Abstract
INDONESIA:
Di dalam suatu pernikahan, di samping ada syarat dan rukun yang mempengaruhi sah tidaknya sebuah pernikahan, terdapat pula aturan lain yang terdapat dalam literatur kitab-kitab fiqih klasik, yang di antaranya adalah konsep kafaah, yakni kesepadanan antara calon mempelai pria dan wanita dalam berbagai hal termasuk agama, keturunan dan keilmuannya. Dari konsep kafa’ah inilah kemudian melahirkan fatwa pelarangan pernikahan antara wanita syarifah dan laki-laki non sayyid karena dianggap tidak kufu dan merusak nasab agung nabi s.a.w. Pendapat ini di antaranya diucapkan oleh Abdurrahman Ba’lawi yang menyatakan bahwa tidak diperbolehkan laki-laki non sayyid melamar wanita syarifah walapun syarifah tadi dan walinya rela. Hal ini karena nasab syarifah yang sahih.
Adapun tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pandangan Habaib terhadap pernikahan wanita Syarifah dengan laki-laki Non Sayyid, dan untuk mengetahui Penerapan Pernikahan Wanita Syarifah Dengan Laki-Laki Non Sayyid.
Sedangkan untuk metode penelitian, jenis penelitiannya adalah sosiologis atau empiris karena peneliti menggambarkan secara detail tentang suatu keadaan atau fenomena dari objek penelitian. Pendekatan penelitian yang digunakan dalah pendekatan sosiologis, sumber data yaitu sumber data primer atau langsung dari sumber pertama dan sumber data sekunder atau data pelengkap. Metode penelitian yang digunakan adalah observasi, interview dan dokumentasi. Sementara analisis datanya menggunakan analisis secara kualitatif, yang mana penelitian kualitatif lebih menekankan analisisnya pada proses penyimpulan deduktif dan induktif serta pada analisis terdapat dinamika hubungan logika ilmiah.
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan maka didapatkan kesimpulan, bahwa menurut pandangan Habaib di Kelurahan Bendomungal Bangil, seorang syarifah harus menikah dengan sayyid karena mereka sekufu' sebagai keturunan Rasulullah SAW, dan bagi mereka keturunan Rasulullah SAW terdapat perbedaan derajat keutamaan dan kemuliaan. Dalam penerapannya jika seorang sayyidah/ syarifah menikah dengan orang Ajam, dianggap telah memutuskan hubungan kekerabatan yang mereka anggap sepadan sebagai keturunan Rasulullah. Bahkan tidak segan-segan mereka di usir dari keluarganya.
ENGLISH:
In a marriage, in addition to any terms and pillars that affect the legitimacy of a marriage, there are also other rules contained in the literature of classical fiqh books, which include kafaah concept, namely the equivalence between the prospective bride and groom in a variety of things including religion, ancestry and scientific. This kafa'ah concept is couse a fatwa of Forbidden marriage between syarifah women and men non Sayyid because they are not undermine kufu and disturb a noble of prophets. This opinion is spoke by Abdurrahman Ba'lawi stating that men who is non Sayyid is not allowed to apply for a despite syarifah woman and her guardian was willing. Because nasab of syarifah is valid.
The purpose of this study was to determine the views of Habaib againts Syarifah Marriage Woman with male non-Sayyid, and Application of Marriage for Women to find out Syarifah With The Male Non-Sayyid.
As for research methods, this type of research is the sociological or empirical because the researchers describe in detail about a situation or a phenomenon of the research object. The research approach used is sociological approach, the data sources or primary data sources directly from the first source and secondary data sources or data supplement. The research method used is observation, interview and documentation. While analysis of data using a qualitative analysis, which further emphasizes qualitative research analysis on the process of deductive and inductive inference as well as on the analysis of the dynamics of a relationship there is scientific logic.
Based on the results of research conducted then found the conclusion, that the view of Habaib in the Village Bendomungal Bangil, a syarifah has to marry Sayyid because they are one kufu as a descendant of the Prophet Muhammad, and for their descendants the Prophet Muhammad there are different degrees of virtue and glory. In practice if a Lady/syarifah marry someone Ajam, kinship is considered to have decided that they consider worth as a descendant of the Prophet. even being hesitate to expel them from their families.
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Pernikahan merupakan sunnah
Rasul yang disyari‟atkan sebagai sebuah keniscayaan fitrah kemanusiaan.
Pernikahan, sebagai ikatan lahir batin antara seorang laki-laki dan perempuan
dimaksudkan untuk membangun rumah tangga yang sakinah, mawaddah dan rahmah.
Dengan demikian hubungan antara laki-laki dan perempuan akan kuat dan memenuhi
hukum legal-formal, baik dalam perspektif agama maupun masyarakat (negara),
apabila telah melakukan pernikahan. Sehingga sesuatu yang sebelum menikah
dilarang, seperti hubungan seksual dan hidup serumah, menjadi boleh dan sah.
Hanya saja dalam pernikahan, di samping ada syarat dan rukun yang mempengaruhi
sah tidaknya sebuah pernikahan, terdapat pula aturan lain yang terdapat dalam
literatur kitab-kitab fiqih klasik, yang di antaranya adalah konsep 2 kafaah,
yakni kesepadanan antara calon mempelai pria dan wanita dalam berbagai hal
termasuk agama, keturunan dan keilmuannya. Dari konsep kafa‟ah inilah kemudian
melahirkan fatwa pelarangan pernikahan antara wanita syarifah1 dan laki-laki
non sayyid2 karena dianggap tidak kufu dan merusak nasab agung nabi s.a.w.
Pendapat ini di antaranya diucapkan oleh Abdurrahman Ba‟lawi yang menyatakan
bahwa tidak diperbolehkan laki-laki non sayyid melamar wanita syarifah walapun
syarifah tadi dan walinya rela. Hal ini karena nasab syarifah yang sahih, dan
bagi setiap keturunan Fatimah az-Zahra‟ terdapat hak bagi kerabat dekat atau
kerabat jauhnya. Walaupun sebagian ulama fiqih mengatakan bahwa nikahnya
syarifah dengan non sayyid adalah sah dengan syarat walinya ridla, tetapi bagi
ulama salaf lebih untuk tidak membolehkannya. Oleh karenanya ulama salaf harus
diikuti karena itu sangat baik. Para imam madzhab dan para wali tidak mendalami
masalah ini seperti halnya ulama-ulama salaf yang lain. 1 Syarifah merupakan
bentuk muannats dari syarif, sedangkan syarif adalah gelar yang diberikan kepada
orang – orang yang termasuk Ahlulbait, baik keturunan Hasan atau Husain maupun
keturunan Ali melalui putra – putra Ali yang bukan anak Fatimah, seperti
Muhammad Hanafiah, atau Ja‟far, Aqil, dan Abbas bin Abi Thalib. M. Hasyim
Assegaf, Derita Putri-putri Nabi (Studi Historis Kafa’ah Syarifah), (Bandung:
Rosda Karya, 2000),197 2Non Sayyid merupakan kebalikan dari sayyid (bukan
sayyid). Sedangkan kata sayyid sama halnya dengan syarif, berarti tuan (mister)
dan majikan; lawan dari budak. Di samping sayyid digunakan untuk lawan kata
budak dan gelar kaum bangsawan, sayyid secara khusus juga digunakan bagi
keturunana Ali dan keturunan Abu Thalib disekitar waktu yang sama dengan
penggunaan gelar syarif. Boleh jadi perkembangan ini karena pengaruh hadis –
hadis yang menggambarkan Hasan dan Husain dan orang tua mereka sebagai sayyid
/sayyidah. Sebuah hadis menyatakan bahwa Nabi Muhammad Saw mengatakan tentang
Hasan, “putraku ini adalah sayyid dan mudah – mudahan Allah akan membawa
perdamaian antara kedua partai kaum muslimin melalui dia.” Husain muncul dalam
hadis sebagai sayyid syabab ahl al-jannah, “sayyid dari para pemuda ahli
syurga”; bersama saudaranya, ia juga diberi gelar sayyid syahab, “sayyid dari
para pemuda “, sedangkan ibu mereka, Fatimah, dipuji oleh Nabi sebagai
“sayyidah kaum wanita umatku”, “sayyidah wanita sedunia”, dan “sayyidah wanita
bagi penghuni syurga”. Dikatakan, bahwa Nabi telah menyebut Ali sebagai “sayyid
al-Arab” dan “sayyid al muslimin”; beliau pernah berkata kepadanya , “engkau
adalah sayyid di dunia ini dan sayid akhirat.” M. Hasyim Assegaf, Derita
Putri-putri Nabi (Studi Historis Kafa’ah Syarifah), 199. 3 Namun demikian,
dalam kondisi dlarurat, pernikahan syarifah dengan non sayyid diperbolehkan
sebagaimana kebolehan memakan bangkai dalam kondisi dlarurat.3 Namun demikian,
larangan pernikahan ini tentu mengusik nilai kesejajaran kedudukan manusia
universal. Di mana di dalam Al-Qur‟an terdapat ajaran persamaan derajat
manusia, tidak ada kelebihan antara satu dengan yang lainnya. Perbedaan suku,
bangsa, status sosial dan lain-lain, merupakan bukan untuk dipertentangkan,
sehingga membuat jurang pemisah atau perbedaan derajat, akan tetapi manusia
hidup di dunia itu untuk saling mengenal satu dengan yang lainnya dan
bersahabat. Sebagaimana Allah SWT telah berfirman dalam al-Qur‟an surat
an-Nisa‟ ayat : 1 sebagai berikut : t,n=yzur ; oyÏnºur < §øÿ ¯ R `ÏiB / ä3s)n=s{ Ï% © !$# ã N ä3 /u (#q à ) ® ?$# â¨$¨ Z9$# $pk r'¯»t ÇÊÈ …….
4 [ä!$|¡ÎSur # Z ÏWx. Z w%y`Í $uKåk÷]ÏB £ ]t/ur $ygy_÷ry $pk÷]ÏB 4 Artinya : “Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhanmu yang
telah menciptakan kamu dari seorang diri, dan daripadanya Allah menciptakan
isterinya, dan daripada keduanya Allah memperkembangbiakkan laki-laki dan
perempuan yang banyak…”. (QS. An-Nisa‟ :1)5 Allah SWT telah memberikan kepada
makhluk-Nya berupa kemampuan dan tabiat yang sesuai dengan kondisi fisiknya
masing-masing. Dengan kemampuan dan kodrat-Nya itulah masing-masing makhluk
mendapatkan rahmat dari perbendaharaan rahmat Allah SWT yang tidak terbatas
jumlahnya. Kekurangan manusia dalam mengenal suatu kebenaran disempurnakan oleh
Allah SWT dengan memberikan pedoman kitab suci. Dengan mengenal yang benar dan
3Abdurrahman Ba‟lawi, Bughyah al-Murtasyidin, (Semarang: Toha Putra, tt,)72 4Q.S
An-Nisa‟ (4): 1 5 Departemen Agama RI., al-Qur’an dan Terjemahnya, (Semarang:
CV. Toha Putera, 1992),114 4 yang salah, yang baik dan yang buruk, manusia
diberi kebebasan memilihnya antara yang benar, baik dan yang salah atau buruk.
Oleh karena itu, atas dasar itulah manusia dibebani taklif yang seimbang dengan
kemampuannya, agar ia berusaha mencapai yang benar dan baik dalam wujud
perbuatan, yakni amal shaleh. Setiap manusia, baik laki-laki atau perempuan
mendapat perlakuan yang sama dalam pelaksanaan amal shaleh. Dan manusia juga
antara yang satu dengan yang lainnya harus saling kenal mengenal, hormat
menghormati, dan manusia satu dengan yang lain tidak ada perbedaan, yang
membedakan antara satu dengan yang lain hanyalah ketakwaan manusia kepada Allah
Artinya: Hai manusia, Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki
dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku
supaya kamu saling kenalmengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara
kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya
Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal. (al-Hujurat ayat 137 ) Dalam ayat
tersebut Allah telah melarang saling mengolok-olok atau mengejek satu dengan
yang lainnya. Manusia seluruhnya berasal dari seorang ayah dan seorang ibu,
namun mengapa satu dengan yang harus saling membedakan atau memperoloknya
sesama saudara. Akan tetapi Allah menjadikan manusia bersuku-suku dan
berbangsa-bangsa berkabilah-kabilah yang berbeda, agar di antara manusia itu
menjadikan saling mengenal dan saling tolong 6Q.S al-Hujurat (49): 13 7
Departemen Agama RI., al-Qur’an dan Terjemahnya, 847 5 menolong dalam
kemaslahatan. Namun demikian, tetap tidak ada kelebihan bagi seorang pun atas
yang lain, kecuali dengan takwa dan keshalehan. Allah SWT pun telah menurunkan
ayat ini sebagai cegahan bagi mereka yang membanggakan tentang keturunan atau
nasab. Jadi jika umat Islam konsisten terhadap al-Qur‟an dan as-Sunnah, maka
tidak akan ada lagi diskriminasi yang sampai pada pelarangan dalam pemilihan
jodoh berdasarkan keturunan, kekayaan atau kedudukan calon menantu. Adanya
perbedaan nasab, kekayaan dan kedudukan apabila terdapat merupakan sunnatullah
dan hal ini boleh dijadikan pertimbangan dalam pernikahan untuk mengukur apakah
ia kufu atau tidak. Tetapi ukuran ini hanya pada batas pertimbangan sehingga
tidak sampai pada pelarangan pernikahan. Hal ini didasarkan pada konsep kafa‟ah
sendiri yang lebih tertuju dalam hal agama bukan lainnya. Inilah yang kemudian
menarik untuk dikaji lebih lanjut adanya pelarangan pernikahan wanita syarifah
dengan non sayyid dengan alasan tidak kufu. Dalam masalah kafa‟ah ini masih
banyak menyisakan kontroversi. Bahkan dalam madzhab empat saja masalah kafa‟ah
ini masih terjadi perbedaan ukuran yang dipakainya. Bahkan dalam konteks sosial
masyarakat ulama madzhab, masih sangat membanggakan keturunan Arab. Dalam
konsep fiqih, bernasab Arab merupakan satu kebanggaan karena termasuk sebuah
kehormatan, sehingga orang „Ajam tidaklah seimbang dengan orang Arab.8 Adanya
kriteria-kriteria kufu‟ dalam al-Qur'an maupun hadits, tidak ada seorang pun
yang lebih mulia dari yang lain kecuali karena takwanya kepada Allah yaitu
melaksanakan perintah Allah dan 8Ahmad bin Umar ad-Dirabi, Fikih Nikah,
(Jakarta: Mustaqim, 2003), 1999 6 menjauhi larangan-Nya serta melaksanakan hak
manusia. Adanya perkembangan zaman dan perubahan social yang melengkapi salah
satu faktor yang mempengaruhi adanya perbedaan tersebut. Kelurahan Bendomungal
Kecamatan Bangil Kabupaten Pasuruan, yang didaerahnya ini terdapat komunitas
Arab. Persoalan kufu atau kafa‟ah dalam hal nasab adalah termasuk syarat yang
harus dipenuhi sebelum melangsungkan pernikahan. Masyarakat keturunan Arab
didaerah ini tidak diperbolehkan menikah dengan selain orang Arab (ajam‟).
Melainkan orang Arab harus menikah dengan orang Arab, misalnya seorang Syarifah
harus menikah dengan Sayyid, dimana hal tersebut dimungkinkan terjadi
keberlangsungan hubungan darah yang mereka anggap sepadan, sebagai keturunan
Rasulullah, akan tetapi sebaliknya Sayyid berhak menikah dengan perempuan
manapun, meskipun bukan Syarifah tanpa melihat nasab atau keturunannya. Sistem
Patrilinial dipertahankan oleh masyarakat keturunan Arab, bahwa yang dapat
menurunkan derajat (nasab) hanyalah pihak laki-laki saja. Oelh karena itu,
orang Arab laki-laki boleh mengawini wanita-wanita non Arab. Sedang perempuan
Arab tidak diperbolehkan mengawini laki-laki non Arab. Ketentuan ini mutlak
sejak kedatangan orang Arab ke Indonesia sampai sekarang. Berdasarkan uraian
tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa agama dan akhlak seseorang haruslah
menjadi pertimbangan utama dalam memilih jodoh. Namun demikian, kenyataan yang
terjadi pada mayoritas masyarakat Arab selama ini, khususnya komunitas Arab di
Kelurahan Bendomungal Kecamatan Bangil Kabupaten Pasuruan lebih memperhatikan
kedudukan (nasab) daripada mengutamakan agama dan akhlak. Mereka menganggap
bahwa kedudukan 7 (nasab) lebih tinggi daripada yang lain. Untuk mengetahui
lebih lanjut tentang bagaimana pandangan Masyarakat Arab, khususnya komunitas
Arab di Kelurahan Bendomungal Kecamatan Bangil Kabupaten Pasuruan terhadap
paradigma kafa‟ah„ dalam hukum perkawinan, supaya penelitian dari Masyarakat
itu kiranya membawa manfaat.
B.
Rumusan
Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas maka dapat dirumuskan
permasalahan sebagai berikut: 1. Bagaimana pandangan Habaib di Kelurahan
Bendomungal Kecamatan Bangil Kabupaten Pasuruan terhadap pernikahan wanita
Syarifah dengan laki-laki Non Sayyid ? 2. Bagaimana Penerapan Pernikahan Wanita
Syarifah Dengan Laki-Laki Non Sayyid pada Komunitas Arab di Kelurahan
Bendomungal Kecamatan Bangil ?
C.
Tujuan
Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui : 1. Untuk mengetahui
pandangan Habaib di Kelurahan Bendomungal Kecamatan Bangil Kabupaten Pasuruan
terhadap pernikahan wanita Syarifah dengan laki-laki Non Sayyid. 2. Untuk
mengetahui Penerapan Pernikahan Wanita Syarifah Dengan LakiLaki Non Sayyid pada
Komunitas Arab di Kelurahan Bendomungal Kecamatan Bangil
D.
Penelitian
Terdahulu
Berdasarkan penelitian tentang Kafa’ah ,
penulis menemukan penelitian yang berhubungan dengan penelitian ini. Penelitian
yang dimaksud antara lain : 1. “Kafa’ah Sebagai Indikator Terbentuknya Keluarga
Sakinah”. Dalam suatu penelitian studi kasus yang dilakukan oleh Abdul Afif di
Desa Warulor Kecamatan Paciran Lamongan, yang mengangkat masalah kafa‟ah
sebagai indikator terbentuknya keluarga sakinah, dengan menggunakan metode
pendekatan sosilogis (empiris) dan penelitian komperatif, serta menggunakan
analisis deskriptif kualitatif terungkap bahwa untuk membangun dan menciptakan
keluarga yang sakinah, disyaratkan kedua calon pasangan suami-isteri berangkat
dari kesamaan latar belakang masing-masing baik dari segi pendidikan, ekonomi,
status sosial dan akhlakul karimah. Adapun beberapa faktor yang menjadi
indikator terbentuknya keluarga sakinah adalah adanya saling pengertian, saling
sabar, adanya komunikasi yang lancar, kerjasama yang baik.9 2. “Kesepadanan Dalam
Perkawinan Ditinjau Dari Hukum Adat Bali Dan Hukum Islam”. Dalam sebuah
penelitian yang dilakukan Siti Huriyah, dengan menggunakan metode pendekatan
sosilogis (empiris) dan penelitian komperatif, serta menggunakan analisis
deskriptif kualitatif yang mengangkat permasalahan orang Bali dalam melakukan
perkawinan harus dilakukan oleh sesama warga yang berkasta sama ataupun
setidaktidaknya dianggap sederajat, dan hal itu dilakukan oleh warga Bali dasar
untuk menghindari adanya kemungkinan ketegangan-ketegangan dan noda-noda
keluarga yang akan terjadi akibat perkawinan antar kasta yang berbeda
derajatnya. Dalam penelitiannya yang bertujuan untuk mengetahui perbedaan dan
persamaan antara hukum Islam dan hukum adat Bali tentang kesepadanan, ditemukan
bahwa kesepadanan dalam adat Bali meliputi keturunan, agama, kekayaan, hubungan
keluarga, sifat dan pendidikan. Sedangkan dalam Islam meliputi keturunan,
agama, kemerdekaan, dan mata pencaharian. Adapun faktor yang mempengaruhi dalam
kesepadanan adat Bali adalah faktor agama, lingkungan dan faktor yang masih
memegang prinsip yang telah lama diwariskan oleh nenek moyangnya. Sedangkan
dalam Islam, faktornya adalah agama dan keyakinan masing-masing individu untuk
memproleh sesuatu yang seimbang. 10 3. Dalam penelitian saudara Ilyas Syamhar,
dengan judul “Pandangan masyarakat pesantren tentang kafa'ah untuk menggunakan
hak ijbar (studi pada masyarakat pesantren di kec.labang kab.bangkalan –
madura)”, dengan menggunakan metodologi penelitian deskriptif analitik di
peroleh hasil bahwa kufu' itu yang terpenting dalam hal agama atau kuwalitaas
keagamaan dari seorang laki-laki, meskipun demikian masyarakat kalangan
pesantren di Kec.Labang lainnya mempunyai pendapat bahwa selain kufu' dalam
agama ada beberapa poin kufu' yang memang harus ada 10Siti Huriyah,”Kesepadanan
Dalam Perkawinan Ditinjau Dari Hukum Adat Bali Dan Hukum Islam (studi di desa
Gelgel Klungkung Bali),” Skripsi (Malang: UIN Malang,2005), 99. 10 pada
laki-laki tersebut, diantaranya mengacu pada hadis Nabi: "Nikahi
wanita/pria itu dari empat perkara....,"11 4. Sedangkan dalam penelitian
saudara Kamala Duri, dengan judul “Persepsi Masyarakat Islam Desa Klampis Barat
Kecamatan Klampis Kabupaten Bangkalan Tentang Pentingnya Kafa’ah Dengan Rumah
Tangga”, dengan menggunakan metodologi penelitian deskriptif kualitatif dengan
pola pikir deduktif, diperoleh hasil bahwa mayoritas masyarakat Islam Desa
Klampis Barat Kecamatan Klampis Kabupaten Bangkalan menganggap sangat penting
dan menyetujui dengan adanya konsep kafa‟ah dalam perkawinan. Akibat dari
penerapan konsep tersebut sebagian masyarakat mendapatkan kebahagiaan dan
keharmonisan. Namun tidak semua masyarakat yang menerapkan konsep kafa‟ah
tersebut hidup bahagia dan harmonis akan tetapi sebagian masyarakat berakhir
dengan perceraian. 12 Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa penelitian
sebelumnya tidak ada yang secara khusus membahas tentang konsep kafa‟ah menurut
pandangan tokoh masyarakat Arab di Kelurahan Bendomungal yang sebagian dari
masyarakatnya adalah keturunan Arab. Oleh karena itu peneliti berkeinginan
mengkaji lebih jauh tentang Pandangan Habaib Terhadap Pernikahan Wanita
Syarifah Dengan LakiLaki Non Sayyid (Studi Pada Komunitas Arab Di Kelurahan
Bendomungal Kecamatan Bangil Kabupaten Pasuruan). 11Ilyas Syamhar, “Pandangan
masyarakat pesantren tentang kafa'ah untuk menggunakan hak ijbar (studi pada
masyarakat pesantren di kec.labang kab.bangkalan – madura)”, Skripsi (Surabaya
: IAIN Sunan Ampel Surabaya, 2009) 12Kamala Duri, “Persepsi Masyarakat Islam
Desa Klampis Barat Kecamatan Klampis Kabupaten Bangkalan Tentang Pentingnya
Kafa’ah Dengan Rumah Tangga”, Skripsi (Surabaya: IAIN Sunan Ampel Surabaya,
2008) 11 E. Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan
sumbangsih pemikiran bagi disiplin keilmuan secara umum dan sekurang-kurangnya
dapat digunakan untuk dua aspek, yaitu: 1. Aspek teoritis, sebagai upaya
pengembangan ilmu pengetahuan, khususnya dibidang perkawinan dalam Islam yang
berkaitan dengan kafa‟ah atau sekufu. Disamping itu, dapat memberikan sumbangan
pemikiran bagi peneliti selanjutnya yang berminat untuk mengkaji, mengevaluasi,
dan menganalisis kembali praktek pernikahan antara wanita Syarifah dengan
laki-laki non Sayyid , agar dapat membangun kehidupan keluarga yang sesuai
dengan ajaran Islam. 2. Aspek praktis, dapat memberikan sumbangan pemikiran
bagi para calon yang akan berkeluarga dalam membina rumah tangga kedepannya
agar berjalan sesuai dengan tuntunan Islam. F. Sistematika pembahasan. Untuk
mempermudah penelitian maka diperlukan sistematika pembahasan sebagai berikut,
agar penulisan penelitian ini lebih terarah dan mudah ditelaah, maka
sistematika pembahasan dalam penelitian ini dibagi menjadi lima bab. Adapun
bab-bab tersebut adalah sebagai berikut: Bab pertama adalah pendahuluan yang
meliputi latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, penelitian
terdahulu, manfaat penelitian, dan sistematika penulisan. Bab ini menjadi
penting karena merupakan gerbang untuk memahami bab-bab selanjutnya. 12 Bab
kedua membahas tentang sekilas tentang kafa‟ah yang meliputi Kafa‟ah dalam
pandangan imam Mazhab, Kafa‟ah dan keharmonisan dalam rumah tangga, tradisi
Kafa‟ah dalam komunitas Arab (ahlulbait), serta larangan pernikahan dalam hukum
islam dan tradisi komunitas arab. Bab ketiga merupakan metode penelitian yang
meliputi paradigm penelitian, jenis dan pendekatan penelitian, sumber data,
baik data primer maupun data skunder, metode pengumpulan data, dan metode
analisis data. Bab Keempat merupakan paparan data yang meliputi kondisi
obyektif komunitas Arab Kelurahan Bendomungal Kecamatan Bangil Kabupaten Pasuruan,
hasil wawancara pandangan Habaib di Kelurahan Bendomungal Kecamatan Bangil
Kabupaten Pasuruan tentang pernikahan wanita Syarifah dengan Laki-laki non
Sayyid dan penerapan konsep Pernikahan Wanita Syarifah Dengan Laki-Laki Non
Sayyid pada Komunitas Arab di Kelurahan Bendomungal Kecamatan Bangil. Dan
analisis data yang merupakan jawaban dari rumusan masalah, yang berisi analisis
terhadap pandangan Habaib di Kelurahan Bendomungal Kecamatan Bangil Kabupaten
Pasuruan tentang pernikahan wanita Syarifah dengan Laki-laki non Sayyid serta
penerapan konsep Pernikahan Wanita Syarifah Dengan Laki-Laki Non Sayyid pada
Komunitas Arab di Kelurahan Bendomungal Kecamatan Bangil. Bab kelima yakni
penutup yang meliputi kesimpulan, saran, dan lampiranlampiran.
Untuk Mendownload Skripsi "Skripsi al-Ahwal al-Syakhshiyyah" : Pandangan habaib terhadap pernikahan wanita syarifah dengan laki-laki non sayyid: Studi pada komunitas Arab di Kelurahan Bendomungal Kecamatan Bangil Kabupaten Pasuruan" Untuk Mendownload skripsi ini silakan klik link dibawah ini
No comments:
Post a Comment