Abstract
INDONESIA:
Meskipun eksistensi Peradilan Agama sebagai peradilan yang mandiri terwujud dengan diundangkannya UU No. 7 Tahun 1989, namun Peradilan Agama belum mendapatkan kewenangan untuk menangani perkara waris orang Islam secara penuh. Hal ini dikarenakan adanya hak opsi waris yang mengakibatkan fungsionalisasi dari Peradilan Agama kurang menguntungkan, karena masyarakat lebih memilih mengajukan perkara warisnya ke Pengadilan Negeri. Ini menyebabkan dualisme kewenangan absolut antara Peradilan Agama dengan Peradilan Negeri. Namun kini hak opsi waris tersebut telah dicabut dengan diundangkannya UU No.3
Tahun 2006 yang terdapat dalam pasal 50 yang menyatakan bahwa masalah waris ditentukan berdasarkan agama dari subjek hukum. Selain ketentuan tentang pencabutan hak opsi dalam pasal 50 tersebut juga memperluas jangkauan Peradilan Agama dalam mengadili masalah waris yang didalamnya terdapat sengketa hak milik, sehingga tidak perlu diajukan ke Pengadilan Negeri terlebih dahulu.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui dampak dari pencabutan hak opsi waris tersebut bagi kedua Peradilan. Juga untuk mengetahui respons dari para hakim, baik hakim di Pengadilan Negeri maupun di Pengadilan Agama Malang terhadap pencabutan hak opsi waris tersebut. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif.
Adapun data-data diperoleh dengan menggunakan metode wawancara dan dokumentasi. Wawancara dilakukan dengan para hakim Pengadilan Negeri dan Pengadilan Agama Malang sebagai responden. Untuk menganalisis data, digunakan teknik analisis deskriptif komparatif.
Adanya pencabutan hak opsi waris tersebut tidak menimbulkan dampak yang signifikan bagi kedua pengadilan, karena hal tersebut tidak secara otomatis berdampak pada berkurangnya jumlah perkara waris yang masuk ke Pengadilan Negeri Malang dan bertambahnya jumlah perkara waris yang masuk ke Pengadilan Agama Malang. Karena meskipun hak opsi waris telah dicabut, masih saja ada masyarakat yang beragama Islam tetap mengajukan perkara warisnya ke Pengadilan Negeri Malang. Pencabutan hak opsi waris ini juga tidak selamanya mendapat respons positif dari hakim Pengadilan Negeri, karena mereka melihat peraturan tersebut tidak dapat diberlakukan begitu saja, karena masalah waris ini berkaitan dengan kondisi sosiologis masyarakat apalagi berkaitan dengan kepentingan- kepentingan pribadi. Selain itu hukum adat yang digunakan di Pengadilan Negeri untuk membagi waris, masih diakui keberlakuannya di Indonesia yang terdapat dalam Pasal 18B ayat 2 UUD 1945. Namun, pencabutan hak opsi waris ini di respons positif oleh semua hakim Pengadilan Agama Malang, yang melihat bahwa sudah selayaknya ketentuan tersebut diberlakukan bagi mereka yang beragama Islam.
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Masalah Persengketaan keluarga, semisal
perkawinan, perceraian, hadhonah, waris dan lain-lain bukan sekedar persoalan
hukum, akan tetapi merupakan pola persoalan manusia dalam hubungannya dengan
keluarga. Dalam hal ini sebagaimana pendapat yang dilontarkan oleh Bustanul
Arifin pengadilan keluarga adalah “harapan” masa sekarang dan masa depan untuk
menyelesaikan segala persoalan keluarga tersebut. 1 Di Indonesia, dalam
penyelenggaraan kekuasaan kehakiman dilaksanakan oleh empat badan peradilan,
yaitu: Peradilan Umum (Peradilan Negeri), Peradilan Agama, 1Rojudin, Peradilan
Agama di Indonesia (Bandung: Pustaka Bani Quraisy, 2004), 231. 1 Peradilan
Militer dan Peradilan Tata Usaha. Masing-masing peradilan memiliki wewenang
mengadili perkara yang meliputi badan-badan peradilan tingkat pertama dan
tingkat banding yang berpuncak pada Mahkamah Agung sebagai Peradilan Negara
tertinggi. 2 Oleh karena itu, terdapat unsur-unsur persamaan dan perbedaan di
antara keempat lingkungan peradilan itu. Unsur persamaannya, di antaranya
susunan dan jenjang badan peradilan serta pembinaan yustisial yang dilakukan
oleh Mahkamah Agung, sedangkan unsur-unsur perbedaannya terletak pada wewenang
mutlak (Absolut Competitie) masing-masing badan peradilan dan pembinan
nonyustisial. Keberadaan Pengadilan Agama dalam rentang sejarah yang panjang
sejak jaman kesultanan, masa kolonial, awal kemerdekaan, hingga era reformasi
telah melewati masa yang panjang dan penuh dinamika. Tidak hanya keberadaannya
yang selalu mendapat tantangan pada setiap rezim yang berkuasa, tetapi
kewenangannya pun telah mengalami pasang surut sejalan dengan logika hukum para
rezim yang berkuasa di satu sisi, sementara di sisi lain juga merupakan wujud
pasang surutnya greget umat Islam dalam memperjuangkan syari’at Islam di tengah
kehidupan masyarakat. Eksistensi Peradilan Agama sebagai peradilan yang mandiri
terwujud dengan diundangkannya UU No. 7 Tahun 1989. Undang-undang ini mengatur
kedudukan, hukum acara dan kewenangan Peradilan Agama secara eksplisit.
Kewenangan absolut Peradilan Agama ini diatur dalam pasal 49 ayat (1) yang
menyebutkan bahwa 2Cik Hasan Bisri, Peradilan Islam Dalam Tatanan Masyarakat Indonesia
(Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 1997), 152. Peradilan Agama bertugas
memeriksa, memutuskan, dan menyelesaikan perkaraperkara di tingkat pertama
antara orang-orang yang beragama Islam dibidang: 1. Perkawinan, 2. Kewarisan,
wasiat dan hibah yang dilakukan berdasarkan hukum Islam, 3. Wakaf dan shadaqoh.
3 Kewenangan Peradilan Agama dalam mengadili perkara waris yang telah jelas
diatur dalam batang tubuh undang-undang ini dimentahkan oleh penjelasan dari
undang-undang yang sama yakni dalam penjelasan umum butir kedua alinea keenam
yang berbunyi: “Sehubungan dengan hal tersebut, para pihak yang berperkara
dapat mempertimbangkan untuk memilih hukum mana yang akan dipergunakan dalam
pembagian waris”. 4 Sehingga lahirlah suatu “tragedi hukum” yaitu “hak opsi
dalam kewarisan”. Dalam hal ini, para pihak sebelum berperkara dapat
mempertimbangkan hukum apa yang dipilih dalam pembagian warisnya. Ini berarti,
Peradilan Agama hanya berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara
warisan, jika pihak yang berkepentingan memilih hukum Islam untuk
menyelesaikannya. Pilihan hukum ini, tentu saja dilakukan di luar Pengadilan
Agama, kalau pilihan itu hukum adat misalnya, maka penyelesaiannya adalah
melalui Pengadilan Negeri. 5 Pilihan hukum ini berkaitan erat dengan sistem
tata hukum yang berlaku di Indonesia, yang mana kita mengenal ada tiga sistem
hukum yang berlaku. Pertama, sistem tata hukum Eropa yang juga mengatur hukum
waris yang terdapat dalam buku kedua KUH Perdata (BW). Kedua, sistem tata hukum
adat dan ketiga ialah sistem 3Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan
Agama, Lembar Negara Republik Indonesia Tahun 1989 No. 49. 4 Penjelasan Umum
Undang-Undang No. 7 Tahun 1989. 5Rojudin, Op. Cit., 233. tata hukum waris Islam
yang diberlakukan kepada golongan rakyat yang beragama Islam. 6 Selain itu
persoalan pemilihan hukum (hak opsi), juga erat kaitannya dengan kesadaran akan
hukum Islam bagi pencari keadilan. Hal ini mengakibatkan fungsionalisasi
Peradilan Agama kurang menguntungkan dan menyebabkan dualisme Kewenangan
absolut antara Peradilan Agama dengan Peradilan Negeri. Selain itu, dalam pasal
50 UU No. 7 Tahun 1989 juga mengatur tentang sengketa hak milik yang mana jika
dalam kewenangan absolut yang terdapat dalam pasal 49 terjadi sengketa hak
milik maka harus diselesaikan terlebih dahulu di Peradilan Negeri yang memang
perkara sengketa hak milik ini menjadi kewenangan absolutnya. 7 Hal ini juga
yang menyebabkan para pihak yang bersengketa masalah waris lebih memilih
menyelesaikan perkara warisnya di Pengadilan Negeri, karena sengketa waris
adakalanya didahului dengan adanya sengketa hak milik yang harus diselesaikan
terlebih dahulu baru kemudian pembagian warisnya. Husnaini dalam sebuah
artikelnya menyatakan bahwa, menurut N. J. Coulson hukum senantiasa hidup dan
berkembang sejalan dengan laju perkembangan suatu masyarakat. Senada dengan
pernyataan ini, diundangkannya UU No. 3 Tahun 2006 pada tanggal 20 Maret 2006
yang merupakan hasil revisi dari UU No. 7 Tahun 1989. Tiga hal mendasar dalam
UU No. 7 Tahun 1989 yang diubah oleh UU No. 3 Tahun 2006, yakni: mengenai
kewenangan, pembinaan dan hak opsi. Kewenangan Peradilan Agama semakin luas
yang paling menonjol adalah dilimpahkannya sengketa ekonomi syari’ah ke
Pengadilan Agama. Sementara pembinaan oleh Mahkamah Agung tidak hanya dibidang
teknis dan administrasi yudisial, tetapi telah 6M. Yahya Harahap, Kedudukan
Kewenangan dan Acara Peradilan Agama (Jakarta: Sinar Grafika, 2005), 160. 7
Ibid., 153. meliputi organisasi, administrasi dan finansial yang pelaksanaannya
memperhatikan saran dari Menteri Agama dan MUI, sedangkan hak opsi dalam
perkara waris dihapus. 8 Penghapusan hak opsi dalam perkara waris ini terdapat
dalam pasal 50 ayat 2 UU No. 3 Tahun 2006, yang mana jika terjadi sengketa hak
milik pada perkara yang menjadi kompetensi absolut dari Peradilan Agama, maka
penyelesaiannya ditentukan berdasarkan agama para pihak yang bersengketa.
Dengan demikian jika pihak bersengketa beragama Islam, maka sengketa warisnya
menjadi kewenangan mutlak dari Pengadilan Agama. Hal ini merupakan penjabaran
dari asas personalita keIslaman yang terdapat dalam lingkungan Peradilan Agama
yang diatur dalam pasal 2, penjelasan umum angka 2 alinea ketiga dan pasal 49
ayat (1) UU No. 7/1989 yang direvisi oleh UU No. 3/2006. 9 Ketentuan asas
personalita keislaman ini tentunya dikaitkan berbarengan dengan “perkara
tertentu” sepanjang sengketa perkara tersebut menjadi kewenangan mutlak
Peradilan Agama. Dengan dikembalikannya perkara waris ke dalam wewenang absolut
Peradilan Agama, hilanglah dualisme antara Peradilan Agama dengan Peradilan
Negeri dalam persoalan kewenangan absolut perkara waris. Karena ketika hak opsi
diberlakukan Undang-undang memberi kesempatan secara sadar kepada para pihak
yang bersengketa untuk memilih hukum waris mana yang mereka anggap lebih adil
di antara ketiga tata hukum waris yang berlaku di Indonesia, jika mereka
berpendapat dengan sadar bahwa nilai-nilai hukum warisan Eropa yang berdasarkan
KUH Perdata (BW) lebih adil dalam menyelesaikan pembagian waris, maka tentunya
perkara ini 8Husnaini, ”Sengketa Hak Milik Dalam Proses Beracara di PA”,
http://www.mimbarhukum.com.html, (diakses tanggal 3 April 2008). 9Gemala Dewi,
Hukum Acara Perdata Peradilan Agama di Indonesia (Jakarta: Kencana, 2005), 60.
dilimpahkan ke Pengadilan Negeri bukan ke Pengadilan Agama. Hal ini kerap kali
terjadi, mengingat persoalan ini juga erat berkaitan dengan kesadaran hukum
Islam oleh para pencari keadilan, dan hal ini juga membawa keuntungan
tersendiri bagi Pengadilan Negeri, baik itu dalam masalah reputasi ataupun
selainnya. Di satu sisi, pengapusan hak opsi dalam kewarisan yang berarti
wewenang absolut perkara waris yang mana subjek hukumnya antara orang-orang
yang beragama Islam di kembalikan ke dalam kewenangan absolut Peradilan Agama,
merupakan sebuah pengurangan kewenangan perkara yang ditangani oleh Peradilan
Negeri. Namun di sisi lain, Pengembalian kewenangan waris ke Peradilan Agama
ini juga mengakibatkan penumpukan perkara yang harus di tangani oleh Peradilan
Agama mengingat dalam pasal 49 UU No. 3 Tahun 2006 kewenangan absolut Peradilan
Agama juga mengalami perluasan, semisal tentang kewenangan baru dalam menangani
sengketa ekonomi syari’ah, yang hingga saat ini kesiapan aparat Peradilan Agama
dalam menangani perkara ini masih diragukan oleh sebagian pihak. 10 Atas dasar
uraian inilah, penelitian ini dirasa perlu untuk dilakukan, untuk mengetahui
lebih mendalam tentang respons dari pihak Pengadilan Negeri Malang dan
Pengadilan Agama Malang terutama hakim sebagai perangkat Pengadilan yang
bertugas untuk menyelesaikan segala perkara yang masuk, yang tentunya respon
ini berkaitan dengan pencabutan hak opsi dalam perkara waris yang terdapat
dalam pasal 50 ayat 2 UU No. 3 Tahun 2006. 10Husnaini, Op. Cit., (diakses
tanggal 3 April 2008). B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah
yang peneliti ungkapkan di atas, maka perlu disusun rumusan masalah yang
terkait dengan penelitian ini guna menjawab segala permasalahan yang ada.
Adapun rumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1.
Bagaimana dampak pencabutan hak opsi dalam perkara waris bagi Pengadilan Negeri
Malang dan Pengadilan Agama Malang? 2. Bagaimana pendapat hakim Pengadilan
Negeri Malang dan Pengadilan Agama Malang tentang pencabutan hak opsi dalam
perkara waris? C. Batasan Masalah Setelah masalah dirumuskan, perlu ditentukan
batas ruang lingkup penelitian. Hal ini penting agar pembahasan penelitian
tidak terseret ke dalam lautan persoalan yang tak bertepi, sehingga mengaburkan
fokus penelitian. 11 Selain itu batasan ini juga perlu untuk memberikan fokus
penelitian mengingat dampak dari pencabutan hak opsi dalam perkara waris sangat
banyak. Oleh karena itu untuk menghindari kesalahpahaman, peneliti membatasi
dampak dari pencabutan hak opsi dalam penelitian ini hanya yang berdampak
kepada kewenangan absolut yang terkait dengan jumlah perkara waris yang masuk
baik itu di Pengadilan Negeri Malang maupun di Pengadilan Agama Malang.
11Burhan Bungin, Analisis Data Penelitian Kualitatif (Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada, 2006), 41. D. Tujuan Penelitian Terkait dengan pembahasan
diatas, dalam penelitian ini terdapat beberapa tujuan yang ingin dicapai oleh
peneliti di akhir kegiatan penelitian ini. Pertama, untuk mengetahui dampak
pencabutan hak opsi dalam perkara waris bagi Pengadilan Negeri Malang dan
Pengadilan Agama Malang, mengingat kewenangan absolut dalam perkara waris bagi
pihak yang beragama Islam dikembalikan lagi ke Pengadilan Agama. Kedua, untuk
mengetahui pendapat hakim Pengadilan Negeri Malang dan hakim Pengadilan Agama
Malang sebagai perangkat Pengadilan yang bertugas untuk menyelesaikan segala
perkara yang masuk tentang pencabutan hak opsi dalam perkara waris. E. Manfaat
Penelitian Penelitian mengenai respons hakim Pengadilan Negeri Malang dan hakim
Pengadilan Agama Malang terhadap pencabutan hak opsi dalam perkara waris ini
diharapkan dapat bermanfaat bagi semua pihak di antaranya: 1. Secara Teoritis
a. Penelitian ini diharapkan dapat memperkaya khazanah keilmuan dan
memperbanyak informasi yang tentunya terkait dengan pembahasan dari penelitian
ini, yakni tentang Peradilan Agama di Indonesia pada bagian kewenangan absolut
dalam perkara waris yang sejalan dengan perubahan jaman, kewenangan ini juga
ikut berubah. b. Hasil yang diperoleh dari penelitian ini diharapkan dapat
memberikan konstribusi pemikiran ilmiah bagi Fakultas Syari’ah Jurusan Al-Ahwal
AsySyakhshiyyah Universitas Islam Negeri (UIN) Malang. c. Penelitian ini juga
diharapkan dapat dijadikan sebagai titik awal dari penelitian selanjutnya. 2.
Secara Praktis a. Penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan,
pengalaman, dan wawasan mahasiswa tentang Peradilan di Indonesia. b. Penelitian
ini diharapkan bermanfaat bagi masyarakat, lembaga terkait dan pembuat
kebijakan Undang-undang yaitu dapat dipakai sebagai sumbangan pemikiran atau
sebagai bahan masukan untuk permasalahan yang terkait dengan judul penelitian
ini.
Untuk Mendownload Skripsi "Skripsi Hukum Bisnis Syariah" : Respons hakim Pengadilan Negeri Malang dan Pengadilan Agama Malang terhadap pencabutan hak opsi dalam perkara waris tinjauan terhadap pasal 50 ayat 2 UU no. 3 tahun 2006" Untuk Mendownload skripsi ini silakan klik link dibawah ini
No comments:
Post a Comment