Abstract
INDONESIA:
Keberagaman individu membuatnya menjadi unik dan berbeda satu sama lain. Kebutuhan kesamaan visi dalam menjalin hubungan sangat diperlukan. Membangun visi yang sama dalam berhubungan secara intens dibutuhkan komitmen. Penelitian ini mencoba mengangkat salah satu faktor, yaitu kepercayaan (trust) yang mempengaruhi komitmen dalam sebuah pernikahan. Penelitian ini bertujuan untuk mendeteksi dan menguji sejauh mana pengaruh variabel bebas, kepercayaan (trust) terhadap variabel terikat, komitmen berdasarkan koefisien korelasi.
Subjek penelitian ini adalah seluruh pasangan yang menikah di usia muda (dibawah 21 tahun dan masih menikah saat penelitian ini dilaksanakan) yang berjumlah 54 orang (27 pasangan).
Metode penelitian yang dipakai adalah penelitian kuantitatif deskriptif, yaitu penelitian yang berusaha menemukan pengaruh antara variabel-variabel penelitian. Dari 54 responden sebagai populasi, didapat hasil analisis statistika tingkat komitmen pada level tinggi sebesar 37%, cukup 35% dan rendah sebesar 28%. Sedangkan tingkat kepercayaan responden pada level tinggi sebesar 15%, cukup 74% dan rendah 11%. Reliabilitas instrumen kepercayaan (trust) 0,845, dan komitmen sebesar 0,890. Kemudian dari analisis statistika utama didapatkan korelasi positif dan signifikan antara kepercayaan (trust) terhadap komitmen dalam pernikahan usia muda sebesar 0,485 pada taraf signifikansi P ≤ 0,001.
Kesimpulan yang didapat dari analisa regresi bahwa hipotesa adanya pengaruh yang positif dan signifikan antara kepercayaan (trust) terhadap komitmen pada pasangan pernikahan usia muda diterima.
ENGLISH:
An Individual diversity makes it unique and different from each other. The common vision is needed to construct the relationships. Building a common vision of the intense relation is require the commitment. This research tries to raise one of factor (trust) that affect to commitment in a marriage. This research aims to detect and examine the extent to which the impact of independent variables (Trust) against the predicted variable (Commitment) based on the correlation coefficient.
The Subjects of this research is all couples who marry at a young age (under 21 years old and still married when the research was conducted), as much as 54 people (27 couples).
The research method used is descriptive quantitative research, which is try to find the impact of the variables of the research. From the 54 respondents as the population, the result of statistical analysis of the level of commitment at high levels by 37%, average by 35% and a low of 28%. While the Trust level respondents at high levels by 15%, average 74% and low 11%.
Reliability of the Trust instrument is 0.845, and Commitment by 0.890. And then from the main statistical analysis found a positive correlation between the Trust with a commitment in the marriage of 0.485 at a significance level of P ≤ 0.001.
The conclusion from the regression analysis that the hypothesis of this research that the positive and significant impact from the Trust to commitment on the young married couple is accepted
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Pernikahan adalah ikatan lahir batin antara
seorang pria dengan seorang wanita sebagai seorang suami-istri dengan tujuan
membentuk keluarga (rumahtangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang
Maha Esa (Undang-undang No. 1 Tahun 1974 pasal 1). Menurut hukum adat,
(Puspitasari, 2006) suatu pernikahan merupakan urusan kerabat/urusan
masyarakat, urusan pribadi satu sama lain dalam hubungan yang berbeda-beda,
atau merupakan salah satu cara untuk menjalankan upacara-upacara yang banyak
corak ragamnya menurut tradisi masing-masing. Hukum agama secara umum
menyatakan pernikahan sebagai suatu perbuatan yang suci (sakramen, samskara)
yaitu suatu perikatan antara dua belah pihak yaitu pihak pria dan pihak wanita
dalam memenuhi perintah dan anjuran Tuhan Yang Maha Esa, agar kehidupan
keluarga dan berumah tangga serta berkerabat bisa berjalan dengan baik sesuai
dengan anjuran agamanya, sedangkan hukum Islam menyatakan pernikahan sebagai
akad atau persetujuan antara calon suami dan calon istri karenanya berlangsung
melalui ijab dan qobul atau serah terima. Apabila akad nikah tersebut telah
dilangsungkan, maka mereka telah berjanji dan bersedia menciptakan rumah tangga
yang harmonis, akan sehidup semati dalam menjalani rumah-tangga bersama-sama
(Nasruddin, 1976). 1 2 Undang-Undang Perkawinan No.1 Tahun 1974 memaparkan usia
minimal melangsungkan pernikahan adalah 16 tahun bagi wanita dan 19 tahun bagi
pria. Sedangkan Undang-Undang RI nomor 23 Tahun 2002 mengenai perlindungan anak
menjelaskan bahwa Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas)
tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan. Dalam hal tersebut terjadi
ketimpangan antara usia minimal perkawinan dan batas usia anak yang masih berada
dalam perlindungan undang-undang. Dalam Undang-Undang Perkawinan yang
menyebutkan bahwa usia minimal perkawinan bagi perempuan adalah 16 tahun, masih
berada dalam batas usia perlindungan anak menurut Undang-Undang Perlindungan
Anak. Dalam tinjauan Islam, usia pernikahan dimulai dengan umur dewasa yaitu 9
tahun bagi wanita, dan 15 tahun bagi pria. Jika menilik dari tinjauan
psikologi, rentan usia yang dikemukakan, baik dari perspekrif Islam maupun
Undang-Undang Perkawinan tersebut masuk dalam fase remaja, yaitu usia 12-20
tahun (Monks dkk, 2001). Para psikolog mengkhawatirkan perkawinan yang terjadi
di bawah umur akan menemui batu sandungan karena sangat bergantung pada keadaan
jiwa seseorang. Hal itu senada yang diungkapkan oleh para dokter, bahwa sebelum
melangsungkan pernikahan hendaknya calon suami-istri benar-benar berpikir
secara jernih dan matang terutama kesiapan jasmaninya. Oleh karena itu, sudah
menjadi kewajiban orang tua untuk mempersiapkan anak-anak mereka sebaik mungkin
dengan memberikan pendidikan yang memadai. Kepada mereka hendaknya ditekankan
bahwa alangkah baiknya melangsungkan pernikahan 3 setelah mencapai usia
kedewasaan. Sebab, cara berpikir seseorang sangat dipengaruhi oleh tingkatan
umur, semakin matang umurnya semakin matang pula cara berpikirnya. Menurut
Diane E. Papalia dan Sally Wendkos dalam bukunya Human Development (1995),
mengemukakan bahwa usia terbaik untuk melakukan pernikahan bagi perempuan
adalah 19 sampai dengan 25 tahun, sedangkan untuk laki-laki usia 20 sampai 25
tahun diharapkan sudah menikah. Karena ini adalah usia terbaik untuk menikah
baik untuk memulai kehidupan rumah tangga maupun untuk mengasuh anak pertama.
Dalam kompilasi hukum Islam pasal 15 telah disebutkan bahwa untuk kemaslahatan
keluarga dan rumah tangga, perkawinan hanya boleh dilakukan calon mempelai yang
telah mencapai umur yang telah di tetapkan dalam pasal 7 Undang-Undang no. 1
tahun 1974 yakni calon suami sekurang-kurangnya berumur 19 tahun dan calon
istri sekurang-kurangnya berumur 16 tahun. Sementara menurut Dr. Sarlito
Wirawan Sarwono, dalam usia kurang dari 21 tahun, jika seorang anak ingin
menikah harus seizin orang tua dan KUA (Kantor Urusan Agama) tidak akan
menikahkan mereka sebelum ada izin tertulis dari orang tua. Suatu pernikahan
tanpa seizin orang tua, dimana mereka atau salah satu dari mereka berusia
kurang dari 21 tahun, maka pernikahannya tidak sah. Kecuali mereka telah
mendapat izin dari pengadilan berupa dispensasi pengadilan yang mereka ajukan
sendiri ke pengadilan yang mewilayahi tempat tinggal mereka, sehingga dengan
adanya izin dari pengadilan tersebut KUA dapat menikahkan mereka. 4
Undang-Undang pernikahan maupun pandangan Islam mengenai batas usia minimal
pernikahan memberikan kontribusi yang cukup besar terhadap pengambilan keputusan
(decision making) untuk menikah bagi sejumlah orang. Seperti di Dusun Maron,
Desa Ngroto contohnya. Fenomena pernikahan pada usia remaja di dusun ini masih
cukup tinggi. Hal ini ditunjukkan oleh data usia pernikahan yang tercatat dalam
data Kepala Urusan Kesejahteraan Rakyat (Kaur Kesra) terdapat 18 pasangan yang
menikah pada usia 16-21 tahun dalam satu dusun. Usia tersebut masuk dalam
kategori pernikahan usia muda sesuai dengan ketetapan PBB yang menyebutkan
bahwa pernikahan usia muda adalah pernikahan yang terjadi dalam rentan usia
15-24 tahun. Rentan usia tersebut belum memenuhi kriteria ideal sebuah
pernikahan dalam perspektif psikologi, karena berada pada fase remaja. Remaja
adalah transisi/peralihan dari masa kanak-kanak menuju masa dewasa yang ditandai
dengan adanya perubahan aspek fisik, psikis, dan psikososial. Masa remaja,
menurut Stanley Hall (dalam Santrock, 1999), dianggap sebagai masa topan-badai
dan stress (storm and stress), karena telah memiliki keinginan bebas untuk
menentukan nasib dirinya sendiri. Kalau terarah dengan baik, maka ia akan
menjadi seorang individu yang memiliki rasa tanggung jawab, tetapi kalau tidak
berimbang, maka bisa menjadi seorang yang tidak memiliki orientasi masa depan
yang baik. Pada aspek pemikirannya, remaja mengalami beberapa hal, yaitu: (1)
Remaja dituntut untuk bersikap mandiri dalam tindakannya di masyarakat; (2)
Remaja bersikap kritis; (3) Remaja sering mengajukan argumentasi; (4) 5 Remaja
bersikap ragu-ragu dalam bertindak (indivieveness); (5) Remaja kadang menampakkan
sikap munafik (hypocrisy); (6) Remaja memiliki kesadaran diri
(self-counsciousness); dan (7) Remaja menganggap dirinya kebal terhadap segala
sesuatu (assumption of invulnerability) (Elkind dalam Papalia and Olds,1998).
Pada kenyataannya belum banyak remaja yang dapat sepenuhnya mandiri bersikap
dalam masyarakat. Kalaupun ada, masih berada dalam tahap pembelajaran dan
penyesuaian. Sikap kritis remaja masih cenderung frontal dan kaku, demikian
juga dengan argumentasi yang diajukan. Sikap ragu-ragu dalam bertindak masih
jauh dari standart ideal membangun rumah tangga, terlebih didukung dengan
kecenderungan remaja untuk menampakkan sikap munafiknya. Secara tidak langsung
akan membangun ketidakjujuran antar pasangan maupun dengan lingkungan
sekitarnya. Walaupun remaja memiliki kesadaran diri, namun anggapan bahwa
dirinya kebal terhadap segala sesuatu, termasuk batasan norma mengarahkannya
untuk berbuat sekehendak hatinya. Pada aspek psikososial, remaja mengalami
krisis, menurut Erik Erikson (Lindzey dkk, 1998), berarti menunjukkan bahwa
dirinya sedang berusaha mencari jati dirinya, yang lebih dikenal dengan tahap
Identity vs Identity Confusion dimana seorang remaja belum menemukan
ke-aku-annya. Pada tahap ini seorang remaja masih mengalami kebingungan identitas
dan berusaha mencari identitas dirinya. Kondisi ini sangat rentan jika dialami
dalam kondisi berumah tangga, sebab dalam masa pencarian identitas, seseorang
memiliki pemikiran dan perasaan yang cenderung berubah-ubah. Padahal kritis di
sini adalah suatu 6 masalah yang berkaitan dengan tugas perkembangan yang harus
dilalui oleh setiap individu, termasuk remaja. Di sisi lain, remaja adalah masa
dimana terjadi peningkatan pengambilan keputusan. Dalam hal ini, remaja mulai
mengambil keputusan seputar masa depannya, terkait pemilihan kelompok, sekolah,
maupun karirnya. Namun demikian, tidak jarang remaja terpaksa mengambil
keputusan yang salah karena dipengaruhi oleh orientasi masyarakat terhadap
remaja dan kegagalannya untuk memberi remaja pilihan-pilihan yang memadai.
Kondisi emosional remaja yang masih labil, dengan dinamika yang fluktuatif juga
turut mempengaruhi ketidakmatangan dalam hal pengambilan keputusannya. Oleh
sebab itu, sebagaimana dikemukakan oleh Daniel Kaeting (dalam Desmita, 2008),
kalau keputusan yang diambil remaja tidak disukai, maka kita perlu memberi
mereka suatu pilihan yang lebih baik untuk mereka pilih, yang mana dalam
pengambilan keputusan terakhir masih perlu pendampingan oleh orang dewasa yang
memadai. Oleh karena paparan diatas, fase remaja bukanlah masa yang tepat untuk
melangsungkan pernikahan. Dalam tinjauan psikologi, pernikahan merupakan tugas
perkembangan seseorang yang memasuki tahap dewasa atau perkembangan
sosio-emosional pada masa dewasa awal, seperti yang diungkapkan oleh Santrock
(2002) ialah tergabung menjadi keluarga melalui perkawinan. Sedangkan masa
untuk melakukan pernikahan saat usia dewasa awal yaitu 20-40 tahun (Papalia,
1998) atau pada usia 18-40 tahun (Hurlock ,1980). Hal ini didasarkan pada
aspekaspek dan tugas-tugas perkembangan pada fase dewasa. 7 Perkembangan
psikoseksual pada tahap ini (Alwisol, 2009) disebut perkelaminan (genitality).
Perkelaminan sebenarnya baru dikembangkan pada tahap dewasa awal, ditandai
dengan saling percaya (Trust) dan berbagai kepuasan seksual secara permanen
dengan orang yang dicintai. Krisis psikososial yang dialami (Alwisol, 2009)
adalah Intimacy vs Isolation. Intimasi adalah kemampuan untuk menyatukan
identitas diri dengan identitas orang lain tanpa ketakutan kehilangan identitas
diri itu. Dari hal ini nampak bahwa idealnya, pada fase dewasa awal ini
seseorang telah menemukan identitas dirinya. Sudah matang dan tidak lagi goyah
terpengaruh oleh lingkungan seperti pada fase remaja. Intimasi hanya dapat
dilakukan sesudah orang membentuk ego yang stabil dan juga sudah berada pada
tahap kestabilan emosional. Intimasi yang masak adalah kemampuan dan kemauan
untuk berbagi perasaan saling percaya (Trust). Itu melibatkan pengorbanan,
kompromi, dan komitmen dalam hubungan yang sederajat. Seharusnya intimasi
menjadi persyaratan suatu perkawinan (Alwisol, 2009), tetapi ternyata banyak
perkawinan yang tanpa intimasi. Salah satu penyebabnya, karena banyak dewasa
awal yang kawin sebagai bagian dari pencarian identitas yang gagal mereka
mantapkan pada masa remaja. Sedangkan isolasi adalah ketidakmampuan untuk
bekerja sama dengan orang lain melalui berbagai intimasi yang sebenarnya.
Isolasi maupun Intimasi sebaiknya tetap ada pada porsinya masing-masing.
Isolasi yang berlebih, biasanya dikarenakan oleh ketidakmampuan seseorang
menerima tanggung jawab sebagai orang dewasa, yakni kerja produktif, menjadi
orang tua, dan cinta yang masak (Alwisol, 8 2009). Isolasi dibutuhkan dalam
kadar yang cukup dalam kemasakan cinta, karena jika kadar isolasi berlebihan
dan intimasi menjadi kecil, yang timbul bukan cinta, tetapi kesendirian. Pada
fase dewasa awal ini juga awal dari dimulainya pemaknaan yang mendalam mengenai
cinta (Alwisol, 2009), terbentuk kepercayaan (Trust) dan juga komitmen terhadap
pasangan. Mengacu pada Undang-undang No. 1 Tahun 1974 pasal 1 pernikahan adalah
suatu bentuk ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita
sebagai seorang suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga)
yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Ikatan lahir batin
dalam pernikahan tidak sebatas pemenuhan kebutuhan biologis berupa seks saja,
melainkan secara etis merupakan hubungan kemanusiaan, hubungan saling membangun
untuk sebuah kehidupan yang damai dan sejahtera lahir-batin. Membentuk keluarga
yang bahagia perlu diawali dari kepercayaan (Trust) antara pasangan suami istri
sehingga tidak ada kecurigaan yang memicu konflik dalam keluarga. Sedangkan
komitmen diperlukan untuk mempererat dan mempertahankan pernikahan dalam rangka
membangun rumah tangga yang kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa sesuai
dengan peraturan di atas. Kesemuanya itu akan dapat terwujud apabila pernikahan
mulai diselenggarakan pada masa dewasa awal. Namun, kita tidak dapat menutup
mata pada banyak fenomena, di dusun Maron khususnya bahwa angka pernikahan pada
usia remaja atau yang lebih akrab dengan sebutan pernikahan usia muda masih
cukup tinggi. 9 Kesenjangan ini kiranya menjadi suatu fenomena unik, yang
tentunya membawa berbagai konsekuensi. Angka pernikahan usia muda yang cukup
tinggi di dusun Maron berdampingan dengan fenomena kegagalan menikah, yaitu
perceraian pada usia pernikahan yang masih relatif muda, yakni kurang dari 6
(enam) bulan. Hal ini akrab disebut dengan “Pernikahan Tidak Jadi” oleh masyarakat
Maron. Stigma masyarakat bahwa apabila seorang wanita mengalami kegagalan
menikah dan belum memiliki anak, maka perempuan tersebut seakan-akan kembali
menjadi perawan. Dapat “berpacaran” dan mencari suami lagi tanpa beban. Hal
demikian memang tidak dianggap sebagai suatu aib atau masalah dalam masyarakat
setempat. Anggapan demikian menyebabkan terjadi perulangan pernikahan tanpa
beban, meskipun ada sisi traumatis pada pelaku pernikahan yang berulang,
khususnya perempuan. Pada subyek teramati dari salah seorang perempuan
berinisial “L” dalam sebuah penelitian pendahuluan diketahui menunda kehamilan
pada pernikahan keduanya setelah mengalami kegagalan pernikahan pada pernikahan
pertamanya. Ada kekhawatiran pada diri perempuan tersebut akan kelangsungan
pernikahannya. Apabila pernikahan keduanya gagal dan yang bersangkutan sudah
memiliki anak, maka akan lebih sulit untuk mendapatkan suami lagi (pengakuan
subjek teramati). Dalam hal ini, diketahui bahwa komitmen dalam pernikahannya
cukup rendah, yang sedikit banyak dipengaruhi oleh rendahnya kepercayaan
(Trust) terhadap pasangan. Pasangan ini menikah dalam usia yang masih masih
relatif muda, khususnya pihak perempuan. Pihak perempuan berusia 17 tahun dalam
melangsungkan 10 perikahan keduanya (pernikahan pertama pada usia 14 tahun) dan
pihak lakilaki berusia 21 tahun pada pernikahan pertamanya. Komitmen merupakan
modalitas penting dalam suatu pernikahan untuk mempertahankan kelangsungannya.
Meningkatnya kasus perceraian karena kurangnya kesadaran untuk bertanggung
jawab dalam kehidupan berumah tangga bagi suami istri, yang secara tidak
langsung didasari oleh komitmen yang kurang kuat (Puspitasari, 2006).
Pentingnya komitmen dalam suatu pernikahan juga dijelaskan oleh Rapaport (dalam
Duvall & Miller 1985) bahwasannya seseorang dinyatakan siap untuk menikah
jika telah memenuhi beberapa kriteria, yaitu (1) Memiliki kemampuan
mengendlikan perasaan diri sendiri; (2) Memiliki kemampuan untuk berhubungan
baik dengan orang banyak; (3) Bersedia dan mampu menjadi pasangan istimewa
dalam hubungan seksual; (4) Bersedia untuk membina hubungan seksual yang intim;
(5) Memiliki kelembutan dan kasih sayang kepada orang lain; (6) Sensitif
terhadap kebutuhan dan perkembangan orang lain (7) Dapat berkomunikasi secara
bebas tentang pikiran, perasaan, dan harapan; (8) Bersedia berbagi rencana
dengan orang lain; (9) Bersedia menerima keterbatasan orang lain; (10)
Realistik terhadap karakteristik orang lain; (11) Memiliki kapasitas yang baik
dalam menghadapi berbagai masalah; dan (12) Bersedia menjadi suami istri yang
bertanggung jawab. Beberapa kriteria yang dijelaskan menunjukkan bahwa
seseorang baru dinyatakan siap melangsungkan pernikahan jika sudah mampu
membangun sebuah komitmen. Bill Doherty (dalam The Heart of Merriage, 2008) menjelaskan
bahwasannya 11 aspek utama dalam membangun komitmen pernikahan adalah
meletakkan pernikahan itu sendiri dalam prioritas tertinggi yang terbangun
dalam pengembangan kebiasaan dalam hubungan yang baik dan rasa percaya (Trust)
satu sama lainnya. Berbicara mengenai komitmen, tidak dapat terlepas dari
dimensi kepercayaan (Trust). Henslin (dalam King, 2002) memandang Trust sebagai
harapan dan kepercayaan individu terhadap reliabilitas orang lain. Pondasi
Trust meliputi saling menghargai satu dengan lainnya dan menerima adanya
perbedaan (Carter, 2001). Setelah dapat menghargai satu sama lain dan menerima
perbedaan yang ada, maka komitmen akan dapat terbentuk dengan lebih kokoh pada
tahapan selanjutnya. Pernikahan yang dilakukan oleh pasangan usia muda (remaja),
memiliki tingkat kepercayaan (Trust) dan komitmen yang relatif berbeda dengan
pasangan usia dewasa. Karena, komitmen baru mulai terbangun pada tahap
perkembangan dewasa awal, sedangkan pada tahap remaja kondisi psikologis remaja
masih labil. Oleh karena hal tersebut di atas dan masih adanya fenomena
pernikahan usia muda, dalam hal ini peneliti melakukan penelitian mengenai
“Pengaruh Trust Terhadap Komitmen Pada Pasangan Pernikahan Usia Muda”. B.
Rumusan Masalah 1. Bagaimana tingkat Trust pada pasangan pernikahan usia muda?
2. Bagaimana tingkat komitmen pada pasangan pernikahan usia muda? 12 3. Apakah
ada pengaruh Trust terhadap komitmen pada pasangan pernikahan usia muda? C.
Tujuan 1. Mengetahui tingkat Trust pada pasangan pernikahan usia muda. 2. Mengetahui
tingkat komitmen pada pasangan pernikahan usia muda. 3. Mengetahui pengaruh
Trust terhadap komitmen pada pasangan pernikahan usia muda. D. Manfaat 1. Bagi
pemerintah, hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi sumber pemikiran dan
bahan pertimbangan dalam menyusun suatu kebijakan yang menyangkut pernikahan.
2. Bagi masyarakat, penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan pemikiran dan
wawasan untuk memperbaiki pola kehidupan sosial menjadi lebih baik. 3. Bagi
pembaca, hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan dan dapat
dijadikan sebagai tambahan referensi dalam penyusunan penelitian selanjutnya
atau penelitian-penelitian sejenis. 4. Bagi peneliti, penelitian ini bermanfaat
untuk menambah wawasan dan pengetahuan serta sebagai salah satu syarat untuk
memperoleh gelar Sarjana Psikologi di fakultas Psikologi Universitas Islam
Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang.
Untuk Mendownload Skripsi "Skripsi Psikologi" : Pengaruh kepercayaan (trust) terhadap komitmen pada pasangan pernikahan usia dini" Untuk Mendownload skripsi ini silakan klik link dibawah iniDOWNLOAD
No comments:
Post a Comment