Jasa Pembuatan Skripsi

Jasa Pembuatan Skripsi
Jasa Pembuatan Skripsi

Saturday, June 10, 2017

Jasa Buat Skripsi: download Skripsi al-Ahwal al-Syakhshiyyah:Pandangan tokoh masyarakat terhadap konsep adil wali nikah: Studi kasus di Kel. Mimbaan, Kec. Panji, Kab. Situbondo

Abstract

INDONESIA:
Mayoritas masyarakat Kelurahan Mimbaan, Kecamatan Panji, Kabupaten Situbondo bermadzhab Syafi’i dan tergolong santri. Menurut Imam Syafi’i, seorang wali nikah disyaratkan harus adil. Sedangkan di daerah tersebut masih banyak masyarakat yang menggunakan wali fasik dan kondisi ini bertentangan dengan konsep Imam Syafi’i. Dalam hal ini, para tokoh masyarakat memiliki peran penting, sebab mereka merupakan salah satu panutan dalam kehidupan bermasyarakat.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pandangan tokoh masyarakat terhadap konsep adil dan implementasi konsep adil wali nikah di Kelurahan Mimbaan, Kecamatan Panji, Kabupaten Situbondo. Adapun jenis penelitian yang digunakan ialah sosiologis atau empiris, dengan pendekatan kualitatif yakni menghasilkan data deskriptif. Subyek penelitian berupa tokoh masyarakat di Kelurahan Mimbaan, Kecamatan Panji, Kabupaten Situbondo, yang terdiri dari penghulu, modin, ustadz, dan guru agama. Metode pengumpulan data berupa observasi, wawancara, dan dokumentasi. Metode analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis deskriptif.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa Pertama, Mayoritas tokoh masyarakat di Kelurahan Mimbaan, Kecamatan Panji, Kabupaten Situbondo, mensyaratkan adil sebagai salah satu syarat untuk menjadi wali nikah. Adil merupakan suatu bentuk kehati-hatian. Syarat adil diartikan dengan tidak fasik, yakni tidak sering melakukan perbuatan dosa seperti contoh meninggalkan sholat lima waktu, berzina, berjudi, minum khamr, dan sebagainya. Kedua, Dalam implementasi konsep adil, mayoritas tokoh masyarakat di Kelurahan Mimbaan, Kecamatan Panji, Kabupaten Situbondo, berpendapat bahwa untuk menjadi wali nikah di masyarakat tersebut ialah syarat adil bagi wali tidak diterapkan. Hal ini disebabkan oleh, jika syarat adil diterapkan sesuai dengan konsep Imam Syafi’i ialah susah untuk menilai perbuatan atau tingkah laku fasik seseorang yang berhubungan dengan pribadi tiap individu. Mereka beralasan bahwa ke-Islaman seorang wali sudah dianggap cukup memenuhi syarat menjadi wali nikah dan adanya kemaslahatan yang lebih besar, sehingga wali fasik boleh menjadi wali nikah.
ENGLISH:
The majority of Mimbaan village community, Panji sub district, Situbondo Regency is Syafi’i madzhab and classified student. According to Imam Syafi’i, the guardian is required to be fair. Whereas is still a lot of people use the wicked guardian and this contrary to the concept of Imam Syafi’i. In this case, community leaders have important role, because they are one of the role models in public life.
This research has an aim at understanding about the view of social figure toward fair concept and the implementation of marriage guardian fair concept in Mimbaan village, Panji sub district, Situbondo. This research use the sociology or empiric methodh, with qualitative approach this research produce descriptive data. Research subject is the social figure inMimbaan village, Panji sub district, Situbondo that consist of muslim leader, modin, ustadz, and Islamic teacher. The data collection method is observation methodh, interview, and documentation. Method of data analysis is used in this research is descriptive analysis.

Based on research method above, it found some results, namely: firstly, Most of social figure in Mimbaan village, Panji sub district, Situbondo giving a requirement that fair as one of requirement for became a marriage guardian. Fair is the one of carefully form. The requirement of fair means not fasik, it means not often to do the sin such as leaving praying 5 times, doing zina, gambling, drunk the khamr, and etc. Second, in the implementation of fair concept, most of the social figure in Mimbaan village, Panji sub district, Situbondo argued that for became a marriage guardian in that society, is fair requirement for marriage guardian can not implemented. If thi is because of fair requirement is applied in accordance with the concept of Imam Syafi’i is difficult to assess action or wicked behavior related with each individuals personal. They reasoned that of guardian Islam was considered enough qualified to be guardian of marriage and there is a greater benefits, so wicked guardian can be a guardian of marriage.

BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Perkawinan menurut hukum Islam adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau mîtsâqan ghalîdhan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah.1 Islam telah mengatur manusia dalam hidup berjodoh-jodohan melalui jenjang perkawinan, sebab manusia diciptakan oleh Allah SWT berpasangpasangan dengan keadaan demikian manusia akan menjadi berkembang biak dan berlangsung hidup dari generasi ke generasi.2 Pasal 3 KHI menyebutkan bahwa tujuan dari perkawinan adalah untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawadah wa rahmah. 3 Agar tujuan dari perkawinan tercapai, maka proses perkawinan harus sesuai dengan syari’at. Adapun unsur nikah menurut Imam Syafi’i ada lima yaitu calon mempelai laki-laki, calon mempelai perempuan, wali, dua orang saksi dan ijab qabul.4 Kelima 1Departemen Agama, UU Peradilan Agama dan KHI, (Yogyakarta: Pena Pustaka) 140. 2Abd. Rahman Ghazaly, Fiqh Munakahat, (Jakarta: Kencana, 2006) 12. 3Departemen Agama, UU Peradilan..., 140. 4Achmad Kuzairi, Nikah sebagai Perikatan, (Jakarta:PT Raja Grafindo Persada, 1995) 34. 2 unsur tersebut dapat dikatakan sebagai rukun perkawinan yaitu hakikat dari perkawinan itu sendiri, jadi tanpa adanya salah satu rukun, perkawinan tidak dapat dilaksanakan.5 Salah satu rukun nikah ialah adanya wali. Dalam Pasal 19 KHI (Kompilasi Hukum Islam) disebutkan, “Wali nikah dalam perkawinan merupakan rukun yang harus dipenuhi bagi calon mempelai wanita yang bertindak untuk menikahkannya.” Terdapat perbedaan pendapat dikalangan ulama mengenai adanya wali dalam pernikahan. Menurut mayoritas ulama, termasuk Imam Syafi’i dan Ahmad bin Hanbal, berpendapat bahwa seorang perempuan tidak diperbolehkan menikahkan dirinya sendiri ataupun perempuan selain dirinya. Dengan demikian, pernikahan tidak dapat berlangsung dengan tindakan atau ucapan perempuan itu sendiri. Sebab, perwalian merupakan syarat yang harus terpenuhi demi keabsahan suatu akad nikah.6 Sedangkan menurut Imam Abu Hanifah, seorang perempuan yang sudah baligh, berakal sehat, dan mampu menguasai dirinya, boleh saja melangsungkan akad nikah bagi dirinya sendiri, baik ia seorang gadis atau janda.7 Sekian banyak syarat dan rukun untuk sahnya perkawinan (nikah) menurut hukum Islam, wali nikah adalah hal yang sangat penting dan menentukan. Menurut Imam Syafi’i, suatu pernikahan tidak sah tanpa adanya wali bagi pihak pengantin perempuan. Sedangkan, bagi calon pengantin laki-laki tidak diperlukan wali nikah untuk sahnya nikah tersebut.8 Adanya seorang wali merupakan penentu sah tidaknya suatu pernikahan tersebut. Sebab, wali dari pihak wanitalah yang akan menyerahkan 5 Soemiyati, Hukum Perkawinan Islam dan UU Perkawinan, (Yogyakarta: Liberty, 2004) 30. 6Muhammad Bagir, Fiqh Praktis II, (Bandung: Karisma, 2008) 57. 7Muhammad Bagir, Fiqh..., 58. 8Moh.Idris ramulyo, Hukum Perkawinan Islam: Suatu analisis dari UU no.1 tahun 1974 dan KHI, (Jakarta: PT Bumi Aksara, 2004) 215. 3 anaknya kepada pihak laki-laki atau calon mempelai laki-laki dalam hal ijab qabul (serah terima). Orang-orang yang akan menjadi wali harus memenuhi syarat yang telah ditetapkan oleh syariat. Syarat wali nikah ialah Islam, telah dewasa dan berakal sehat, laki-laki, merdeka, adil, serta tidak sedang dalam ihram haji atau umrah.9 Menurut Imam Syafi’i, keadilan seorang wali merupakan hal yang penting bagi keberlangsungan suatu pernikahan (saat ijab qabul). Dalam hal ini, adil yang dimaksud ialah sikap istiqamah (berpegang teguh) pada agama, dengan melaksanakan kewajiban-kewajibannya, serta menghindari dosa-dosa besar seperti berzina, meminum khamr, durhaka kepada orang tua, dan dosa besar lainnya, dengan tanpa memandang sepele dosa kecil.10 Di Indonesia, khususnya di Kelurahan Mimbaan, Kecamatan Panji, Kabupaten Situbondo, Provinsi Jawa Timur, mayoritas masyarakatnya bermadzhab Syafi’i. Kelurahan Mimbaan merupakan daerah santri, di mana masyarakatnya tergolong masyarakat santri. Hal tersebut dapat dilihat dari adanya pengaruh dua pondok pesantren (ponpes) swasta terhadap kehidupan sehari-sehari.11 Kondisi masyarakat di daerah tersebut yang mana berlatar belakang penganut Imam Syafi’i dan tergolong masyarakat santri dapat berpengaruh terhadap pola kehidupan sehraihari. Imam Syafi’i mensyaratkan wali nikah harus adil, sedangkan dalam masyarakat Kelurahan Mimbaan terdapat penggunaan wali fasik dalam pelaksanaan 9Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2006) 76. 10Toto Supriyanto, Intiqlal Wali Nikah, http://www.pokjahulu-kotabandung.com/2010/12/intiqal-walinikah.html diakses pada tanggal 10 November 2012. 11 Instrumen Pendataan Profil Desa dan Kelurahan: Badan Pemberdayaan Masyarakat dan Perempuan Kabupaten Situbondo tahun 2012. 4 pernikahan. Hal ini jika dikaitkan dengan pemikiran Imam Syafi’i, maka kriteria adil dalam menjadi wali nikah termasuk dalam syarat wali, sehingga harus terpenuhi. Adapun sebagian tokoh masyarakat di Kelurahan tersebut mensyaratkan wali nikah haruslah adil. 12 Dimana andil tokoh masyarakat merupakan teladan bagi masyarakat lainnya dalam hal tertentu. Melihat fenomena tersebut dengan kondisi masyarakat yang bermadzhab Syafi’i dan santri, serta adanya pernyataan dari sebagian tokoh masyarakat di Kelurahan tersebut, timbul sebuah kontradiksi dalam konsep syarat wali nikah yang disyaratkan oleh Imam Syafi’i. Para tokoh masyarakat memiliki pengaruh besar bagi masyarakat di Kelurahan Mimbaan, Kecamatan Panji, Kabupaten Situbondo. Apabila keadilan seorang wali merupakan salah satu syarat dalam menjadi wali nikah, lantas bagaimana kriteria adil seorang wali yang harus terpenuhi. Sebab, jika salah satu syarat dalam suatu perbuatan tidak terpenuhi, maka perbuatan tersebut tidak sah. Demikian juga dalam suatu pernikahan, jika salah satu syarat tidak terpenuhi, maka pernikahan tersebut tidak sah. B. Batasan Masalah Penulis melakukan suatu pembatasan masalah bertujuan untuk menghindari adanya penyimpangan dari permasalahan yang akan dibahas. Sehingga, penulisan dapat lebih terfokus, dan tidak meluas dari pokok permasalahan yang ada, serta penelitian yang dilakukan menjadi lebih terarah dalam mencapai tujuan dan sasaran yang diharapkan. Adapun pembatasan masalah dalam penelitian ini adalah mengenai pemahaman tokoh masyarakat di Kelurahan Mimbaan, Kecamatan Panji, Kabupaten Situbondo terhadap konsep adil wali nikah dalam konsep Imam Syafi’i. 12Hasil pra-riset di Kelurahan Mimbaan Kec. Panji Kab. Situbondo pada tanggal 18 November 2012. 5 C. Rumusan Masalah 1. Bagaimana pandangan tokoh masyarakat di Kelurahan Mimbaan, Kecamatan Panji, Kabupaten Situbondo terhadap konsep adil wali nikah? 2. Bagaimana pandangan tokoh masyarakat tentang implementasi konsep adil wali nikah di Kelurahan Mimbaan, Kecamatan Panji, Kabupaten Situbondo? D. Tujuan Penelitian 1. Untuk mengetahui pandangan tokoh masyarakat di Kelurahan Mimbaan, Kecamatan Panji, Kabupaten Situbondo terhadap konsep adil wali nikah. 2. Untuk mengetahui pandangan tokoh masyarakat tentang implementasi konsep adil wali nikah di masyarakat Kelurahan Mimbaan, Kecamatan Panji, Kabupaten Situbondo. E. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoritis Sebagai khazanah pemikiran dan sumbangan akademik bagi masyarakat pada umumnya dan bagi peneliti yang akan melakukan penelitian dengan tema yang sama. 2. Manfaat Praktis Sebagai masukan kepada para wali nikah khususnya di Kelurahan Mimbaan, Kecamatan Panji, Kabupaten Situbondo, sehingga diharapkan dalam pelaksanaan pernikahan tidak terjadi pengabaian terhadap persyaratan untuk menjadi wali nikah atau sesuai dengan ajuran syari’at. F. Definisi Operasional 6 1. Tokoh masyarakat yaitu seseorang yang berpengaruh dan ditokohkan oleh lingkungannya.13 2. Adil yaitu teguh pendirian dan lurus dalam beragama, akhlak, dan harga diri.14 3. Wali: seseorang yang bertindak atas nama mempelai perempuan dalam suatu akad nikah.15 G. Penelitian Terdahulu Penelitian terdahulu berfungsi untuk melihat adanya suatu kekurangan dan kelebihan yang digunakan oleh penulis lain dengan tema penelitian yang sama. Adapun pentingnya disebutkan penelitian terdahulu dalam sebuah penelitian untuk mempermudah pembaca dalam menilai perbedaan teori yang digunakan oleh peneliti yang satu dengan peneliti yang lain dalam mengkaji permasalahan yang sama. Mengenai wali nikah, sebelumnya sudah diteliti oleh peneliti lain, diantaranya yaitu Muhammad Darwis, Fauzi Romadhona Imron Putra, dan Shulthan Arifin dengan hasil penelitian sebagai berikut: Penelitian yang dilakukan oleh Muhammad Darwis16 mengenai Persepsi Masyarakat Kelurahan Argotirto, Kecamatan Sumbermanjing Wetan, Kabupaten Malang Tentang Wakalah Wali Dalam Akad Nikah, dapat dijelaskan bahwa wakalah wali terjadi di semua pernikahan di Kelurahan Argotirto, Kecamatan Sumbermanjing Wetan, Kabupaten Malang. Mayoritas yang menjadi wakil wali dalam akad nikah adalah penghulu atau petugas dari KUA, sebagian lainnya kiai dan tokoh masyarakat 13http://balatbangbengkulu.files.wordpress.com/2010/05/toma.pdf diakses pada 10 Januari 2013. 14Wahbah az-Zuhaili, “Fiqh Islam wa Adillatuhu jilid 4”, diterjemahkan Abdul hayyie al-Kattani, dkk, (Jakarta: Gema Insani, 2011) 473. 15Amir Syarifussin, Hukum Perkawinan..., 69. 16Muhammad Darwis, Persepsi Masyarakat Desa Argotirto Kecamatan Sumbermanjing Wetan Kabupaten Malang Tentang Wakalah Wali Dalam Akad Nikah, (Malang: Skripsi Fakultas syari`ah UIN Malang, 2008). 7 setempat. Semua masyarakat Kelurahan Argotirto setuju bahwa wali merupakan salah satu syarat sah dalam sebuah pernikahan, akan tetapi mereka tidak terbiasa untuk menikahkan anak perempuannya sendiri. Adapun penyebab terjadinya wakalah wali dalam akad nikah di Kelurahan Argotirto adalah sebagian tokoh agama berpegang teguh kepada pendapat Imam Syafi'i bahwa orang fasik tidak boleh menjadi wali, dan masyarakat merasa senang apabila yang menikahkan putri mereka ialah tokoh agama. Penelitian yang dilakukan oleh Fauzi Romadhona Imron Putra17 mengenai Pandangan Tokoh Agama terhadap Wakalah Wali dalam Akad Nikah (Studi di Kelurahan Ngagel Rejo Surabaya), dapat dijelaskan bahwa wakalah wali terjadi dalam mayortitas pernikahan di Kelurahan Ngagel Rejo, Surabaya. Mayoritas yang menjadi wakil wali dalam akad nikah adalah penghulu atau petugas dari KUA, sebagian lainnya kiai dan tokoh masyarakat setempat. Semua masyarakat Kelurahan Ngagel Rejo, Surabaya setuju bahwa wali adalah salah satu syarat sah dalam sebuah pernikahan. Akan tetapi, mereka tidak terbiasa menikahkan anak perempuannya sendiri, sehingga setiap pernikahan di Kelurahan Ngagel Rejo, Surabaya selalu diwakilkan haknya kepada penghulu atau tokoh agama setempat. Penelitian yang dilakukan oleh Shulthan Arifin18 mengenai Pandangan Masyarakat terhadap Wakalah Wali dalam Akad Nikah (Studi Kasus di Kelurahan Pakurejo, Kec. Sukorejo, Kab. Pasuruan), dapat dijelaskan bahwa semua masyarakat Kelurahan Pakukerto, Kec. Sukorejo, Kab. Pasuruan setuju bahwa wali adalah salah 17Fauzi romadhona Imron Putra, Pandangan Tokoh Agama terhadap Wakalah Wali dalam Akad Nikah (studi di Kelurahan Ngagel rejo Surabaya), (Malang: Skripsi Fakultas Syari’ah UIN Malang, 2009). 18Shulthan Arifin, Pandangan Masyarakat terhadap Wakalah Wali dalam Akad Nikah : Studi Kasus di Desa Pakurejo Kec. Sukorejo Kab. Pasuruan, (Malang: Skripsi Fakultas syari`ah UIN Malang, 2010). 8 satu syarat sah dalam sebuah pernikahan. Akan tetapi, mereka tidak terbiasa menikahkan anak perempuannya sendiri, sehingga yang menjadi wakil wali dalam akad nikah adalah penghulu atau tokoh agama setempat. Alasannya yaitu masyarakat merasa senang apabila yang menikahkan putri mereka adalah kiai atau guru dari anak tersebut, sudah menjadi budaya di masyarakat Pakukerto dalam hal wakalah wali, dan banyak masyarakat yang merasa tidak mampu untuk menikahkan anaknya sendiri sehingga mereka mewakilkanya kepada penghulu atau tokoh agama setempat. Adapun yang membedakan antara penelitian ini dengan penelitian terdahulu ialah pada judul Pandangan Tokoh Masyarakat terhadap Konsep Adil Wali Nikah (Studi Kasus di Kelurahan Mimbaan Kecamatan Panji Kabupaten Situbondo) yang diteliti oleh peneliti belum pernah diteliti oleh peneliti lainnya. Hal ini ditinjau dari segi judul terkait konsep adil wali nikah, subyek dan obyek yang dipilih oleh peneliti tidaklah sama dengan penelitian terdahulu. H. Sistematika Pembahasan Untuk menggambarkan bentuk isi dari skripsi yang ditulis pada penelitian ini, maka diuraikan sistematika penulisan skripsi sebagai berikut: BAB I: berisi Pendahuluan yang terdiri dari: a) Latar belakang berupa suatu alasan yang mendasari peneliti dalam melakukan sebuah penelitian. Dalam hal ini, peneliti mengaitkan antara permasalahan yang akan diteliti dengan teori yang berkaitan, sehingga akan menimbulkan kesenjangan. b) Rumusan Masalah berisi tentang fokus permasalahan yang akan dikaji dalam penelitian, c) Tujuan Penelitian yaitu menjelaskan tujuan dari adanya penelitian yang akan dilakukan oleh peneliti, dan d) Manfaat Penelitian yaitu menguraikan manfaat 9 secara teoritis dan praktis yang dapat diperoleh dari hasil penelitian, e) Definisi Operasional yaitu terkait kata-kata sulit dalam pembahasan, f) Penelitian Terdahulu berupa beberapa penelitian yang setema dengan penelitian yang dilakukan oleh peneliti, dan g) Sistematika Pembahasan berupa gambaran secara umum mengenai pembahasan penelitian. BAB II: berisi Tinjauan Pustaka yang terdiri dari: a) Wali meliputi pembahasan tentang definisi wali, kedudukan wali dalam pernikahan, syarat wali, urutan wali, dan macam-macam wali, serta b) Konsep Adil meliputi pembahasan tentang definisi adil dan urgensi adil menurut para madzhab. BAB III: berisi Metode Penelitian yang terdiri dari: a) Jenis dan Pendekatan Penelitian, b) Obyek Penelitian meliputi lokasi dan subyek penelitian, c) Sumber Data, d) Metode Pengumpulan Data, f) Metode Pengolahan data, dan g) Analisis Data yang digunakan sebagai pedoman dalam menganalisis penelitian terkait dengan pandangan tokoh masyarakat terhadap konsep adil wali nikah (studi kasus di Kelurahan Mimbaan, Kecamatan Panji, Kabupaten Situbondo). BAB IV: berisi Hasil Penelitian dan Pembahasan. Dalam bab ini, disajikan paparan data yang telah diperoleh saat penelitian dan analisis data. Peneliti mendeskripsikan tentang jawaban atas rumusan masalah mengenai Pandangan Tokoh Masyarakat Terhadap Konsep Adil Wali Nikah (Studi Kasus di Kelurahan Mimbaan, Kecamatan Panji, Kabupaten Situbondo). 10 BAB V: berisi Kesimpulan dan Saran yang terdiri dari: a) Kesimpulan yaitu berupa rangkuman dari semua pembahasan yang dibahas oleh peneliti, dan b) Saran yaitu berupa sebuah masukan kepada para pihak yang dituju oleh peneliti.
Untuk Mendownload Skripsi "Skripsi al-Ahwal al-Syakhshiyyah" :Pandangan tokoh masyarakat terhadap konsep adil wali nikah: Studi kasus di Kel. Mimbaan, Kec. Panji, Kab. Situbondo.Untuk Mendownload skripsi ini silakan klik link dibawah ini


Artikel Terkait:

No comments:

Post a Comment