Abstract
INDONESIA:
Dalam menjalani suatu pernikahan, terdapat sebuah proses yang harus dilalui oleh calon mempelai pria, yakni khithbah atau dalam istilah Bahasa Indonesia ialah peminangan. Khithbah (peminangan) adalah permintaan seorang laki-laki untuk menikahi seorang wanita tertentu dari keluarganya dan bekerja sama dalam urusan kebersamaan hidup. Dalam proses peminangan tersebut, calon mempelai laki-laki dibolehkan untuk melihat calon mempelai wanita yang sedang dipinang. Hal ini diperintahkan oleh Rasulullah saw supaya kedua belah pihak saling mengenal agar tidak terjadi penyesalan di kemudian hari. Dalam proses melihat inilah timbul pertanyaan, bagian tubuh apa sajakah yang boleh untuk dilihat.
Berdasarkan uraian tersebut, penulis tertarik untuk meneliti dan mengetahui lebih lanjut tentang batasan melihat calon istri saat peminangan, akan tetapi penulis lebih memfokuskan pada pendapat dan praktek kaum santri dan non santri di Desa Bululawang Kecamatan Bululawang Kabupaten Malang.
Jenis penelitian ini merupakan penelitian empiris atau lapangan (field research), dan menggunakan pendekatan kualitatif. Adapun sifatnya ialah penelitian deskriptif, sedangkan teknik pengumpulan data menggunakan cara wawancara. Kemudian data yang diperoleh dianalisis dengan mengolah data-data dari hasil penelitian yang dilakukan.
Berdasarkan data yang diperoleh dari para santri dan non santri yang diwawancarai, mereka semua setuju dengan praktek nadhor saat khithbah. Selain itu, mereka juga menjelaskan bahwa dalam melaksanakan praktek nadhor, haruslah didasari dengan pemikiran yang matang, dan memiliki niat yang kuat untuk menikah, sehingga tidak banyak menimbulkan permasalahan dalam kehidupan berkeluarga.
Setelah data yang diperoleh dianalisis, dapat ditemukan perbedaan pendapat dan praktek melihat calon istri yang dilakukan antara santri dan non santri. Setelah pendapat dan praktek keduanya dikomparasikan, dapat dipahami bahwa pendapat dan praktek yang sesuai dengan perintah Agama Islam adalah pendapat dan praktek yang dilaksanakan oleh kaum santri.
ENGLISH:
Inside marriage, there is a process that must be undertaken by a male bride, namely khithbah. Khithbah is a request from a man to marry a woman of his family and cooperate in matters of life together. In the proposal process, the male bride is allowed to see the female bride. It was commanded by the Prophet, in order both sides know each other and to avoid regrets in the future. In the process of seeing of the fiancee question arises, which part of the body may be seen.
Based on these description, the author is interested in researching and find out more about the limitations of seeing a fiancee on proposal, but the author is more focused on the opinion and practice of santri in boarding and non santri at Villages Bululawang District Bululawang District of Malang.
This type of research is empirical research or field research, and using a qualitative approach. As the character of research is descriptive research, while the data collection techniques using interview method. Then the data which have been obtained were analyzed by processing data from the results of research that conducted.
Based on data which obtained from the students who were interviewed, they all agree with the practice of the seeing (nadhor). Furthermore, they also explained that in implementing of the practice of nadhor shall be based on the mature thinking, and have a strong intention to get married, so it will not cause a lot of problems that could ruin the household life.
After the data obtained were analyzed, can be found a difference of opinion and practice between santri and non santri. After both opinion and practice compared, can be understood that the opinions and practices which accordance with Islamic religious commands are opinions and practices implemented by santri.
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang Masalah
Agama Islam menganjurkan perkawinan. Agama
Islam tidak membenarkan ajaran hidup membujang yang banyak diyakini oleh para
rahib. Allah berfirman dalam al-Quran: “Maka kawinilah wanita-wanita (lain)
yang kamu senangi : dua, tiga atau empat.” 1 1 Al-Qur‟an dan Terjemahnya,
Departemen Agama Republik Indonesia, Q.S. An-Nisaa‟ (4): 3. 2 Pernikahan
disyariatkan Allah SWT seumur dengan perjalanan sejarah manusia. Sejak zaman
Nabi Adam dan Hawa, pernikahan sudah disyariatkan. Pernikahan Nabi Adam dan
Hawa di Surga adalah ajaran pernikahan pertama dalam Islam.2 Sebelum
melaksanakan perkawinan, pihak laki-laki yang ingin menikah atau keluarga dari
pihak laki-laki biasanya melalui suatu proses sebelum melakukan akad nikah.
Proses tersebut yakni pelaksanaan peminangan atau lamaran (khithbah) terhadap
pihak perempuan dan keluarganya. Khithbah adalah permintaan seorang laki-laki
untuk menikahi seorang wanita tertentu dari keluarganya dan bekerja sama dalam
urusan kebersamaan hidup. Khithbah dapat pula diartikan, seorang laki-laki
menampakkan kecintaannya untuk menikahi seorang wanita yang halal dinikahi
secara syara‟. 3 Wanita yang sedang dipinang orang lain dilarang untuk
dipinang, selama pinangan pria tersebut belum putus atau belum ada penolakan
dari pihak wanita. Dalam proses peminangan, terdapat sebuah praktek yang sudah
biasa dilakukan di masyarakat, yakni melihat calon wanita yang dilamar, ada golongan
yang mengharuskan dan ada juga yang menafikan terlaksananya praktek tersebut,.
2 Tim Penulis Buku Taklimiyah Pondok Pesantren Sidogiri, Fikih Kita di
Masyarakat, (Pasuruan: Pustaka Sidogiri Pondok Pesantren Sidogiri, 2009), h.
87. 3 Abdul Aziz Muhammad Azzam dan Abdul Wahhab Sayyed Hawwas, Fiqh Munakahat,
Khithbah, Nikah, dan Talak, terj. Abdul Majid Khon, (Jakarta: Amzah, 2009), h.
8. 3 Syariat Islam memperbolehkan seorang laki-laki memandang wanita yang ingin
dinikahi. Memandang wanita yang ingin dinikahi merupakan hal yang sudah wajar
dilaksanakan dalam rangakaian perkawinan, bahkan diperintahkan oleh Rasulullah
saw. Hal ini bertujuan dan bermanfaat untuk untuk menilai kualitas, kecantikan,
keturunan, dan keagamaan wanita itu, dan mana yang menjadi daya tarik serta
agar satu sama lain saling mengenal dan terdapat kemantapan untuk mengambil
sikap tegas dalam melanjutkan hubungan ke jenjang perkawinan, dan supaya timbul
kepuasan antara kedua belah pihak sehingga tidak akan timbul penyesalan dan
kekecewaan nanti. Nabi Muhammad saw Bersabda: عن أنس
بن مالك, أن المغيرة بن شعبة أراد أن يتزوج امرأة, فقال لو النبي صلى اهلل عليو و
سلم: "اذىب فانظر إليها, فإنو أحرى أن يؤدم بينكما." ففعل, فتزوجها, فذكر من
موافقتها. )رواه ابن ماجو(
“Dari Anas bin Malik, bahwasanya Al-Mughirah bin Syu‟bah hendak menikahi
seorang perempuan, maka Nabi saw berkata,”Pergilah dan lihatlah dia, karena itu
dapat melanggengkan hubungan di antara kalian berdua.” Maka ia pun
melakukannya, kemudian ia menikahinya, dan ia (wanita tersebut) pun menyatakan
kesepakatannya.” (Hadits Riwayat Ibn Majah).4 Mayoritas ulama telah sepakat
dengan adanya praktek melihat calon istri dalam khithbah dan mendefinisikan
khithbah (peminangan) dengan arti melamar seorang wanita untuk dijadikan
istrinya dengan cara yang telah diketahui di kalangan masyarakat. Akan tetapi
perbedaan yang terjadi di 4 Ibnu Majah, Shahih Sunan Ibnu Majah bi Tahqiqi
Muhammad Nashiruddin Al-Albani, terj. Ahmad Taufiq Abdurrahman, Shahih Sunan
Ibnu Majah (Cet. I, Vol. 2, Jakarta: Pustaka Azzam, 2007), h. 171. 4 antara
ulama dan Imam Madzhab yakni, pendapat mengenai batasan anggota tubuh yang
boleh dilihat saat khithbah (peminangan). Karena dalam hadits yang dikutip di
atas, yakni potongan hadits yang berbunyi ” ...إليها
فانظر اذىب ” mengandung makna
luas dan umum yang mengacu pada tata cara melihat dan tubuh secara keseluruhan,
dan tidak disertai penjelasan dengan tegas bagaimana tata cara melihat dan
anggota tubuh bagian mana yang boleh dilihat pada waktu calon suami melihat
calon istri yang akan dipinang, melainkan hanya memberikan keterangan perintah
akan melihat dalam peminangan dapat tercapai.5 Khithbah hanya bermaksud
memperlihatkan atau mengumumkan akan diadakannya pernikahan, jangan
ditambah-tambah keadaannya. Bagaimanapun juga, khithbah tidak menyebabkan
adanya ketentuan bagi yang meminang, kecuali sebagai penghalang bagi orang lain
untuk meminangnya. Nabi Muhammad saw bersabda: عن ابن
عمر رضي اهلل عنهما كان يقول: نهى النبي صلى اهلل عليو و سلم أن يبيع )و فى رواية:
ال يبع( بعضكم على بيع بعض، و ال يخطب الرجل على خطبة أخيو، حتى يترك الخاطب قبلو
أو يأذن لو الخاطب. “Ibnu Umar
radliyallahu anhumâ berkata, Nabi saw. Melarang jual beli ( dalam satu riwayat:
jangan membeli)sesuatu yang masih dalam proses tawar-menawar dengan orang lain,
juga melarang seseorang meminang perempuan yang masih dalam proses pinangan
orang laki-laki lain sehingga 5 Abdurrahman, Shahih Sunan Ibnu Majah, h. 173. 5
jelas bahwa peminang pertama telah meninggalkan perempuan tersebut, atau
peminang pertama telah mengizinkan peminang berikutnya.6 Yang penting
ditekankan di sini adalah bahwa wanita yang dipinang tetap merupakan orang lain
bagi laki-laki yang meminang, sampai pernikahannya dengan wanita itu terlaksana
dengan baik dan sah. Wanita tersebut statusnya belum dapat berubah menjadi
istri sebelum akad syara‟ yang benar dilangsungkan. Perkawinan merupakan
satu-satunya jalan bagi seseorang untuk membolehkan berduaan dengan seorang
wanita. Jika keadaannya belum memungkinkan untuk menikah, demi menjaga agama
dan kehormatannya sebagai laki-laki, dia harus memelihara harga dirinya dengan
meningkatkan ketakwaan kepada Allah SWT.7 Oleh karena itu, seorang lakilaki
sebaiknya melihat gadis yang dilamarnya di luar atau di rumah kerabatnya tanpa
diketahui yang bersangkutan.8 Mayoritas ulama sepakat bahwa saat khithbah
dilaksanakan, pihak laki-laki hanya boleh melihat wajah dan kedua telapak
tangan calon istrinya, karena wajah dapat mewakili kecantikan paras wanita dan
kedua telapak tangan mewakili kesuburan atau tidaknya tubuh. Hal ini diqiyaskan
dengan kebolehan membuka wajah dan telapak tangan pada waktu berhaji. Allah
Subhanahu wa Ta‟ala Berfirman: 6 Imam al-Bukhari, Mukhtashar Shahih al-Imam
al-Bukhari bi Tahqiqi Muhammad Nashiruddin Al-Albani, terj. Abdul Hayyie
al-Kattani dan A. Ikhwani, Ringkasan Shahih Bukhari (Cet. I, Vol. 3, Jakarta:
Gema Insani Press, 2008), h. 431. 7 Yusuf Qardhawi, Problematika Islam Masa
Kini, Qardhawi Menjawab, terj. Tarmana Ahmad Qasim, (Cet. I, Bandung: Trigenda
Karya, 1996), h. 490. 8 Qardhawi, Problematika Islam Masa Kini, h. 506. 6 wur £ ` ß gy_r ã è ù z`ôàxÿøtsur £ `ÏcÌ»|Áö/r& ô`ÏB z`ôÒ à Òøót ÏM»uZÏB÷s ßJù=Ïj9 @ è %ur ...( $yg÷YÏB tygsß $tB wÎ) £ ` ß gtFt^Î úïÏö7 ã “Katakanlah kepada wanita yang beriman: "Hendaklah mereka menahan
pandangannya, dan kemaluannya, dan janganlah mereka Menampakkan perhiasannya,
kecuali yang (biasa) nampak dari padanya.”9 Ayat ini dikhususkan untuk kaum
perempuan sebagai sebuah penegasan. Diawali dengan perintah untuk menahan
pandangan baru kemudian memelihara kemaluan, sebab pandangan adalah awal
permulaan dan kemudian dilanjutkan ke hati. Kemudian Allah SWT memerintahkan
kaum perempuan agar tidak menampakkan perhiasannya terhadap orangorang yang
memandangnya kecuali perhiasan yang biasa nampak. Itu semua disebabkan
kekhawatiran akan terjadinya fitnah. Menanggapi ayat tersebut, khususnya
terhadap perhiasan yang tampak. Banyak ulama yang berpendapat tentang kata
perhiasan dalam ayat tersebut. Antara lain, Ibnu Mas‟ud berkata, ”Perhiasan
yang biasa nampak adalah pakaian”. Ibnu Jubair menambahkan ”wajah”, Atha‟,
al-Auza‟i, dan juga Sa‟id bin Jubair menambahkan ”wajah, kedua telapak tangan,
dan pakaian”. Ibnu Abbas, Qatadah, Miswar bin Makhramah berkata, ”Perhiasan
yang biasa nampak adalah celak, gelang, pacar sampai separuh lengan,
anting-anting, dan cincin”. Ibnu Athiyyah berkata, ”Maka jelaslah bagi saya
bahwa seorang wanita diperintahkan untuk tidak menampakkan perhiasannya, 9
Al-Qur‟an dan Terjemahnya, Departemen Agama Republik Indonesia, Q.S. An-Nur
(24): 31. 7 dan dia harus berusaha menyembunyikan perhiasannya. Namun ada
pengecualian terhadap perhiasan yang biasa nampak, karena adanya darurat yang
pasti terjadi saat melakukan gerakan, memperbaiki sesuatu atau yang lainnya.
Dengan demikian, jika berdasarkan kepada pendapat ini, maka yang biasa nampak
pada perempuan akibat darurat adalah sesuatu yang dimaafkan”.10 Pendapat Ibnu
Athiyyah ini merupakan pendapat yang terbaik. Tapi karena wajah dan kedua
telapak tangan itu biasa terbuka saat menjalankan aktifitas biasa dan saat
menunaikan ibadah, maka sepatutnya pengecualian ini kembali kepada keduanya.
Oleh karena itu, seorang wanita tidak boleh menampakkan perhiasannya kecuali
apa yang biasa nampak, yaitu wajahnya dan kedua telapak tangannya. Ibnu Khuwaizimandad
dari kalangan ulama Madzhab Malik berkata, ”Jika seorang wanita berparas cantik
dan dikhawatirkan terjadinya fitnah dari wajah dan kedua telapak tangannya,
maka dia harus menutupi wajah dan kedua telapak tangannya itu. Tapi jika dia
sudah lanjut usia atau buruk rupa, maka dia boleh untuk membuka wajah dan kedua
telapak tangannya”.11 Perhiasan itu ada dua bagian, yaitu: khilqiyyah, dan
muktasabah. Perhiasan khilqiyyah adalah wajah seorang perempuan. Wajah adalah
pokok perhiasan, keindahan sebuah penciptaan atau rupa, dan ciri identitas.
Sebab 10 Imam al-Qurthubi, Tafsir al_Qurthubi, bitahqiqi Muhammad Ibrahim
al-Hifnawi, judul asli AlJami‟ li Ahkaam al-Qur‟an, terj. Ahmad Khotib (vol.
12, Jakarta: Pustaka Azzam, 2009), h. 576. 11 al-Qurthubi, Tafsir al_Qurthubi,
bitahqiqi Muhammad Ibrahim al-Hifnawi, h. 578. 8 pada wajah itu terdapat banyak
manfaat dan tanda-tanda untuk dapat melakukan pengenalan. Sedangkan perhiasan
muktasabah adalah sesuatu yang dilakukan oleh seorang perempuan untuk
memperbaiki rupa atau penampilannya, misalnya pakaian, perhiasan, celak, dan
pacar.12 Dengan demikian, tidak halal bagi wanita yang beriman untuk
menampakkan perhiasannya kecuali kepada orang yang halal baginya, atau kepada
orang yang haram untuk menikahinya selama-lamanya. Sebab orang ini tidak
mungkin tertarik kepadanya, karena orang ini akan merasa mustahil dapat
menikahinya. Akan tetapi, banyak permasalahan yang timbul dalam realita
kehidupan saat ini. Misalnya, kebanyakan dari pria-wanita yang akan
melangsungkan perkawinan cenderung sudah mengenal baik calonnya sebelum lamaran
dilaksanakan, bahkan dapat dibilang sudah menjalin sebuah hubungan yang dikenal
dengan istilah pacaran. Padahal, biasanya orang yang melakukan proses ini belum
mengenal satu sama lain, sehingga dengan proses melihat, dapat diketahui
kekurangan maupun kelebihan di antara kedua belah pihak. Permasalahan seperti
ini juga terjadi di masyarakat, khususnya di Bululawang. Para santri yang telah
mengenyam pendidikan di pesantren, dan setelah mereka lulus atau selesai dari
pendidikan pesantren, tidak banyak dari mereka yang melaksanakan dan
mempraktekkan teori-teori fiqh yang 12 al-Qurthubi, Tafsir al_Qurthubi,
bitahqiqi Muhammad Ibrahim al-Hifnawi, h. 579. 9 dipelajari, khususnya dalam
hal perkawinan. Begitupula bagi para non santri yang tidak paham tentang
teori-teori fiqh dalam perkawinan, belum tentu mereka tidak mempraktekkan teori
fiqh dalam perkawinan. Dalam hal melihat calon istri juga demikian, sehingga
yang dilihat tidak hanya wajah dan telapak tangan saja. Oleh karena itu, dalam
kasus ini terdapat perbedaan pendapat dan praktek khithbah yang dilakukan oleh
para santri dan non santri khususnya dalam batasan melihat calon istri. Dari
permasalahan yang terjadi di atas, maka peneliti mencoba mengkaji dan meneliti
bagaimana pendapat dan praktek melihat calon istri yang dilaksanakan kaum
santri dan non santri di Desa Bululawang Kecamatan Bululawang, sehingga
penentuan batasan-batasan melihat wanita dari kasus yang peneliti angkat
mendapatkan hasil yang bermanfaat bagi sosial masyarakat. B. Batasan Masalah
Agar penelitian ini lebih khusus dan pembahasannya yang lebih intensif, maka
perlu adanya batasan masalah dalam penelitian ini. Adapun batasan masalah dalam
penelitian ini, peneliti hanya mengkaji pendapat kaum santri dan non santri
tentang batasan melihat calon istri secara teoritis dan bagaimana kesesuaian
praktek nadhor yang dilaksanakan mereka sebelum meminang (mengkhithbah) calon
istri. 10 C. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang di atas, maka dapat
dirumuskan beberapa permasalahan, yaitu : 1. Bagaimana pendapat kaum santri dan
non santri tentang batasan melihat calon istri pada saat khithbah? 2. Bagaimana
praktek kaum santri dan non santri ketika melihat calon istri pada saat
khithbah? D. Tujuan penelitian Sesuai dengan rumusan masalah di atas peneliti
bertujuan sebagai berikut: 1. Mengetahui pendapat kaum santri dan non santri
tentang batasan melihat calon istri pada saat khithbah. 2. Mengetahui praktek
kaum santri dan non santri ketika melihat calon istri pada saat khithbah. E.
Manfaat Penelitian Dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat
ganda, yakni manfaat teoritis dan praktis. 1. Manfaat teoritis. Secara
teoritis, diharapkan dapat bermanfaat sebagai acuan dan referensi bagi mahasiswa
dan masyarakat agar mengetahui tentang batasan melihat calon istri, mulai dari
teori, tindakan, dan hukum yang mengaturnya. 11 2. Manfaat praktis. Secara
praktis, hasil penelitian ini diharapkan berguna sebagai landasan (hujjah) dan
pertimbangan dalam praktek batasan melihat calon istri. F. Sistematika
Penulisan Untuk melengkapi penjelasan dalam pengembangan materi skripsi ini
serta untuk mempermudah dalam memahami, maka pembahasan dalam penelitian ini
akan dipaparkan dalam lima bab, dengan perincian sebagai berikut: BAB I
Pendahuluan. Dalam bab ini akan dibahas dan dikemukakan latar belakang
pemilihan judul berdasarkan permasalahan yang ada, yang kemudian akan dibatasi
dalam batasan masalah. Di samping itu juga berisi tentang rumusan masalah yang
menjadi acuan dalam tujuan penelitian dan manfaat penelitian, dan dalam bab ini
juga berisi sistematika pembahasan. BAB II Kajian Pustaka. Penelitian terdahulu
akan menjadi pembahasan dalam bab ini, yang akan dilanjutkan dengan kajian
pustaka yang mana di dalamnya akan menguraikan segala hal yang berkaitan dengan
khithbah dan batasan melihat calon istri, dan dilanjutkan dengan konsep ulama
yang membahas terkait dengan khithbah dan batasan melihat calon istri, serta
hal yang berkaitan dengan domisili dilaksanakannya penelitian. 12 BAB III
Metode Penelitian. Merupakan pembahasan metode penelitian, akan membahas
tentang pendekatan penelitian yang akan digunakan dalam penelitian ini, serta
dari mana saja sumber data yang diperoleh sekaligus bagaimana pengumpulan data
dilakukan dan metode analisis yang sesuai untuk penelitian ini. BAB IV
Penyajian dan Analisis Data. Dalam bab ini akan diuraikan paparan data dan
analisanya yang berkaitan dengan pandangan dan batasan melihat calon istri
menurut kaum santri dan non santri. BAB V Penutup. Akhir penelitian ini berisi
kesimpulan dan saran dari peneliti.
Untuk Mendownload Skripsi "Skripsi al-Ahwal al-Syakhshiyyah" : Batasan melihat calon istri saat khithbah: Studi terhadap kaum santri dan non santri di Desa Bululawang Kecamatan Bululawang Kabupaten Malang" Untuk Mendownload skripsi ini silakan klik link dibawah ini
No comments:
Post a Comment