saya diam untuk menenangkan diri, setelah itu sebisa mungkin Saya
tidak ingin bertemu dengan dia lagi. Besar atau kecil kesalahannya Saya sulit
untuk memberi maaf, mungkin karena tidak ada alasan untuk memberikan maaf,
kecuali kalau Saya benar-benar sudah mengikhlaskan kejadian itu dan
melupakannya. Saya menyadari kalau orang yang berpeluang menyakiti kita adalah
orang yang dekat dengan kita. Yang Saya lakukan setelah itu paling ya diam dan
cuek.” (Selasa, 13 Desember 2011) 11 Hal yang menarik disini adalah walau
mereka mengatakan telah berusaha memberikan maaf atau bahkan telah memaafkan,
tetapi masih sering muncul pikiran-pikiran yang mengingatkan kembali kejadian
menyakitkan yang telah diusahakan untuk dilupakan, bahkan keinginan untuk
melihat orang yang telah menyakitinya merasakan hal yang sama atau bahkan
lebih. Kutipan diatas adalah contoh situasi dimana mahasiswa merespon kesalahan
orang lain dengan tidak sepenuhnya memaafkan. Pada situasi tersebut
kesejahteraan psikologis mahasiswa tersebut dapat terpangaruh seperti pada
indikator yang diungkap oleh Michael E. McCullough tentang forgiveness dan Ryff
tentang psychological well-being. Efek yang muncul adalah hubungan emosi
negatif dengan orang yang pernah memiliki kesalahan kepadanya, bahkan pada
lingkungan eksternalnya. Dalam capaian kesejahteraan psikologis, terlihat bahwa
responden memang berusaha untuk menerima diri dan lingkungannya, akan tetapi
hubungan dengan orang lain tidak bisa positif jika pernah ada kejadian yang
menyakitkan. Telah dipaparkan diatas, bahwa manusia akan berkembang secara
optimal jika perkembangan psikologisnya juga terpenuhi secara benar. Manusia
akan mengalami fase perkembangan yang masing-masing fase memiliki peran penting
tersendiri untuk menghadapi fase berikutnya. Dari latar belakang keluarga
apapun, riwayat pendidikan apapun, dan kepribadian seperti apapun, manusia akan
mengalami perjalanan psikologis tersendiri. Maka penting untuk menjaga
kesehatan psikologis. Hal-hal yang terkait perlu untuk diketahui dan diikuti
perkembangannya. Untuk itu, penelitian ini 12 penting dilakukan dan diharapkan
bisa mengusahakan untuk hidup yang sehat dan sejahtera utamanya secara
psikologis. Pembahasan tersebut menjadi penting dalam penelitian ini.
Penelitian ini akan mengungkap hubungan forgiveness dengan psychological
well-being pada mahasiswa baru Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim
Malang. Sehingga dapat memberikan kontribusi dalam menjawab problem
kesejahteraan psikologis dilihat dari aspek memaafkan. B. Rumusan Masalah Dalam
penelitian ini, masalah yang dirumuskan, yaitu: 1. Bagaimana tingkat
forgiveness mahasiswa baru Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim
Malang? 2. Bagaimana tingkat psychological well-being mahasiswa baru
Universitas Islam Negeri Mulana Malik Ibrahim Malang? 3. Adakah hubungan
forgiveness dengan psychological well-being pada mahasiswa baru Universitas
Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang? C. Tujuan Penelitian Adapun tujuan
yang ingin dicapai dari penelitian ini, yaitu: 1. Untuk mengetahui tingkat
forgiveness mahasiswa baru Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim
Malang. 2. Untuk mengetahui tingkat psychological well-being mahasiswa baru Universitas
Islam Negeri Mulana Malik Ibrahim Malang. 13 3. Untuk membuktikan adanya
hubungan forgiveness dengan psychological well-being pada mahasiswa baru
Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang. D. Manfaat Penelitian
Dari uraian pendahuluan diatas, maka penelitian ini diharapkan dapat memberikan
manfaat yang konkrit, baik secara teoritis maupun praktis. Adapun manfaat dari
penelitian ini dapat diuraikan sebagai berikut: 1. Manfaat Teoritis a.
Meningkatkan penelitian baru bidang pikologi positif. b. Sumbangan pikiran
bidang psikologi, utamanya kesehatan mental melalui forgiveness dan
psychological well-being. c. Hasil penelitian ini dapat menjadi acuan dalam
pengembangan keilmuan psikologi. d. Menjadi motivasi akademisi muslim dalam
penelitian dengan nilainilai keislamian. 2. Manfaat Praktik a. Sebagai media
pengembangan diri bagi peneliti. b. Sebagai acuan dalam upaya peningkatan
forgiveness dan psychological well-being mahasiswa, utamanya di Universitas
Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang. c. Diharapkan menjadi masukan bagi
keluarga, pendidik, dan masyarakat sehingga dapat memahami hubungan forgiveness
dengan psychological well-being.
Untuk Mendownload Skripsi "Skripsi Psikologi" : Hubungan forgiveness dengan psychological well-being pada mahasiswa baru Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang." Untuk Mendownload skripsi ini silakan klik link dibawah ini
DOWNLOAD
No comments:
Post a Comment