Abstract
INDONESIA:
Stres adalah suatu kondisi atau perasaan ketika seseorang merasakan tuntutan melebihi sumber daya pribadi dan sosialnya. Suatu rangkaian dari stimulus dan respon seseorang terhadap peristiwa yang dihadapinya, dan dampak stres yang dirasakan individu dipengaruhi oleh penilaian kognitif serta kemampuan yang dimiliki individu untuk melakukan coping stres (pengelolaan stres).(Lazarus & Folkman dalam McGrath, 2006 ; 135). Stres yang tak terselesaikan dapat termanifestasikan kedalam keluhan fisik yang disebut sebagai psikosomatik. Menurut Halim (2007), psikosomatik didefinisikan sebagai keadaan psikis yang memengaruhi keluhan jasmani. Terapi menulis ekspresif merupakan proses terapi dengan menggunakan metode menulis ekspresif untuk mengungkapkan pengalaman emosional, untuk mengurangi stres yang dirasakan individu sehingga dapat membantu memperbaiki kesehatan fisik, menjernihkan pikiran, memperbaiki perilaku, dan menstabilkan emosi. Ekpresif emosional merupakan ekspresi natural dari emosi yang sebenarnya (Berry & Pennebaker dalam Graf dalam Qonitatin, Widyawati & Asih, 2011 ;25).
Rumusan masalah dan tujuan penelitian fokus pada tingkat stres subjek sebelum dan sesudah diberi perlakuan terapi menulis ekspresif dan proses yang dilaksanakan subjek dalam terapi menulis untuk menurunkan tingkat stres penderita gangguan psikosomatik.
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif, menurut Moleong (2007 ; 6) adalah penelitian yang bertujuan untuk memahami fenomena tentang apa yang dialami oleh subjek penelitian (misalanya, perilaku, persepsi, motivasi, tindakan, dan lain-lain) secara holistik, dengan cara mendeskripsikannya dalam bentuk kata-kata dan bahasa, pada suatu konteks khusus yang alamiah dan dengan memanfaatkan berbagai metode alamiah. Penelitian kualitatif dalam penelitian ini menggunakan strategi penelitian studi kasus. Studi kasus adalah strategi penelitian kualitatif yang hendak mendalami suatu kasus tertentu secara lebih mendalam dengan menerapkan serangkaian metode penelitian (Agusta, 2005 ; 14)
Hasil yang diperoleh dari penelitian ini diantaranya yaitu: 1) tingkat stres subjek sebelum diberi perlakuan, terdapat 2 orang (66,7%) berkategori sedang dan 1 orang (33,3%) dengan kategori tinggi. Hasil pre-test menunjukkan rata-rata subjek dalam kategori sedang; 2) tingkat stres subjek setelah diberi perlakuan, terdapat 1 orang berkategori rendah (33,3%) dan 2 orang dengan kategori sedang (66,7%). Data tersebut menunjukkan tidak ada subjek dengan kategori tinggi; dan 3) proses yang dilakukan subjek cukup sesuai dengan instruksi yang disampaikan. Hal ini berarti bahwa subjek melakukan dua hal dalam proses terapi menulis ekspresif, yaitu: mengungkapkan peristiwa traumatis dan emosi terdalam terkait peristiwa tersebut. Proses tersebut kemudian dapat membantu memulihkan kondisi psikosomatik yang dialami subjek.
ENGLISH:
Stress is a condition or feeling when a person feels the demands exceed the personal and social resources. A series of stimuli and responses in the event that it faces, and the impact of perceived stress individuals affected by cognitive assessment and the ability of individuals to make coping with stress (stress management). (Lazarus & Folkman in McGrath, 2006; 135). Stress can manifest unresolved into physical complaints are referred to as psychosomatic. According to Halim (2007), psychosomatic defined as a psychological state that affects the physical complaints. Expressive writing therapy is a therapeutic process using expressive writing to express emotional experience, to reduce perceived stress individual that can help improve physical health, clear the mind, improve behavior, and stabilize emotions. Emotionally expressive is a natural expression of true emotion (Berry & Pennebaker in the Graf Qonitatin, Widyawati, and Asih, 2011; 25).
Formulation of the problem and research objectives focus on the subject of stress levels before and after treatment the treated expressive writing and the process undertaken subject in writing therapy to lower levels of psychosomatic stress disorder patients.
This study uses a qualitative approach, according Moleong (2007, 6) is the research that aims to understand the phenomenon of what is experienced by the subject of research (misalanya, behavior, perception, motivation, action, etc.) in a holistic manner, by describing the the form of words and language, in a specific context in which nature and by utilizing various natural methods. The qualitative research in this study using a case study research strategy. The case study is a qualitative research strategy was about to go into a particular case in more depth by applying a series of research methods (Agusta, 2005; 14)
The results obtained from this research include: 1) the level of stress before the treated subjects, there are 2 people (66.7%) categorized as moderate and 1 (33.3%) with the high category. Pre-test results showed the average subject in the medium category, 2) the level of stress after being treated subjects, there was 1 person categorized as low (33.3%) and 2 with a medium category (66.7%). The data showed no subjects with high category, and 3) the process of the subject is quite in accordance with the instructions given. This means that the subjects do two things in the expressive writing therapy, namely: reveal the deepest emotions of a traumatic event and associated event. The process can then help restore psychosomatic conditions experienced by the subject.
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Dasawarsa terakhir ini isu kesehatan terus
mendapat perhatian dari ahli medis dan non-medis dunia. Dikatakan demikian
karena masalah kesehatan bukanlah persoalan bagi bidang kedokteran saja. Hal
itu dikarenakan persoalan fisik akan selalu berkaitan dengan dimensi kehidupan
yang lain. Pernyataan tersebut sejalan dengan definisi kesehatan yang
diutarakan oleh WHO, bahwa kesehatan tidak hanya kesehatan fisik saja,
melainkan juga menyangkut kesehatan psikis, kesehatan sosial dan kesehatan
spiritual (Hawari dalam Subandi, 2003). Perhatian para ahli ini lebih khusus
pada bidang kesehatan mental (kesehatan jiwa). Hal tersebut tercermin dari
banyaknya dokumen penelitian yang berkaitan dengan kesehatan mental. Diantara
dokumen tersebut salah satunya merupakan hasil riset yang dilakukan oleh WHO,
yang menyatakan bahwa di beberapa Negara berkembang menunjukkan 30 – 50% pasien
yang berobat ke fasilitas pelayanan kesehatan umum ternyata menderita gangguan
kesehatan jiwa. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian Depkes RI pada tahun
1984 di Puskesmas Tambora, Jakarta Selatan, yang menunjukkan bahwa 28,73%
(pasien dewasa) dari pasien yang berobat ke Puskesmas dinyatakan mengalami
gangguan kesehatan 2 jiwa yang sering muncul sebagai gangguan kesehatan
fisik/jasmani (Depekes RI dalam Guspa, 2012, diakses tanggal 26 April 2012).
Selain itu, penelitian juga dilaksanakan di Klinik Ochsner, New Orleans, yang
menyatakan bahwa dari 500 pasien yang dirawat di klinik mereka 74 persennya
menderita penyakit karena gangguan mental/emosi. Departemen Medis Universitas
Yale yang menangani pasien berobat jalan juga melaporkan bahwa 76% dari pasien
yang datang ke klinik mereka terbukti menderita penyakit karena fikiran dan
perasaan negatif yang mempengaruhi emosi mereka (Guspa, 2012, diakses tanggal
26 April 2012). Emosi ialah suatu keadaan yang kompleks yang berlangsung
biasanya tidak lama, yang mempunyai komponen pada badan dan jiwa individu. Afek
adalah suatu keadaan perasaan yang berlangsung lama, seperti suka-cita, benci,
cinta-kasih, dan sebagainya dan tidak atau hanya sedikit disertai komponen
fisiologik (somatik). Bukti sehari-hari bahwa emosi dapat memengaruhi badan
ialah bila air mata mengalir sewaktu orang sedih, roman muka menjadi merah
sewaktu malu atau orang menjadi pucat dan bergemetar sewaktu ketakutan
(Maramis, 2004: 342). Tidak dapat dipungkiri bahwa pikiran dan perasaan saling
berkaitan erat. Bila terjadi konflik dalam diri individu maka akan muncul
gejala-gejala holistik dalam diri individu tersebut. Jika hal ini berlangsung
sedikit lama dan berlebihan, maka terjadilah nerosa, yaitu gejala-gejalanya
sebagian besar terletak pada bidang kejiwaan, seperti: nerosa cemas, 3 nerosa
histerik, nerosa fobik, nerosa obsesif-kompulsif dan nerosa depresi. Akan
tetapi selain komponen psikologik ini hampir selalu terjadi juga gangguan
fungsi badaniah karena manusia bereaksi secara holistik. Hasil penelitian yang
dilakukan oleh Cannon memperlihatkan bahwa karena pengaruh emosi terjadilah
kelainan-kelainan fisiologik pada sekresi, tonus otot, sirkulasi dan fungsi
lain yang berada di bawah kontrol susunan saraf vegetatif. Apabila keadaan ini
berlangsung lama, maka mungkin timbul kelainan-kelainan struktur yang ireversibel
(Maramis, 2004: 344). Keadaan menegangkan atau konflik sehari-hari memang tidak
dapat dihilangkan dari kehidupan seseorang bahkan jika konflik terjadi
berlarut-larut dan berakibat stress dalam intensitas tinggi, dapat menyebabkan
penyakit fisik dan mental pada seseorang. Namun demikian, stress dapat
dikurangi diantaranya dengan meningkatkan kemampuan seseorang dalam beradaptasi
kognitif secara positif (Rasmun dalam Guspa, 2012, diakses tanggal 26 April
2012), karena sesungguhnya segala peristiwa yang menghiasi kehidupan kita
bersifat netral dan kitalah yang melabelinya (Ronnie, 2005: 22). Gangguan jiwa
yang dimanifestasikan pada gangguan susunan saraf vegetatif disebut sebagai
gangguan psikosomatik. Gangguan ini menggambarkan interaksi yang erat antara
jiwa (psycho) dan badan (soma). Ada istilah lain yang digunakan untuk
menjelaskan gangguan psikosomatik, yaitu gangguan psikofisiologis (Maramis,
2004: 344). 4 Psikosomatik merupakan salah satu gangguan kesehatan atau
penyakit yang ditandai oleh bermacam-macam keluhan fisik. Berbagai keluhan
tersebut acapkali berpindah-pindah. Sebagai contoh dalam waktu beberapa hari
terjadi keluhan pada pencernaan, disusul gangguan pernafasan pada hari-hari
berikutnya. Atau kadang keluhan tersebut menetap hanya pada satu sistem saja,
misal hanya pada sistem pencernaan (gangguan lambung). Kondisi inilah yang
seringkali menjadi sebab berpindah-pindahnya penderita dari satu dokter ke
dokter yang lain ("doctor shopping"). Ada sebagian pasien yang
kemudian jatuh pada perangkap medikalisasi, yakni upaya atau tindakan dengan
berbagai teknik dan taktik, yang membuat mereka terkondisi dalam keadaan sakit
dan memerlukan pemeriksaan maupun pengobatan. Padahal gangguan psikosomatik ini
sebenarnya justru disebabkan dan berkaitan erat dengan masalah
psikis/psikososial. Alhasil, dapat terjadi gangguan fisik pada seluruh sistem
di tubuh manusia mulai dari sistem kardiovaskular, sistem pernafasan, sistem
pencernaan, kulit, saluran urogenital (saluran kencing) dan sebagainya (Hasto,
2011, diakses tanggal 26 April 2012). Berdasar pada uraian di atas dapat
ditarik kesimpulan bahwa suatu konflik dapat menimbulkan ketegangan pada
manusia dan bila hal ini tidak diselesaikan dan disalurkan dengan baik maka
timbullah reaksireaksi yang abnormal pada jiwa yang dinamakan nerosa. Bila
ketegangan terutama mengganggu fungsi susunan saraf vegetatif, maka hal ini 5
dinamakan gangguan psikosomatik atau psikofisiologik (Maramis, 2004: 344).
Pengobatan gangguan psikosomatik pada dasarnya harus dilakukan dengan beberapa
cara secara holistik yang mempertimbangkan pengobatan somatis (berorientasi
pada organ tubuh yang mengalami gangguan), pengobatan secara psikologis
(psikoterapi dan sosioterapi) serta psikofarmakoterapi (penggunaan obat-obatan
yang berhubungan dengan psikologi). Metode mana yang kemudian dipilih oleh
dokter sangat bergantung pada jenis kasus dan faktor-faktor yang terkait
dengannya (Guspa, 2012, diakses tanggal 26 April 2012). Pada kasus tahap awal,
biasanya pengobatan lebih fokus pada faktor somatik saja. Hal ini dapat
menimbulkan kambuhnya penyakit yang berakibat pada penurunan tingkat
kepercayaan pasien akan kesembuhan penyakitnya. Apabila hal ini terjadi maka
akan memperparah psikosomatik pasien itu sendiri. Oleh karena itu, di sinilah
letak pentingnya psikoterapi diberikan pada pasien yang menderita gangguan
psikosomatik (Guspa, 2012, diakses tanggal 26 April 2012). Kesabaran dan
simpati dapat menolong pasien dengan gangguan psikosomatik (Maramis, 2004;).
Salah satu solusi yang ditawarkan untuk menurunkan tingkat stres pada pasien
dengan gangguan psikosomatik adalah dengan terapi menulis ekspresif, yakni
salah satu teknik dari terapi menulis yang berfokus pada menulis ekspresif dan
nilainya dalam mengelola pengalaman hidup, terutama trauma (Sisson, 2011,
diakses tanggal 6 Maret 2012). 6 Melalui penelitiannya, psikolog James W.
Pennebaker (dalam Hernowo, 2005, dalam Catshade, 2008, diakses pada tanggal 2
Mei 2012) memberikan insight mengenai aktivitas menulis yang bermanfaat bagi
kesehatan fisik dan psikologis. Dalam penelitian ini Pennebaker memberikan
treatmeant selama 15 menit setiap harinya dalam jangka waktu 4 hari
berturut-turut. Ia meminta tiga kelompok mahasiswa untuk menulis mengenai
trauma yang pernah mereka alami dengan 3 derajat intensitas yang berbeda: 1.
hanya menuliskan fakta yang terkait dengan trauma, 2. hanya melepaskan emosi
yang terkait dengan trauma, dan 3. menuliskan fakta serta emosi yang terkait
dengan trauma tersebut. Sebagai kelompok pembanding, dengan durasi yang sama ia
juga meminta sekelompok mahasiswa untuk menulis mengenai topik netral yang
tidak relevan. Hasil dari kuesioner yang dibagikan setelah eksperimen berakhir,
terungkap bahwa mahasiswa yang menuliskan fakta serta emosi yang terkait dengan
peristiwa traumatis yang pernah mereka alami memiliki suasana hati yang lebih
baik, pandangan yang lebih positif, dan kesehatan fisik yang lebih baik. Temuan
ini dikonfirmasi dengan pengecekan silang ke unit kesehatan mahasiswa setempat
yang melaporkan bahwa rata-rata kunjungan mahasiswa yang termasuk dalam
kategori ini turun 50% dibandingkan dengan bulan-bulan sebelum mereka mengikuti
eksperimen. Ketika Pennebaker melakukan penelitian yang serupa beberapa bulan
kemudian, ia juga menemukan bahwa mahasiswa yang menulis peristiwa 7 traumatis
mereka serta emosi yang terlibat di dalamnya meningkat fungsi kekebalan
tubuhnya dibandingkan dengan mahasiswa yang menulis topik netral (Catshade,
2008, diakses tanggal 2 Mei 2012). Efek yang sangat positif dari aktivitas
menulis ini kemudian dijelaskan oleh psikolog Louise Sundararajan dari Pusat
Psikiatri Rochester, New York (ABCNews, 28 September 2005, dalam Catshade,
2008, diakses tanggal 2 Mei 2012). Berdasarkan analisis hasil tulisan pada
penelitian lainnya terhadap mahasiswa yang orang tuanya sedang menjalani proses
perceraian, Sundararajan menemukan bahwa aktivitas menulis ekspresif –menulis
dengan menuangkan segala pikiran dan perasaan tanpa terpaku pada tata bahasa
atau ejaan–, „memaksa‟ otak untuk memproses kembali kekuatiran dan ketakutan
yang sebelumnya terendap begitu saja di alam bawah sadar dan berpotensi
menimbulkan stress. Menurut Sundararajan (dalam Catshade, 2008, diakses tanggal
2 Mei 2012) menulis adalah sebuah proses, dan salah satu proses ketika menulis
adalah mengeluarkan atau mengungkapkan semua hal yang ada dalam pikiran dan
perasaan kita. Tentang seberapa dalam kita membenci atau menyukai sesuatu, kita
juga akan menggunakan semua kata yang dapat mengungkapkan perasaan kita. Selain
itu, proses lain yang bekerja ketika kita menulis adalah proses di mana kita
akan menyusun ulang semua masalah, serta mampu untuk melihat dan merefleksikan
masalah yang sedang kita hadapi. 8 Hasil analisis yang dilakukan Sudararajan
menunjukkan bahwa mahasiswa yang menulis dengan ekspresif lebih mampu
menghadapi proses perceraian orangtuanya, dan mampu melihat masalah dalam
perspektif yang sesuai serta menghadapinya dengan terbuka. Berdasar pada hasil
analisisnya, Sudararajan menyimpulkan, mereka akan lebih cepat pulih secara
psikologis. Jadi, kesimpulan dari uraian tersebut adalah ada korelasi positif
antara terapi menulis ekspresif dengan membaiknya kondisi kesehatan individu
dengan gangguan psikosomatik. Hal ini dikarenakan adanya proses kognitif yang
berlangsung ketika seseorang mulai menulis tentang persoalan yang sedang
dihadapinya. Dengan berbicara atau mengungkapkan tentang pengalaman yang
menyakitkan, orang bisa mendapatkan wawasan tentang peristiwa tersebut dan
mengetahui lebih banyak tentang diri mereka sendiri. Freud dan Breuer yakin bahwa
nilai positif berbicara atau mengungkapkan perasaan dan pikiran yang terdalam
dalam situasi santai terletak pada kemampuannya untuk melepaskan perasaan
terpendam. Keduanya berpendapat bahwa melepaskan perasaan yang terpendam atau
katarsis akan melepaskan ketegangan psikis (Pennebaker, 2002 ; 48). Penelitian
terdahulu dilakukan oleh Joshue Smith, Ph. D., asisten profesor psikologi dari
North Dakota State University dan koleganya, terhadap 70 penderita asma dan
rheumatoid arthritis, dan 37 pasien sebagai kelompok pembanding. Penelitian
dilaksanakan selama 20 menit 9 dalam 3 hari. Tujuh puluh partisipan penelitian
tersebut dianjurkan untuk menulis tentang luka masa lalunya sedangkan 37 yang
lain diminta untuk menulis tentang rencana mereka pada hari itu. Hasilnya, 4
bulan kemudian, 47% dari kelompok menulis tentang trauma masa lalunya
menunjukkan perbaikan signifikan. Mereka rata-rata merasakan berkurangnya rasa
sakit berkaitan dengan rheumatoid arthritis yang mereka derita dan bagi para
penderita asma mengalami peningkatan kapasitas paru-paru mereka. Sementara
hanya 24% persen yang menunjukkan kemajuan pada kelompok pembanding yang hanya
menulis rencana kehidupan sehari-harinya. (Khairul, 2005 diakses pada tanggal
27 Agustus 2011) Selain itu ada juga penelitian yang dilaksanakan di Indonesia,
salah satunya yaitu dilakukan oleh Qonitatin dkk. Pada tahun 2011 tentang
pengaruh katarsis dalam menulis ekspresif sebagai intervensi depresi ringan
pada mahasiswa. Subjek dalam penelitian ini berjumlah 84 mahasiswa, 47 orang
(55,95%) diantaranya mengalami depresi. Hasil analisis stastistik dari
penelitian tersebut diperoleh t hitung sebesar 6,384 dan tatraf signifikansi
sebesar 0,000, yang berarti bahwa katarsis dalam menulis ekspresif memiliki
pengaruh yang sangat signifikan terhadap depresi ringan pada mahasiswa.
Berdasarkan latar belakang di atas, maka peneliti melakukan penelitian untuk
mengetahui “proses terapi menulis ekspresif yang 10 dilakukan subjek untuk
menurunkan tingkat stres pada penderita gangguan psikosomatik”. Penelitian ini
memiliki kesamaan tema dengan penelitian lainnya, akan tetapi berbeda dalam
tujuan penelitian. Beberapa penelitian yang telah dipaparkan sebelumnya juga
meneliti tentang efek terapi menulis ekspresif namun dalam ruang lingkup dan tujuan
yang berbeda. Seorang peneliti Indonesia bersama 2 rekannya, Qonitatin,
Widyawati dan Asih melakuakn penelitian tentang pengaruh katarsis dalam menulis
ekspresif sebagai intervensi depresi ringan pada mahasiswa. Perbedaan
penelitian yang dilakukan antara peneliti dan Qonitatin dkk. terletak pada
tujuan penelitian. Jika Qonitatin dkk. mencoba untuk meneliti pengaruh katarsis
dalam menulis ekspresif terhadap depresi ringan maka penelitian ini meneliti
tentang proses pengungkapan dalam menulis ekspresif untuk menurunkan stres pada
penderita gangguan psikosomatik. Peneliti telah menguraikan
penelitian-penelitian lain yang samasama membahas tentang terapi menulis
ekspresif. Tujuan dari penelitian ini sendiri adalah untuk mengetahui proses
terapi yang dilakukan oleh subjek sebagai strategi coping stess dengan cara
memberikan treatment sebagai pengalaman menulis ekspresif dan wawancara kepada
masingmasing subjek secara langsung. Beberapa perlengkapan yang peneliti
butuhkan adalah buku catatan, bulpoin, alat perekam suara (berupa handphone),
dan stopwatch (menggunakan handphone). 11 B. Rumusan Masalah Adapun rumusan
masalah yang peneliti ajukan dalam penelitian dengan pendekatan kuantitatif
eksperimen adalah sebagai berikut: 1. Bagaimana tingkat stres pada pasien penderita
gangguan psikosomatik sebelum diberikan terapi menulis ekspresif? 2. Bagaimana
tingkat stres pada pasien penderita gangguan psikosomatik setelah diberikan
terapi menulis ekspresif? 3. Bagaimana proses terapi menulis ekspresif dapat
membantu memulihkan kondisi penderita gangguan psikosomatik dengan cara
mereduksi stres? C. Tujuan Berdasarkan rumusan masalah di atas maka tujuan dari
penelitian ini yaitu: 1. Untuk mengetahui tingkat stres pada pasien penderita
gangguan psikosomatik sebelum diberikan terapi menulis ekspresif. 2. Untuk
mengetahui tingkat stres pada pasien penderita gangguan psikosomatik setelah
diberikan terapi menulis ekspresif. 3. Untuk mengetahui proses terapi yang
dilaksanakan oleh subjek penelitian, sehingga dapat membantu mereduksi stres
yang dialami subjek dengan gangguan psikosomatik. 12 D. Manfaat Penelitian ini
diharapkan memiliki dua manfaat diantaranya, yaitu: 1. Manfaat Praktis Membantu
memberikan pandangan baru mengenai teknik psikoterapi yang efektif digunakan
pada pasien dengan gangguan psikosomatik. 2. Manfaat Teoritis Hasil penelitian
diharapkan dapat memberikan masukan yang bermanfaat bagi perkembangan Ilmu
Psikologi khusunya Psikologi Klinis dengan cara memberi tambahan data secara
empiris yang telah teruji.
Untuk Mendownload Skripsi "Skripsi Psikologi" :Studi tentang terapi menulis ekspresif untuk menurunkan stres pada penderita gangguan psikosomatik." Untuk Mendownload skripsi ini silakan klik link dibawah iniDOWNLOAD
No comments:
Post a Comment