Jasa Pembuatan Skripsi

Jasa Pembuatan Skripsi
Jasa Pembuatan Skripsi

Saturday, June 10, 2017

Jasa Buat Skripsi: download Skripsi al-Ahwal al-Syakhshiyyah:Kedudukan ahli waris pengganti (plaatsvervulling): Studi perbandingan Pasal 841 KUH Perdata dengan Pasal 185 KHI

Abstract

INDONESIA:
Seiring dengan perkembangan Islam di dunia hingga saat ini, upaya pemberlakuan hukum Islam masih terus dilakukan. Persoalan yang mendasar mengenai ahli waris pengganti yang bertujuan untuk memenuhi rasa keadilan bagi ahli waris. Pada dasarnya ahli waris pengganti menjadi ahli waris karena orang tuanya telah meninggal lebih dahulu dari pewaris.
Fokus permasalahan yang dirumuskan ialah: 1. Bagaimana kedudukan ahli waris pengganti (plaatsvervulling) pasal 841 KUH Perdata dengan pasal 185 KHI, 2. Bagaimana perbandingan ahli waris pengganti (plaatsvervulling) pasal 841 KUH Perdata dengan pasal 185 KHI.
Jenis penelitian ini adalah hukum normatif, sedangkan pendekatan yang digunakan adalah undang-undang dan perbandingan hukum. Dengan metode penelitian hukum normatif, merupakan penelitian hukum dengan mengutamakan bahan pustaka atau dokumen yang disebut dengan data sekunder, yang berupa bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier.
Dari hasil penelitian ini maka diperoleh kesimpulan Hukum kewarisan KUH Perdata dan hukum kewarisan KHI mengakui adanya ahli waris pengganti atau pergantian kedudukan kewarisan, dan itu sudah terkumpul dalam pasal 841-848 KUH Perdata. Hanya saja dalam pasal 185 KHI tidak diperkenankan untuk mendapatkan porsi melebihi bagian ahli waris yang sejajar dengan yang diganti. Apabila ditafsirkan secara luas, maka ahli waris pengganti merupakan sebuah sistem baru dalam sistem hukum kewarisan Islam.
Perbandingan ahli waris pengganti dari kedua hukum tersebut. Persamaannya laki- laki maupun perempuan sama-sama berhak menggantikan kedudukan ahli waris yang meninggal lebih dulu dari pewaris. Jangkauan garis hukum KUH Perdata dan KHI hanya untuk garis lurus ke bawah dan garis menyamping. Sedangkan perbedaannya dalam KUH Perdata ahli waris pengganti mendapat hak dan kewajiban dalam segala hak orang yang digantikan, KHI tidak diperkenankan mendapatkan porsi melebihi bagian ahli waris yang sejajar dengan yang diganti. KUH Perdata ahli waris harus ada dan masih ada pada waktu pewaris meninggal, KHI tidak terdapat ahli waris harus ada dan masih ada pada waktu pewaris meninggal. KUH Perdata ahli waris pengganti meniadakan ashobah, KHI ahli waris pengganti masih menggunakan ashobah. KUH Perdata bagian warisan yang diterima oleh laki-laki dan perempuan adalah sama dalam hak dan kewajibannya yaitu 1:1, KHI pembagian warisan yang diterima oleh laki-laki lebih besar dari pada perempuan yaitu 2:1.
ENGLISH
Based on the development of Islam in the world nowadays, the effort of Islamic implementation is being continued. For example, find the supplementary inheritor problem solving in order to fill the justice of the inheritor. Basically, the supplementary inheritor can be the inheritor if his parent passed away earlier than the heir.
The focuses of this study are: 1. how is the position of the supplementary inheritor (plaatsvervulling) based on article 841 KUH Perdata with article 185 KHI, 2. How the the supplementary inheritor is compare (plaatsvervulling) based on article 841 KUH Perdata with the article 185 KHI.
The research use normative law method by the statue and law comparison approach. Normative law is the method that considers to the review of related literature or documents named secondary data, such as: primary legal source, secondary legal source, and tertiary legal source.
Based on result of this research, Inheritance law KUH Perdata and inheritance law KHI admit the supplementary inheritor or the inheritance changer, it proof in the article 841- 848 KUH Perdata. But, in the article 185 KHI does not allow to get the bigger potion than the inheritor. It generally means that the supplementary inheritor became a new system in the Islamic inheritance system.
The comparison of the supplementary inheritor based on two kinds of laws above show both of man and woman have similarity to become a substitute of the inheritor who died earlier than them. The scope of KUH Perdata and KHI are done only by down straight line and siding line. Whereas, the difference in KUH Perdata, the suplementary inheritor get the right and obligation in all the right’s changing person, in KHI does not allow to get the portion more than the siding inheritor’s part. KUH Perdata, the inheritor should exist, and must be exist when the heir passed away. In KUH Perdata, the suplementary inheritor abolishes ashobah, KHI, the suplementary inheritor still uses ashobah. KUH Perdata, the inheritance’s part that is received by man and woman is equal in their right and obligation, it is 1:1, KHI, the dividing of inheritance that is received by man more than woman’s part, it is 2:1.


BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang Masalah
 Undang-Undang Dasar (UUD) Negara Republik Indonesia Tahun 1945 merupakan hukum dasar tertulis (basic law) konstitusi pemerintahan negara Republik Indonesia saat ini. Sejak reformasi hingga kini, UUD 1945 telah mengalami empat kali amandemen. Pertama dilakukan pada tahun 1999, kedua pada tahun 2000, ketiga pada tahun 2001, dan keempat pada tahun 2002. Keempat kali amandemen itu dilakukan oleh Majelis Perwakilan Rakyat (MPR). Hal ini sesuai dengan ketentuan UUD 1945 bahwa mengubah dan menetapkan UUD adalah kewenangan MPR. Secara tegas UUD 1945 menjelaskan bahwa “Negara Indonesia merupakan negara kesatuan yang 2 berbentuk republik, kedaulatan berada di tangan rakyat dan berdasarkan hukum (rechstaat), bukan berdasarkan atas kekuasaan belaka (machsstaat)”. Pembukaan UUD Republik Indonesia Tahun 1945, alinea keempat menyebutkan bahwa membentuk suatu pemerintah negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum. Mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian, dan keadilan sosial. Hukum waris di Indonesia sejak dahulu sampai saat ini masih beraneka ragam bentuknya, masing-masing daerah tunduk kepada aturanaturan hukum yang berlaku kepadanya sesuai dengan ketentuan Pasal 163 IS (Indische Staatsregeling) Yo. Pasal 131 IS. Golongan penduduk tersebut terdiri dari; orang-orang Eropa dan mereka yang dipersamakan dengan orang Eropa, orang Timur Asing Tionghoa, dan orang-orang Indonesia yang menundukkan diri kepada hukum Eropa.1 Berdasarkan peraturan perundang-undangan R.I. UU No. 62/1958 dan Keppres No. 240/1957 pembagian golongan penduduk tersebut telah dihapuskan tentang hukum waris, ini dapat dilihat dalam Hukum Kewarisan Islam, Hukum Adat, dan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata). Ketiga sistem hukum ini memiliki karakteristik dan ciri khas 1 Surini Ahlan Syarif, Intisari Hukum Waris Menurut Burgerlijk Wetboek (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1983), h.10 3 masing-masing mengakibatkan terjadinya perbedaan antara yang satu dengan yang lainnya. Salah satu sistem hukum kewarisan yang dianut di Indonesia adalah sistem hukum kewarisan perdata Barat (Eropa), yang tertuang di dalam BW (Burgelijk Wet boek) atau biasa disebut KUH Perdata, di samping itu juga berlaku sistem hukum kewarisan adat dan sistem hukum kewarisan Islam.2 Kepastian dalam hukum sangatlah penting agar dapat dijadikan rujukan bersama pada hukum yang satu. Senada dengan pendapat M. Yahya Harahap menyatakan bahwa penyusunan KHI (Kompilasi Hukum Islam) adalah untuk mempositifkan hukum Islam di Indonesia, agar dijadikan pedoman oleh para hakim dalam melaksanakan tugasnya sehingga terjamin adanya kesatuan dan kepastian hukum. Lahirnya KHI, semua hakim di lingkungan Pengadilan Agama diarahkan kepada persepsi penegakan hukum yang sama.3 KHI dapat memberikan kepastian hukum materil bagi umat Islam Indonesia. Kepastian hukum dikarenakan sifatnya yang tertulis sehingga dapat dijadikan rujukan hukum Islam seperti penyelesaian sengketa dalam masalah hukum Perkawinan, Kewarisan, Hibah, Wakaf dan Wasiat. Pada kenyataannya kewarisan mengalami perkembangan yang sangat berarti bagi umat Islam di Indonesia, dan itu disebabkan oleh kebutuhan masyarakat yang semakin kompleks dan pola pemikirannya bisa berubah 2 Idris Ramulyo, Perbandingan Pelaksanaan Hukum Kewarisan Islam dengan Kewarisan menurut Hukum Perdata (BW), cet. II (Jakarta: Sinar Grafika, 2000), h. 1-2. 3 Sukris Sarmadi, Dekonstruksi Hukum Progresif Ahli Waris Pengganti dalam Kompilasi Hukum Islam (Yogyakarta: Aswaja Pressindo, 2012), h. 6 4 sesuai dengan perubahan zaman. Diantara hukum kewarisan Islam yang mengalami perkembangan adalah adanya ahli waris pengganti, yang penerapannya di negara Indonesia telah diatur dalam KHI. KUH Perdata juga mengatur bagaimana menggantikan ahli waris yang telah meninggal lebih dulu dari si pewaris melalui dua macam cara, yaitu mewarisi langsung ialah karena diri sendiri (uit eigen hoofde) dan mewarisi tidak langsung atau dengan cara mengganti (bij plaatsvervulling) ialah mewaris untuk orang yang sudah meninggal terlebih dahulu dari pada si pewaris.4 Dalam KUH Perdata, diatur dengan tegas tentang penggantian tempat ahli waris (plaatsvervulling), dalam al-Qur’an istilah ahli waris pengganti memang tidak dikenal namun kedudukan mereka sebagai ahli waris dapat diketahui melalui perluasan pengertian ahli waris langsung yang dijelaskan dalam al-Qur’an. Tentang sejauhmana perbedaan mereka sebagai ahli waris dalam hubungannya dangan ahli waris langsung yang digantikannya, baik dari segi bagian yang mereka terima maupun dari segi kekuatan kedudukannya, tidak ada petunjuk yang pasti dalam al-Qur’an maupun Hadist yang kuat. Dalam hal ini Allah menyerahkan kapada manusia untuk menentukan hukumnya.5 Ahli waris pengganti dalam hukum kewarisan Islam untuk melengkapi hukum-hukum yang telah ada dan juga bertujuan untuk mencari 4Effendi Perangin, Hukum Waris, cet. VIII (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2008), h. 11. 5Amir Syarifuddin, Pelaksanaan Hukum Waris Islam dalam Lingkungan Adat Minangkabau (Jakarta: Gunung Agung, 1984), h. 86. 5 rasa keadilan bagi ahli waris. Waris pengganti pada dasarnya adalah ahli waris karena penggantian yaitu orang-orang yang menjadi ahli waris karena orang tuanya yang berhak mendapat warisan telah meninggal lebih dahulu dari pewaris, sehingga dia tampil menggantikan.6 Jadi penggantian ahli waris pengganti sebesar bagian ahli waris yang digantikannya, untuk itu ahli waris pengganti perlu dikembangkan dalam hukum kewarisan Islam, apalagi hal ini tidak akan merugikan ahli waris lainnya. Ahli waris pengganti dalam KUH Perdata dikenal dengan nama plaatsvervulling yang diatur dalam buku II bab XII. Pasal 841 KUH Perdata dikemukakan bahwa: Penggantian memberikan hak kepada orang yang mengganti untuk bertindak sebagai pengganti dalam derajat dan dalam segala hak orang yang digantikannya. Pasal ini menggambarkan begitu absolutnya pengertian pergantian bukan hanya mengganti untuk memperoleh hak waris tetapi juga hak seperti hidupnya orang yang digantikan baik dalam derajat maupun kedudukan haknya. Pokok dalam Pasal 841 adalah bahwa dalam pergantian dalam garis lurus kebawah ternyata tanpa akhir atau terus-menerus. Ini berarti tidak dapat dihijab oleh ahli waris manapun bahkan dapat menghijab ahli waris lain karena termasuk kelompok garis turun pertama. Jadi dengan penggantian tempat itu adalah keturunan dari seseorang masuk dalam hubungan hukum yang sama seperti orang yang digantikannya. Lalu undang-undang mengatakan bahwa dia yang menggantikan tempat akan 6Ahmad Zahari, Hukum Kewarisan Islam (Pontianak: FH. Untan Press, 2008), h. 148. 6 memperoleh hak-hak dan juga kewajiban dari orang yang digantikannya, jika sekiranya ia tidak meninggal sebelum pewaris meninggal dunia. Jadi adanya ahli waris pengganti bukan hanya dikenal dalam KUH Perdata, tetapi dikenal juga dalam KHI. Dalam KHI di Indonesia hukum keluarga bagi umat Islam sebagian kecilnya masih menimbulkan pro-kontra. Salah satunya menyangkut persoalan ahli waris pengganti atau pergantian kedudukan ahli waris yang dalam ilmu hukum dikenal dengan plaatsvervulling yang termuat dalam Pasal 185 KHI. Dari ketentuan Pasal 841 KUH Perdata dan Pasal 185 KHI di atas dapat dipahami bahwa KUH Perdata dan KHI menganut ketentuan ahli waris pengganti secara penuh sebagaimana yang berlaku menurut KUH Perdata dan KHI. Berbagai macam bentuk waris diantaranya waris menurut KUH Perdata, Hukum Islam, KHI dan Hukum Waris Adat. Masing-masing hukum tersebut memiliki karakter yang berbeda dengan yang lain. Masalah warisan seringkali menimbulkan masalah dalam kehidupan sehari-hari. Masalah ini sering kali muncul karena adanya salah satu ahli waris yang merasa tidak puas dengan pembagian warisan yang diterimanya. Hal ini timbul dari sifat serakah manusia yang berkeinginan untuk selalu mendapatkan yang lebih dari apa yang telah diperolehnya. Untuk mendapatkan harta warisan sesuai dengan jumlah yang diinginkannya, para ahli waris menempuh segala cara yang dapat dilakukan untuk mencapai tujuannya, baik melalui jalan hukum maupun dengan jalan 7 melawan hukum. Jika perolehan harta warisan dilakukan dengan jalan melawan hukum, sudah tentu ada sanksi hukum yang menanti para pihak yang melakukan perbuatan itu. Akan tetapi jika perolehan harta warisan dilakukan dengan jalan sesuai dengan hukum, maka tidak akan ada sanksi hukum yang diberikan. Masalah yang timbul adalah apakah jalan hukum yang ditempuh tersebut memenuhi prinsip keadilan bagi semua pihak yang berperkara. Terutama di dalam masalah warisan, sering kali putusan yang adil bagi salah satu pihak belum tentu dianggap adil oleh pihak yang lain. Berangkat dari permasalahan inilah, penulis tertarik mengangkat tema persamaan dan perbedaan ahli waris pengganti dalam KUH Perdata dan KHI. Maka dari itu penulis merumuskannya kedalam sebuah judul “Kedudukan Ahli Waris Pengganti (Plaatsvervulling) (Studi Perbandingan Pasal 841 KUH Perdata Dengan Pasal 185 KHI). B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang diatas, maka peneliti memfokuskan pembahasan pada kajian ini dengan adanya rumusan masalah agar rumusan masalah tersebut mengarah pada judul yang telah peneliti angkat. Maka peneliti mengangkat dengan rumusan masalah. 1. Bagaimana kedudukan ahli waris pengganti (plaatsvervulling) pasal 841 KUH Perdata dengan pasal 185 KHI? 2. Bagaimana perbandingan kedudukan ahli waris pengganti (plaatsvervulling) pasal 841 KUH Perdata dengan pasal 185 KHI? 8 C. Tujuan Penelitian Berangkat dari rumusan masalah diatas, tujuan penelitian ini adalah: 1. Untuk mengetahui kedudukan ahli waris (plaatsvervulling) pasal 841 KUH Perdata dengan pasal 185 KHI. 2. Untuk mengetahui perbandingan kedudukan ahli waris pengganti (plaatsvervulling) pasal 841 KUH Perdata dengan pasal 185 KHI. D. Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangsih pemikiran bagi disiplin keilmuan secara umum dan sekurang-kurangnya bermanfaat dalam dua aspek, yaitu aspek teoritis dan praktis. Secara teoritis, penelitian ini diharapkan mampu menambah khazanah keilmuan dalam bidang hukum, khususnya dalam eksistensi hakim di Indonesia, serta penelitian ini diharapkan menjadi referensi awal munculnya penelitian yang melahirkan teori-teori kedudukan ahli waris pengganti. Secara praktis penelitian ini diharapkan mampu memberikan pemahaman kepada para akademisi hukum dan khususnya masyarakat agar mengetahui kedudukan ahli waris pengganti. E. Definisi Konseptual Untuk lebih mudahnya definisi konseptual ini untuk menjelaskan atau memahami beberapa pengertian dan kekurang jelasan makna yang berhubungan dalam penelitian ini, peneliti akan menjelaskan beberapa kata 9 pokok yang erat kaitannya dengan penelitian ini. Diantaranya adalah: 1. Waris: Berasal dari bahasa Arab Al-miirats bentuk masdar dari kata waritsa-yaritsu-irtsan-miiraatsan, yang berarti mempusakai harta. 2. Waris Pengganti: Berasal dari bahasa Belanda (Plaatsvervulling) yang berarti penggantian tempat atau ahli waris pengganti, yang dimaksudkan dalam hukum waris adalah berhubung orang yang berhak mewaris telah meninggal dunia lebih dahulu daripada pewaris. Misalnya seorang ayah meniggal lebih dahulu daripada kakek, maka cucu dari si pewaris yang meninggal itu menggantikan kedudukan ayahnya sebagai ahli waris dari kakek atau neneknya. 7 3. KUH Perdata: Aturan-aturan hukum yang mengatur tingkah laku setiap orang terhadap orang lain yang berkaitan dengan hak dan kewajiban yang timbul dari masyarakat maupun keluarga. Hukum perdata dibedakan menjadi dua, yaitu hukum perdata materiil dan hukum perdata formil. Hukum perdata materiil mengatur kepentingan-kepentingan perdata setiap subjek hukum. Hukum perdata formil mengatur bagaimana cara seseorang mempertahankan haknya apabila dilanggar oleh orang lain. 4. KHI: Fiqh Indonesia yang disusun dengan memperhatikan kondisi kebutuhan umat Islam di Indonesia. Bukan madzhab baru tetapi mengarah pada penyatuan berbagai pendapat madzhab dalam hukum Islam untuk menyatukan para hakim tentang hukum Islam. Untuk menuju kepastian 7R. Subekti dan R. Tjitrosudibio, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Jakarta: Pradana Paramita, 1999), h. 69. 10 hukum umat Islam.8 Yang lahir melaui intruksi Presiden Republik Indonesia No. 1 Tahun 1991. F. Metode Penelitian Dalam penelitian pada prinsipnya tidak terlepas dari bagaimana cara untuk mempelajari, menyelidiki, maupun melaksanakan suatu kegiatan secara sistematis. Metode penelitian adalah tata cara bagaimana suatu penelitian dilaksanakan. 9 Sebuah penelitian memerlukan cara kerja tertentu agar data dapat terkumpul sesuai dengan tujuan penelitian dan cara kerja ilmiah, yang biasa dinamakan dengan Metode Penelitian. Penggunaan metode penelitian dalam pra, proses, maupun hasil penelitian merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan. Hal ini sangat menentukan kualitas hasil penelitian.10 Berdasarkan hal ini, seorang peneliti harus menentukan dan memilih metode yang tepat agar tujuan penelitian tercapai secara maksimal. Metode penelitian ini terdiri dari : 1. Jenis Penelitian Untuk menjawab persoalan yang sudah dirumuskan dalam rumusan masalah, maka penelitian ini membutuhkan data-data deskriptif yang berupa data-data tertulis bukan angka. Jenis penelitian, sebagaimana yang diterangkan dalam buku pedoman penulisan karya tulis ilmiah Fakultas 8 Sukris Sarmadi, Dekontruksi, h.5-6. 9 Mochammad Fauzi, Metode Penelitian Kuantitatif (Semarang: Walisongo Press, 2009), h. 24. 10Saifullah, “Refleksi Penelitian : Suatu Kontemplasi Atas Pekerjaan Penelitian”, http://www.uinmalang.ac.id/:refleksi-penelitian/, diakases tanggal 13 November 2013. 11 Syariah UIN Maliki Malang adalah menjelaskan tentang jenis penelitian yang dipergunakan dalam melakukan penelitian. Maka dilihat dari jenis penelitiannya, penelitian ini termasuk dalam kategori penelitian hukum normatif. Penelitian hukum normatif, sebagaimana dijelaskan oleh Soerjono Soekanto adalah penelitian hukum normatif yang diteliti hanya bahan pustaka atau data sekunder.11 Maka didalam penelitian ini, data sekunder yang dimaksud adalah Ahli Waris Pengganti dalam KUH Perdata dengan KHI. Amiruddin dan Zainal Asikin merinci lebih jauh lagi tentang jenis penelitian normatif, maka menurut mereka penelitian ini tergolong kedalam penelitian Hukum Klinis, yang dimaksud dengan penelitian hukum klinis yaitu diawali dengan mendiskripsikan legal facts, kemudian mencari pemecahannya melalui analisis yang kritis terhadap norma-norma hukum positif yang ada, dan selanjutnya menemukan in concreto untuk menyelesaikan suatu perkara hukum tertentu.12 Dalam penelitian ini peneliti berusaha untuk mengetahui kedudukan ahli waris pengganti (Plaatsvervulling) menurut KUH Perdata dengan KHI guna menemukan penyelasaian masalah tersebut. 2. Pendekatan Penelitian Sebagai konsekuensi peneliti memilih sebuah permasalahan yang akan dikaji dalam penelitian ini objeknya adalah permasalahan hukum, sedangkan hukum adalah kaidah atau norma yang ada dalam masyarakat, 11Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum (Jakarta: UI. Press, 1986), h. 52. 12Amiruddin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2006), h. 125-126. 12 maka tipe yang akan peneliti gunakan adalah penelitian hukum normatif. Kegiatan untuk menjelaskan hukum tidak diperlukan dukungan data atau fakta-fakta sosial, sebab ilmu hukum normatif tidak mengenal data atau fakta sosial yang dikenal hanya bahan hukum, jadi untuk menjelaskan hukum atau untuk mencari makna dan memberi nilai akan hukum tersebut hanya digunakan konsep hukum dan langkah-langkah yang ditempuh adalah langkah normatif.13 Penelitian hukum normatif merupakan penelitian hukum dengan mengutamakan bahan pustaka atau dokumen yang disebut dengan data sekunder, yang berupa bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier. Di dalam bukunya Peter Mahmud Marzuki, hukum normatif terdapat lima pendekatan.14 Pertama pendekatan undang-undang (statute approach), Kedua pendekatan kasus (case approach), Ketiga pendekatan historis (historical approach), Keempat pendekatan komparatis (comparative approach), dan Kelima pendekatan konseptual (conceptual approach). Dari kelima pendekatan hukum normatif, maka metode pendekatan yang digunakan oleh peneliti menggunakan pendekatan undang-undang karena yang akan diteliti adalah berbagai aturan hukum yang menjadi fokus sekaligus tema sentral suatu penelitian.15 13Bahder Johan Nasution, Metode Penelitian Hukum (Bandung: CV Mandar Maju, 2008), h. 87. 14Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum (Jakarta: Kencana, 2007), h. 93. 15Johnny Ibrahim, Teori & Metodologi Penelitian Hukum Normatif (Malang: Bayumedia Publishing, 2007), h. 302. 13 Sedangkan dalam bukunya Amiruddin dan Asikin, penelitian hukum normatif dapat dibagi 7 (tujuh) jenis.16 Pertama penelitian inventarisasi hukum positif, Kedua penelitian asas-asas hukum, Ketiga penelitian hukum klinis, Keempat penelitian hukum yang mengkaji sistematika peraturan perundang-undangan, Kelima penelitian yang ingin menelaah sinkronisasi suatu peraturan perundang-undangan, Keenam penelitian perbandingan hukum, dan Ketujuh penelitian sejarah hukum. Dari ketujuh jenis penelitian hukum normatif, jadi metode yang digunakan oleh peneliti adalah jenis penelitian perbandingan hukum. Penelitian jenis ini bertujuan, untuk mengetahui persamaan dan perbedaan masing-masing sistem hukum yang diteliti. Jika ditemukan persamaan dari masing-masing sistem hukum tersebut, dapat dijadikan dasar unifikasi sistem hukum. Namun jika ada perbedaan, dapat diatur dalam hukum antar tata hukum.17 Karena penelitian yang diteliti mengenai kedudukan ahli waris pengganti (Plaatsvervulling) (studi perbandingan pasal 841 KUH Perdata dengan pasal 185 KHI). 3. Bahan Hukum Sumber data seperti yang didefinisikan oleh Suharsimi Arikunto adalah subjek dari mana sebuah data bisa diperoleh.18 Inti dari sebuah penelitian adalah menemukan data, oleh karena itu keberadaannya sangat penting dalam penelitian. Dalam penelitian hukum normatif, sumber 16Amiruddin dan Zainal Asikin, Pengantar, h. 120-131. 17Amiruddin dan Zainal Asikin, Pengantar, h. 130. 18Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktek (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2006), h. 129. 14 hukum yang digunakan adalah meliputi data sekunder. Data sekunder adalah data yang tidak berasal langsung dari sumbernya. Dalam penelitian hukum, data-data sekunder meliputi: a. Bahan hukum primer yang terdiri dari bahan-bahan hukum yang mengikat, seperti norma atau kaidah dasar, peraturan dasar, peraturan perundang-undangan, yurisprudensi, traktat dan lain sebagainya. b. Bahan hukum sekunder yaitu bahan yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer, seperti rancangan undang-undang, hasil-hasil penelitian, hasil karya dari kalangan hukum, dan seterusnya. c. Bahan hukum tersier yakni bahan yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, seperti kamus (hukum), ensiklopedia, indeks kumulatif, dan seterusnya. 19 Namun dalam penelitian ini, adapun dari bahan hukum diatas, yang akan dijadikan bahan hukum primer mencakup kitab-kitab ahli waris, seperti KUH Perdata, dan KHI. Sedangkan bahan hukum sekunder, yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer, diantaranya Pokok-pokok Hukum Perdata, dan bahan hukum lain dapat diperoleh dari hasil dari penelitian mencakup buku, jurnal, naskah-naskah catatan, dokumen, artikel, internet, bahan seminar, dan lain-lain yang berkaitan dengan pembahasan waris. 19Soerjono Soekanto, Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada), h. 13. 15 Bahan hukum tersiernya adalah bahan-bahan yang memberikan petunjuk atau memberi penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder, contohnya ensiklopedia hukum Islam, kamus hukum, kamus besar bahasa Indonesia, kamus Arab-Indonesia, indeks majalah hukum, dan lain sebagainya. 4. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum Dalam pengumpulan bahan hukum yang berkaitan dengan penelitian ini, ditempuh melalui library research (penelitian kepustakaan) dengan mengkaji buku-buku atau karya ilmiah yang berkaitan dengan masalah penelitian, mengkaji literatur-literatur tersebut di ambil atau di dapat dari sumber bahan primer, bahan sekunder dan bahan tersier. Penelitian kepustakaan merupakan penelitian hukum normatif sehingga data yang di gunakan adalah bahan sekunder bukan angka. Oleh karena pada penelitian hukum normatif, bahan pustaka merupakan bahan dasar yang dalam (ilmu) penelitian di golongkan sebagai bahan sekunder.20 Bahan sekunder di bidang hukum (di pandang dari sudut kekuatan mengikatnya), begitu juga dengan bahan tersier. Objek yang diteliti, yaitu tentang kedudukan ahli waris pengganti menurut pasal 841 KUH Perdata dengan pasal 185 KHI. 20Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif (Jakarta: Rajagrafindo Persada, 2004), h. 24. 16 5. Teknik Pengolahan Bahan Hukum Pengolahan bahan merupakan cara di mana bahan yang di olah untuk lebih menjelaskan pengertian yang dapat di cerna menjadi pengertian yang utuh, dan dalam hal ini dapat di uraikan sebagai berikut: a. Edit (Editing) Peneliti melakukan penelitian kembali dari berbagai bahan hukum yang diperoleh dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder maupun bahan hukum tersier yang berkaitan dengan kedudukan ahli waris pengganti. Aspek kelengkapan bahan hukum tersebut serta kejelasan makna dan kesesuaian serta relevansinya dengan bahan hukum yang lain harus dipenuhi. Tujuan dari semua itu agar apakah bahan hukum yang ada mengenai kedudukan ahli waris pengganti tersebut sudah mencukupi untuk memecahkan permasalahan yang sedang diteliti atau belum. Selain itu untuk mengurangi kesalahan serta kekurangan bahan hukum dalam penelitian dan berusaha meningkatkan kualitas bahan hukum penelitian. b. Klasifikasi (Classifying) Pengklasifikasian dari bahan-bahan kemudian dicocokkan dengan penelitian yang ada sehingga mempermudah membandingkan teori yang akan di kemukakan. Tanpa klasifikasi bahan, tidak ada jalan untuk mengetahui apa yang dianalisis. Klasifikasi itu menyusun dan menyeleksi bahan yang diperoleh antara bahan dan non bahan, kemudian diklasifikasikan sesuai dengan permasalahan yang ada. 17 c. Analisis (Analyzing) Bahan yang di peroleh kemudian di rumuskan dan di tuangkan ke dalam suatu rancangan konsep untuk kemudian di jadikan dasar utama dalam memberikan perbandingan. Inti dari analisa terletak pada proses yang berkaitan dengan mendeskripsikan fenomena, mengklasifikasikan, dan melihat bagaimana konsep-konsep yang muncul itu satu dengan lainnya berkaitan. Bertujuan agar semua data mentah yang telah diperoleh bisa dipahami dengan mudah dan sederhana serta bisa memecahkan permasalahan yang telah diteliti. d. Kesimpulan (Concluding) Langkah terakhir adalah konklusi atau penarikan kesimpulan, yakni dengan cara menganalisa bahan secara komprehensif serta menghubungkan makna bahan yang ada dalam kaitannya dengan masalah penelitian. Langkah terakhir ini harus di lakukan secara cermat dengan meneliti kembali bahan-bahan yang telah di peroleh. 6. Teknik Analisis Bahan Hukum Setelah pengumpulan bahan hukum, dilanjutkan dengan penganalisaan bahan tentang kedudukan ahli waris pengganti (Plaatsvervulling) Pasal 841 KUH Perdata dengan Pasal 185 KHI . Dalam menganalisa bahan, peneliti menggunakan metode sebagai berikut: 18 a. Metode Komparatif Yaitu, metode yang digunakan untuk menemukan persamaanpersamaan dan perbedaan-perbedaan tentang benda-benda, tentang orang, tentang prosedur, kerja, tentang ide-ide, kritik terhadap orang, kelompok, terhadap suatu idea tau suatu prosedur kerja.21 Maka kaitannya dengan penelitian ini ialah kedudukan ahli waris pengganti Pasal 841 KUH Perdata dengan Pasal 185 KHI sehingga tampak jelas kedudukan ahli waris pengganti diantara dua kitab undang-undang tersebut dan peneliti dapat menarik kesimpulan dari dua hukum tersebut. b. Metode Deduktif Yaitu cara berpikir dari kesimpulan atau keputusan umum untuk memperoleh kesimpulan atau keputusan khusus. Menarik kesimpulan khusus dari kesimpulan umum.22 Metode ini digunakan untuk menganalisa kedudukan ahli waris pengganti Pasal 841 KUH Perdata dengan Pasal 185 KHI. Sehingga nanti akan diketahui kedudukan ahli waris pengannti itu. G. Penelitian Terdahulu Sub bab ini berisi informasi tentang penelitian terdahulu yang telah dilakukan peneliti-peneliti sebelumnya, baik dalam bentuk buku yang sudah 21Suharismi Arikunto, Prosedur Penelitian Suatu pendekatan Praktik (Jakarta: PT Rineka Cipta, 1998), h. 247. 22Komaruddin, Kamus Istilah Skripsi dan Tesis (Bandung: Angkasa, 1993), h. 30. 19 diterbitkan maupun masih berupa desertasi, tesis, atau laporan yang belum diterbitkan; baik secara subtansial maupun metode-metode, mempunyai keterkaitan dengan permasalahan penelitian guna menghindari duplikasi dan selanjutnya harus dijelaskan atau ditunjukkan keorisinilan penelitian ini serta perbedaannya dengan penelitian-penelitian sebelumnya. Untuk menunjukkan orisinalitas penelitian yang akan dilakukan oleh peneliti ini, akan dicantumkan beberapa penelitian yang satu tema terlebih dahulu.23 Dalam bentuk Skripsi, yang berjudul “Putusan Hakim Terhadap Kedudukan Waris Pengganti (Plaatsvervulling) (Study Perkara Nomor 1609/Pdt.G/1998/PA.BL)”. 24 Penelitian yang dilakukan oleh Badrut Tamam pada tahun 2006, Fakultas Syariah UIN Maulana Malik Ibrahim Malang, Jurusan Al-Ahwal Al-Syakhshiyyah. Dalam penelitian tersebut disimpulkan bahwa putusan hakim terkait dengan kedudukan waris pengganti menurut asas legalitas dan equality, ada yang mengatakan bahwa ahli waris pengganti terkait dengan aturan hukum yang namanya asas legalitas, artinya sejak kapan diberlakukannya KHI yang mengatur tentang ahli waris pengganti, sementara KHI lahir pada tahun 1991 pada hal pewaris meninggal pada tahun 1986, maka majelis hakim berpendapat bahwa barang tersebut benar-benar dan nyata belum dibagi waris bagi para ahli waris yang sah, maka barang itu harus dibagi kepada ahli waris yang sah secara hukum. Hakim berpijak pada 23Tim Penyusun, Buku Pedoman Penulisan Karya Ilmiah (Malang: Fakultas Syari’ah UIN, 2012), h.42. 24Badrut Tamam, Putusan Hakim Terhadap Kedudukan Waris Pengganti (Plaatsvervulling) (Study Perkara Nomor 1609/Pdt.G/1998/PA.BL), Skripsi S1 (Malang: Fakultas Syari’ah UIN, 2006). 20 hukum Islam, juga hakim berijtihad semata-mata untuk menyelesaikan perkara dengan tidak mengurangi kebenaran hukum dan keadilan hukum. Penelitian dalam bentuk Skripsi, yang berjudul “Studi Pasal 185 Kompilasi Hukum Islam Tentang Waris Pengganti (Sebuah Tinjauan Maslahah)”. 25 Penelitian yang dilakukan oleh Fenky Permadhi pada tahun 2011, Fakultas Syariah UIN Maulana Malik Ibrahim Malang, Jurusan AlAhwal Al-Syakhshiyyah. Dalam penelitian ini disimpulkan bahwa konsep ahli waris pengganti menurut KHI berdasarkan kepada al-Qur’an surah anNisa’ ayat 33. Hal ini merupakan gagasan pembaharuan hukum dari Prof. Hazairin. Konsep ahli waris pengganti menurut KHI dapat terjadi apabila orang yang menghubungkannya kepada pewaris sudah meninggal lebih dahulu dari pewaris, yang termasuk ahli waris pengganti adalah semua keturunan ahli waris yang meninggal lebih dahulu dari pewaris, jumlah bagian yang diterima waris pengganti tidak boleh melebihi dari bagian yang seharusnya diganti. Sedangkan jika dilihat melalui tinjauan mashlahah, kedudukan ahli waris pengganti sangat relevan untuk mengatasi problem kedudukan ahli waris baik dari segi sumber hukumnya karena al-Qur’an dan Hadits tidak secara eksplisit menjelaskan hal tersebut, maupun segi kemaslahatan yang ingin dicapai setelah diberlakukannya konsep mashlahah tersebut. Imam Malik mengemukakan kedudukan ahli waris pengganti bukanlah suatu hal yang bertentangan dengan maqashid al-syari’ah (tujuan- 25Fenky Permadhi, Studi Pasal 185 Kompilasi Hukum Islam Tentang Waris Pengganti (Sebuah Tinjauan Maslahah), Skripsi S1 (Malang: Fakultas Syari’ah UIN, 2011). 21 tujuan syariah), bahkan sebaliknya kedudukan tersebut menimbulkan kemaslahatan untuk cucu (keterunan pewaris). Kemudian penelitian dalam bentuk Skripsi, yang berjudul “Analisis Hukum Penetapan Ahli Waris Pengganti Menurut Kompilasi Hukum Islam (Studi Kasus Penetapan Pengadilan Agama Makassar Nomor 3/Pdt.P/2011/PA.Mks)”. 26 Penelitian yang dilakukan oleh Risma Damayanti Salam, pada tahun 2013, Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin Makassar. Di dalam penelitian ini di jelaskan bahwa kedudukan cucu sebagai ahli waris pengganti dalam sistem kewarisan Islam menurut KHI berdasarkan Penetapan Pengadilan Agama Makassar Nomor 3/Pdt.P/2011/PA.Mks adalah dapat mengantikan kedudukan orang tuanya sebagai ahli waris karena berdasarkan Pasal 185 ayat (1), seseorang dapat mewaris kerena penggantian tempat adalah orang yang digantikan oleh anaknya tersebut harus sudah meninggal dunia lebih dahulu dari pewaris serta orang yang digantikan oleh anaknya tersebut merupakan ahli waris andaikata ia masih hidup. Pertimbangan Hakim dalam menetapkan ahli waris pengganti dalam Penetapan Pengadilan Agama Makassar No. 3/Pdt.P/2011/PA.Mks sudah sesuai dengan KHI Pasal 185. H. Sistematika Penulisan Sebagai bukti dan sebagai jaminan bahwa pembahasan dalam penelitian ini benar-benar mengarah, penulis membatasinya penelitian ini 26Risma Damayanti Salam, Analisis Hukum Penetapan Ahli Waris Pengganti Menurut Kompilasi Hukum Islam (Studi Kasus Penetapan Pengadilan Agama Makassar Nomor 3/Pdt.P/2011/PA.Mks), Skripsi S1 (Makassar: Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin, 2013). 22 dalam 4 (empat) bab. Dan masing-masing bab terdiri dari beberapa sub bab yang berkesinambungan antara satu dengan lainnya. Adapun sistematika penelitian ini adalah: Bab I merupakan pendahuluan. Bab ini memuat beberapa elemen dasar penelitian ini, antara lain: latar belakang masalah yang menjadi kegelisahan akademik penulis. Dari latar belakang itulah kemudian dirumuskan sebuah pertanyaan yang menjadi rumusan masalah yang akan dikaji dalam penelitian ini dan tentu saja rumusan tersebut akan dijawab melalui tujuan penelitian. Begitu juga metode penelitian yang penulis gunakan, kemudian diakhiri dengan sistematika penulisan sebagai gambaran umum dari penelitian ini. Bab II merupakan tinjauan umun terhadap ahli waris pengganti. Dalam bab ini peneliti akan membagi dua sub bab. Pertama, menguraikan tentang kewarisan yang ada di Indonesia, kewarisan KUH Perdata, dan kewarisan KHI. Kedua, menguraikan tentang ahli waris pengganti menurut KUH Perdata dengan KHI. Bab III berisikan tentang analisis yang terkait dengan rumusan masalah yang sudah diutarakan diawal yang memuat kedudukan dan perbandingan ahli waris pengganti (plaatsvervulling) pasal 841 KUH Perdata dengan pasal 185 KHI. Bab IV ini berisikan tentang Simpulan dan Saran. Dalam bab ini penulis akan merangkum hasil dari keseluruhan dari penelitiannya. Simpulan ini pada dasarnya adalah jawaban dari rumusan yang telah ada sebelumnya. 23 Dilanjutkan dengan memberikan saran, baik untuk peneliti selanjutnya ataupun kepada instansi terkait sebagai bahan pertimbangan.

Untuk Mendownload Skripsi "Skripsi al-Ahwal al-Syakhshiyyah" : Kedudukan ahli waris pengganti (plaatsvervulling): Studi perbandingan Pasal 841 KUH Perdata dengan Pasal 185 KHI." Untuk Mendownload skripsi ini silakan klik link dibawah ini
DOWNLOAD

Artikel Terkait:

No comments:

Post a Comment