Abstract
INDONESIA:
Putusnya perkawinan sebenarnya dapat diminimalisir dengan upaya perdamaian, seperti yang termaktub dalam asas hukum acara Peradilan Agama yaitu asas “wajib mendamaikan” yang lebih lengkapnya diatur pada pasal 65 dan 82 Undang-Undang No.7 Tahun 1989. Proses dan upaya menadamaikan ini dikenal dengan proses ‘mediasi’. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 yang telah dirubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 juga Undang-Undang No.50 Tahun 2009 Pasal 76 telah menetapkan keberadaan hakam dalam perceraian yang eksistensinya sama dengan mediator. Di lain sisi akan timbul suatu permasalahan yang muncul dengan masih adanya pemberlakuan mediasi dalam perkara perceraian yang sudah di legal formalkan oleh Perma No. 1 Tahun 2008, sementara hakam sebagai bagian dari hukum acara sudah dilegitimasi
terlebih dahulu daripada mediasi. Kemudian mediasi yang didasarkan pada Perma Nomor 1 Tahun 2008 apakah tetap harus dilaksanakan disamping juga harus memberlakukan hakam yang didasarkan pada UndangUndang Peradilan Agama, ataukah pemberlakuan mediasi itu sendiri tetap harus dilaksanakan dengan menenggelamkan hakam yang notabene lahir dari sebuah Undang-Undang. Penelitian ini membahas Bagaimana status hakam berdasarkan pasal 76 ayat (2) UndangUndang No.7 Tahun 1989 dan Bagaimana pandangan hakim tentang eksistensi hakam setelah adanya Perma No.1 Tahun 2008.
terlebih dahulu daripada mediasi. Kemudian mediasi yang didasarkan pada Perma Nomor 1 Tahun 2008 apakah tetap harus dilaksanakan disamping juga harus memberlakukan hakam yang didasarkan pada UndangUndang Peradilan Agama, ataukah pemberlakuan mediasi itu sendiri tetap harus dilaksanakan dengan menenggelamkan hakam yang notabene lahir dari sebuah Undang-Undang. Penelitian ini membahas Bagaimana status hakam berdasarkan pasal 76 ayat (2) UndangUndang No.7 Tahun 1989 dan Bagaimana pandangan hakim tentang eksistensi hakam setelah adanya Perma No.1 Tahun 2008.
Penelitian ini dikategorikan sebagai penelitian hukum sosiologis atau empiris, untuk itu yang diteliti pada awalnya adalah data sekunder, yang kemudian dilanjutkan dengan penelitian terhadap data primer di lapangan, atau masyarakat.
Dari penelitian ini diketahui bahwa Status hakam yang berdasarkan Pasal 76 ayat (2) Undang-undang No. 7 Tahun 1989 adalah bentuk legalisasi keberadaan hakam. Hal ini sangat penting sebab pengangkatan hakim sebagai juru damai merupakan sebuah langkah atau solusi untuk menyelesaikan sengketa khususnya perceraian dengan alasan syiqaq. Sedangkan penjelasan hakim mengenai susunan peraturan perundang-undangan mempunyai arti bahwa hakam yang muncul dari sebuah Undangundang lebih tinggi kedudukannya dari mediasi yang lahir dari Perma dan Perma pun tidak dapat mengganti atau meniadakan Undang-undang. Dengan kata lain hakam masih tetap eksis meskipun ada Perma yang mengatur tentang mediasi.
ENGLISH:
Actual marital breakdown can be minimized with peace efforts, as embodied in the principle of procedural law the Religious of the principle of "must reconcile" a more complete set in article 65 and 82 of Law No. 7 of 1989. The process and effort this reconcile known process of 'mediation'. Act No. 7 of 1989 as amended by Act No. 3 of 2006 is also the Law No.50 year 2009 article 76 has determined the existence of hakam in a divorce whose existence is the same as mediators. On the other hand will arise a problem that appears with the persistence of the application of mediation in divorce cases that have been in legalization by Perma No. 1 of 2008, while hakam as part of procedural law has been legitimized in advance rather than mediation. Then mediation is based on Perma No. 1 /2008 is still to be implemented in addition also have to impose hakam, based on the Religious Judicature Act, or the application of mediation itself should still be carried out by sinking hakam that in fact is born out of an Act. This study discusses how hakam status pursuant to Article 76 paragraph (2) of the Act No.7 of 1989 and How to view the judge about the existence of hakam after the Perma No.1 of 2008.
This research is categorized as a sociological or empirical legal research, to that observed in the first place is secondary data, which is then followed by a study of the primary data in the field, or community.
From this research note that the Status hakam that under Article 76 paragraph (2) of Law No. 7 of 1989 is a form of legalization of the presence of hakam. It is very important since the appointment of hakam as a peacemaker is a step or solution to resolve disputes, particularly divorce on the grounds syiqaq. While the judge's explanation about the structure of the legislation means that hakam who emerged from a law higher position than the birth of mediation and Perma Perma was unable to change or abolish the Law. In other words hakam still exist even if there Perma governing mediation.
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Manusia merupakan makhluk
hidup yang diciptakan oleh Tuhan dengan berbagai macam suku dan ras. Dalam
kehidupannya seorang manusia tidak bisa terlepas dari orang
lain karena manusia merupakan makhluk sosial. Menurut Ibnu
Kholdun, manusia diciptakan oleh Tuhan dalam bentuk atau keadaan
yang hanya memungkinkan hidup dan bertahan dengan bantuan makanan. 1
Kemampuan seseorang secara personal tidaklah cukup untuk memenuhi
kebutuhannya akan makanan. Bukti bahwa manusia
secara perseorangan tidak mampu hidup sendiri adalah dalam hal
pekerjaan mencari uang. Dengan realitas bukti tersebut,
Ibnu Kholdun 2 berpandangan bahwa dikarenakan kemampuan manusia
seorang diri terbatas, maka ia harus bekerja
sama dengan orang lain. Contoh misalnya, untuk mencari bahan
makanan diperlukan banyak alat baik yang terbuat dari besi maupun
kayu, yang dalam pengerjaannya memerlukan keahlian orang lain.
Demikian juga untuk melindungi diri dari gangguan binatang
buas dan untuk mempertahankan kelangsungan hidup manusia diperlukan kerja
sama yang baik antar sesama manusia.3 Di lain
sisi, Tuhan menciptakan lakilaki dan perempuan agar mereka
dapat berhubungan satu sama lain, sehingga saling
mencintai, menghasilkan keturunan serta hidup dalam
kedamaian. 4 Begitu juga sebuah akad perkawinan dalam hukum Islam
bukanlah perkara perdata semata, melainkan ikatan suci
(mitsaqan galidhan) yang berkaitan dengan keyakinan dan keimanan kepada
Allah SWT. sehingga ada dimensi ibadah dalam sebuah
perkawinan. Untuk itu perkawinan harus dipelihara dengan baik agar
nantinya apa yang menjadi tujuan perkawinan dalam Islam yakni
terwujudnya keluarga sejahtera (mawaddah wa
rahmah) dapat terwujud. 5 Nabi Muhammad SAW juga memberikan
perintah kepada umat muslim agar segera menikah begitu sudah
mampu. Sebab pada konkritnya, keluarga merupakan inti
dari masyarakat Islam dan hanya menikahlah merupakan cara untuk
membentuk lembaga ini. Sangat masuk akal ketika Islam
menetapkan berbagai ketentuan untuk mengatur berfungsinya keluarga
sehingga dengannya kedua belah pihak yaitu suami dan
isteri dapat memperoleh kedamaian, kecintaan,
keamanan, dan ikatan kekerabatan. Unsurunsur ini sangat
diperlukan untuk mencapai tujuan perkawinan yang paling besar yaitu ibadah
kepada Allah. Ibadah dalam hal ini bukan hanya berarti upacaraupacara
ritual belaka seperti 3 berhubungan intim, melainkan pada
hakikatnya mencakup pula berbagai perilaku
baik dalam seluruh gerak kehidupan. Ketika ditinjau
dari segi definisinya, pengertian ibadah sangatlah luas sehingga
setiap perbuatan, baik itu berbentuk bantuan kepada sesama,
usahausaha produktif yang lazim, dan bahkan setiap ucapan yang baik
merupakan bagian dari ibadahnya seorang muslim yang benar terhadap
penciptanya. Bila kedua suami isteri memperhatikan tujuan
utama tersebut, maka dengan mudah mereka akan mengerti
cara saling membantu untuk mencapai tujuan ini. Suatu tujuan yang
jauh lebih besar daripada keinginan mereka sendiri. Mereka dapat
saling belajar bertoleransi satu sama lain, mencintai Allah dalam
keluarga mereka dan terhadap yang lainnya, serta mengatasi
kesulitankesulitan dan kekurangan mereka. Tujuan perkawinan yang kedua
adalah untuk memenuhi kebutuhan biologis yang mendasar agar
bisa berkembang biak. Anakanak merupakan perwujudan
dari rasa keibuan dan kebapakan. Islam memperhatikan
tersedianya lingkungan yang sehat dan nyaman untuk membesarkan anak
keturunan. Melahirkan anak dan mengabaikannya merupakan suatu tindakan
yang tidak terpuji. Anak yang kehilangan kasih sayang orang tuanya, bila
dia tak memperoleh pendidikan yang Islami selayaknya pada usia
dininya dan ditinggalkannya kepada pengasuh anak, maka dia akan
berkembang dengan polapola perilaku yang anti sosial dan mungkin akan berakhir
dengan tindak kriminal, keras
kepala dan bersifat curang. 6 6Abdul Rahman I, Op.
Cit. 5. 4 Islam telah menjelaskan dengan gamblang tentang kewajiban orang
tua kepada anak keturunannya. Orang tua bertanggung jawab
atas pendidikan dan perawatan anakanaknya. Dan mereka ini
pada gilirannya kelak bertanggung jawab melindungi dan membantu orang
tuanya bila mereka memerlukannya sedemikian rupa
pada usia senja. Ini hanya merupakan satu bagian dari
tata kehidupan keluarga yang luas dalam Islam. Hal yang penting di
sini adalah pertalian antara suami isteri, peranan mereka
masingmasing berdasarkan jenis kelaminnya dengan konteks Islam yang
integral. 7 Begitu eksklusifnya nilainilai moral ini yaitu
seperti ketenangan, kedamaian, dan kasih sayang, Islam
tidak lantas berhenti hingga di sini. Islam memperkuat konsep
dasar atas keluarga ini dengan menentukan peranan atau
tugas lakilaki dan perempuan sedemikian rupa sehingga masingmasing
dapat berbuat sesuai dengan batas kemampuannya. Lakilaki yang
sifatnya agresif diwajibkan menjalankan fungsifungsi yang disebut:
nafkah kehidupan, perlindungan, berhubungan dengan masalahmasalah
dunia luar, dan menjadi pemimpin dalam keluarga
itu. Sebagaimana telah dijelaskan dalam alQur’an: Ù
“Kaum lakilaki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh
Karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (lakilaki)
atas sebahagian yang lain (wanita), dan Karena mereka (lakilaki)
telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. sebab itu maka wanita yang
saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara 7Ibid.
5 diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah
memelihara (mereka). wanitawanita yang kamu khawatirkan
nusyuznya, maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka
di tempat tidur mereka, dan pukullah
mereka. Kemudian jika mereka mentaatimu, maka janganlah kamu mencaricari
jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi
lagi Maha besar.”(QS. al Nisa’: 34)
Kaum perempuan sendiri diwajibkan untuk mengasuh dan mendidik
anak, menata rumah dan menciptakan suasana yang penuh kasih
sayang dalam rumah tangganya. Pada dasarnya isteri dalam Islam
tidak dipaksakan untuk bekerja mencari uang. Bahkan wanita
yang belum menikah, dicerai ataupun janda pun
dijamin kehidupannya oleh Islam dan akan membantu mereka memperoleh
nafkah hidup yang layak. Akan tetapi sebenarnya bekerja
atau berniaga tidaklah terlarang bagi wanita dalam syariah,
asalkan dia melakukannya dalam korodor kerja yang sopan dan atas
seizin suaminya, dan dia tidak akan diperkenankan menangani kegiatankegiatan
semacam itu bila tidak ada hal yang membenarkan dia bekerja dan
tanpa merugikan hakhak suaminya. Segera saat seorang wanita
menikah, maka waktu itu juga dia harus
menjalankan tuntunan Islam dalam kehidupan berkeluarga. Peranan utamanya
adalah berusaha mencapai kesejahteraan rumah tangganya
serta menyelesaikan berbagai urusan di dalam
keluarganya itu. Bila dia memiliki harta sendiri dan
apabila dia memilih untuk mengusahakannya kekayaannya itu
maka dia berhak melakukan yang sedemikian itu tanpa seizin
suaminya, asalkan hal ini tidak melanggar kewajibannya dan tanggung
jawabnya atas anakanaknya.8 Namun seringkali apa yang menjadi
tujuan perkawinan kandas diperjalanan. Perkawinan harus
putus di tengah jalan. Meskipun begitu, 8 Ibid., 67 6
sebenarnya putusnya perkawinan merupakan hal yang wajar saja,
karena makna dasar sebuah akad nikah adalah ikatan atau dapat
juga dikatakan perkawinan pada
dasarnya adalah kontrak. 9 Kendati demikian,
putusnya perkawinan sebenarnya dapat diminimalisir dengan
upaya perdamaian, seperti yang termaktub dalam asas hukum acara Peradilan
Agama yaitu asas “wajib mendamaikan” yang lebih
lengkapnya diatur pada pasal 65 dan 82 UndangUndang No.
7 Tahun 1989 yang berbunyi: Pasal 65: “Perceraian hanya
dapat dilakukan di depan sidang Pengadilan setelah Pengadilan yang
bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua
belah pihak” Pasal 82: (1)“Pada sidang pertama pemeriksaan
gugatan perceraian, Hakim berusaha mendamaikan kedua
pihak” (2)“Dalam sidang perdamaian tersebut, suami isteri harus datang
secara pribadi, kecuali apabila salah satu pihak
bertempat kediaman di luar negeri, dan
tidak dapat datang menghadap secara pribadi dapat diwakili
oleh kuasanya yang secara khusus dikuasakan untuk
itu” (3)“Apabila kedua pihak bertempat kediaman di luar
negeri, maka penggugat pada sidang perdamaian tersebut
harus menghadap secara pribadi” (4)“Selama perkara belum
diputuskan, usaha mendamaikan dapat dilakukan pada setiap
sidang pemeriksaan” Dalam pasal tersebut menjelaskan tentang
tata cara mendamaikan dalam persidangan mulai dari peraturan bahwa
perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang pengadilan
sampai dengan waktu untuk mendamaikan dalam persidangan. Begitu
eksklusifnya kata “mendamaikan” hingga harus diatur dalam
sebuah pasal tertentu. Hal ini menandakan bahwa mediasi
merupakan sebuah tatanan yang sangat penting dan wajib untuk dilakukan
dalam persidangan yang menyidangkan tentang persengketaan.
9Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal, Op. Cit., lihat juga Ahmad
Kuzari, Perkawinan Sebagai
Sebuah Perikatan, (Jakarta: Rajawali Pers, 1995). 7
Sesuai dengan maknanya, mediasi berarti menengahi, seorang
mediator wajib mendorong dan memfasilitasi dialog, membantu
para pihak mengklarifikasi kebutuhan dan keinginankeinginan
mereka menyiapkan panduan membantu para
pihak dalam meluruskan perbedaanperbedaan pandangan dan
bekerja untuk suatu
yang dapat diterima para pihak dalam penyelesaian
yang mengikat. Jika sudah ada kecocokan di antara
para pihak yang bersengketa lalu dibuatkanlah suatu memorandum
yang memuat kesepakatankesepakatan yang telah dicapai. 10
Mediasi ini sendiri sebenarnya sudah diberlakukan sebagai
acara dalam perkara perdata baik di lingkungan peradilan umum
maupun peradilan agama. Bagi peradilan agama, mediator tidak dianggap
sebagai hal yang baru, sebab secara yuridis formal UndangUndang
Nomor 7 Tahun 1989 yang telah dirubah dengan UndangUndang Nomor 3 Tahun 2006
juga UndangUndang No.50 Tahun 2009 Pasal 76 telah menetapkan
keberadaan hakam dalam perceraian yang eksistensinya sama
dengan mediator. Adapun yang menjadi landasan hukum pemberlakuan
hakam selain UndangUndang di atas adalah firman Allah yang berbunyi: “Dan jika kamu khawatirkan ada persengketaan
antara keduanya, Maka kirimlah seorang hakam dari
keluarga lakilaki dan seorang hakam dari keluarga
perempuan. jika kedua orang hakam itu bermaksud mengadakan
perbaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada suamiisteri itu. Sesungguhnya
Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.” 11 10Sugiri Permana,
http://www.badilag.net/data/ARTIKEL/MEDIASI%20%20%20giri, (diakses
pada 15 Juni 2010), 2. 11QS. AnNisa’ (4): 35
8 Di lain sisi akan timbul suatu permasalahan yang muncul dengan
masih adanya pemberlakuan mediasi dalam perkara perceraian yang
sudah di legal formalkan oleh Perma No. 1 Tahun 2008, sementara
hakam sebagai bagian dari hukum acara sudah dilegitimasi terlebih dahulu
daripada mediasi. Kemudian mediasi yang didasarkan pada Perma Nomor 1
Tahun 2008 apakah tetap harus dilaksanakan di samping
juga harus memberlakukan hakam yang didasarkan pada UndangUndang
Peradilan Agama, ataukah pemberlakuan mediasi itu sendiri tetap
harus dilaksanakan dengan menenggelamkan hakam yang notabene lahir
dari sebuah UndangUndang. 12 Hal ini sangatlah penting untuk
diteliti terutama guna mengetahui seluk beluk hakam agar
nantinya penggunaan hukum acara pada peradilan
dapat berjalan secara sistematis.
B. Rumusan Masalah
Dari latar belakang tersebut di atas, maka dapat
dirumuskan beberapa masalah sebagai berikut: 1. Bagaimana status
hakam berdasarkan pasal 76 ayat (2) UndangUndang No.7
Tahun 1989? 2. Bagaimana pandangan hakim tentang
eksistensi hakam setelah adanya Perma No.1 Tahun 2008?
12Sugiri., Op.Cit. 9
C. Tujuan Penelitian
1. Untuk
mengetahui status hakam berdasarkan pasal 76 UndangUndang No. 7
Tahun 1989. 2. Untuk mengetahui eksistensi
hakam setelah adanya Perma No.1 Tahun 2008.
D. Manfaat Penelitian
Secara umum, penelitian ilmiah
dibidang hukum dimaksudkan untuk memperoleh pengetahuan yang benar tetang objek
yang diteliti berdasarkan serangkaian langkahyang diakui komunitas ilmuwan
dalam suatu bidang keahlian (intersubjektif). 13 Namun secara
khusus, penelitian hukum mempunyai manfaat secara teoritis maupun
praktis. Adapun manfaat yang diharapkan oleh peneliti adalah:
1. Teoritis Sebagai penambahan wacana dan pengetahuan
mengenai pandangan hakim eksistensi hakam dalam upaya perdamaian
pada perkara perceraian pasca Perma No.1 Tahun 2008
di Pengadilan Agama Kota Malang. 2. Praktis
Sebagai penelitian awal yang perlu dilanjutkan oleh
peneliti yang berminat untuk menelaah suatu latar
belakang, misalnya tentang motivasi, daya kritis,
peranan, nilai dan persepsi serta dapat memberikan kontribusi
pemikiran dalam kajian penelitian selanjutnya. 13Jhonny Ibrahim,
Teori dan Metodologi Penelitian
Hukum Normatif, (Malang: Bayumedia, Cet ke
III, 2007), 277278. 10 E. Definisi Operasional
1.
Hakam Hakam adalah seseorang yang ditetapkan pengadilan baik dari pihak
keluarga suami maupun pihak keluarga isteri untuk
mencari solusi dalam penyelesaian perkara syiqaq.
2. Mediator
Mediator adalah pihak ketiga yang memiliki keahlian mengenai prosedur
mediasi yang efektif dan dapat membantu dalam situasi konflik untuk
mengkoordinasikan aktifitas mereka sehingga lebih efektif
dalam proses tawar menawar,
bila tidak ada negosiasi maka tidak ada mediasi. 14
3. Syiqaq Syiqaq adalah krisis memuncak
yang terjadi antara suami isteri sedemikian rupa,
sehingga antara suami isteri terjadi pertentangan pendapat dan
pertengkaran, menjadi dua pihak yang tidak mungkindipertemukan dan
kedua pihak tidak dapat mengatasinya. 15 F. Sistematika
Pembahasan Sistematika pembahasan dalam penelitian ini dibagi menjadi 4
(empat) bab, dengan perincian sebagai berikut: Bab
I: Pendahuluan. Dalam bab ini akan menjelaskan gambaran awal
dalam sebuah penelitian. Bab ini
meliputi latar belakang, rumusan masalah, tujuan
penelitian, manfaat penelitian, definisi operasional, dan. Bab
ini terdiri dari penelitian terdahulu digunakan untuk memudahkan penelitian
agar tidak terjadi kesamaan dalam penelitian, kemudian mengenai
kajian teori membahas tentang konsep dasar hukum acara
perdata, kekuasaan mengadili, kompetensi relatif serta kompetensi relatif
dalam perkara perceraian. Ini digunakan agar tidak terjadi perluasan
dalam pembahasan. Bab III: Metode Penelitian. Bab ini
berisi tentang metode penelitian yang mencakup jenis dan pendekatan
penelitian, sumber data, teknik pengumpulan data, teknik pengolahan data.
Bab IV: Analisis Data. Bab ini berisi paparan data, hasil
penelitian mengenai hakam dan juga menganalisis tentang pandangan
hakim tentang eksistensi hakam setelah adanya Perma No.1 Tahun
2008. Bab V: Penutup. Bab ini berisi tentang kesimpulan
dari hasil penelitian yang telah dilakukan dan saransaran
setelah diadakannya penelitian oleh peneliti.
Untuk Mendownload Skripsi "Skripsi al-Ahwal al-Syakhshiyyah" : Pandangan hakim tentang eksistensi hakam dalam upaya perdamaian pada perkara perceraian pasca perma no.1 tahun 2008 di Pengadilan Agama Kota Malang" Untuk Mendownload skripsi ini silakan klik link dibawah ini
No comments:
Post a Comment