Abstract
INDONESIA:
Tradisi penyerahan perabot rumah tangga sehari sebelum akad nikah oleh calon mempelai pria adalah warisan dari nenek moyang. Hal ini dapat diketahui dari pernyataan sumber data, yang menjelaskan adanya perubahan model lamaran antara sebelum tahun 80-an dan setelah tahun 80-an. Sesuai dengan khazanah bahasa Indonesia, tradisi berarti segala sesuatu seperti adat, kebiasaan, ajaran dan sebagainya, yang turun temurun dari nenek moyang. Tradisi juga merupakan hasil warisan masa lalu yang berupa nilai, norma sosial, pola kelakuan dan adat kebiasaan lain yang merupakan wujud dari berbagai aspek kehidupan. Tradisi lamaran itu berawal dari proses pertunangan antara laki-laki dan perempuan, yang diteruskan dengan berbagai macam proses adat yang ada, yaitu adat minta, malesse, tongeppan/sogugen, lamaran sampai kepada acara sebelum walimatun nikah. Penelitian ini akan membahas setidaknya tiga hal, yaitu : (1) Bagaimana latar belakang tradisi lamaran? (2) Bagaimana pola relasionalitas antara tradisi lamaran dengan kesakinahan keluarga dalam pandangan tokoh masyarakat pengikut Madhhab Syafi’i?
Jenis penelitian ini adalah deskriptif kualitatif, metode pengumpul data yang digunakan dalam penelitian ini adalah wawancara, observasi, dan dokumentasi. Subjek yang diteliti adalah tokoh masyarakat Desa Seletreng Kecamatan Kapongan Kabupaten Situbondo, analisa data yang digunakan edit, klasifikasi, verifikasi, analisis dan kesimpulan.
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan dapat diambil kesimpulan bahwa: Tradisi lamaran masih termasuk pada prosesi khitbah (pinangan). Karena Khitbah adalah proses yang mendahului pernikahan akan tetapi bukan termasuk dari pernikahan itu sendiri. Tradisi lamaran tersebut bertujuan, antara lain : (1) Mempererat hubungan silaturrahim sebelum terjadinya akad nikah. (2) Sebagai bentuk kesungguhan kedua belah pihak untuk melangsungkan pernikahan dan membentuk kehidupan baru dalam ikatan pernikahan. (3) Upaya awal pemenuhan kebutuhan-kebutuhan dalam keluarga. Hubungan antara tradisi lamaran dengan proses pembentukan keluarga sakinah dari segi bathiniyah-nya, yaitu yang berkaitan dengan pearasaan dan kebahagiaan kedua belah pihak setelah terjadinya proses perkawinan. Kebahagiaan ini akan menciptakan ketentraman jiwa masing-masing, yang mana ketentraman jiwa merupakan salah satu tujuan perkawinan. Masyarakat pengikut Madhhab Syafi’i mengkatagorikan Tradisi lamaran sebagai ‘urf shahîh yang mempunyai kedudukan hukum yang patut dilestarikan (al-’âdat muhakkamah). Akan tetapi jika dalam adat lamaran ini pada suatu saat ternyata ditemukan dampak negatifnya, misalnya jika memberatkan salah satu pihak atau timbulnya tindakan yang berlebihan dari adanya adat lamaran, maka adat ini dapat berubah menjadi ‘urf fâsid yang mempunyai kedudukan hukum yang tidak patut dilestarikan.
ENGLISH:
The tradition of home furnishings delivery the day before the marriage ceremony by the prospective groom is the legacy of ancestors. This statement can be known from the data source, which explains the changes between the prior application model of the 80s and after 80s. In accordance with Indonesian language, tradition means everything such as customs, habits, teaching and so on, which handed down from ancestors. Tradition is also a legacy of the past results in the form of values, social norms, patterns of behavior and customs of others which is a manifestation of the various aspects of life. The lamaran tradition started with the engagement process between men and women, and then followed with some of existing custom processes, namely minta, malesse, tongeppan / sogugen, lamaran until before the marital ceremony. This research will discuss at least three things: (1) what is the background of lamaran tradition? (2) What is the relationship pattern between lamaran traditions and family’s tranquility in the view of community leader of the Shafi'i madhhab followers’ society?
This study is descriptive qualitative and the data collection method used in this study were interviews, observation, and documentation. The subjects studied were public figures in the Seletreng village subdistrict of Kapongan Situbondo, data analysis used are edit, classification, verification, analysis and conclusions.
Based on the research results, can be concluded that: The tradition of lamaran is still included in the procession of khitbah (lamaran), since khitbah is a process that precedes marriage but not included in the wedding itself. The tradition of lamaran aimed, among of them are: (1) Strengthen the silaturrahim relationship before the marital ceremony. (2) As a sign of sincerity of both parties for a wedding and to establish new lives in the marriage bond. (3) Early efforts in fulfilling the needs of the family. The relationship between lamaran tradition and sakinah family formation process in terms of its bathiniyah, that is associated with the feeling and happiness of both parties after the marriage process. This hapiness will create peace for each soul, which is one of the purposes of marriage. Shafi’i Madhhab Followers’ Society categorizes the lamaran tradition as ‘urf Saheeh that have a legal status that should be conserved (al-'âdat muhakkamah). But if in any occasion, in the custom of lamaran was found a negative impacts, for example, if incriminating either party or the emergence of excessive action from the lamaran custom, then this custom can be changed to 'urf fâsid who have legal status but are inappropriate to be preserved.
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Masalah Pertunangan adalah pernyataan seorang
laki-laki tentang keinginan menikah dengan perempuan tertentu. Jika perempuan
tersebut menerima pertunangan tersebut melalui walinya, pertunangan sudah sah
antara keduanya. Definisi lain dalam Al-Mughni Al-Muhtaj, menyebutkan bahwa
pertunangan yaitu permohonan menikah dari pihak peminang laki-laki kepada pihak
perempuan. Qalyubi mendefinisikan pertunangan sebagai permohonan menikah dari
orang yang dianggap cocok. Hukum pertunangan adalah istihbab (dianjurkan)
karena Nabi Muhammad SAW. pernah bertunangan dengan Aisyah binti Abu Bakar
Ash-Shiddiq, juga dengan Hafsah binti Umar bin Khaththab r.a.1 Tujuan
perkawinan sebagaimana yang disyari’atkan oleh teks suci dan undang-undang
dapat diwujudkan dengan baik dan sempurna jika perkawinan 1 Dr. Abdul Wahab
Al-Sayyid Hawwas. Kunikahi Engkau Secara Islami. (Bandung: Pustaka Setia). Hal.
68 1 tersebut sejak proses pendahuluannya (muqaddimat al-zawaj) berjalan sesuai
dengan ketentuan-ketentuan yang telah digariskan agama. di antara proses yang
akan dilalui itu adalah peminangan atau disebut dengan khitbah. Khitbah
diartikan dengan suatu langkah pendahuluan untuk melangsungkan perkawinan.
Ulama fikih mendefinisikannya dengan, menyatakan keinginan pihak laki-laki
kepada pihak wanita tertentu untuk mengawininya dan pihak wanita menyebarluaskan
berita peminangan ini. Di dalam kitab-kitab fikih, khitbah diterjemahkan dengan
pernyataan keinginan untuk menikah terhadap seorang wanita yang telah jelas
“izhar alrughbat fi al-zawaj bi imraatin mu’ayyanat” atau memberitahukan
keinginan untuk menikah kepada walinya. adakalanya pernyataan keinginan
tersebut disampaikan dengan bahasa yang jelas dan tegas (sarih) dan dapat juga
dilakukan dengan sindiran (kinayah). 2 Peminangan (lamaran) dilakukan sebagai
permintaan secara resmi kepada wanita yang akan dijadikan calon istri atau
melalui wali wanita itu. sesudah itu baru dipertimbangkan apakah lamaran itu
dapat diterima atau tidak. adakalanya lamaran itu hanya sebagai formalitas
saja, sebab sebelumnya antara pria dan wanita itu sudah saling mengenal atau
menjajaki. Demikian juga, lamara itu adakalanya sebagai langkah awal dan
sebelumnya tidak pernah kenal secara dekat, atau hanya kenal melalui teman atau
sanak keluarga.3 Agaknya Islam mengajarkan sebelum terjadinya akad nikah,
mempelai lakilaki dan perempuan mestilah saling mengenal. Mengenal di sini
maksudnya bukan 2 Dr. H. Amiur Nuruddin, MA. dan Drs. Azhari Akmal Tarigan,
M.Ag. Hukum Perdata Islam Di Indonesia: Studi Kritis Perkembangan Hukum Islam
Dari Fikih, UU No. 1/1974 Sampai KHI. (Jakarta: Kencana. 2006). Ed. Pertama.
Cet. Ke-3. Hal. 82. 3 M. Ali Hasan. 2006. Pedoman Hidup Berumah Tangga dalam
Islam. (Jakarta: Prenada Media Group). Ed. I. Cet. 2. Hal. 23 sekedar
mengetahui tetapi juga memahami dan mengerti akan kepribadian masing-masing. Hal
ini dipandang penting karena kedua mempelai akan mengikatkan diri dalam sebuah
perkawinan dan membentuk keluarga yang semula dimaksudkan “kekal” tanpa adanya
perceraian. realitas dimasyarakat menunjukkan perceraian sering kali terjadi
karena tidak adanya saling pengertian, saling memahami dan menghargai
masing-masing pihak. Agaknya atas dasar inilah mengapa Rasulullah saw. dalam
sebuah haditsnya menganjurkan setiap laki-laki untuk melakukan peminangan.
Rasulullah menyatakan: “Apabila seseorang di antara kamu meminang seorang
perempuan, jika ia dapat melihat apa yang dapat mendorongnya semakin kuat untuk
menikahinya, maka laksanakanlah.” (Riwayat Ahmad dan Abu Daud) Sampai di sini
terkesan ada anjuran, untuk tidak mengatakan sebuah perintah (sunnah) dari Rasul
untuk melihat wanita yang akan dinikahi tersebut. mengenai apa yang perlu
dilihat, telah dijelaskan Rasul dalam haditsnya yang lain. Rasulullah bersabda,
“Dari Abi Hurairah, Nabi saw, bersabda: wanita dikawini karena empat hal,
karena martabatnya, karena hartanya, karena keturunannya, kecantikan dan karena
hartanya. Maka pilihlah wanita karena agamanya, maka akan memelihara tanganmu.”
(muttafaq alaih) Dalam perspektif Islam, peminangan itu lebih mengacu untuk
melihat kepribadian calon mempelai wanita seperti ketakwaan, keluhuran budi
pekerti, kelembutan dan ketulusannya. Kendati demikian bukan berarti masalah
fisik tidak penting. Ajaran Islam ternyata menganjurkan untuk memperhatikan
hal-hal yang bersifat lahiriyah seperti, kecantik wajah, keserasian, kesuburan
dan kesehatan tubuh. bahkan ada hadits Rasul yang memerintahkan untuk menikahi
wanita yang 3 subur (al-walud).4 Di masyarakat Desa Seletreng Kecamatan
Kapaongan Kabupaten Situbondo setelah melakukan peminangan, terdapat tradisi
penyerahan perabot rumah tangga sehari sebelum akad nikah yang diberikan oleh
calon mempelai pria kepada calon mempelai wanita. Seperangkat perabot rumah
tangga mulai dari perabot ruang tamu, kamar tidur, pakaian, peralatan dapur,
barang-barang eletronik seperti; televisi, kulas, tape, dan lain-lain, hingga
pada barang otomotif seperti; sepeda motor, mobil yang harus diserahkan kepada
pihak istri untuk memenuhi setiap ruangan rumah yang akan ditempati oleh kedua
mempelai nantinya ketika sudah akad nikah diucapkan oleh pihak mempelai
laki-laki (berumah tangga). Hal ini terjadi apabila calon suami nantinya akan
menempati rumah yang sudah disiapkan oleh pihak calon istri, dengan kata lain
calon suami menyiapkan semua perabot rumah tangga yang diserahkan kepada calon
istri sehari sebelum akad nikah, sedangkan calon istri hanya menyiapkan rumah
yang berupa gedung belaka, tanpa adanya isi rumah. Kebiasaan masyarakat ini
tidak berlaku apabila calon suami istri tersebut setelah melakukan akad mereka
akan menempati rumah yang disiapkan oleh calon suami. Semua kebutuhan rumah
tangga ditanggung oleh calon suami. Uniknya, perabot tersebut berbeda dengan
mahar yang akan diberikan oleh calon suami kepada calon istrinya yang
disebutkan dalam akad pada acara perkawinan yang mengenai besar kecilnya mahar
tersebut disepakati oleh kedua belah pihak. Mahar telah disebutkan dalam
Al-Quran dalam surat An-Nisa’ ayat 4 4 Dr. H. Amiur Nuruddin, MA. dan Drs.
Azhari Akmal Tarigan, M.Ag. Op. Cit. Hal. 82. sebagai suatu bagian penting dari
perkawinan seorang Muslim. Ia diberikan oleh pengantin laki-laki kepada
pengantin perempuan sesuai dengan kesepakatan mereka dan khusus menjadi harta
milik pengantin perempuan sendiri. Islam telah mengangkat derajat kaum wanita
karena mahar itu diberikan sebagai suatu tanda penghormatan kepadanya. bahkan
andaikata perkawinan itu berakhir dengan perceraian (Al-Thalaq) mahar itu tetap
merupakan hak milik istri dan suami tidak berhak mengambinya kembali. Secara
umum kata lain yang dipergunakan untuk “mahar” di dalam AlQur’an adalah “Ajr”
berarti penghargaan serta hadiah yang diberikan kepada pengantin perempuan dan
tak dapat hilang. Sedangkan kata “shadaqah” juga dipergunakan di dalam
Al-Qur’an untuk menekankan pemberian nafkah dalam kehidupan keluarga. qè?#uäur
uä!$|¡ÏiY9$# £`ÍkÉJ»s%ß|¹ \'s#øtÏU 4 bÎ*sù#) tû÷ùÏÛ öNä3s9
`tã &äóÓx« çm÷ZÏiB $T¡øÿtR çnqè=ä3sù $\«ÿÏZyd
$\«ÿÍ£D Artinya : “Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu
nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan5 . kemudian jika mereka
menyerahkan kepada kamu sebagian dari maskawin itu dengan senang hati, Maka
makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik
akibatnya.” (QS. AnNisa’ : 4) Makna harfiah dari kata “shadaqah” pada ayat di
atas adalah nafkah yang diwajibkan atau suatu bagian yang telah ditekankan.
Hadits Nabi juga memberikan kesimpulan yang sama bahwasanya mahar merupakan
suatu hadiah sesuai dengan kerelaan suami kepada istrinya pada waktu
berlangsungnya upacara perkawinan. 5 Pemberian itu ialah maskawin yang besar
kecilnya ditetapkan atas persetujuan kedua pihak, karena pemberian itu harus
dilakukan dengan ikhlas. 5 Umar bin Khattab dan Qodhi Syuraikh telah menetapkan
bahwa bila seorang istri menunda (untuk menerima) seluruh atau sebagian hak
maharnya namun kemudian memintanya, maka suaminya harus membayarnya sebab
kenyataan bahwa dia membutuhkannya merupakan bukti yang jelas bahwa dia tidak
membebaskannya sama sekali. Pembayaran mahar merupakan hal yang wajib sekalipun
mungkin jumlahnya sangat kecil. Dalam beberapa pengecualian perkawinan tetap
sah sekalipun jumlah maharnya tidak ditentukan, namun ia wajib dan harus
dibayar segera, baik pada waktu pelaksanaan pernikahan itu atau pun sesudahnya.
Tidak ada batasan yang ditetapkan dalam Al-Qur’an mengenai jumlah mahar, mahar
diberikan kepada istri pada hari perkawinan kecuali bila istri itu sendiri
ingin mengambilnya kemudian.6 Namun pada tradisi penyerahan perabot rumah
tangga sehari sebelum akad nikah oleh calon suami tersebut besar kecil atau
banyak sedikitnya perabot yang akan diberikan disesuaikan dengan kondisi
perekonomian calon suami dan tidak ada kesepakatan diantara keduanya (calon
suami istri). Apabila calon suami itu memiliki harta kekayaan yang bercukupan,
maka ia akan membawa harta perabot rumah tangga yang bermacam-macam
(selengkap-lengkapnya). namun apabila calon suami itu berstatus perekonomiannya
menengah ke bawah, maka ia akan membawa perabot rumah tangga sesuai dengan
kemampuan calon suami tersebut. Tradisi ini banyak memakan biaya, bisa mencapai
puluhan juta rupiah dengan berkembangnya barang-barang perabot rumah tangga
yang dikemas secara modern. 6 Prof. Abdul RahamanI. Doi, Ph.D. 1996. Perkawinan
dalam Syariat Islam. (Jakarta: Rineka Cipta). Cet. 2. Hal. 66 Sampai di sini
terkesan ada anjuran untuk melaksanakan tradisi lamaran bagi siapa saja yang
hendak melangsungkan pernikahan, sedangkan tradisi lamaran itu sendiri
membutuhkan kesiapan lahiriyah, dalam artian banyak membutuhkan biaya seiring
dengan berkembangnya zaman. Ini menjadi salah satu hambatan bagi siapa saja
yang hendak melangsungkan pernikahan, karena merupakan suatu keharusan untuk
melaksanakan tradisi lamaran bagi pihak lakilaki. Sedangkan pada prosesi
tradisi lamaran itu sendiri banyak membutuhkan biaya, sehingga mengakibatkan
bagi para calon mempelai harus benar-benar mempersiapkan diri baik lahir maupun
bathin. Hal ini mengakibatkan adanya sebagian masyarakat dari pihak laki-laki
yang enggan untuk melangsungkan pernikahan dikarenakan belum siap dari segi
materi untuk melaksanakan tradisi lamaran, seolah-olah kesiapan materi menjadi
hal yang utama dalam pembentukan sebuah keluarga. Dengan kata lain dalam hal
pembentukan sebuah keluarga, masyarakat di sana mendahulukan untuk memenuhi
kebutuhan tradisi lamaran dari pada mahar yang urgensinya menjadi kewajiban
yang harus terpenuhi dalam pernikahan. Di dalam tradisi lamaran tersebut,
posisi laki-laki lebih tinggi dibanding perempuan. Namun demikian, tak jarang
dijumpai banyak laki-laki yang justru secara ekonomi bergantung kepada
perempuan. Seorang perempuan dari keluarga kaya relatif lebih mudah mencari
jodoh ketimbang yang tak berpunya. Demikian pula keluarga perempuan yang cantik
jelita juga lebih mudah mencari jodoh meski tidak kaya dibanding perempuan yang
rupanya tidak cantik, apalagi tidak kaya. Akan tetapi, meskipun tidak cantik
jika memiliki harta banyak atau anak orang kaya maka akan lebih mudah menemukan
jodohnya. Untuk itu, ada semacam 7 diskriminasi perlakuan terhadap keluarga
tidak mampu. Dengan demikian, status keluarga kaum perempuan turut serta
berperan di dalam peroses perkawinan. Disamping itu, di kalangan masyarakat
pedesaan juga terdapat semacam ketakutan jika anak perempuannya belum kawin.
Fenomena di pedesaan menggambarkan keluarga perempuan terburu-buru untuk
mengawinkan anaknya karena takut tidak laku tersebut. Di lapangan menunjukkan,
banyak anak perempuan yang belum cukup umur untuk menikah “terpaksa” dikawinkan
karena persoalan tersebut. Tak ayal lagi posisi atau status perempuan menjadi
lebih rentan dibanding kaum laki-laki di dalam sebuah rumah tangga. Nah, dua
fenomena di atas yang bertolak belakang ini yang dijadikan dasar oleh peneliti,
bahwa penelitian ini amatlah penting untuk dilakukan, yaitu antara pihak
laki-laki yang enggan menikah terlebih dahulu karena disebabkan belum adanya
kesiapan lahir dengan adanya tradisi lamaran, sedangkan pihak perempuan
terdapat semacam kehawatiran bahkan sampai ketakutan jika anak perempuannya
belum menikah. Yang menjadi permasalahan pada kasus ini adalah bagaimana
pandangan tokoh masyarakat pengiku madzhab Syafi’I terhadap tradisi lamaran
(penyerahan perabot rumah tangga yang diserahkan oleh calon mempelai laki-laki
sehari sebelum akad nikah), mengingat bahwa pemberian tersebut bukanlah mahar
yang akan diberikan kepada calon mempelai wanita yang disebut dalam akad nikah,
karena permasalahan yang terjadi pada masyarakat Seletreng terhadap tradisi
lamaran sangat erat kaitannya dengan pembentukan keluarga sakinah. Dari
permasalahan yang telah peneliti kemukakan, maka peneliti menganggap perlunya
masalah ini untuk diteliti, karena nantinya akan tampak terlihat tradisi
penyerahan perabot rumah tangga sehari sebelum akad nikah oleh calon mempelai
laki-laki pada masyarakat Seletreng Kecamatan Kapaongan Kabupaten Situbondo. Di
samping itu pula akan terlihat nilai-nilai Islam murni pada masyarakat
Seletreng Kecamatan Kapaongan Kabupaten Situbondo khususnya pada masalah
perkawinan (Nikah). Sehingga hasil dari penelitian ini dapat menambah
kepustakaan tentang tradisi yang melekat pada masyarakat Seletreng Kecamatan
Kapaongan Kabupaten Situbondo khususnya pada masalah perkawinan (Nikah). Dalam
penelitian ini, peneliti akan mencoba menonjolkan pada aspek nilainilai
islamnya yang dihubungkan dengan tradisi penyerahan perabot rumah tangga sehari
sebelum akad nikah yang terjadi pada masyarakat Seletreng Kecamatan Kapaongan
Kabupaten Situbondo. Oleh karena itu, peneliti akan memberi judul pada skripsi
ini dengan judul : TRADISI LAMARAN PERSPEKTIF MASYARAKAT PENGIKUT MADZHAB
SYAFI’I (Studi di Desa Seletreng Kecamatan Kapongan Kabupaten Situbondo). B.
Batasan Masalah Untuk memperjelas pembahasan dalam penelitian ini, maka
peneliti membatasi ruang lingkup penelitian pada: 1. Tradisi penyerahan perabot
rumah tangga sehari sebelum akad nikah oleh calon mempelai pria yang terjadi di
masyarakat Desa Seletreng Kecamatan Kapongan Kabupaten Situbondo. 2. Pandangan
tokoh masyarakat pengikut madzhab syafi’i terhadap tradisi lamaran. 9 C.
Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah diatas, maka peneliti
menentukan beberapa rumusan masalah, yaitu: 1. Bagaimana latar belakang tradisi
lamaran? 2. Bagaimana pola relasionalitas antara tradisi lamaran dengan
kesakinahan keluarga dalam pandangan tokoh masyarakat pengikut madzhab syafi’i?
D. Tujuan Penelitian Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan yang
ingin peneliti capai dalam penelitian ini, adalah: 1. Untuk mengetahui hal-hal
yang melatar belakangi tradisi penyerahan perabot rumah tangga sehari sebelum
akad nikah oleh calon mempelai pria (lamaran). 2. Untuk mengetahui pola
relasionalitas antara tradisi lamaran dengan kesakinahan keluarga dalam
pandangan tokoh masyarakat pengikut madzhab syafi’i. E. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan bisa bermanfaat secara teoritis maupun secara
praktis. 1. Secara Teoritis a. Diharapkan dalam penelitian ini mampu memberikan
bahan masukan untuk penelitian selanjutnya yang ada kaitannya dengan penelitian
ini dan sekaligus dapat mencari serta menemukan solusinya. b. Diharapkan dalam
penelitian ini dapat menambah kajian keilmuan yang mengulas secara khusus
tentang fenomena yang terjadi secara nyata tradisi lamaran dalam kehidupan
masyarakat Seletreng Kecamatan Kapongan Kabupaten Situbondo. 2. Secara Praktis
a. Diharapkan mampu memberikan informasi kepada masyarakat yang berkeinginan
untuk mengetahui bagaimana tradisi penyerahan perabot rumah tangga lamaran
sehari sebelum akad nikah oleh calon mempelai pria. b. Diharapkan mampu
memberikan khazanah pengetahuan khususnya bagi peneliti secara pribadi dan
masyarakat luas pada umumnya mengenai nilai-nilai Islam, tradisi dan kebudayaan
masyarakat yang bersangkutan. F. Definisi Operasional Lamaran dalam penelitian
ini adalah penyerahan perabot rumah tangga oleh calon mempelai pria, diberikan
kepada calon mempelai wanita, sehari sebelum akad nikah.7 G. Sistematika
Pembahasan Dalam proposal ini disusun sebuah sistematika penulisan, agar mudah
memperoleh gambaran yang jelas dan menyeluruh, maka secara global dapat ditulis
sebagai berikut: 7 Hasil wawancara dengan informan, yakni tokoh masyarakat
pengikut madzhab Syafi’i. 11 BAB I : mengemukakan pendahuluan yang didalamnya
memuat latar belakang masalah, batasan masalah, rumusan masalah, tujuan dan
mamfaat penelitian, definisi operasional, serta sistematika pembahasan. BAB II
: merupakan kajian teori yang didalamnya memuat teori-teori yang ada
relevansinya dengan penelitian yang sedang diteliti peneliti, diantaranya,
penelitian terdahulu, khitbah dalam madzhab Syafi’I, tujuan dan hikmah
perkawinan, tradisi (adat) dalam Islam, serta Islam, tradisi/budaya, dan
perubahan sosial. BAB III : merupakan metode penelitian yang memuat lokasi
penelitian, jenis penelitian, paradigma penelitian, dan pendekatan penelitian,
serta metode pengumpulan data, sumber data, teknik pengecekan keabsahan data,
metode pengolahan data dan yang terakhir metode analisis data, dengan tujuan
agar bisa dijadikan pedoman dalam melakukan kegiatan penelitian dan
mengantarkan peneliti pada bab berikutnya dalam melakukan penelitian. BAB IV :
merupakan paparan dan analisis data yang didalamnya berisi tentang data-data
yang di temukan, karena penilitian ini merupakan penelitian lapangan maka
kebanyakan temuan-temuan datanya banyak berasal sumber data, yang pembahasannya
meliputi deskripsi lokasi penelitian, Latar Belakang Tradisi Lamaran, serta
pola relasionalitas antara tradisi lamaran dengan kesakinahan keluarga dalam
pandangan tokoh masyarakat pengikut Madzhab Syafi’i. BAB V : merupakan bab
terakhir yang berisi tentang penutup yang meliputi kesimpulan dan saran-saran
yang diperoleh dari hasil penelitian, serta dilanjutkan dengan saran-saran yang
berguna untuk perbaikan yang berhubungan dengan penelitian ini dimasa yang akan
datang.
Untuk Mendownload Skripsi "Skripsi al-Ahwal al-Syakhshiyyah" : Tradisi lamaran perspektif masyarakat pengikut Madhhab Syafi’i: Studi di Desa Seletreng Kecamatan Kapongan Kabupaten Situbondo.
" Untuk Mendownload skripsi ini silakan klik link dibawah ini
" Untuk Mendownload skripsi ini silakan klik link dibawah ini
No comments:
Post a Comment