Abstract
INDONESIA:
Permasalahan poligami hampir selalu dijadikan sebuah perkara yang sangat pelik dalam berkeluarga. Sekian banyaknya orang awam, terpelajar bahkan cendekiawan muslim pun bisa saja mengalami hal di atas. Dalam praktiknya, melakukan poligami sangatlah berat dan tidak mudah. Munculnya sikap pro dan kontra dari semua elemen masyarakat akan perdebatan mengenai hukumnya. Begitu juga ketika zaman semakin modern dan berkembang, kondisi serta situasi dari ketiga tokoh ulama yang dijadikan bahan penelitian ini juga berbeda pastinya. Menyikapi hal tersebut, hukum poligami yang diberlakukan haruslah progresif dan cocok dengan budaya asli Indonesia. Demi memperoleh natijah hukum yang tepat, perlu adanya pembahasan yang komprehensif mengenai poligami. Dalam hal ini, mencari hukum tersebut yakni dengan proses istinbat al-hukm dari ketiga tokoh di atas dan alasan yang dijadikan untuk menguatkan argumen mereka yaitu ketika memberikan hasil hukum tentang poligami tersebut.
Penelitian ini termasuk jenis hukum normatif dengan menggunakan menggunakan pendekatan konseptual. Sedangkan bahan hukum yang digunakan adalah bahan hukum primer dan sekunder. Metode pengumpulan datanya menggunakan dokumentasi dan Metode analisisnya menggunakan analisis deskriptif. Hasil penelitan ini adalah Ketiga tokoh di atas sama-sama membolehkan poligami, asalkan dengan terpenuhinya syarat tertentu serta penggunaan manhaj sadd adz-dzariah yang dijadikan cara dalam proses istinbat hukumnya. Alasan Syeikh Nawawi menggunakan dua titik tekan, yaitu contoh poligami Nabi saw dan perhatian khusus kepada budaya Indonesia, sedangkan Buya Hamka menggunakan dua pendekatan Psikologi dan sosial kemasyarakatan. Berbeda dengan Quraish Shihab yang menggunakan tiga hal, yaitu keadaan istri, perekonomian keluarga, perbandingan jumlah laki-laki dan perempuan.
ENGLISH:
The issue of polygamy is almost made a very strange in family. The large number of common people, educated people, even moslem scholar also can experienced it. In practice, polygamy is extremely heavy and do not easily. Many opinion between agree and disagree from all elements of society will debate on the law of polygamy. During the period more modern and developed, the conditions and situation of the third figure which be research materials absolutely different. So, the law of polygamy should be progressive and suitable with the native culture in Indonesia. For obtaining appropriate natijah , need a comprehensive discussion about polygamy. In this case, finding the law with the istinbat al-hukm process from the third figure above and the reason that serve to strengthen their arguments when it delivers the law about polygamy.
This research includes the normative law types by using a conceptual approach. While the law materials use primary and secondary law materials. The data collection method using documentation and the analysis method use descriptive analysis. The results of this research is according the third figure above equally allow polygamy, with the fulfillment of certain requisite as well as used the manhaj sadd adz-dzariah as a way in the process of istinbat al-hukm. The reason of Sheikh al-Nawawi using two press points it’s a example polygamy of Prophet Muhammad and special attention to the Indonesia culture, while Buya Hamka using two approaches, that it’s a psychology and social civic. Different with Quraish Shihab opinion that use three points, the wife condition, the economy of family, and the comparison of men and women numbers.
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Tidak dapat dipungkiri bahwa siapa
pun ingin hidup bahagia, baik laki-laki maupun perempuan baik yang bersifat
individualis dan sosial yang tinggi. Kehidupan dunia yang singkat ini, di dalam
lubuk hati mereka yang terdalam selalu mendambakan sebuah ketenangan batin, kedamaian
bermasyarakat, kerukunan antar pribadi dan sebuah keselarasan hidup yang selalu
memiliki unsur terpenting dalam sebuah eksistensi kehidupan. Berdasarkan
pondasi iman dan taqwa yang selalu menjadi pedoman kuat bagi umat Islam
generasi pendahulu, yang mana keberadaan mereka dapat mencapai puncak kejayaan
dan juga berhasil merubah keadaan dunia.1 Dengan hal itu 1 Waryono Abdul
Ghofur, Tafsir Sosial Mendialogkan Teks dengan Konteks, (Yogyakarta: Elsaq
Press, 2005), hal.4 2 masyarakat akan menjadi sebuah komunitas yang
eksistensinya dapat menumbuhkan perasaan adil dan makmur demi terciptanya
masyarakat yang baik, bukan memberikan kesenjangan sosial. Para ulama
melaksanakan amar ma‟ruf nahi munkar dan masyarakat yang paham agama, secara
otomatis akan meniru serta saling melakukan perbuatan baik. Seperti contoh,
gotong royong, simpati, empati, tolong menolong serta kebaikan bagi pribadi
mereka masing-masing dan kepada komunitas. Kalimatul haq yang selalu mereka
junjung tinggi tiada yang mengikat, selain tali persaudaran yang seiman dan
setaqwa. Hidup itu hakikatnya pasti selalu bersanding dengan masalah dan jalan
keluar. Permasalahan yang sering muncul saat ini yakni poligami. Polemik
tersebut sudah lama menjadi perdebatan serius antara ulama terdahulu (klasik)
dan kontemporer. Hal itu bisa dilihat dari munculnya berbagai pandangan ulama
dengan alasan yang diberikan dalam karya mereka seperti dalam kitab fikih
ataupun tafsir yang berguna untuk memperkuat perspektifnya mengenai poligami.2
Poligami selalu menjadi pelik dalam setiap rumah tangga. Berbagi kasih sayang
maupun nafkah secara materi merupakan persoalan mendasar dari sistem perkawinan
ini pada umumnya. Berbagai kalangan masyarakat awam bisa mengalami poligami,
hingga tokoh agama sekalipun. Beberapa dari mereka ada yang berhasil 2 Tihami
dan Sohari Sahrani, Fikih Munakahat Kajian Fikih Nikah Lengkap, (Jakarta:
Rajawali Pers, 2009), hal.354 3 menjalaninya. Namun, tidak sedikit pula yang
terpaksa harus meninggalkan kehidupan poligaminya demi alasan kerukunan. Dalam
praktiknya, poligami sangat berat dan tidak mudah. Hal itu dikarenakan
banyaknya persyaratan yang harus dikerjakan oleh orang yang hendak melakukan
poligami dan siap menerima dampak setelahnya. Bahwasanya Islam telah
mengajarkan kepada umatnya ketika hendak melakukan poligami. Maka hal yang
harus dipertimbangkan terlebih dahulu adalah sifat adil bagi suami yang akan
berpoligami.3 Sikap pro atau kontra dalam menanggapi masalah poligami memang
berbeda. Namun, yang lebih pastinya selalu dihubungkan dengan latar belakang
kehidupan mereka mengenai pemahaman konseptual dari masyarakat akan syarat dan
unsurunsur melakukan poligami. Indonesia merupakan negara yang masyarakat
bersifat plural. Sehingga dapat disimpulkan, bahwa sudah biasa terjadi sikap
pro dan kontra dalam hal memaknai sebuah permasalahan yang ada. Dewasa ini,
berbagai kasus poligami menyangkut kehidupan sehari-hari masyarakat masih
banyak terjadi penyelewengan hak dan kewajiban. Pernyataan itu bermula ketika
ditemukan ada segelintir masyarakat yang menganggap remeh tanggung jawab mereka
(suami) sebagai pelindung keluarga. Hal tersebut sudah menjadi kebiasaan
sebagian masyarakat yang tumpul pengetahuan dan pola pikir mereka masih pada
batas rendah dan hanya mengikuti hawa nafsu, tanpa memandang lebih jauh
mengenai dampak yang akan didapatkannya. 3 Tihami dan Sohari Sahrani, Fikih
Munakahat Kajian Fikih Nikah Lengkap, hal.358 4 Poligami yang semena-mena
terjadi di sebagian tempat, khususnya di daerah yang rawan minimnya
pengetahuan.4 Kasus yang sering terjadi bisa seperti poligami tanpa ijin
(secara diam-diam), pelampiasan nafsu, pemaksaan, wadah sebagai bentuk
kejahatan perkawinan, kebohongan dan penipuan semata. Berbagai macam kasus yang
muncul diatas, sudah banyak terlihat di media masa, yang mana suami melakukan
poligami tanpa sepengetahuan istrinya. Ada juga yang ingin mengikuti sunnah
Rosul dengan mempunyai istri lebih dari satu. Dengan dalih itu, kerap sekali
dijadikan tameng kuat bagi pelaku poligami. Sayangnya, terlepas dari itu semua.
Perempuanlah yang selalu menjadi korban utama. Faktor paling mendasar dari
berbagai kasus poligami, biasanya berawal dari jiwa intelektual yang kurang
(buta hukum). Sebagian besar dari mereka hanya mengikuti trend yang selalu
berkembang setiap waktu, serta suka meniru perbuatan orang lain yang mana dari
perbuatan itu sangat tidak mungkin untuk ditiru oleh dirinya sendiri. Selain
dari faktor diatas, juga terdapat faktor lainnya yang patut dijadikan sebab
penting, yakni faktor keingintahuan (mencoba) yang besar. Banyak kasus yang
ada, ketika seseorang hendak melakukan poligami tanpa mengetahui seluk-beluk
kehidupan ekonominya dulu, tanpa mengetahui perasaan istrinya jika di poligami,
lalu mereka (suami) masih tetap melakukan poligami. Akibatnya banyak istri dan anak
menjadi korban yang merasa dirugikan.5 4 Supardi Mursalin, Menolak Poligami,
Studi tentang Undang-Undang Perkawinan dan Hukum Islam, (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2007), hal.16 5 Supardi Mursalin, Menolak Poligami, Studi tentang
Undang-Undang Perkawinan dan Hukum Islam, hal.18 5 Kerugian yang dimunculkan
ketika berpoligami yang salah, pasti akan menimbulkan dampak serius berupa,
kekerasan psikologis dalam berumah tangga, hilang tanpa memberi kabar,
kekerasan ekonomi (tidak menafkahi). Akibat yang ditimbulkan atas tindakan
diatas, banyak korban khususnya pihak istri yang sampai membawa kasusnya hingga
ke jenjang pengadilan, agar korban yang menderita mendapatkan perlindungan
secara layak dan keadilan secara hukum. Secara implisit menurut Undang-Undang No.
1 tahun 1974 tentang perkawinan dan peraturan pelaksanaannya.6 Poligami adalah
suatu perbuatan yang boleh dilakukan sepanjang memenuhi syarat yang ditentukan.
Namun, menurut Komisi Nasional Perempuan (Komnas Perempuan) menilai bahwa
poligami bisa berubah menjadi bungkus kejahatan perkawinan.7 Dari sinilah
terjadi perbedaan pendapat antara pro dan kontra mengenai hukum poligami. Pada
umumnya hukum masih memberikan peluang untuk berpoligami dan secara substansial
hukum nasional terkesan memberi ruang melakukan kejahatan perkawinan. Faktanya
banyak pelaku yang melakukan kejahatan dalam perkawinan. Cara jitu yang sering
muncul sebagai tindak awal kejahatan serta alasan bagi suami yang hendak
melakukan poligami, padahal statusnya masih menjadi suami orang, itu biasanya
menggunakan tiga (3) alasan yang kerap kali digunakan. Diantaranya adalah
pertama, perkawinan kedua dan seterusnya tidak dicatatkan di KUA. Kedua,
pemalsuan identitas (berganti nama) di KTP. Ketiga, mempermainkan 6
Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan 7 Komisi Nasional Perempuan
(Komnas Perempuan) dalam berita Metrotvnews.com, Kasus Poligami, Senin
(10/08/2015), diakses tanggal 13 Februari 2016 6 akta nikah, misalnya buku
nikah tidak dicatatkan di KUA atau datanya direkayasa semata menjadi perjaka.8
Berbicara mengenai kasus poligami diatas sudah banyak terjadi perdebatan
argumen. Mulai dari kalangan masyarakat awam, cendekiawan muslim, akademisi
serta para ulama terkenal yang ada di Indonesia sering membahas mengenai
masalah ini. Diantara tokoh yang memberikan argumen terhadap hukum poligami
adalah Buya Hamka, Syeikh Nawawi al-Bantani dan Quraish Shihab. Kondisi sosial
yang sering dimunculkan oleh setiap elemen masyarakat pasti selalu berubah
seiring berkembangnya zaman. Bukan hanya perihal kondisinya saja yang berubah.
Ada juga karena faktor zaman yang berbeda, situasi, tempat dan lingkungan yang
dijadikan acuan perdebatan masalah poligami. Masalah tersebut muncul seirama
dengan taraf pemikiran masyarakat dan pemikir Islam pada waktu itu yang semakin
kompleks dan berkembang. Pada masa Syeikh Nawawi yang dijadikan pertimbangan
awal. Suasana keagamaan di Banten nampak begitu pengap, suram serta berjalan
tanpa arah. Segala sesuatu yang menyangkut masalah agama senantiasa memikat
penjajah Belanda untuk ikut campur tangan mengurusi hal demikian. Kondisi yang
dihasilkan pada waktu itu sungguh tidak stabil, dikarenakan tanah nusantara
masih dalam kondisi dijajah Belanda, banyak penindasan serta peniadaaan
keadilan. Hal itu 8Ahmad Shampthon, wawancara, (Malang: 10 Maret 2016) 7
mengakibatkan gejolak sosial yang hebat dan menurunnya intensitas keagamaan
yang hampir punah.9 Mengenai kondisi wanita pada masa beliau tidak jauh beda
dengan keadaan wanita pada masa bangsa arab. Wanita pada saat itu berada dalam
sistem yang diskriminatif, diperlakukan tidak adil, kasar, diremehkan,
karenanya tidak sesuai dengan prinsip keadilan yang sempurna dari dasar agama
Islam. Kaum muslimat dianggap sebagai korban ketidakadilan dalam berbagai
bentuk dan aspek kehidupan yang dilegitimasi oleh suatu tafsiran sepihak dan
dikontruksi melalui budaya barat. Kesadaran akan kesetaraan derajat antara
laki-laki dan perempuan masih belum ada pada waktu itu, sehingga keadaan yang
demikian mengkristal, menjadi sebuah persepsi yang hampir identik dengan yang
sebenarnya. Kesejahteraan laki-laki dan perempuan merupakan suatu yang ideal,
tapi realisasinya terus menghadapi berbagai masalah. Dalam suasana yang suram
seperti itulah Syeikh Nawawi hidup, suatu kondisi dimana yang sinkretisme
(perpaduan beberapa pemahaman agama) menjamur dan tumbuh subur. Semua seluk
beluk serta pola pikir masyarakat waktu itu masih serba kusut dan beban
feodalisme yang diwariskan oleh para pemimpin sebelumnya. Berbeda dengan alur
cerita yang dikisahkan oleh Hamka. Zamannya banyak terjadi ketegangan dan
polarisasi sosial akibat penolakan ide serta gagasan antara kaum muda dan kaum
tua. Pada masanya juga, khususnya di Sumatera Barat, ada 9 Rafiuddin Ramli,
Sejarah Hidup dan silsilah Syekh Nawawi, (Banten: Yayasan Nawawi, 1989), hal.14
8 anggapan yang terus mendarah daging bahwa perkawinan yang berkali-kali juga
dapat menyebabkan angka perceraian yang tinggi. Orang yang terpandang dapat
menikahi beberapa gadis anak orang kaya, tanpa perlu merasa terbebani oleh kewajiban
memberi nafkah kepada isterinya. Suami yang dianggap terpandang itu hanya
berkewajiban datang mengunjungi isterinya. Sedangkan sumber nafkah isterinya
tersedia dari kekayaan keluarganya sendiri.10 Perkawinan yang berulang-ulang
terkadang menimbulkan perceraian dengan isteri yang lama. Tidak jarang
perceraian dan perkawinan itu terjadi karena desakan atau campur tangan pihak
keluarga. Dalam adat Minangkabau waktu itu, campur tangan pihak keluarga
mengenai urusan rumah tangga merupakan suatu hal yang sulit untuk dielakkan.
Tokoh yang terakhir adalah Quraish Shihab, merupakan seorang cendekiawan muslim
dan ilmuan tafsir Al-Qur‟an. Latar belakang lahirnya tafsir al-misbah adalah
karena karena antusias masyarakat terhadap Al-Quran di satu sisi baik dengan
cara membaca dan melagukannya. Akan tetapi, di sisi lain dari segi pemahaman
terhadap Al-Quran masih jauh dari rata-rata yang disebabkan oleh faktor bahasa
dan pengetahuan yang kurang memadai. Oleh sebab itu, tidak jarang orang membaca
ayat-ayat tertentu tidak pada porsinya.11 Gambaran masyarakat pada masanya
sedang dalam taraf berkembang, karena rakyat Indonesia baru saja merasakan
kemerdekaan yang seutuhnya dari penjajah. 10Rusydi, Pribadi dan Martabat Buya
Prof. Dr. Hamka, (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1983), hal.3 11 Abuddin Nata,
Tokoh-tokoh Pembaharuan Pendidikan Islam di Indonesia, (Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada, 2005), hal.364 9 Banyak orang sudah bisa membaca Al-Quran,
namun masih awam mengenai maksud dan isi dari sebuah ayat. Jika secara kebetulan
ada orang yang membaca ayat poligami secara tekstual. Maka persepsi awalnya
pasti mengatakan, bahwa poligami itu boleh dan diperintahkan dalam Al-Quran.
Padahal masih banyak kandungan makna secara kontekstual yang harus dipahami
selain membaca artinya secara tekstual saja. Upaya untuk tetap bisa memberikan
kontribusi bagi masyarakat Indonesia pada umumnya dengan cara mensinergikan
ajaran Islam yang sesungguhnya, yang mana berpondasi kepada Al-Quran dan Sunnah
juga dilakukan oleh sebagian besar mujtahid di Indonesia, seperti contoh Hamka
dalam kitabnya Tafsir Al-Azhar, lalu Syeikh Nawawi dengan kitabnya Tafsir
Al-Munir dan yang terakhir yakni Quraish Shihab dengan kitabnya yang fenomenal
berjudul membumikan Al-Qur‟an atau yang bisa dikenal dengan kajian Tafsir
Al-Mishbah. Dengan terciptanya 3 kitab itu, pastinya memiliki latar belakang
penciptaannya yang sesuai dengan zaman serta seluk-beluk masyarakat pada
masanya. Ketiga tokoh diatas merupakan contoh ulama Indonesia yang sangat
terkenal ketika mereka berkiprah dalam dunia Islam pada masanya. Sudah banyak
karya-karya fenomenal yang telah mereka tunjukkan kepada dunia Islam, khususnya
di Indonesia. Berbagai sudut pandang yang beragam dimunculkan oleh ketiganya
dalam hal kajian yang akan dibahas oleh peneliti selanjutnya. Mengenai metode
pemikiran mereka dan tanggapan mereka mengenai permasalahan poligami itu
sendiri. 10 Mengacu pada pokok permasalahan yang banyak ditimbulkan oleh adanya
poligami. Menurut peneliti, polemik diatas sangat menarik untuk dibahas dan
dikaji secara mendalam, dikarenakan perkembangan zaman yang selalu berubah dan
progresif. Ada juga kemungkinan persamaan dan perbedaan pandangan setiap
individu dalam menanggapinya. Adapula yang mengatakan terdapat beda situasi dan
kondisi tempat atau lingkungan sosial masyarakat yang menjadi titik acuannya.
Lain halnya ketika ada yang menyatakan bahwa, sebagian orang yang memahami
poligami jika ditinjau dari taraf keilmuannya bisa dibilang ada yang paham dan
ada yang masih belum paham. Melihat dari beberapa kasus yang sering terjadi,
poligami sering kali disalahgunakan sebagai media untuk melakukan tindak
kejahatan dan masyarakat juga sepertinya belum paham betul tentang hukum
melakukan poligami.12 Semisal oleh tokoh agama, masyarakat awam dan lain sebagainya.
Beberapa faktor diatas bisa dijadikan dasar penyebab terjadinya poligami tanpa
memandang apa dan bagaimana akibat yang akan didapatkan seseorang ketika hendak
melakukan poligami. Pendapat di ataslah yang menjadikan masyarakat awam yang
belum paham betul akan hukumnya, bisa mengikuti secara buta (mengikuti tanpa
mengetahui sebab akibat) akan perilaku yang dicontohkan oleh orang yang mereka
anggap sebagai panutan, khususnya masalah spritualitas. 12 Supardi Mursalin,
Menolak Poligami, Studi tentang Undang-Undang Perkawinan dan Hukum Islam
,hal.17 11 Kita tahu bahwa pada umumnya masyarakat Indonesia, lebih mudah untuk
mengikuti apa yang telah dilakukan dan di fatwakan oleh ulama yang memberikan
penjelasan mengenai sebuah hukum tertentu, sebab mayoritas warga Indonesia
beragama Islam dan sangat menghormati pendapat mereka. Ada yang dari golongan
masyarakat Nahdatul Ulama‟ (NU), Muhammadiyah (MU) dan lain sebagainya.
Sepertinya lebih mudah untuk memberikan masukan berupa pendapat dari tokoh
agama kepada masyarakat yang buta akan hukum Islam. Menyikapi hal diatas,
penelitian ini patut kiranya bisa memberikan kontribusi paradigma keilmuan bagi
siapapun yang membaca serta memahaminya secara mendalam mengenai hukum poligami
yang sesungguhnya jika ditinjau dari kultur Indonesia. Tujuannya agar
masyarakat yang masih belum paham hukum, bisa semakin bertambah pemahaman
mereka, meskipun membutuhkan waktu yang tidak sebentar tentang poligami
khususnya dan bisa juga menambah pengetahuan spiritualitas mereka pada umumnya.
Dikarenakan penelitian ini menggunakan pondasi yang cukup kuat, yakni
menggunakan 3 kitab unggulan hasil pemikiran tokoh terkemuka yang mana asli
berasal dari negara Indonesia, seperti Syeikh Nawawi al-Bantani pengarang kitab
Tafsir Al-Munir, Hamka pengarang kitab Tafsir Al-Azhar, serta Quraish Shihab
pengarang kitab Tafsir Al-Misbah. Dengan 3 kitab tafsir diatas, peneliti akan
menggabungkan pemikiran mereka yang membahas hukum poligami dan latar
belakangnya, kemudian di analisis secara deskriptif dan konseptual. 12 Dengan
demikian, bahwa interpretasi mengenai hukum poligami itu menurut tokoh
Indonesia pasti ada perbedaan dan persamaan dalam pemikiran mereka. Adanya
keunikan dalam pemikiran mereka tentang hukum itu, dapat berimbas pada
terlaksananya suatu aturan di Indonesia. Oleh sebab itu, penelitian ini
bermaksud melihat tentang konsep sekaligus interpretasi hukum poligami dalam
Al-Quran perspektif tokoh Indonesia yang kemudian dihubungkan dengan konteks
sejarah serta realita masa kini. Terakhir kalinya, peneliti juga sangat
tertarik ingin mengkaji dan menganalisis mengenai pemikiran serta interpretasi
mereka tentang hukum poligami yang dikaitkan dengan ayat poligami. Dalam hal
ini, peneliti akan menelaah dari kitab karya tokoh Indonesia itu, seperti Tafsir
Al-Azhar, Tafsir Al-Munir dan Tafsir Al-Mishbah yang mana peneliti akan
menggabungkan menjadi suatu penemuan hukum yang cocok dengan kondisi Indonesia
yang dapat menanggapi polemik hukum poligami masa sekarang. B. Identifikasi
Masalah Bagian identifikasi pada penelitian ini menjelaskan mengenai pokok
masalah yang tercermin pada bagian latar belakang masalah. Muncul beberapa
masalah yang telah dikemukakan di atas, maka dapat di telaah sebagai berikut
ini : 1. Poligami belum menciptakan suasana yang kondusif bagi suami dan
isteri, ini terbukti dari : a. penyelewengan hak dan kewajiban (tanggung
jawab); b. Hanya sebatas sebagai pelampiasan nafsu; 13 c. Adanya unsur paksaan;
d. Sebagai wadah bentuk kejahatan perkawinan; e. Kebohongan dan penipuan
semata; f. Muncul unsur kekerasan, berupa fisik, psikologis, dan ekonomi. 2.
Media tidak optimal dan minim dalam memberikan informasi mengenai hukum, sebab
dan akibat dari poligami. 3. Pemahaman mendasar tentang ilmu agama minim, ini
terbukti ketika : a. Mengikuti trend perkembangan zaman; b. Buta hukum dan
pengetahuan; c. Sifat keingintahuan yang besar tanpa berpegang pada dasar
agama; d. Minim membaca dan mengetahui fatwa dan ijtihad ulama mengenai
permasalahan poligami khususnya; e. Suka bermain tafsir hukum seenaknya
sendiri. C. Pembatasan Masalah Bagian ini sangat erat dengan identifikasi
masalah. Adanya keterbatasan dari peneliti baik waktu, dana dan faktor yang
lainnya, maka peneliti hanya memilih beberapa identifikasi masalah yang ada.
Jadi tidak semua masalah yang muncul di atas diteliti satu per-satu, agar hasil
penelitian terlihat lebih fokus. 14 Berdasarkan identifikasi masalah yang telah
diuraikan diatas, maka terdapat beberapa masalah yang perlu dikaji lebih dalam,
antara lain : 1) Pemahaman yang mendasar mengenai hukum poligami. 2) Minimnya
taraf keingintahuan masyarakat akan fatwa dan ijtihad ulama. D. Rumusan Masalah
Jika diperhatikan secara seksama mengenai latar belakang masalah yang tertera
di atas, maka patut kiranya akan timbul sebuah pertanyaan besar. Akan tetapi,
dengan adanya dua batasan masalah yang telah disebutkan diatas oleh peneliti,
berguna untuk lebih memfokuskan diri pada poin itu. Penelitian ini lebih
condong kepada sebuah pemahaman hukum poligami dan latar belakang pemberian
hukumnya dari interpretasi ketiga tokoh ulama terkemuka di Indonesia, yang
bertujuan agar masyarakat bisa mudah memahami tentang masalah tersebut dengan
sebaik mungkin. Oleh sebab itu, peneliti membuat tiga (2) rumusan masalah,
sebagai berikut : 1) Bagaimana proses istinbat hukum Syeikh Nawawi al-Bantani,
Buya Hamka, dan Quraish Shihab tentang hukum poligami ? 2) Mengapa Syeikh
Nawawi al-Bantani, Buya Hamka dan Quraish Shihab memberikan sebuah hukum
poligami ? 15 E. Tujuan Penelitian Adanya tujuan penelitian merupakan sebuah
sasaran yang ingin dicapai ketika melakukan penelitian ilmiah, serta lebih
menitik beratkan agar bisa menjawab pertanyaan yang ada pada rumusan masalah
diatas. 1) Tujuan umum : Penelitian ini dikerjakan dengan sedemikian rupa
sehingga dapat memperoleh pengetahuan yang lebih mendalam mengenai wawasan
khazanah keilmuan dalam bidang fiqh pernikahan (poligami) dalam perspektif
mujtahid di Indonesia. 2) Tujuan khusus : Selain tujuan umum diatas, peneliti
juga memperoleh tujuan khusus yang menjadi latar belakang dilakukannya
penelitian ini. tujuan tersebut adalah menjawab pokok-pokok permasalahan yang
terlimpahkan dalam rumusan masalah yang telah diuraikan diatas yakni sebagai
berikut : a. Untuk mendiskripsikan tentang proses istinbat hukum dari ketiga tokoh
tersebut dalam memahami hukum poligami. b. Untuk menganalisis alasan mereka
dalam pemberian hukum poligami. 16 F. Kegunaan Penelitian Berbeda dengan tujuan
penelitian, pada bagian ini lebih menjelaskan mengenai sasaran yang ingin
dicapai oleh peneliti setelah penelitian ilmiah ini selesai dilakukan. Adapun
kegunaan penelitian ini adalah, sebagai berikut : 1. Memperkaya khazanah
keilmuan, terutama untuk mengembangkan daya jelajah intelektualitas khalayak
umum yang bersinergis dengan fiqh munakahat, khususnya dalam materi poligami.
2. Memberikan kontribusi keilmuan bagi mahasiswa secara umum, khususnya bagi
mahasiswa Fakultas Syari‟ah UIN Malang tentang hukum poligami perspektif
mujtahid Indonesia. 3. Memberikan wacana terkini bagi khalayak umum, khususnya
masyarakat/personal yang belum paham hukum dan selalu bertaklid akan perbuatan
orang lain mengenai hukum poligami. 4. Hasil akhir dari penelitian ini bisa
dijadikan motivasi diri, utamakan berpikir dulu sebelum melakukan suatu
tindakan, supaya tidak terjadi kesalahpahaman antar individu, serta untuk
membuka pintu hati sebagai bahan evaluasi diri bagi diri sendiri dan
masyarakat.
DOWNLOAD
No comments:
Post a Comment