Jasa Pembuatan Skripsi

Jasa Pembuatan Skripsi
Jasa Pembuatan Skripsi

Saturday, June 10, 2017

Jasa Buat Skripsi: download Skripsi al-Ahwal al-Syakhshiyyah,:Batas usia perkawinan menurut pasal 7 Undang-Undang no. 1 tahun 1974 perspektif Undang-Undang no. 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak

Abstract

INDONESIA:
Untuk mencapai keluarga yang aman dan bahagia, pemerintah mengatur ketentuan mengenai batas usia perkawinan melalui Pasal 7 Undang-undang No. 1 Tahun 1974. Berdasarkan pasal tersebut perempuan hanya boleh melangsungkan perkawinan jika telah mencapai usia 16 tahun dan usia 19 tahun bagi laki-laki dengan ketentuan mendapat izin dari orang tua. Namun, ketentuan batas usia tersebut ternyata mengalami disharmonisasi dengan Undang-undang Perlindungan Anak yang menentukan usia di bawah 18 tahun merupakan usia anak-anak dan perkawinan pada usia tersebut harus dicegah. Ketidakselarasan pada kedua undang-undang ini diperkuat oleh adanya sistem pluralisme batas usia dalam beberapa pasal pada Undang-undang No. 1 Tahun 1974. Penelitian ini bertujuan untuk memahami kembali adanya Undang-undang Perkawinan melalui perspektif Undang-undang No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak.
Dalam penelitian ini digunakan pendekatan perundang-undangan dan pendekatan konsep dengan jenis penelitian library research atau bisa juga disebut sebagai legal research. Bahan hukum yang dikumpulkan berupa bahan hukum primer: UU No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan UU No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak, bahan hukum sekunder: Jurnal, buku, artikel, dan lain-lain, dan bahan hukum tersier: kamus dan ensiklopedia yang dilakukan dengan telaah arsip dan studi pustaka untuk selanjutnya diedit, diperiksa, dan disusun secara sistematis berdasarkan permasalahan, kemudian dilakukan analisis dengan metode content analysis.
Hasil penelitian ini menyebutkan bahwa pada usia 16 tahun seseorang belum mencapai kematangan baik secara psikis maupun biologis, sehingga harus dicegah adanya perkawinan pada usia tersebut karena berpotensi pada eksploitasi seksual, diskriminasi, dan perlakuan salah lainnya. Beradasarkan pada asas lex postiori derogate lex priori maka perlu diadakannya harmonisasi bagi kedua peraturan perundang-undangan ini.
Pada permasalahn conflict of norm semacam ini, maka adanya penerapan kembali asas- asas peraturan perundang-undangan memang menjadi tindakan yang strategis untuk memecahkannya. Kerancuan hukum yang tidak segera ditindak lanjuti hanya akan melahirkan keputusan-keputusan yang tidak proporsional di Pengadilan dan akan berdampak pada terampasnya hak-hak anak perempuan.
ENGLISH:
The government set the age limit provisions on marriage through Article 7 Act number of 1 year 1974 (UU No. 1 Tahun 1974) to achieve a safe and happy family. Based on the women's section may only establish a marriage if it has reached the age of 16 years and the age of 19 years for men with provisions to get permission from parents. However, the provisions of that age limit was experiencing disharmony with the Child Protection Act that determine the age below 18 years is the age of the children and the marriage at that age should be prevented. Disharmony in the second law is reinforced by a system of pluralism of the age limit in several articles on Act number 1 year 1974 (UU No. 1 Tahun 1974) This study aims to understand the return of Marriage Act through the perspective Act of 23 yaer’s 2002 On Child Protection.
This study used the approach of legislation and to the type of research the concept of a research library or can be referred to as normative legal research. Legal materials collected in the form of primary legal materials: UU No. 1 Tahun 1974 About Marriage and UU No. 23 Tahun 2002 On Child Protection, secondary legal materials: Journals, books, articles, etc., and tertiary legal materials: dictionaries and encyclopedias do with the study of archives and library for further edited, checked, and developed systematically based on the problem, then performed content analysis method analysis.
The results of this study mentioned that at the age of 16 years a person has not reached maturity, both psychologically and biologically, so must be prevented at the age of marriage is because of the potential of sexual exploitation, discrimination and other abuses. Based on the principle of lex postiori derogate lex priori it is necessary for the second holding of the harmonization of legislation of this.

On the problems of conflict of this kind of norm, then the application of the principles back the legislation has become a strategic action to solve them. Legal confusion which is not immediately followed up only decisions will bear a disproportionate in Court and will have an will have an impact on the loss of the rights of girls


BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
 Perkawinan merupakan salah satu perbuatan hukum yang sudah melembaga dalam kehidupan masyarakat. Perkawinan merupakan faktor yang penting sebagai salah satu sendi kehidupan dan susunan masyarakat Indonesia. Tidak hanya itu, perkawinan juga merupakan masalah hukum, agama dan masyarakat. Di dalam lingkungan peradaban barat maupun yang bukan barat, perkawinan merupakan persekutuan hidup antara seorang pria dan seorang wanita yang dikukuhkan secara formal dan berdasarkan aturan-aturan baik secara yuridis formal (Undang-undang hukum positif) atau secara religius (aturan agama yang diyakini).1 1 Shofiyun Nahidloh, Kontroversi Perkawinan Di Bawah Umur (Studi Kompilasi Ilmu Fiqh Dan Kompilasi Hukum Islam, Tesis (Surabaya: IAIN Sunan Ampel, 2009), 1. 2 Dalam kehidupan sosial, perkawinan merupakan salah satu bentuk interaksi manusia sebagai bagian dari masyarakat yang tidak mungkin terlepas dari keberadaan individu lainnya. Namun dalam hal ini, pernikahan tidak hanya menyangkut pada kedua belah pihak yang terkait, melainkan pada pihak-pihak lain, bahkan nantinya akan melahirkan berbagai hukum lain yang mengandung hak dan kewajiban bagi orang lain. Perkawinan merupakan salah satu hal penting yang hidup dalam berbagai aspek lapisan sistem yang ada dalam setiap dimensi kehidupan manusia khususnya Indonesia. Hal ini terlihat bahwa dalam berbagai hukum yang hidup dalam masyarakat seluruhnya memiliki aturan yang mengatur perkawinan: hukum positif, hukum Islam, dan hukum adat. Dari perkawinan, sebuah keluarga terbentuk, di dalamnya mencakup reproduksi generasi, aspek sosial, aspek ritual, aspek moral dan kultural sebagai wahana untuk mewujudkan kehidupan yang aman, tentram, aman, damai, dan sejahtera dalam suasana cinta serta kasih sayang diantara anggotanya. Dalam Pasal 1 Undang-undang No. 1 Tahun 1974, sebagai hukum positif perkawinan di Indonesia mendefinisikan perkawinan sebagai ikatan lahir batin antara seorang pria dan wanita sebagai suami-istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumahtangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.2 Hukum Islam menyebut perkawinan dengan tazwij (تزويج (atau nikah (نكاح .( Pernikahan merupakan sunnatullah yang berlaku bagi setiap makhluk-Nya, baik pada manusia, hewan maupun tumbuh-tumbuhan. Pernikahan adalah suatu cara yang 2 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan , Lembaran Negara No. 1 Tahun 1974. 3 dipilih Allah sebagai jalan bagi makhluk-Nya untuk berkembang biak dan melestarikan budaya. Pernikahan akan berperan setelah masing-masing pasangan siap melakukan peranannya yang positif dalam mewujudkan tujuan dan pernikahan itu sendiri, 3 sebagaimana yang terdapat dalam beberapa ayat al-Qur‟an sebagai berikut: QS. an-Nisa‟ (4): Artinya: Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanya. Allah menciptakan istrinya; dan dari pada keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu.4 QS. ar-Rum (30 Artinya: Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tentram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. 3 Slamet Abidin dan Aminuddin, Fiqih Munakahat, Jilid 1 (Bandung:CV. Pustaka Setia:1999),9. 4 Departemen Agama Republik Indonesia, al-Qur‟an dan Terjemah (Surabaya: Karya Agung, 2006) 4 Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.5 Rasulullah memperkuat urgensi pernikahan sebagai suatu perilaku yang sangat dianjurkan, dengan menjadikan beliau sendiri sebagai teladan, yang karenanya ia bernilai sunnah. Dengan jelas hal ini tergambar dalam hadist yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dalam kitabnya sebagai berikut: عَنْ عَثْدِ اَلّلَهِ تْنِ مَسْعُودٍ رضي اهلل عنه قَالَ لَنَا رَسُولُ اَلّلَهِ صّلى اهلل عّليه وسّلم ) يَا مَعْشَرَ اَلشَثَابِ ! مَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكُمُ اَلْثَاءَجَ فَّلْيَتَزَوَجْ , فَإِنَهُ أَغَّضُ لِّلْثَصَرِ , وَأَحْصَنُ لِّلْفَرْجِ , وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَّلَيْهِ تِالصَوْمِ ; فَإِنَهُ لَهُ وِجَاءٌ". ( مُتَفَقٌ عَّلَيْهِ Artinya: Dari „Abdullah bin Mas‟ud, ia berkata: telah bersabda Rasulullah saw. kepada kami: “Wahai para pemuda! Barang siapa diantara kalian yang telah memiliki kemampuan maka menikahlah, karena sesungguhnya ia lebih (mampu)menundukkan pandangan, lebih memelihara kemaluan, dan barang siapa tidak mampu, maka hendaklah ia berpuasa, karena itu perisai bagimu”. 6 Bahkan ketika, ada tiga orang yang datang ke Rasulullah dan masing-masing dari mereka membanggakan apa yang telah mereka perbuat, maka Rasulullah bersabda: وَعَنْ أَنَسِ تْنِ مَالِكٍ رضي اهلل عنه ) أَّنَ اَلنَثِيَ صّلى اهلل عّليه وسّلم حَمِدَ اَلّلَهَ , وَأَثْنَى عَّلَيْهِ , وَقَالَ : " لَكِنِي أَنَا أُصَّلِي وَأَنَامُ , وَأَصُومُ وَأُفْطِرُ , وَأَتَزَوَجُ اَلنِسَاءَ , فَمَنْ رَغِةَ عَنْ سُنَتِي فَّلَيْسَ مِنِي ( مُتَفَقٌ عَّلَيْهِ Artinya: Dari Anas bin Malik, bahwasanya Nabi saw, telah memuji Allah dan menyanjung-Nya dan bersabda....”tetapi aku shalat dan aku tidur, aku berpuasa 5 Ibid; 6 al-Hafidz bin Hajar „Atsqalani, Bulugh al Maram, hadist no. 993 (Surabaya: Dar al-„Ilm, t.t),200. 5 dan aku berbuka, dan aku menikahi perempuan-perempuan, barang siapa yang tidak suka dengan caraku, maka ia bukan dari golonganku”.7 Dari beberapa ayat dan hadist di atas membuktikan bahwa pernikahan merupakan suatu akad yang tidak hanya bersifat menghalalkan sesuatu namun ia juga menjadi media mencapai tujuan syara‟ yakni berketurunan, menjaga diri, bahkan untuk mencapai suatu tujuan yang bersifat sosial. Lebih dari hal itu, pernikahan telah mencakup tujuan-tujuan syariat (maqasid al-syari‟ah). Pertama, seseorang yang telah menikah, maka ia telah memenuhi separuh dari agamanya dengan menjalankan sunnah Rasul dan ibadah-ibadah lain dalam kehidupan rumahtangga (hifdzu al-din). Kedua, pernikahan merupakan salah satu media untuk meredam potensi biologis, agar tidak disalurkan pada perbuatan yang diharamkan oleh agama (hifdz al-nafs). Ketiga, pernikahan merupakan cara yang dipilih Allah untuk manusia berketurunan, melestarikan agama sebagai dakwah, dan juga berkebudayaan (hifdz al-nasl).
Keempat, pernikahan merupakan garis pertama dimulainya suatu kehidupan berkeluarga, dimana anggotanya memiliki kewajiban dan hak sebagai tanggungjawab masing-masing, yakni: saling mendidik dan saling berkasih sayang (hiffdz al-„aql). Kelima, pernikahan menjadi sunnah bahkan wajib hanya bagi orang yang mampu, tidak hanya mampu dari segi batin namun juga mampu dari segi lahir berupa kesiapan potensi material. Kebutuhan ekonomi suatu keluarga menjadi tanggung jawab yang harus dipenuhi oleh seorang suami, dan menjadi kewajiban bagi seorang istri untuk dapat mengelolahnya dengan baik (hifdz al-mal). 7 Ibid, hadist no. 994. 6 Bertolak dari nilai urgensi yang terkandung dalam suatu perkawinan, maka ia tidak begitu saja dapat dilaksanakan. Dalam Undang-undang No. 1 Tahun 1974 mengatur tujuan perkawinan yakni membentuk keluarga bahagia dan kekal, maka dua istilah ini dalam hukum Islam dikenal dengan sakinah, mawaddah dan rahmah. Sebagaimana di negara-negara lain, negara Indonesia juga telah menetapkan beberapa ketentuan perkawinan, mulai dari tahap pra nikah, masa pernikahan, hingga pada hukum-hukum yang dilahirkan sebab pernikahan. Sebagai tanggung jawab negara, maka pemerintah telah menghimpun ketentuan-ketentuan tersebut dalam peraturan perUndang-undangan yakni Undang-undang perkawinan Nomor 1 Tahun 1974. Dengan mengacu pada tujuan pernikahan sebagaimana telah tersebut di atas, Undang-undang ini telah mengatur beberapa hal yang dianggap dapat menopang terwujudnya tujuan dari pernikahan, salah satunya adalah mengenai usia minimal untuk seseorang dapat melakukan pernikahan. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 berprinsip bahwa “calon suami istri itu harus telah masak jiwa raganya untuk dapat melangsungkan perkawinan, agar supaya dapat diwujudkan tujuan perkawinan secara baik tanpa berakhir pada perceraian serta mendapatkan hal-hal yang baik dan sehat. Untuk itu harus dicegah adanya perkawinan antara calon suami istri yang masih di bawah umur.”8 Dalam pasal 7 ayat (1) Undang-undang No. 1 Tahun 1974, dicantumkan usia minimal bagi seorang laki-laki boleh menikah adalah usianya 19 tahun dan perempuan mencapai usia 16 tahun. Artinya Undang-undang tidak menghendaki 8 Dedi Supriyadi dan Mustofa, Perbandingan Hukum Perkawinan di Dunia Islam (Bandung: Pustaka al-Fikriis. 2009), 51. 7 adanya pernikahan bagi mempelai yang usianya kurang dari ketentuan tersebut. Mempelai yang usianya masih belum mencapai usia tersebut dikatakan belum cukup umur dan dianggap belum cakap melakukan tindakan hukum termasuk melakukan pernikahan. Dilihat dari hukum positif perlindungan anak di Indonesia, ketentuan tersebut tidak sejalan dengan dengan pembatasan usia dalam Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak yang menentukan usia di atas 18 tahun untuk seseorang tidak lagi disebut anak, terlebih dalam Undang-undang ini orang tua berkewajiban dan bertanggung jawab untuk mencegah terjadinya perkawinan pada usia anak-anak (Pasal 26). Sehingga, menurut pasal ini usia 16 tahun merupakan usia anak-anak yang pernikahannya harus dicegah, karena dianggap belum cukup umur. Nuansa ambivalensi antar produk hukum yang ada semakin menguat ketika antara satu hukum dengan hukum lainnya saling digandengkan dan dipadukan dengan problematika dalam masyarakat, merujuk pada Undang-undang perlindungan anak yang diilhami oleh Convention On The Righ Of The Child ini, maka dapat ditarik kesimpulan sementara bahwa ketentuan batas usia pernikahan yang ditetapkan dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 bagi perempuan melanggar hak anak. Namun jika ditilik dari hukum Islam dan hukum adat, maka ketentuan mengenai batas usia dalam Undang-undang perkawinan, tampaknya tidak menjadi masalah. Kenyataan di masyarakat dalam implementasi batasan usia tersebut dianggap masih sangat rendah oleh sebagian orang, namun pada sebagian masyarakat khususnya pedesaan dan tradisional tidak menjadikan batasan usia sebagai hal yang mempersulit dilakukannya perkawinan, hal ini dapat dilihat dengan banyaknya 8 perkawinan diusia dini yang terjadi, adanya dispensasi nikah yang ternyata begitu saja banyak dikabulkan oleh Pengadilan Agama semakin tidak mendukung adanya program perlindungan anak dan Pendewasaan Usia Perkawinan (PUP). Penting untuk diketahui dampak dari pernikahan di bawah umur saat perkembangan fisik dan psikis yang belum sempurna dapat memicu beberapa hal yang tidak diinginkan. Permasalahan dalam lingkup pribadi, masa adolesensi atau remaja yakni wanita yang memasuki usia akhir pubertas antara 17-19 atau 17-21 tahun,9 mengalami gejolak-gejolak secara psikis yang menjadikan dirinya belum stabil sepenuhnya sehingga pada usia ini gadis remaja perlu pemantauan dan pendidikan lebih dari orang tuanya sebagai pengimbang masa transisi dari pubertas keadolesensi.10 Pada usia ini terlihat bahwa seorang remaja telah menginjak dewasa dan mulai memiliki kematangan psikologis. Secara biologis (reproduksi), dunia kesehatan menyarankan kehamilan dan persalinan terjadi antara usia 21 sampai 35 tahun, kehamilan yang terjadi di bawah 21 tahun dan di atas 35 tahun dikategorikan sangat beresiko bagi perempuan. Di samping itu, fakta bahwa angka perkawinan yang dilakukan oleh pasangan di bawah umur berdasarkan catatan Kantor Pengadilan Agama di kota Malang tahun 2008 meningkat Dalam bidang pembangunan pernikahan pada usia belia juga sangat berperan dalam percepatan laju kelahiran menuju pada percepatan kepadatan penduduk. Kepadatan penduduk yang lebih cepat dari yang diperkirakan akan memicu beberapa permasalahan lainnya yang dapat meluas pada aspek pendidikan, kesehatan, perekonomian, sosial, dan keamanan. Dalam ilmu perundang-undangan, antara Undang-undang yang satu dengan Undang-undang lainnya tidak diperkenankan bertentangan, sebagaimana tercermin dalam beberapa asas hukum atau asas perUndang-undangan yang digunakan di Indonesia. Adanya pertentangan usia minimal dalam melakukan perkawinan antara Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dengan Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak seakan memperjelas ketidak harmonisan produk hukum bangsa ini. Adanya conflict of norm ini tidak dapat dilihat sepintas lalu saja, mengingat kedua Undang-undang ini mengatur hal yang sangat urgen bagi keberlangsungan negara Indonesia. Sebab, Undang-undang sebagai perangkat hukum sangat mempengaruhi kehidupan setiap anggota masyarakat. Undang-undang merupakan landasan hukum yang menjadi dasar pelaksanaan dari seluruh kebijakan pemerintah yang kemudian menjadi sebuah sarana rekayasa sosial, yang memuat kebijakan yang hendak dicapai pemerintah untuk mengarahkan masyarakat menerima nilai-nilai baru. 11 http://www.Badilag.net, (diakses tanggal 27 Maret 2011) 10 Didorong oleh rasa tanggung jawab sebagai bagian dari masyarakat dan akademisi, maka peneliti mencoba mengangkat permasalahan mengenai adanya batasan usia dalam Undang-undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dipandang melalui Undang-undang No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak dalam penelitian ini untuk memenuhi tugas akhir menempuh studi strata satu (S1), dengan judul: “BATAS USIA PERKAWINAN MENURUT PASAL 7 UNDANG-UNDANG NO. 1 TAHUN 1974 PERSPEKTIF UNDANG-UNDANG NO. 23 TAHUN 2002 TENTANG PERLINDUNGAN ANAK “. B. Rumusan Masalah
 Dari latar belakang di atas, maka peneliti merumuskan permasalahan tentang bagaimana batas usia perkawinan dalam pasal 7 Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan perspektif Pasal 1 dan Pasal 26 ayat (1) huruf c Undang-undang No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak.
B.     Batasan Masalah
Menentukan batasan masalah dalam sebuah penelitian akan sangat membantu mencegah pelebaran pembahasan. Dengan mengetahui batasan permasalahan pada awal penelitian akan membantu peneliti untuk tetap fokus pada pembahasan sebagaimana yang dikehendaki dalam fokus penelitian. Oleh karena itu, masalah harus telah diidentifikasi, dibatasi, serta dirumuskan secara jelas, sederhana, dan tuntas sejak penelitian mulai terpikirkan. Penelitian ini akan fokus terhadap batas usia perkawinan dalam Undangundang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dalam perspektif hukum positif 11 Indonesia lainnya yakni Undang-undang No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak khususnya Pasal 1 dn Pasal 26 ayat (1) huruf c. Dalam penelitian ini tidak akan dikaji penerapan atau implementasi dari Undang-undang tersebut, melainkan aspek teori, perbandingan, atau pun lingkup dan materi.
D. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan dari penelitian ini adalah untuk memahami batas usia perkawinan menurut Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan perspektif Pasal 1 dan Pasal 26 ayat (1) huruf c Undang-undang No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak. E. Manfaat Penelitian Selain tujuan penelitian di atas, diharapkan penelitian ini memiliki nilai manfaat baik secara teoritis maupun secara praktis dalam rangka menambah dinamika ilmu pengetahuan hukum. Adapun manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah: 1. Secara Teoritis, penelitian ini diharapkan mampu memperluas khazanah keilmuan khususnya dalam bidang-bidang ilmu hukum, sehingga memiliki nilai sumbangsih terhadap dunia pendidikan dan bagi penelitian-penelitian setema selanjutnya 2. Secara Praktis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan pemahaman baru bagi masyarakat, baik kalangan akademisi, praktisi maupun mayarakat pada umumnya mengenai batas usia yang layak untuk melangsungkan perkawinan demi tercapainya tujuan dari perkawinan itu sendiri. Serta digunakan sebagai 12 referensi dalam menyikapi fenomena terkait yang terjadi di lingkungan masyarakat. F. Definisi Operasional Batas Usia :Yang dimaksud disini adalah batas usia seseorang diperkenankan melakukan pernikahan sesuai dengan Pasal 7 Undang-undang No. 1 Tahun 1974 bahwa bagi perempuan adalah ketika mencapai usia16 dan 19 tahun untuk laki-laki, Perspektif :Merupakan pandangan atau tinjauan, dalam hal ini adalah pandangan Undang-undang No.23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak baik dalam hukum islam maupun hukum positif terhadap ketentuan batas usia seseorang diperbolehkan melakukan pernikahan menurut Pasal 7 Undang-undang No. 1 Tahun 1974. Perlindungan anak :Yang dimaksudkan Perlindungan Anak disini adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hakhaknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi, secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. 13 G. Sistematika Pembahsan Untuk mempermudah dan memperjelas mengenai gambaran penelitian yang akan dilakukan, maka berikut adalah cakupan-cakupan pembahasan dalam penelitian ini: BAB I : Pendahuluan, memuat latar belakang, fokus penelitian, batasan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, definisi operasional, dan sistematika pembahasan. BAB II : Mengemukakan penelitian terdahulu sebagai ground statement (pernyataan mendasar) terhadap nilai originalitas penelitian, serta menyajikan landasan teori mengenai batasan usia perkawinan dalam Undang-undang Perkawinan, mengenai usia dewasa dalam hukum positif Indonesia dan Undang-undang No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak. BAB III : Memuat metode penelitian, mencakup: jenis penelitian, pendekatan yang digunakan, sumber bahan hukum, metode pengumpulan bahan hukum, metode pengolahan bahan hukum, dan metode analisis bahan hukum. BAB VI : Merupakan analisis terhadap bahan hukum yang diperoleh, mencakup analisis terhadap batas usia dalam Undang-undang No. 1 Tahun 1974 ditinjau dari Undang-undang No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak 14 BAB V : Penutup, memuat kesimpulan, yang merupakan rumusan jawaban yang ringkas atas masalah yang dipertanyakan dalam penelitian, serta saran-saran.
Untuk Mendownload Skripsi "Skripsi al-Ahwal al-Syakhshiyyah" : Batas usia perkawinan menurut pasal 7 Undang-Undang no. 1 tahun 1974 perspektif Undang-Undang no. 23 tahun 2002 tentang perlindungan anakUntuk Mendownload skripsi ini silakan klik link dibawah ini


Artikel Terkait:

No comments:

Post a Comment