Jasa Pembuatan Skripsi

Jasa Pembuatan Skripsi
Jasa Pembuatan Skripsi

Saturday, June 10, 2017

Jasa Buat Skripsi: download Skripsi al-Ahwal al-Syakhshiyyah,:Putusan tidak diterima (niet onvankelijke verklaard) terhadap permohonan pembatalan perkawinan kedua di Pengadilan Agama Kabupaten Malang: Studi atas putusan nomor 3666/Pdt.G/ 2009/PA.Kab.Mlg.

Abstract

INDONESIA:
Dalam UU No.1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam, dijelaskan perkawinan yang sah menurut Negara. Namun masih ada sebagian masyarakat yang cenderung melakukan pelanggaran terhadap ketentuan tersebut, seperti perkara nomor: 3666/Pdt.G/2009/PA.Kab.Mlg, dimana pelanggaran berupa pemalsuan identitas diri dan pemalsuan surat ijin perkawinan dari atasan pejabat yang berwenang, sebagai syarat kelengkapan administrasi perkawinan di KUA oleh salah satu pihak yang berperkara, dimana pelaku pemalsuan tersebut adalah seorang anggota TNI dan ternyata pekawinan yang dilaksanakan adalah perkawinan yang dua. Disebut perkawinan kedua karena ia masih terikat perkawinan yang sah dengan wanita lain selaku istri pertama. Namun dalam proses permohonan pembatalan perkawinannya yang kedua, Permohonan Pemohon oleh Pengadilan Agama Kabupaten Malang dinyatakan tidak diterima dan sampai sekarang perkawinan tersebut masih tetap berlangsung. Maka kasus ini akan menarik untuk diteliti dari berbagai perspektif baik dari sudut pandang Kompilasi Hukum Islam, maupun Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.
Dari paparan di atas, maka peneliti tertarik untuk mengetahui beberapa permasalahan yang tertuang dalam rumusan masalah, yaitu: Pertama, Dasar pertimbangan hakim dalam memutus perkara tersebut. Kedua, macam-macam pelanggaran yang terdapat dalam perkara tersebut dan yang Ketiga, adalah akibat hukum dari putusan yang dijatuhkan oleh hakim terhadap perkara tersebut.
Peneliti menggunakan jenis penelitian hukum normatif, dengan pendekatan undang-undang (statute approach). Pengumpulan datanya yaitu metode wawancara dan dokumentasi. Dalam analisanya, peneliti menggunakan metode deskriptif analisis. Oleh karena itu bahan hukum primer yaitu berupa putusan hakim maupun bahan hukum sekunder yang berasal dari literatur atau buku bacaan yang relevan dengan pokok pembahasan. kemudian dianalisis sampai pada kesimpulan yaitu: Pertama, Dalam perkara Nomor: 3666/Pdt.G/2009/PA.Kab.Mlg Majelis Hakim menjatuhkan putusan tidak diterima karena surat permohonan Pemohon yang dibuat dan ditandatangani oleh kuasa hukum Pemohon mengandung cacat formal sebagai akibatnya surat kuasa yang dibuat oleh Pemohon dengan penerima kuasanya tidak sah menurut hukum. Kedua : Kuasa hukum Pemohon melanggar Skep.Menhankam.Nomor: Skep.168/III/2004 tanggal 18 Maret 2004 yang berakibat Surat Kuasa Khusus yang dibuat menjadi prematur, bentuk pelanggaran berikutnya adalah yang dilakukan oleh Termohon I, ia melakukan perkawinan tanpa izin istri pertama, tanpa izin Pengadilan Agama, dan melakukan pelanggaran pidana yang berupa pemalsuan identitas dan surat izin kawin dari atasan yang berwenang komandan lanud abdurachman saleh malang. Ketiga, Majelis hakim melalui amar putusannya menyatakan bahwa permohonan Pemohon tidak diterima dan sampai saat ini Pemohon tidak lagi mengajukan permohonan baru lagi kepada Pengadilan Agama kabupaten malang akibatnya perkawinan Termohon I dan Termohon II masih tetap berlangsung, tidak batal demi hukum namun hanya dapat dibatalkan oleh pihak-pihak yang merasa dirugikan melalui proses permohonan pembatalan perkawinan kepada Pengadilan Agama di daerah tempat tinggalnya.
ENGLISH:
In The Act No. 1 Of 1974 concerning marriage and compilation of Islamic law, explained the legal marriage by country. But still there are some people who tend to engage in violations of these provisions, such as case numbers: 3666/Pdt.G/2009/PA.Kab.Mlg. where violations of forgery and falsification of identity permit the marriage of superior competent authority, as a condition of completeness of the administration of marriage in the religious affairs office by either party litigant, in wich the perpetrator counterfeiting is a member of national Indonesia army, and the marriage was performed is a second marriage. Called a second marriage because she is still bound by a valid marriage with another woman as the first wife. But in the procces of application for cancellation of the second marriage, request the applicant by the district of malang court stated religion is not accepted, and until now the marriage is still ongoing. Then the case will be interesting to be studied from various perspectives both from the perspective of the Compilation Of Islamic Law, or the law No. 1 Of 1974 concerning marriage.
From exposure to the above, the researcher is interested in knowing some of the issues contained in the formulation of the problem, namely: first, the basic consideration of the judge in deciding the case. Second, the various violations contained in the case, and the third is the legal effect of the decision handed down by judges on the case.

Researchers use this type of normative legal research, with the approach of the law data collection interview method and documentation. In the analysis, researchers use a descriptive method of analysis. Therefore of primary legal materials in the form of the judge’s decision and secondary legal materials derived from the literature or reading books that are relevant to the subject. The analyzed to the conclusion that: First, in case number: 3666/Pdt.G/2009/PA.Kab.Mlg, the judges ruled the petition was not accepted because the applicant who made and signed by the applicant’s attorney made by the applicant and the recipient of his attorney is not legally valid. Second, the applicant’s attorney violated the skepticism minister of defense and number kep.168/III/2004 dated 18 March 2004 which resulted in the special power of attorney is made into premature. Subsequent violation is committed by the respondent I, he made a marriage without the permission of religious courts, and criminal offenses that forgery of identity and marriage licence from the competent superiors air base commander abdurachman saleh. Third, judges through the decision stated that the application the applicant is not accepted and to date the applicant is no longer just apply again to the district religious courts as a result of marriage the defendant of first and second respondent is ongoing. Not null and void, but they can only be canceled by the parties who feel aggrieved by the cancellation request process of marriage to religious courts in his area.
BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang Masalah

 Peradilan Agama adalah Peradilan Perdata, sedangkan Peradilan Umum adalah juga Peradilan Perdata di samping Peradilan Pidana. Jadi, dilihat dari segi asas-asas Hukum Acara, tentulah ada prinsip-prinsip kesamaannya secara umum di samping secara khusus tentu ada pula perbedaan antara Hukum Acara Perdata Peradilan Umum dan Hukum Acara Perdata Peradilan Agama. Hukum Acara Perdata Peradilan Umum, menurut R. Wirjono Prodjodikoro merumuskan Hukum Acara Perdata ialah: “Rangkaian peraturan-peraturan yang memuat cara bagaimana orang harus bertindak terhadap dan di muka Pengadilan dan cara bagaimana Pengadilan itu harus bertindak, satu sama lain untuk melaksanakan berjalannya peraturan-peraturan hukum perdata”.1 R. Subekti dan R. Tjitrosoedibio merumuskan Hukum Acara Perdata adalah: “Keseluruhan dari pada ketentuan-ketentuan hukum yang mengatur dengan cara bagaimana tertib hukum perdata dapat ditegakkan dalam hal penegakan dikehendaki, berhubung terjadinya suatu pelanggaran dan bagaimana ia dapat dipelihara dalam hal suatu tindakan pemeliharaan dikehendaki, berhubung terjadinya suatu peristiwa perdata”.2 Masih banyak lagi rumusan lainnya, akan tetapi kalau rumusan-rumusan itu diperhatikan dapatlah diambil suatu kesimpulan umum bahwa Hukum Acara Perdata itu sebenarnya mempunyai dua unsur (obyek) yang diaturnya, yaitu: (1) Orang yang 1 R. Wirjono Prodjodikoro, Hukum Acara Perdata Di Indonesia, Sumur Bandung : Jakarta, 1980. hlm. 13 2 R. Subekti dan Tjitrosoedibio, kamus hukum, Pradya Paramita : Jakarta, 2005. hlm. 51 2 maju bertindak ke muka Pengadilan karena terjadinya pelanggaran atau peristiwa perdata yang perlu ditertibkan kembali, (2) Pengadilan itu sendiri, yang akan menertibkan kembali hukum perdata yang telah dilanggar dimaksud. Hukum Acara, termasuk Acara Pidana juga, sering disebut sebagai “Hukum Proses”. Proses artinya rangkaian pembuatan, sehingga tepatlah perumpamaan bahwa hukum itu selama jalannya dalam proses di muka Pengadilan, masih dalam pembuatan.3 Selesainya dari proses pembuatan ialah setelah ia diputus dan putusan itu sudah memperoleh kekuatan hukum yang tetap (in kracht). Juga bisa disebut hukum proses karena Hukum Acara itu sendiri terdiri dari rangkaian cara-cara berbuat atau bertindak, mulai dari memasukkan gugatan/permohonan sampai selesai diputus dan dilaksanakan (di eksekusi). Tujuan suatu proses di muka Pengadilan adalah untuk mendapatkan penentuan bagaimanakah hukumnya sesuatu kasus, yaitu bagaimanakah hubungan hukum antara dua pihak yang berperkara itu yang sebenarnya dan seharusnya dan agar segala apa yang ditetapkan oleh Pengadilan itu direalisir, kalau perlu dengan pelaksanaan (eksekusi) paksa. Dengan demikian, hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang diberikan oleh hukum materiil yang diputuskan atau ditetapkan oleh Pengadilan itu dapat jalan atau diwujudkan. Hukum Acara, termasuk Hukum Acara Pidana, sering juga disebut “Hukum Formal”. Formal artinya bentuk atau cara, jadi hukum formal maksudnya hukum yang mengutamakan pada kebenaran bentuk atau kebenaran cara. Itulah sebabnya beracara di muka Pengadilan tidak cukup hanya tahu dengan materi hukum tetapi lebih dari itu harus tahu terhadap bentuk atau caranya yang spesifik itu, sebab ia 3 R. Subekti, Hukum Acara Perdata, Bina Cipta : Bandung, 1977. hlm. 14 3 terikat pada bentuk-bentuk atau cara-cara tertentu yang sudah diatur. Keterikatan kepada bentuk atau kepada cara ini berlaku bagi pencari keadilan, terutama juga bagi Pengadilan (maksudnya hakim-hakimnya) sehingga tidak bisa semaunya sendiri atau seenaknya. Dari uraian di atas jelaslah bahwa Hukum Acara itu sebetulnya hanya mengabdi kepada hukum material, atau dengan kata lain, Hukum Acara itu hanya bermaksud untuk mewujudkan hukum material. Mengutamakan kebenaran formal di sini tidaklah berarti bahwa Hukum Acara Perdata sekarang ini mengenyampingkan kebenaran material, sebab menurut pendapat para Ahli Hukum dan Mahkamah Agung, kini sudah tidak pada tempatnya lagi untuk berpendapat demikian. Hukum Acara Perdata kini inipun sudah harus mencari kebenaran material seperti juga prinsip Hukum Acara Pidana. Sebagaimana diketahui bahwa Peradilan Agama adalah Peradilan Perdata dan Peradilan Islam di Indonesia, jadi ia harus mengindahkan peraturan perundang- undangan Negara dan syariat Islam sekaligus. Oleh karena itu dapat dirumuskan Hukum Acara Peradilan Agama diusulkan sebagai berikut: “Segala peraturan baik yang bersumber dari peraturan perundang-undangan Negara maupun dari syariat Islam yang mengatur bagaimana cara orang bertindak ke muka Pengadilan Agama dan juga mengatur bagaimana cara Pengadilan Agama tersebut menyelesaikan perkaranya, untuk mewujudkan hukum material Islam yang menjadi kekuasaan Peradilan Agama”. Pasal 54 UU No. 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama menyatakan, “Hukum acara yang berlaku pada Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama adalah 4 hukum acara perdata yang berlaku pada Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum, kecuali yang telah diatur secara khusus dalam undang-undang ini”. Perkara-perkara dalam bidang perkawinan berlaku Hukum Acara Khusus dan selebihnya berlaku hukum acara perdata pada umumnya. Hukum Acara Khusus ini meliputi kewenangan relatif Pengadilan Agama, pemanggilan, pemeriksaan, pembuktian dan biaya perkara serta pelaksanaan putusan. Hakim harus menguasai Hukum Acara (hukum formal) di samping hukum materiil. Menerapkan hukum materiil secara benar belum tentu menghasilkan putusan yang adil dan benar. Sudikno Mertokusumo dalam bukunya hukum acara perdata Indonesia mengatakan: “Untuk melaksanakan hukum materiil perdata terutama dalam hal pelanggaran atau untuk mempertahankan berlangsungnya hukum materiil perdata dalam hal ada tuntutan hak diperlukan rangkaian peraturan-peraturan hukum lain di samping hukum materiil perdata itu sendiri. Peraturan hukum inilah yang disebut Hukum Perdata Formil atau Hukum Acara Perdata”. Dalam ketentuan Hukum Acara, surat permohonan atau gugatan dalam berperkara di Pengadilan, para pihak yang berperkara mempunyai hak yang sama yaitu Pemohon atau Penggugat disatu sisi berhak mengajukan permohonan atau gugatan sedangkan pihak lain yaitu Termohon atau Tergugat mempunyai hak jawab dengan mengajukan jawaban yang mana dapat berbentuk Eksepsi atau jawaban dalam pokok perkara. Dalam pasal 141 HIR dikemukakan bahwa yang dimaksud dengan jawaban adalah bantahan atau pengakuan mengenai dalil-dalil gugatan yang diajukan oleh Penggugat. Jawaban Tergugat sebenarnya berkisar kepada dua macam. Pertama, 5 jawaban tidak langsung mengenai pokok perkara yang disebut dengan tangkisan atau Eksepsi. Kedua, jawaban yang langsung mengenai pokok perkara yang sedang berlangsung. Bilamana Hakim di dalam memeriksa perkara dimana jawaban tergugat terdapat Eksepsi dan jawaban dalam pokok perkara, maka hakim sebelum memeriksa jawaban terhadap pokok perkara secara imperatif hakim harus memeriksa jawaban dalam Eksepsi terlebih dahulu untuk dipertimbangkan dengan mengambil sikap menjatuhkan putusan terhadap Eksepsi sebelum melanjutkan tahapan pembuktian, sebab Eksepsi adalah upaya tangkisan atau keberatan termohon atau tergugat dalam merespon permohonan pemohon atau gugatan penggugat dipandang dari sisi kompetensi atau kewenangan Pengadilan yang memeriksa perkara tersebut baik kompetensi relatif maupun kompetensi absolut atau Eksepsi lainnya khususnya menyangkut formalitas permohonan atau gugatan. Apabila Eksepsi diajukan karena permohonan atau gugatan diajukan kepada Pengadilan yang tidak berwenang yang menyangkut kompetensi relatif maupun absolut atau formulasi permohonan atau gugatan ternyata mengandung cacat formal maka Eksepsi atau tangkisan dapat dikabulkan, maka hakim langsung menjatuhkan putusan akhir dengan menyatakan putusan tidak diterima (Niet Onvankelijke Verklaard)/N.O. yaitu menyatakan bahwa Pengadilan tidak berwenang mengadili atau menyatakan permohonan atau gugatan tidak dapat diterima dan bantahan (objection) terhadap pokok perkara harus dikesampingkan. Tujuan pokok pengajuan Eksepsi, yaitu agar Pengadilan mengakhiri proses pemeriksaan tanpa lebih jauh memeriksa materi pokok perkara. Pengakhiran yang diminta melalui Eksepsi bertujuan agar Pengadilan menjatuhkan putusan negatif, 6 yang menyatakan tidak dapat diterima (Niet Onvankelijk Verklaard).4 Berdasarkan putusan negatif itu, pemeriksaan perkara diakhiri tanpa menyinggung penyelesaian materi pokok perkara. Meskipun dalam undang-undang hanya menyebut Eksepsi kompetensi mengadili secara absolut dan relatif, masih banyak lagi Eksepsi lain yang diakui keabsahan dan keberadaannya oleh doktrin hukum dan praktik Peradilan. Sebenarnya keabsahan dan keberadaan Eksepsi lain di luar Eksepsi kompetensi, diakui secara tersirat dalam pasal 136 HIR, pasal 114 Rv, yang berbunyi: Perlawanan yang sekiranya hendak dikemukakan oleh Tergugat (Exceptie), kecuali tentang hal hakim tidak berkuasa, tidak akan dikemukakan dan ditimbang masing-masing, tetapi harus dibicarakan dan diputuskan bersama-sama dengan pokok perkara. Dari hasil pra riset terhadap kasus ini ditemukan fakta, bahwa Tergugat II atau isteri yang kedua melalui kuasa hukumnya mengajukan Eksepsi terhadap gugatan Penggugat atau permohonan Pemohon yang dibuat oleh kuasa hukum penggugat yang mana penerima kuasanya adalah seorang anggota TNI AU yang diatur secara khusus, berbeda dengan advokat atau pengacara, yang prosedurnya berbeda antara keduanya. Untuk kuasa hukum dari institusi TNI sebelum dibuatnya surat kuasa harus ada surat perintah atasan atau panglima, sedangkan pengacara atau advokat tidak memerlukan surat perintah atau perintah panglima, sehingga pengacara dari kalangan TNI tidak berlaku peraturan perundang-undangan tentang advokat, namun diatur secara khusus dengan Keputusan Menteri Pertahanan Nomor 168/III/2004 tentang Pedoman Pelaksanaan Pelayanan Hukum Dilingkungan Departemen 4 Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata, Sinar Grafika : Jakarta. 2005. hlm. 419 7 Pertahanan tanggal 18 Maret 2004. yang intinya Termohon II keberatan atas surat kuasa yang dibuat oleh Pemohon melalui kuasanya karena penerima kuasa melanggar Keputusan Menteri Pertahanan Panglima TNI AU dengan surat keputusan Menteri Pertahanan No. 168/III/2004 diatas yaitu penerima kuasa mendahului surat perintah panglima TNI AU. Sehingga proses kuasa tersebut secara lex specialis telah melanggar prosedur yang telah diatur dalam ketentuan Hukum Acara Perdata. Adapun kasus perkara nomor : 3666/Pdt.G/ 2009/PA.Kab.Mlg. tanggal 3 September 2009 tentang permohonan pembatalan Perkawinan kedua adalah relevan dengan putusan tersebut yaitu putusan N.O. yang amar putusannya menyatakan bahwa permohonan tidak dapat diterima dan yang berkepentingan terhadap perkara tersebut tidak menggunakan upaya hukum apapun apakah upaya hukum banding atau mengajukan ulang permohonan baru ke Pengadilan Agama Kabupaten Malang dengan memperbaiki kelemahan dalam surat permohonannya sehingga eksistensi perkawinannya masih tetap berlangsung antara Pemohon dengan Termohon I disatu pihak dan perkawinan antara Termohon I dengan Termohon II dilain pihak. Artinya, perkawinan kedua antara Termohon I dengan Termohon II tetap berjalan terus sepanjang pihak-pihak yang dirugikan tidak mengajukan pembatalan perkawinan terhadap perkara ini, sebab perkawinan Termohon I dengan Termohon II telah dilaksanakan menurut hukum agamanya yaitu agama islam. Hal ini sesuai dengan ketentuan yang tercantum dalam pasal 2 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974. B. Rumusan Masalah Dari uraian latar belakang permasalahan tersebut diatas, dapatlah penulis rumuskan sebagai berikut: 8 1. Apa yang menjadi dasar pertimbangan Hakim dalam menjatuhkan putusan NO atas perkara Nomor : 3666/Pdt.G/2009/PA.Kab.Mlg tentang Permohonan Pembatalan Perkawinan yang kedua? 2. Apa saja macam-macam pelanggaran yang terdapat dalam kasus perkawinan yang diajukan permohonan pembatalan dalam perkara nomor : 3666/Pdt.G/2009/PA.Kab.Mlg diputus N.O. oleh Pengadilan Agama Kabupaten Malang ? 3. Bagaimana akibat hukum dari pelaksanaan perkawinan kedua dalam kasus perkara nomor : 3666/Pdt.G/2009/PA.Kab.Mlg ? C. Tujuan Penelitian Adapun tujuan penelitian ini adalah: 1. Untuk mengetahui apa yang menjadi dasar pertimbangan Hakim dalam menjatuhkan putusan N.O. atas perkara Nomor : 3666/Pdt.G/2009 tentang Permohonan Pembatalan Perkawinan yang kedua di Pengadilan Agama Kabupaten Malang. 2. Untuk mengetahui bentuk-bentuk pelanggaran yang terdapat dalam kasus perkawinan yang diajukan permohonan pembatalan. 3. Untuk mengetahui akibat hukum dari pelaksanaan pembatalan perkawinan kedua. D. Manfaat Penelitian Dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat ganda, yaitu manfaat teoritis dan praktis. 1. Manfaat Teoritis Secara teoritis diharapkan dapat bermanfaat sebagai acuan bagi mahasiswa agar dapat mengetahui tentang masalah pembatalan perkawinan mulai dari teori, 9 tindakan serta aspek yuridis yang mengatur baik dari UU No.1 Tahun 1974 maupun dalam Kompilasi Hukum Islam, serta mengetahui macam-macam pelanggaran perkara permohonan pembatalan perkawinan yang ada di Pengadilan Agama Kabupaten Malang sehingga Majelis Hakim menjatuhkan putusan N.O. serta akibat hukum khususnya perkara Nomor : 3666/Pdt.G/2009/PA.Kab.Mlg. 2. Manfaat Praktis a. Bagi Penulis Untuk memenuhi salah satu syarat guna memperoleh gelar Sarjana Hukum Islam (SHI) Jurusan Al-Ahwal Al-Syakhsiyah Fakultas Syariah Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang. b. Bagi Peradilan Agama Sebagai wancana praktis guna keperluan pengambilan kebijakan atau pengambilan keputusan dan memberikan pertimbangan baru dalam penyelesaian perkara khususnya perkara pembatalan perkawinan. c. Bagi Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Hasil penelitian ini dapat menambah beberapa hasil penelitian sebelumnya sebagai perbendaharaan perpustakaan khususnya dalam bidang hukum formil dan hukum materiil Peradilan Agama, serta dapat dijadikan literatur dalam proses pengembangan kajian Hukum Acara Perdata di lingkup mahasiswa. E. Definisi Operasional Dalam setiap usulan atau rancangan penelitian, apapun format penelitian yang digunakan, perlu penegasan batasan pengertian yang operasional dari setiap istilah, konsep dan variable yang terdapat, baik dalam judul penelitian, rumusan masalah penelitian, tujuan penelitian, dan hipotesis penelitian. Pendefinisian tersebut 10 bukannya kata per kata, tetapi per “istilahan” yang dipandang masih belum operasional.5 Pemberian definisi operasional terhadap sesuatu istilah bukanlah untuk keperluan mengkomunikasikannya semata-mata kepada pihak lain, sehingga tidak menimbulkan salah tafsir, tetapi juga untuk menuntun peneliti itu sendiri di dalam menangani rangkaian proses penelitian bersangkutan (misalnya di dalam menyusun instrument atau variable-varibel yang hendak diteliti, dan juga dalam menetapkan populasi dan sampel, serta di dalam menginterpretasikan hasil penelitian).6 Berkaitan dengan hal tersebut penulis akan mendeskripsikan beberapa istilah yang digunakan dalam judul karya ilmiah ini, dengan maksud agar penulis lebih terarah terhadap hal yang diteliti. Adapun kata dan istilah tersebut sebagai berikut: 1. Putusan adalah kesimpulan akhir yang diambil oleh majelis hakim yang diberi wewenang untuk itu dalam menyelesaikan atau mengakhiri suatu sengketa antara pihak-pihak yang berberkara dan diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum.7 Sedangkan menurut Prof. Dr. Sudikno Mertokusumo, S.H Putusan adalah suatu pernyataan oleh hakim sebagai pejabat Negara yang diberi wewenang untuk itu dan diucapkan di dalam persidangan yang terbuka untuk umum dengan tujuan untuk menyelesaikan suatu perkara atau sengketa antara pihak yang berperkara.8 2. Niet Onvankelijke Verklaard (N.O.) berarti tidak dapat diterima gugatannya, yaitu putusan pengadilan yang diajukan oleh penggugat tidak dapat diterima, karena ada alasan yang dibenarkan oleh hukum.9 5 Sanapiah Faisal, Format-Format Penelitian Sosial, Rajawali Pers : Jakarta. 1999, hlm.107 6 ibid., hlm. 107 7 Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata Di Lingkungan Peradilan Agama, Yayasan Al- Hikmah, Jakarta, 2000, hlm. 173. 8 Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, liberty, yogyakarta, 1988, hlm. 167-168. 9 Abdul Manan, op. cit., hlm. 178. 11 3. Permohonan ialah suatu permohonan yang di dalamnya berisi tuntutan hak perdata oleh suatu pihak yang berkepentingan terhadap suatu hal yang tidak mengandung sengketa, sehingga badan peradilan yang mengadili dapat dianggap sebagai suatu proses peradilan yang bukan sebenarnya.10 4. Pembatalan perkawinan atau disebut juga dengan fasid nikah merupakan suatu putusan pengadilan yang diwajibkan melalui persidangan bahwa perkawinan yang telah dilangsungkan tersebut mempunyai cacat hukum.11 F. Penelitian Terdahulu Penelitian oleh Luluk Azizah tahun 2004,12 skripsi berjudul “Pandangan Hakim Dalam Pembatalan Perkawinan Karena Pelanggaran Administrasi (Studi Kasus Nomor: 234/Pdt.G/2003/PA.Malang)”. Penelitian ini berfokus pada adanya pelanggaran Administratif yang berupa surat keterangan status identitas diri sebagai seorang duda, tentunya dengan menggunakan akta cerai palsu, sehingga perkawinan dapat dilangsungkan dan telah mendapatkan Kutipan Akta Nikah bagi Termohon I, tetapi ternyata Termohon I masih terikat perkawinan dengan perempuan lain. Proses pembatalan perkawinan dalam kasus ini, peneliti ingin mengetahui sejauh mana pandangan Majelis Hakim dalam menilai kasus tersebut sehingga dijatuhkan putusan positif, dengan membatalkan perkawinan tersebut yang dituangkan dalam pertimbangan putusannya, sedangkan para pihak yang berperkara dalam kasus ini adalah masyarakat sipil biasa, bukan seorang Pegawai Negeri Sipil atau TNI. 10 Mukti Arto, Prkatek Perkara Perdata Pada Pengadilan Agama, Penelitian berikutnya oleh Ummu Kulsum tahun 2006,13 skripsi berjudul “Pembatalan Perkawinan Sebab Pemalsuan Identitas di Pengadilan Agama Malang” (Studi Perkara No : 275/Pdt.G/2005/PA.Mlg). Penelitian ini berfokus pada permohonan pembatalan perkawinan karena adanya pemalsuan identitas diri dimana Termohon I mengaku masih jejaka, padahal nyatanya masih terikat dengan perempuan lain, sedangkan Termohon II selaku istri kedua memalsukan identitas domisili dan lolos menjadi persyaratan administratif pernikahan meraka di KUA Kec. Kedung Kandang dan telah diterbitkan Kutipan Akta Nikahnya oleh KUA tersebut. Adapun pelaku subyek dalam perkara ini adalah Pemohon dan Termohon I adalah pegawai negeri sipil sedang Termohon II adalah seorang sipil biasa. Dalam kasus ini peneliti ingin mengetahui sejauh mana pandangan hakim yang dituangkan dalam pertimbangan hukum putusannya sehingga menjatuhkan putusan positip yaitu dengan membatalkan perkawinan tersebut dan bentuk pelanggaran apa saja yang dilakukan para pihak dalam perkara tersebut. Penelitian selanjutnya dilakukan oleh Wardatul Firdaus tahun 2008,14 skripsi berjudul “Alasan Hakim Dalam Memutus Menolak Perkara Pembatalan Perkawinan (studi perkara nomor: 0848/Pdt.G/2006/PA. Kab Mlg). Penelitian ini berfokus pada adanya persangkaan yang keliru oleh Pemohon (suami) tentang adanya salah satu rukun perkawinan yang dilakukan, yakni wali nikah tidak sah, tetapi setelah dibuktikan dipersidangan tidak terbukti adanya kekeliruan wali nikah, sehingga perkaranya tersebut harus ditolak. Subyek perkara ini adalah baik pemohon, Termohon I dan Termohon II sebagai orang sipil biasa. Adapun yang peneliti 13 Ummu Kulsum, Judul Skripsi “Pembatalan Perkawinan Sebab Pemalsuan Identitas di Pengadilan Agama Malang (Studi Perkara No : 275/Pdt.G/2005/PA.Mlg)”. Pustaka UIN MALIKI : Malang, 2006 14 Wardatul Firdaus, Judul Skripsi “Alasan Hakim Dalam Memutus Menolak Perkara Pembatalan Perkawinan (studi perkara nomor: 0848/Pdt.G/2006/PA. Kab Mlg)”. Pustaka UIN MALIKI : Malang, 2008 13 inginkan dalam kasus ini adalah bermaksud hanya ingin menganalisis beberapa ketentuan hukum yang dijadikan sandaran hukum oleh hakim dalam mengadili perkara tersebut. Sebagaimana yang sudah peneliti jelaskan di atas, bahwa dengan adanya penelitian terdahulu ini dimaksudkan untuk membedakan penelitian yang peneliti lakukan. Penelitian yang peneliti lakukan secara esensi memiliki perbedaan dengan penelitian yang dilakukan oleh peneliti terdahulu seperti yang peneliti sebutkan di atas. Paling tidak terdapat perbedaan tentang sebab terjadinya pembatalan perkawinan antara peneliti terdahulu dengan peneliti yang lakukan sekarang. Mesikipun objek penelitian (pembatalan perkawinan) sama, namun peneliti memiliki persepsi awal bahwa tidak semua putusan yang dikeluarkan oleh Majelis Hakim sama. Hal ini membuat peneliti yakin terlebih lagi hakim yang mengadili perkara yang peneliti teliti berbeda dengan hakim yang mengadili tiga perkara yang diangkat oleh ketiga peneliti terdahulu tersebut. Sehingga peluang adanya perbedaan persepsi hakim dalam melihat suatu kasus sangat dimungkinkan. Ada tiga permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini, yakni tentang dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan tidak diterima (Niet Onvankelijke Verklaard) dan macam-macam pelanggaran yang terjadi pada kasus perkara ini serta akibat hukum terhadap perkawinan yang telah dilakukan oleh yang bersangkutan setelah adanya putusan negatif (Niet Onvankelijke Verklaard)/ tidak diterima yang telah berkekuatan hukum tetap. Dari beberapa alasan yang telah peneliti paparkan diatas tersebut cukup untuk menjelaskan bahwa penelitian yang peneliti lakukan memiliki perbedaan yang sangat mendasar karena subyek hukum atau pelakunya bukan orang sipil melainkan seorang 14 anggota TNI AU, dan meneliti tentang putusan Hakim yang berupa putusan negatif karena surat permohonan Pembatalan Perkawinan mengandung cacat formal yang pada akhirnya putusan dinyatakan tidak dapat diterima/NO. Sehingga peneliti/penulis menyoroti putusan Hakim dari kasus ini dan akan meninjaunya serta membahasnya dari sudut pandang hukum formil dan materiil, bukan menyoroti putusan positip terhadap perkara permohonan pembatalan perkawinan sebagaimana yang telah dilakukan beberapa penelitian terdahulu. Disinilah letak perbedaan dengan tiga penelitian oleh para peneliti sebelumnya, sehingga orisinalitas penelitian yang peneliti lakukan ini dapat peneliti pertanggung jawabkan secara ilmiah. G. Metode Penelitian 1. Jenis Penelitian Dilihat dari jenis penelitiannya, penelitian ini termasuk penelitian hukum normatif, yang dilakukan dengan cara menelaah data-data sekunder. Penelitian normatif ini termasuk penelitian kepustakaan (library research) atau studi dokumen, karena obyek yang diteliti berupa dokumen resmi yang bersifat publik, yaitu data resmi dari pihak Pengadilan Agama.15 Penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder belaka, dapat dinamakan penelitian hukum normatif atau penelitian hukum kepustakaan.16 Penelitian hukum normatif disebut juga penelitian hukum doktrinal. Pada penelitian hukum jenis ini, acapkali hukum dikonsepkan sebagai apa yang tertulis dalam peraturan perundang-undangan (law in books) atau hukum dikonsepkan sebagai kaidah atau norma yang merupakan patokan berperilaku manusia yang 15 Bambang Waluyo. Penelitian Hukum Dalam Praktek. Jakarta : Sinar Grafika, 2002. hal 13-14. 16 Soerjono Soekanto dan Sri Mamuji. Penelitian Hukum Normatif, Suatu Tinjauan Singkat. Jakarta : PT. RajGrafindo Persada, 2006. hal 13. 15 dianggap pantas.17 Oleh karena itu, sebagai sumber datanya hanyalah data sekunder,18 yang terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder; atau data tersier.19 2. Pendekatan Penelitian Sebagai konsekuensi pemilihan topik permasalahan yang dikaji dalam penelitian yang objeknya adalah permasalahan hukum, sedangkan hukum adalah kaidah atau norma yang ada dalam masyarakat, maka tipe penelitian yang digunakan adalah penelitian yuridis normatif, yakni penelitian yang difokuskan untuk mengkaji penerapan kaidah atau norma dalam hukum positif. Oleh karena tipe penelitian yang digunakan adalah tipe penelitian yuridis normatif, maka pendekatan yang digunakan adalah pendekatan perundang-undangan (statute approach).20 Pendekatan tersebut melakukan pengkajian peraturan perundang-undangan yang berhubungan dengan tema sentral penelitian, yang mana dalam penelitian ini digunakan untuk menganalisa berbagai peraturan hukum perkawinan. 3. Sumber Penelitian Sumber-sumber penelitian hukum dapat dibedakan menjadi sumber-sumber penelitian yang berupa bahan-bahan hukum primer dan bahan-bahan hukum sekunder.21 Karakteristik utama penelitian ilmu hukum normatif dalam melakukan pengkajian hukum ialah sumber utamanya adalah bahan hukum bukan data atau fakta sosial, karena dalam penelitian ilmu hukum normatif yang dikaji adalah bahan 17 Amiruddin dan Zainal Asikin. Pengantar Metode Penelitian Hukum. Jakarta : PT. RajaGrafindo Persada. Hal 118. 18 Ronny Hanitijo Soemitro. Masalah-Masalah Sosiologi Hukum. Bandung : Sinar Grafika, 1984. hal 110. 19 Soerjono Soekanto. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta : UI Press, 1984. hal 54. 20 Johnny Ibrahim. Teori & Metodologi Penelitian Hukum Normatif. Malang : Bayumedia Publishing, 2006. hal 295. 21 Peter Mahmud Marzuki. Penelitian Hukum. Jakarta : Kencana, 2005. hal 141. 16 hukum yang berisi aturan-aturan yang bersifat normatif.22 Bahan-bahan hukum tersebut terdiri dari : a. Bahan Hukum Primer Bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang bersifat autoritatif artinya mempunyai otoritas, bahan hukum primer terdiri dari perundang-undangan, catatan-catatan resmi atau risalah dalam pembuatan perundang-undangan dan putusan-putusan hakim. Dalam penelitian ini bahan hukum primernya berupa putusan hakim yang sudah mempunyai kekuatan hukum tetap yaitu putusan perkara nomor : 3666/Pdt.G/2009/PA.Kab.Mlg. b. Bahan Hukum Sekunder Sedangkan bahan hukum sekunder berupa semua publikasi tentang hukum yang bukan merupakan dokumen resmi. Dalam penelitian ini bahan hukum sekunder berupa literatur atau buku-buku referensi ilmiah seputar Hukum Acara Peradilan Agama, buku-buku yang membahas tentang pembatalan perkawinan dan buku tentang metodologi penelitian. 4. Metode Pengumpulan Data untuk memperoleh data yang benar-benar valid dalam penelitian ini perlu ditentukan teknik-teknik pengumpulan data yang sesuai, maka peneliti ini menggunakan metode-metode sebagai berikut: a. Metode Interview Metode interview atau wawancara yaitu proses Tanya jawab lisan antara dua orang atau lebih yang saling berhadapan secara fisik dengan ketentuan yang satu dapat melihat wajah yang lain, juga dapat mendengar dengan telinganya 22 Bahder Johan Nasution. Metode Penelitian Ilmu Hukum. CV. Mandar Maju : Bandung, 2002, hal 86. 17 sendiri.23 Fungsi wawancara dalam penelitian ini adalah melengkapi data yang ada, guna mengetahui dasar pertimbangan hakim dalam memutus perkara nomor: 3666/Pdt.G/2009/PA.Kab.Mlg Dalam penelitian ini peneliti langsung melakukan wawancara dengan hakim yang menangani dan memutus perkara tersebut. b. Metode Dokumentasi Metode dokumentasi yaitu mencari data mengenai hal-hal atau varibel yang berupa catatan, transkrip, buku, surat kabar, majalah dan sebagainya.24 Metode pengumpulan data studi kepustakaan atau dokumentasi dilakukan dengan pencatatan berkas-berkas atau dokumen yang berhubungan dengan masalah yang dikaji.25 Data yang diperoleh dengan metode ini berupa data-data yang berkenaan dengan arsip putusan perkara nomor: 3666/Pdt.G/2009/PA.Kab.Mlg yang dijadikan objek dalam penelitian ini. Metode ini juga yang digunakan oleh peneliti dalam mengakses kajian teori berupa buku-buku yang berhubungan dengan materi penelitian. 5. Metode Analisis Menurut pakar penelitian hukum soerjono soekanto, metode analisis data pada hakikatnya memberikan pedoman tentang cara seorang ilmuan mempelajari, menganalisis dan memahami lingkungan yang dihadapinya. Dalam penelitian ini menggunakan metode deskriptif analitis, dimana penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan apa-apa yang berlaku. Didalamnya terdapat upaya mendeskripsikan, mencatat, analisis, dan menginterpretasikan kondisi riil yang sedang terjadi, dengan kata lain penelitian deskriptif bertujuan untuk memperoleh 23 Sutrisno Hadi, Metodologi Research, Andi Offset : Jakarta. hal 192 24 Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek, PT. Rineka Cipta : Jakarta. 2006, hal.231 25 Soerjono soekanto, sosiologi suatu pengantar, PT. Raja Grafindo : Jakarta. 2005, hal. 66 18 informasi mengenai keadaan saat ini, dan melihat kaitan antara variabel-variabel yang ada. Penelitian ini tidak menggunakan hipotesa melainkan hanya mendeskripsikan apa adanya sesuai dengan variabel yang diteliti.26 Deskriptif disini adalah menjabarkan, menggambarkan kajian tentang pembatalan perkawinan, alasan-alasan pengajuan pembatalan perkawinan, serta hal-hal yang menjadi pertimbangan hakim dalam memutus perkara tersebut secara jelas sesuai yang diatur dalam undang-undang perkawinan. Adapun analisa disini adalah kelanjutan dari metode deskriptif yang menganalisa faktor-faktor yang dijadikan dasar pertimbangan hakim dalam memutus perkara ini dan menganalisa tentang macam-macam pelanggaran serta menganalisa tentang akibat hukum atas perkara permohonan pembatalan perkawinan yang dijatuhi putusan tidak diterma (niet onvankelijke verklaard). H. Sistematika Pembahasan BAB I : PENDAHULUAN Pada bab ini membahas tentang latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, definisi operasional, penelitian terdahulu, metodologi penelitian. BAB II: KAJIAN PUSTAKA Pada bab ini membahas tentang pembatalan perkawinan yang terdiri dari pengertian pembatalan perkawinan perspektif fiqh, Undang-Undang No.1/1974, Kompilasi Hukum Islam dan beberapa macam pernikahan yang dilarang yang dapat diajukan pembatalan. Rukun dan syarat sah perkawinan. Izin beristri lebih dari satu orang. Konsep dasar tentang gugatan atau 26 Mardalis. Metode Penelitian Suatu Pendekatan Proposal, Bumi Aksara : Jakarta, 2003. hal 26. 19 permohonan. Putusan yang terdiri dari pengertian putusan, macam-macam putusan, tentang pertimbangan hukum, konsep tentang putusan niet onvankelijke verklaard, permohonan/ gugatan yang dapat diputus N.O. perkawinan bagi anggota TNI, acara pembatalan perkawinan. BAB III: TEMUAN DATA DAN ANALISIS Pada bab ini membahas mengenai temuan data dan analisinya, membahas tentang dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan NO, serta macam-macam pelanggaran yang terdapat dalam kasus perkara nomor: 3666/Pdt.G/2009/PA.Kab.Mlg. kemudian dilanjutkan kepada akibat hukum terhadap putusan N.O. atas perkara nomor: 3666/Pdt.G/2009/PA.Kab.Mlg. BAB IV: PENUTUP Dalam bab terakhir ini membahas mengenai kesimpulan dan saran disertai lampiran yang khususnya berkaitan dengan masalah dalam penelitian ini.
Untuk Mendownload Skripsi "Skripsi al-Ahwal al-Syakhshiyyah" : Putusan tidak diterima (niet onvankelijke verklaard) terhadap permohonan pembatalan perkawinan kedua di Pengadilan Agama Kabupaten Malang: Studi atas putusan nomor 3666/Pdt.G/ 2009/PA.Kab.Mlg. Untuk Mendownload skripsi ini silakan klik link dibawah ini


Artikel Terkait:

No comments:

Post a Comment