Abstract
INDONESIA:
Perkembangan moral merupakan hal yang sangat penting bagi perkembangan kepribadian dan sosial anak menuju kedewasaannya. Dari perkembangan ini mereka akan mengetahui bagaimana seseorag itu berfikir mengenai konsep salah dan benar, serta memutuskan berbagai tindakan benar ataupun salah. Tindakan moral antara individu satu dengan individu yang lain tidaklah sama, seseorang dikatakan bermoral apabila prilakunya sesui dengan norma-norma yang ditetapkan dalam masyarakat. Ada beberapa faktor yang mempengaruhi perkembangan moral tersebut diantaranya adalah: lingkungan sosial, lingkungan keluarga, dan pengasuhan orangtua. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tingkat perkembangan penalaran moral anak di lingkungan pesisir pantai kabupaten Tuban, untuk mengetahui tingkat perkembangan penalaran moral anak di lingkungan dataran tinggi kabupaten Tuban, juga perbedaan tingkat perkembangan penalaran moral anak di lingkungan pesisir pantai dan di lingkungan dataran tinggi kabupaten Tuban.
Penelitian ini menggunakan metode Kuantitatif dengan rancangan deskriptif komparatif. Sampel yang digunakan berjumlah 80 anak, dengan rincian 48 anak yang tinggal di lingkungan pesisir pantai kabupaten Tuban, dan 32 anak yang tinggal di lingkungan dataran tinggi kabupaten Tuban. Sedangakan analisis dalam penelitian ini adalah menggunakan analisis independent sampel T-test.
Dari haril analisis tersebut diperoleh hasil nilai rata-rata tingkat penalaran moral untuk anak di lingkungan pesisir pantai kabupaten Tuban adalah 17.7083, sedangkan untuk anak di lingkungan dataran tinggi kabupaten Tuban adalah 17.3125. nilai t dari keduanya adalah 0,554, dan nilai signifikansinya (p) = 0.496 > 0.05. Berdasarkan hasil tersebut diketahui nilai T-hitung (-0.554) lebih kecil dibandingkan nilai T-tabel (1.671), Hal ini menunjukkan bahwa Ho diterima dan Ha ditolak. Sehingga dapat disimpulkan bahwa tidak ada perbedaan antara tingkat perkembangan penalaran moral anak di lingkungan pesisir pantai kabupaten Tuban dan anak di lingkungan dataran tinggi kabupaten tuban.
ENGLISH:
Moral development is very important for the personality and social development toward maturity. From this development, they will know how someone thinks about the concept of right and wrong, and taking right or wrong actions. The moral actions between one people to another are different, a person being a morality if their behavior established with norms in society. There are several factors which are influence the moral development, those are: social environment, family environment, and parenting. This research intent to know the determine level of children’s moral reasoning development in the coastal environment of Tuban district, to determine the level of children’s moral reasoning development in the highlands of Tuban district, and to know the differences between children’s moral reasoning development level in the coastal environment and in the highlands environment of Tuban district.
This research uses quantitative methods with a comparative descriptive design. The sample that used are 80 children, with details of the 48 children those are living in the coastal environment of Tuban district, and 32 children those are living in the highlands of Tuban district. And the analysis of this research is use independent analysis of samples T-test.
The result of that analysis obtained the average value of moral reasoning levels for children in the coastal environment of Tuban districts is 17.7083, while for children in the highlands environment of Tuban district is 17.3125. The result of the two t-value is 0.554, and the (p) significance value is = 0496> 0.05. Based on these results known the value of T-count (-0554) is smaller than the T-Table (1671), it suggests that the Ho is accepted and Ha is rejected. So, it can be concluded that there was no differences between the level of children’s moral reasoning development in the coastal environment of Tuban district and the children’s moral reasoning development in the highlands of Tuban district.
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Kedudukan moral dalam kehidupan manusia
menempati tempat paling penting yang perlu untuk diperhatikan, baik sebagai
individu maupun anggota masyarakat (Hasanah, 2009, hal.13). Permasalahan moral
merupakan suatu masalah yang menjadi perhatian orang dimana saja, baik dalam
masyarakat yang telah maju, maupun dalam masyarakat yang masih terbelakang.
Karena kerusakan moral seseorang mengganggu ketentaraman yang lain. Jika dalam
suatu masyarakat banyak orang yang rusak moralnya, maka akan goncaglah masyarakat
itu. (Daradjat, 1973) Perkembangan moral merupakan hal yang sangat penting bagi
perkembangan kepribadian dan sosial anak untuk menuju kedewasaannya (Monk,
Knoers, & Haditono, 2006, hal.196), dari perkembangan ini mereka akan
mengetahui bagaimana seseorag itu berfikir mengenai konsep salah dan benar, dan
bagaimana mereka bertindak juga melalui suatu proses. Proses itulah yang
dinamakan dengan penalaran moral (suatu pemikiran mengenai benar atau salah)
yang nantinya akan melahirkan perilaku moral (suatu tindakan benar dan salah
yang sesuai dengan norma dalam masyarakat), jadi nilai moral yang dilakukan
oleh seorang anak tidak hanya dilihat dari hal-hal yang tampak saja melainkan
dari penalarannya, dari pengukuran tingkat penalaran (yaitu skala penalaran moral
yang mengacu pada pedoman wawancara yang dibuat oleh Kohlberg) inilah akan
diketahui tingkat tinggi rendahnya moral anak (Budiningsih, 2004, hal.7-8).
Menurut Kohlberg penalaran moral merupakan faktor penentu kelahiran perilaku
moral (Budiningsih, 2004, hal.5). Untuk menentukan perilaku moral yang
sebenarnya dapat ditelusuri melalui penalarannya. Artinya, pengukuran moral
yang benar tidak sekedar mengamati perilaku moral yang tampak, tetapi harus
melihat pada penalaran moral yang mendasarinya. Dengan mengetahui tingkat
penalaran moral akan dapat mengetahui tinggi rendahnya moral tersebut
(Budiningsih, 2004, hal.6). Dewasa ini banyak orangtua yang tidak mengetahui
ataupun kurang faham mengenai perkembangan moral anaknya (Mardiya, 2010.
Hal.01), Karena kekurangpahaman tersebut menyebabkan para orangtua tidak bijak
dalam menanamkan nilai-nilai moral pada anak, dalam artian cara yang ditempuh
sering tidak mengindahkan prinsip-prinsip penanaman nilai moral sesuai dengan
perkembangan anak, selain itu mereka juga kurang memahami pencapaian
perkembangan anaknya yang berimbas pada permasalahan anak. Riady (2008),
menjelaskan tentang perkembangan moral anak yang tidak saja didapatkan di
sekolah. Riady mengungkapkan bahwa Pengetahuan yang tinggi, tidak menjamin seseorang
bisa memiliki moral yang baik. Namun, ketika anak-anak memiliki moral yang
baik, otomatis mereka bisa menilai mana pendidikan yang baik dan buruk
(okezone.com) Perkembangan moral itu sendiri adalah perubahan penalaran,
perasaan dan perilaku tentang standar mengenai benar dan salah. Perkembangan
moral memiliki dimensi intrapersonal, yang mengatur aktifitas seseorang ketika
dia tidak terlibat dalam interaksi social dan dimensi interpersonal yang
mengatur interaksi sosial dan penyelesaian konflik (Santrock J. W., 2007:117).
Sedangkan Hurlock (1990) mengungkapkan bahwa perkembangan moral mempunyai aspek
kecerdasan dan aspek impulsive, anak harus belajar apa saja ynag benar dan yang
salah. Selanjutnya setelah mereka cukup besar, mereka harus diberi penjelasan
mengapa ini benar dan salah. Mereka juga harus mengambil bagian dalam kegiatan
kelompok sehingga mereka dapat belajar mengenai harapan kelompok. Lebih penting
lagi, mereka harus mengembangkan keinginan untuk melakukan hal yang benar,
bertindak untuk kebaikan bersama dan menghindari yang salah. (Hurlock, 1990,
hal.75). Menurut Undang-undang Republik Indonesia nomor 23 tahun 2002 tentang
perlindungan anak pasal 1 ayat 1 menyebutkan bahwa anak adalah seorang yang
belum berusia 18 tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan. Masa
anak-anak yaitu sejak usia 2-13 tahun. Periode ini biasanya dibagi menjadi dua
bagian, yaitu masa anak-anak awal sejak usia 2 tahun sampai 6 tahun dan masa
kanak-kanak akhir yaitu usia 6 sampai 13 tahun (Somantri, 2007, hal.3). Masa
anak-anak tengah dan akhir merupakan periode perkembangan yang dimulai dari
usia 6-12 tahun, masa ini disebut pula masa anak usia sekolah dasar, karena
biasanya anak duduk di sekolah dasar. Pada usia ini anak telah menguasai
ketrampilan dasar membaca, menulis, aritmatik dan secara formal dihadapkan pada
dunia yang lebih besar dan budayanya (Santrock J. W., 2007). Sehingga peneliti
memilih masa anak tengah dan akhir sebagai subyek penelitiannya. Pada
perkembangan penalaran moral ini Kohlberg menggambarkan 3 tingkatan penalaran
(yaitu pra-konvensional, konvensional dan pascakonvensional), dan setiap
tingkatnya memiliki 2 tahapan. (Santrock J. W., 2007, hal.119). Kohlberg
percaya bahwa tingkatan dan tahapan ini terjadi secara berurutan dan terkait
dengan usia. Sebelum usia 9 tahun, kebanyakan anak menggunakan tingkat 1,
penalaran pra-konvensional, ketika mereka dihadapkan dengan pilihan moral.
Ketika berada pada masa remaja awal, kebanyakan anak menalar dengan cara yang
lebih konvensional. Kebanyakan remaja menalar pada tahap 3 dan dengan beberapa
tanda 2 dan 4. Ketika berada pada masa dewasa awal, beberapa orang menalar
dengan pascakonvensional (Santrock J. W., 2007, hal.120) Lingkungan juga
memiliki pengaruh yang besar terhadap tingkah laku manusia, salah satu
diantaranya adalah suhu dan angin. Namun diantara para peneliti sampai saat ini
belum ada kesepakatan mengenai bagaimana efek suhu terhadap tingkah laku
manusia. Eksperimen-eksperimen di laboratorium menunjukkan hasil yang
berbeda-beda. Efek dari suhu lingkungan yang tinggi terhadap tingkah laku
adalah peningkatan agresivitas. US Riot Commision (dalam Sarwono, 1944) pernah
menjelaskan bahwa dalam musim-musim panas, rangkaian kerusakan dan agresifitas
massa lebih banyak terjadi di Amerika daripada musim-musim yang lain. Menganai
efek angin terhadap tingkah laku, Poulton dkk (1976) melakukan percobaan yang
hasilnya adalah semakin besar angin, makin besar pula penginderaan angin
(perceived windiness) dan makin besar perasaan ketidaknyamanan (discomfort) yang
ditimbulkan. Penelitian lain dilakukan oleh sommer dan moor (dalam Sarwono,
1944), menemukan bahwa di Foehn (Eropa) dan di Colorado (Amerika Serikat)
sering bertiup angin yang hangat dan kering dari pegunungan, ketika angin angin
kering itu bertiup dilaporkan bahwa sering terjadi depresi, ketegangan, dan
kecelakaan lalu lintas, sedangkan di negaranegara timur tengah bahkan
dilaporkan adanya beberapa pemerintah yang memaafkan tindakan kriminal yang
dilakukan masa terjadinya angin rebut (Sarwono, 1944). Menurut Lee (dalam
Sitompul, 2009. Hal.4) lokasi geografis juga memberikan pengaruh pada perilaku.
Kemalasan banyak terdapat pada daerah tropis dimana banyak sekali hal yang
dapat dilakukan. Penelitian di AS yang dilakukan oleh Moos, 1976 (dalam Rubin,
1979) (sitompul, 2009, hal.4) membuktikan bahwa tekanan udara memiliki hubungan
dengan kesehatan fisik manusia. Perilaku murid yang optimum diketemukan pada
takanan udara naik dan dalam udara yang sejuk. Perubahan musim juga berpengaruh
pada perilaku manusia. (Sitompul, 2009, hal.4). Menurut Veitch (dalam Lubabin,
2010. Hal.3) Terdapat juga pengaruh suhu yang tinggi terhadap psikis, dari
penelitian yang telah dilakukan ternyata orang yang berada dalam ruang yang
panas tidak begitu tertarik kepada orang lain dibandingkan dengan orang yang
bekerja dalam suhu yang sedang-sedang saja. Ditemukan juga bahwa ada korelasi
yang positif antara temperatur yang tinggi dengan agresifitas. Selain itu
berdasarkan penelitian yang dilakukan Veich (1995) menyebutkan bahwa efek dari
temperatur atau suhu yang tinggi terhadap penonton akan cenderung mempengaruhi
perilaku. Yang paling tampak adalah perilaku untuk mengatasi kegerahan misalnya
dengan minum atau kipas-kipas. Namun secara teoritis suhu yang panas akan
mempengaruhi metabolism tubuh membuat tubuh cepat lelah dan berkeringat, secara
psikis akan mempengaruhi juga pada sikap prososial dan peningkatan agresifitas.
(Lubabin, 2010, hal.9) Terdapat pula beberapa penelitian tentang peralaran
moral di negaranegara lain juga menunjukkah hasil yang berbeda-beda, misalnya
pada penelitian yang dilakukan oleh Ge Fang and Fu-Xi Fang dkk diperoleh bahwa
dibandingkan dengan anak-anak dalam studi Kohlberg, keputusan moral anak-anak
China menekankan penghormatan terhadap otoritas, altruisme, dan keprihatinan
terhadap kebenaran moral yang saudara mereka. Mereka berpendapat bahwa
anak-anak Cina karakteristik moralnya dipengaruhi oleh konteks budaya. Miller
& Bersoff (1992) dalam Matsumoto (2008) juga membandingkan bagaimana para
subyek di India dan di Amerika Serikat merespon suatu tugas penilaian moral.
Para peneliti ini melaporkan bahwa subyek-subyek India (anak-anak maupun orang
dewasa) menganggap tindakan tidak menolong seseorang sebagai suatu pelanggaran
moral dibanding subjek Amerika, terlepas dari apakah situasinya mengancam nyawa
ataupun apakah orang yang butuh pertolongan itu merupakan sanak keluarga. Para
peneliti kemudian menafsirkan bahwa perbedaan cultural ini terkait dengan
nilai-nilai afiliasi dan keadilan, yang menunjukkan bahwa orang India memiliki
rasa tanggung jawab sosial yang lebih luas – tanggung jawab individual untuk
menolong orang yang membutuhkan. Snarey (1985) dalam Matsumoto (2008) mengulas
penelitian-penelitian penalaran moral yang melibatkan subyek dari 27 negara.
Snerey menyimpulkan bahwa penalaran moral jauh lebih khas-budaya daripada yang
diajukan oleh Kohlberg. (Matsumoto, 2008, hal.118-120) Schweder (1990) dalam
Dayakisni & Yuniardi (2008) menemukan moralitas post-konvensional berdasar
penelitiannya di India dilandasi konsep hukum-hukum alam dan keadilan bukan
prinsip individualism dan sekularisme atau kontrak social atau mungkin keluarga
sebagai lembaga moral. Ma (1988) berdasar penelitiannya menyimpulkan bahwa
orang-orang cina menganggap moral baik adalah “maksud baik” (golden mean) yaitu
perilaku yang seperti dilakukan mayoritas masyarakat, dan “kehendak baik” (good
will) yaitu keutamaan untuk bergabung atau menurut kehendak alam. Sampel cina
cenderung berpegang teguh pada hukum daripada sampel inggris dan mereka lebih
menekankan “ch`ing” (kasih saying) daripada “hi” (alasan rasional). Jadi dapat
disimpulkan sebenarnya tiap-tiap budaya dapat mencapai tahap post-konvensional
hanya pemaknaan tentang “moral baik” sangat beragam, tidak sebagaimana yang
digambarkan oleh Kohlberg. Sehingga berawal dari inilah kemungkinan akan
terjadi konflik antar sub-sub budaya (intercultural conflict) dari berbagai
Negara di dunia ini. (Dayakisni & Yuniardi, 2008, hal.81) Berangkat dari
penjelasan diatas, mengenai adanya perbedaan intensitas suhu, angin dan keadaan
alam lainnya antara daerah pesisir pantai dan dataran tinggi, juga dari
pernyataan Kohlberg bahwa penalaran moral yang harus berurutan berdasarkan usia
dan bahwa perilaku moral itu lahir dari penalaran moralnya, disamping itu juga
dari hasil penelitian terdahulu mengenai penalaran moral di beberapa Negara
yang berbeda menunjukkan hasil yang berbeda-beda pula, bahwa penalaran moral
yang berprinsip pada keadilan dari ungkapan Kohlberg tidak selalu sama di
lingkungan di Negara yang lainnya. Kemudian penulis melakukan pre observasi
pada anak usia 11-12 tahun di dua tempat yang berbeda yaitu di daerah dataran
tinggi atau pegunungan dan daerah pesisir pantai kabupaten Tuban. Karena
kemungkinan perbedaan intensitas suhu dan angin juga akan mempengaruhi
perkembangan penalaran moral anak dan tingkah laku anak, seperti pernyataan
Kohlberg bahwa penalaran akan melahirkan perilaku. Melihat dari apa yang
terjadi saat ini kondisi lingkungan, sifat dan karakter orang yang hidup di
lingkungan pesisir pantai lebih terlihat keras (dalam segi perwatakan ataupun
bicaranya) dibandingkan dengan sifat dan karakter orang yang hidup di dataran
tinggi (observasi, 5-6 Nov 2011). Peneliti mencoba melihat fenomena yang
terjadi pada anak di dua tempat (pesisir pantai dan dataran tinggi kabupaten
tuban), yang memiliki perbedaan secara geografisnya. Maka pertama peneliti
melakukan observasi pada beberapa anak di dataran tinggi. Peneliti melihat
adanya disiplin tinggi pada anak di desa bringin kecamatan montong, hal ini
terlihat ketika mereka berangkat sekolah tepat waktu dan mentaati norma yang
berlaku dalam masyarakat. Berdasarkan wawancara pada salah satu anak: Peraturan
itu harus ditaati, karena kalau tidak ditaati akan mendapat hukuman, dan
hukuman itu tidak enak. Maka dari itu lebih baik saya berangkat awal
(pagi-pagi) daripada nanti kena hukum di sekolah atau dimarahi orangtua karena
terlambat. (NW, 20 november 2011. Di depan Rumah, Bringin) Dari hasil tersebut
kemudian peneliti melakukan observasi dan wawancara di tempat anak tersebut
bersekolah untuk membuktikan ungkapan dari anak tersebut. Beberapa saat
terlihat semua anak masuk sekolah tepat pukul 07.00, dan untuk anak yang
terlambat langsung memposisikan dirinya di tempat yang berbeda untuk
menjalankan hukuman. Mereka dengan sendirinya akan melakukan hukumannya ketika
terlambat masuk sekolah, tanpa harus disuruh atau dikasih tahu lagi. Setelah
mereka menjalankan hukuman mereka baru masuk kelas. Sampai saat ini juga belum
ada anak yang melakukan kekerasan dikelas, semua taat pada peraturan, mungkin
hanya beberapa anak saja, yang kebanyakan tidak terlalu diperhatikan
orangtuanya. (EY, 20 November 2011. Ruang Tamu, bringin) Dari ungkapan
perangkat desa, anak-anak desa tingkat kenakalannya masih bias ditolelir, belum
pernah ada kekerasan yang terjadi didesa tersebut. Selain itu dari laporan
beberapa orangtua juga belum ada anak yang sampai fatal kenakalannya, seperti
bolos sekolah . Peneliti juga melakukan observasi dan wawancara hal serupa
dengan permasalahan anak di dataran tinggi (desa bringin, kecamatan montong)
pada anak dipesisir pantai (desa meduran kecamatan jenu). Pada saat peneliti
terjun ke lapangan, peneliti mendapati satu anak yang berpakaian seragam
sekolah, tetapi memasuki tempat plays station. Adapun hasil wawancara adalah:
“Lebih asyik main PS (Plays Station) daripada sekolah, sekolah membosankan,
teman-teman juga banyak yang seperti saya.” Dan ketika ditanya mengenai
peraturan “peraturan harus ditaati, kalau tidak nanti akan dapat hukuman, tapi
tidak masalah kalau sekali-kali melanggar peraturan, kan peraturan boleh
dilanggar.” Ungkapnya sambil tersenyum lebar. (RD, 21 November 2011. Di tempat
Ps) Kemudian peneliti mencoba menelusuri di tempat dimana dia sekolah. Dan
melakukan observasi dan wawancara pada salah satu guru yang mengajarnya, adapun
hasilnya: “Memang sering terjadi hal demikian, anak berangkat sekolah memakai
seragam, akan tetapi main plays station. Kalau dikasih tahu ataupun hukuman,
hanya beberapa hari saja efeknya, untuk selanjutnya mereka kembali lagi seperti
itu.” (SH, 21 November 2011) Hampir seluruh anak yang ditemui di sekitar
pesisir pantai desa meduran dan diwawancarai oleh peneliti mengungkapkan pernah
masuk pada buku pelanggaran sekolah, misalnya pernah bolos. Salah satu dari mereka
juga mengungkapkan pernah bertengkar dengan teman sampai orangtuanya dipanggil
disekolah karena melukai temannya. Mereka terlihat mudah sekali mencela atau
mengejek temannya dengan kata-kata kasar yang dalam bahasa jawa disebut misuh.
(wawancara dan observasi, 18 November 2011) Berdasarkan hasil observasi yang
dilakukan, ternyata ada perbedaan pemikiran dan prilaku antara anak yang
tinggal di pesisir pantai desa meduran dan didataran tinggi desa bringin
kabupaten Tuban. Anak yang tinggal di dataran tinggi lebih patuh pada peraturan
dibandingkan dengan anak yang tinggal di pesisir pantai kabupaten Tuban. Selain
itu cara berfikir anak di dataran tinggi pun lebih baik atau dalam istilah jawa
ora neko-neko, dibandingkan dengan anak yang tinggal dipesisir pantai. Sekilas
dari hasil penelitian tersebut juga terlihat bahwa anak menganggap bahwa hukum
adalah suatu yang harus ada dan wajib ditaati, kalau dilihat dari teori
penalaran moral, hal itu merujuk pada orientasi hukum dan ketertiban yang
merupakan tahap ke empat dalam perkembangan penalaran moral, sedangkan
seharusnya anak usia 11-12 tahun itu ada pada tahap ke tiga dalam perkembangan
penalarannya. Selain itu juga dari penelitian-penelitian terdahulu mengenai
penalaran moral di beberapa Negara yang berbeda menunjukkan bahwa penalaran
moral yang berprinsip pada keadilan dari ungkapan Kohlberg tidak selalu sama
pada lingkungan di Negara yang lainnya. Penalaran moral masyarakat di cina,
Amerika dan India menunjukkan hasil yang berbeda, di cina lebih menekankan pada
kasih sayang, dan berpegang pada hukum dibandingkan dengan masyarakat Amerika
yang lebih pada rasionalnya, hal ini yang mendasari peneliti untuk
mengungkapkan perbedaan perkembangan penalaran moral anak yang ada di
lingkungan pesisir pantai dan dataran tinggi di kabupaten Tuban. Berdasarkan
fenomena diatas, peneliti akan mencoba mengungkapkan teori Kohlberg dengan
melihat adanya perbedaan antara tingkat perkembangan penalaran moral anak di
lingkungan pesisir pantai dan di lingkungan dataran tinggi kabupaten Tuban
seperti realita yang terlihat dengan teori perkembangan penalaran moral yang
ada, melihat dari dua tempat tersebut ada perbedaan karakter dan budaya, juga
tingkat perkembangan penalaran moral anak dari dua tempat tersebut. B. Rumusan
Masalah Berdasarkan latar belakang yang telah dijelaskan diatas, maka rumusan
masalah dalam penelitian ini adalah: 1. Bagaimana tingkat perkembangan
penalaran moral anak di lingkungan pesisir pantai kabupaten Tuban? 2. Bagaimana
tingkat perkembangan penalaran moral anak di lingkungan dataran tinggi
kabupaten Tuban? 3. Apakah terdapat perbedaan tingkat perkembangan penalaran
moral anak dan apa yang membedakan perkembangan penalaran moral antara anak di
lingkungan pesisir pantai dan di lingkungan dataran tinggi kabupaten Tuban? C.
Tujuan Berdasarkan rumusan masalah diatas, maka tujuan dari penelitian ini
adalah: 1. Mengetahui tingkat perkembangan penalaran moral anak di lingkungan
pesisir pantai kabupaten Tuban. 2. Mengetahui tingkat perkembangan penalaran
moral anak di lingkungan dataran tinggi kabupaten Tuban. 3. Mengetahui
perbedaan tingkat perkembangan penalaran moral anak dan yang membedakan
perkembangan penalaran moral antara anak di lingkungan pesisir pantai dan di
lingkungan dataran tinggi kabupaten Tuban. D. Manfaat Penelitian Penelitian ini
diharapkan bisa bermanfaat dan memberikan sumbangan bagi banyak pihak,
khususnya bagi peneliti sendiri dan masyarakat pada umumnya, selain itu juga
untuk perkembangan ilmu pengetahuan baik yang ditinjau dari aspek teoritis maupun
dari aspek praktisnya, yaitu: 1. Secara teoritis penelitian ini dapat menambah
keilmuan dalam bidang psikologi, terutama mengenai perkembangan penalaran moral
anak di lingkungan pesisir pantai dan di lingkungan dataran tinggi, serta
sebagai bahan koreksi dan telaah untuk penelitian selanjutnya. 2. Secara
praktis: a. Bagi keluarga, sebagai informasi tentang perkembangan penalaran
moral (moral reasoning) dan tahapan-tahapannya, sehingga orangtua bisa
mengontrol dan memberikan pendidikan moral yang tepat untuk anaknya. b. Bagi
pendidik, sebagai bahan rujukan mengenai bagaimanan cara mengajarkan materi
tentang moral pada anak agar mereka bisa menyesuaikan dengan norma-norma yang
berlaku di masyarakat, sehingga anak dapat memahami tentang hakikat baik dan biruk
ataupun benar dan salah, juga agar bisa belajar menyelesaikan konflik yang
mereka hadapi dengan baik. c. Bagi anak, bisa membantu anak mengetahui dan
memahami tingkat penalaran moral (moral reasoning) mereka, sehingga mereka bisa
belajar lebih baik lagi mengenai moralitas, dengan begitu diharapkan mereka
bisa lebih mudah menyesuaikan diri dengan teman sebaya dan lingkungan
sekitarnya, dan memahami perilaku yang sesuai dengan moral yang ada di
masyarakat
Untuk Mendownload Skripsi "Skripsi Psikologi" : Perbedaan perkembangan penalaran moral anak di lingkungan pesisir pantai dan dataran tinggi di Kabupaten Tuban" Untuk Mendownload skripsi ini silakan klik link dibawah ini
DOWNLOAD
No comments:
Post a Comment