Jasa Pembuatan Skripsi

Jasa Pembuatan Skripsi
Jasa Pembuatan Skripsi

Saturday, August 19, 2017

Jasa Buat Skripsi: download Skripsi Pendidikan Agama Islam:Komparasi konsep pengajaran antara Al-Ghazali dan John Dewey

Abstract

INDONESIA:
Pengajaran merupakan hal penting dalam proses belajar mengajar untuk meningkatkan harkat dan martabat manusia. Pengajaran Sebagai sarana penting dalam usaha membangun sumber daya manusia dan penanaman nilai-nilai kemanusiaan sehingga tercipta manusia yang memiliki moral, berkepribadian, memiliki kecerdasan, berakhlak mulia, serta memiliki keahlian dan keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. Untuk mewujudkan hal tersebut perlu adanya sebuah konsep pengajaran yang mapan untuk dijadikan acuan yang paten. Konsep pengajaran yang dimaksud adalah konsep pengajaran ideal.
Dalam penulisan skripsi ini, digunakan pendekatan kualitatif deskriptif. Adapun jenis penelitian ini adalah studi kepustakaan (library reseach). Metode pengggumpulan datanya menggunakan metode dokumentasi, dan analisa datanya menggunakan analisis isi (content analisis) Adapun metode analisa datanya dalam skripsi ini menggunakan metode diskripsi, deduksi, induksi, kesinambungan historis dan serta menggunakan metode komparasi. Sedangkan tekhnik pemeriksaan keabsahan data menggunakan triangulasi.
Hasil penelitian ini adalah (1) Pemikiran pengajaran Al-Ghazali bercorak religius-etik. Corak tersebut dipengaruhi oleh penguasaannya di bidang sufisme, dalam kepribadiannya penuh nilai-nilai Islami, ajaran tasawuf dan metafisika. Ia lebih menekankan pada budi pekerti dan spiritualitas manusia. Tujuan pengajarannya adalah taqarrub kepada Allah yang bermuara pada kebahagiaan dunia dan akhirat, mengembangkan potensi manusia serta membentuk manusia yang berakhlak. Dalam rumusan garis-garis kebijakan dalam rencana pengajarannya sesuai dengan klasifikasi kelompok, golongan, nilai nilai materi pelajaran, secara hirarkis sesuai dengan tingkat manfaat dan bahaya yang ditimbulkannya. Dan metode dianjurkan menggunakan metode yang bervariasi dan harus disesuaikan dengan usia, karakter dan daya tangkap siswa. Adapun macamnya ada dua: pengajaran agama meliputi hafalan, pemahaman, keyakinan, dan pembenaran; metode pengajaran akhlak yakni metode keteladanan dan metode pembiasaan, Serta diikuti dengan evaluasinya. (2) pemikiran Konsep yang ditawarkan oleh John Dewey bersifat radikal, lebih mengedepankan kebebasan manusia secara mutlak. Dikatakan radikal karena berangkat dari perjuangannya yang melawan berbagai bentuk pengajaran yang tidak berdasarkan pada keinginan peserta didik. Menurutnya manusia sebagai subyek yang mampu merubah realitas. Ia lebih mengandalkan pada kebebasan manusia secara mutlak, tanpa adanya pengakuan bahwa penciptanya yang memiliki hak mutlak tersebut. Dalam rumusan garis-garis kebijakan dalam rencana pengajarannya penuh pertimbangkan, penyesuaian sungguh-sungguh dalam hubungan antara cabang-cabang pengetahuan dengan keadaan kapasitas pengalaman peserta didik. Metodenya pun juga tidak mengesankan pada penanaman nilai-nilai budi pekerti, ia lebih mengarah pada pengajaran yang kontekstual, non naratif dan lebih pada realitas kehidupan. Metode yang ia gunakan adalah metode problem solving, learning by doing dan metode disiplin; serta diikuti dengan evaluasi, reflektif, observasi, riwayat hidup dan expresiv (3) Komparasi dari pengajaran Al-Ghazali dan John Dewey dapat dilihat dari sisi persamaan maupun perbedaannya. Persamaannya secara ekplisit terletak pada pengakuannya tentang eksistensi manusia yang mana dengan fitrah, impulse kemanusiaannya mampu melakukan sesuatu untuk tujuan hidupnya. Selain itu keduanya sama-sama muncul dari sosio-kultural yang inhuman (kolonialisasi pemikiran). Sehingga pendapat-pendapat yang digunakan bersumber dari kenyataan dalam hidup dan pengalaman mereka masing-masing. Perbedaannya adalah Al-Ghazali dalam pemikirannya memiliki corak religius- etik, ia mencetuskan konsep berbasis Islami, yang menekankan pada sisi spiritualitas dan nilai-nilai moral. Sedangkan John Dewey dengan corak radikalnya mencetuskan konsep pengajaran pembebasan (demokrasi) dalam usaha kesadaran kritis menuju humanisasi.
Akhirnya, skripsi ini bermuara pada harapan bahwa pengajaran lebih memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk belajar hidup, dalam prosesnya memberikan kesempatan berefleksi kepada siswa atas setiap pengalaman yang diperolehnya. Hal ini tidak hanya tanggung jawab guru sebagai pendidik, namun lebih jauh merupakan tanggung jawab bersama antara keluarga, masyarakat dan sekolah. Mudah-mudahan konsepsi ini dapat menjadi masukan yang berarti bagi masa depan guru.


BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang Masalah
Manusia sebagai mahluk yang berpikir atau “homo sapiens” mahluk yang berbentuk “homo faber” mahluk yang dapat di didik/perkembang “homo educandum” dan dengan kedudukannya sebagai mahluk yang berbeda dengan mahluk lainnya haruslah menempatkan manusia sebagai pribadi yang utuh dalam kaitannya dengan kepentingan perkembangan kognitif, psikomotorik dan afektif. 1 Nilai dasar menjadi manusia sesungguhnya adalah berfungsinya potensi dasar manusia secara optimal sehingga sanggup menjalankan aktifitas kehidupan, dan cara untuk mengoptimalisasi, tidak lain melalui rangsangan pengajaran dan pendikan. Manusia dapat menjadi manusia karena pengajaran dan pendidikan. 2 pengajaran maupun pendidikan pada hakikatnya merupakan proses budaya untuk meningkatkan harkat dan martabat manusia. Ini menunjukkan bahwa manusia akan menjadi manusia karena pegajaran maupun pendidikan. atau dengan kata lain bahwa pegajaran maupun pendidikan berfungsi untuk memanusiakan manusia. 3 1 Sunarto Dan Agung Hartono, Perkembangan Peserta Didik. Cetakan: 1 (Jakarta: PT Rineka Cipta, 1999), hlm. 2-3 2 Moh. Shofan, Pendidikan Berparadigma Profetik, Upaya Konstruktif Membongkar Dikotomi Sistem Pendidikan Islam (Jogjakarta: IRCISOD, 2004), hlm. 143. 3 A. Weherno Susanto, “Pendidikan Dan Peningkatan Martabat Manusia”, Jurnal Pendidikan, Tarbiyah IAIN Sunan Ampel Malang No. 39 th. XIII, Juli- September, 1995, hlm. 36. 1 18 Di dalam pengajaran maupun pendidikan itulah terjadi proses interaksi belajar mengajar antara guru dan murid untuk mendapatkan transfer kognitif, psikomotorik dan afektif sehingga orang yang melakukan proses interaksi pengajaran maupun pendidikan tersebut menjadi manusia yang utuh. Manusia yang secara utuh adalah manusia sebagai pribadi yang merupakan pengejawantahan manunggalnya berbagai ciri atau karakter hakiki atau sifat kudrati manusia yang seimbang antar berbagai segi, yaitu antara segi individu dan social, jasmani dan rohani, dunia dan akhirat. Keseimbangan hubungan tersebut menggambarkan keselarasan hubungan antara manusia dengan dirinya, manusia dengan sesama manusia, manusia dengan alam sekitar atau lingkugnannya, dan manusia dengan tuhan merupakan hal yang secara mutlak disandang oleh manusia, sehingga setiap manusia pada dasarnya sebagai pribadi atau individu yang utuh.
 Sampai saat ini proses interaksi pengajaran maupun pendidikan juga masih dianggap sebagai kekuatan utama dalam komunitas sosial untuk mengimbangi laju berkembangnya ilmu pengetahuan dan tekhnologi.  Pengembangan eksistensi pengajaran maupun pendidikan menuntut sistem pengajaran maupun pendidikan yang lebih dinamis dan lebih responsif terhadap berbagai persoalan dan perubahan dalam dunia proses interaksi pengajaran maupun pendidikan. Dalam hal ini, mungkin orang akan mempertanyakan konsep filosofik yang melandasi sistem proses interaksi pengajaran maupun pendidikan yang sedang dilaksanakan atau 4 Sunarto Dan Agung Hartono, Perkembangan Peserta Didik, Cetakan: 1 (Jakarta: PT Rineka Cipta, 1999) hlm. 2-3 5 A. Malik Fadjar, Holistika Pemikiran Pendidikan (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2005), hlm. V 19 mungkin juga konsep-konsep operasionalnya ditinjau dan di kritik serta di perbaharui agar tetap relevan dengan tuntutan perubahan dan perkembangan kehidupan manusia. 6 Dalam UU RI No. 20 tahun 2003 tentang SISDIKNAS, bab I pasal 1 dijelaskan bahwa pengajaran maupun pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses belajar mengajar agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kpribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. 7 Akan tetapi selama ini yang terjadi adalah betapa proses interaksi pengajaran maupun pendidikan selalu tidak sejalan dengan kenyataan yang di hadapi oleh siswa maupun anak didik, maupun tingkat lokal. Padahal proses pengajaran maupun pendidikan sesungguhnya dijalankan dalam rangka untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan akan sumber daya manusia yang (minimal) sanggup menyelesaikan persoalan lokal yang melingkupinya. Dalam artian, setiap proses seharusnya mengandung berbagai bentuk pelajaran dengan muatan lokal yang signifikan dengan kebutuhan masyarakat. Sehingga out put pengajaran maupun pendidikan adalah manusia yang sanggup memetakan sekaligus memecahkan masalah yang sedang dihadapi masyarakat. 8 6 Munzir Hitami, Mengonsep Kembali Pendidkan Islam (Yogyakarta: Infinite Press, 2004) hlm. 1. 7 Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional Nomor 20 Tahun 2003 (Bandung: Fokus Media, 2003), hlm. 3. 8 Firdaus M.Yunus, Pendidikan Berbasis Realitas Sosial, Paulo Friere & YB. Mangun Wijaya (Jogjakarta: Logung Pustaka, 2005) hlm. X. 20 Mangun Wijaya, mengatakan bahwa pengajaran maupun pendidikan di dalam paradigma neokolonial Indonesia saat ini hanya diajukan demi fungsi terhadap kebutuhan penguasa, tidak demi masyarakat. Sehingga setiap pengambilan keputusan selalu harus menunggu datang dari penguasa, masyarakat tidak pernah menjadi pemikir yang kreatif dan terampil untuk setiap saat mengadakan penyesuaian dalam perbagai alternatif yang mungkin.
 Meminjam istilah Azyumardi Azra, terjadi semacam situasi anomaly atau bahkan krisis identitas ideologis. 10 Sistem proses interaksi pengajaran maupun pendidikan di Indonesia sudah memiliki ideologi sendiri, yaitu pancasila. Namun implementasinya dalam penyelenggaraan pengajaran maupun pendidikan, walaupun sudah ada Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional, masih belum jelas arahnya. Terbukti masih banyak mengadopsi strategi dari ideologi pengajaran dan pendidikan lain. Dengan pertimbangan menghadapi globalisasi memanfaatkan strategi orang lain sah-sah saja, dengan maksud untuk meningkatkan mutu proses interaksi pengajaran maupun pendidikan nasional yang saat ini tertinggal dari negara-negara lain selama strategi itu tidak menggoyahkan ideologi sendiri, maka tidak masalah. 11 Hasil investigasi dari beberapa lembaga internasional yang menunjukkan bahwa proses interaksi pengajaran maupun pendidikan di Indonesia memiliki kwalitas yang masih sangat rendah. Penyebab rendahnya kwalitas pengajaran maupun pendidikan di Indonesia ini, menurut penelitian Darmaningtyas, karena 9 Firdaus M. Yunus, Ibid, hlm. 10. 10 Azyumardi Azra, Pendidikan Islam Tradisi Dan ModernisasiMenuju Millenium Baru (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 2001), hlm. 33. 11 Achmadi, Ideologi Pendidikan Islam Paradigma Humanisme Teosentris (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), hlm. 9. 21 pengajaran maupun pendidikan (hanya) dijadikan alat untuk melanggengkan kekuasaan dan mendukung ideology militeristik. Karena itulah menurut H. A. Tilaar, proses interaksi pengajaran maupun pendidikan yang dikembangkan orde baru tidak mungkin dapat melahirkan generasi yang ideal. Sebaliknya melalui pengajaran maupun pendidikan seseorang malah masuk perangkap setan, anak kehilangan kejujuran, tipisnya rasa kemanusiaan, kurangnya jiwa makarya, hilangnya pribadi yang mandiri dan rendahnya disiplin diri. 12 Strategi pembangunan yang mengadopsi barat dan meletakkan model kapitalisme sebagai kiblat yang harus ditiru telah memberikan implikasi terciptanya masyarakat yang hedonistik, individualistik dan materialistik. 13 Padahal tujuan pengajaran maupun pendidikan yang diharapkan tidak seperti itu, sesuai dengan Undang-Undang NO. 20 Tahun 2003, Bab II Pasal 3 tentang Sistem Pendidikan Nasional dijelaskan bahwa pengajaran maupun pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. 14 12 Nurul Huda, Cakrawala Pembebasan Agama, Pendidikan Dan Perubahan Sosial (Yogyakarta: Fajar Pustaka Baru, 2002), hlm. 150-151. 13 Muslih Musa, Pendidikan Islam Di Indonesia Antara Cita Dan Fakta (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1991), hlm. 10. 14 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2005 Tentang Guru Dan Dosen Serta Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional (Bandung: Citra Umbara, 2006), hlm. 76. 22 Disisi lain, dalam pasal 31 UUD 1945 ayat (1) disebutkan bahwa setiap warga negara berhak mendapatkan pengajaran maupun pendidikan. Dalam ayat (4) juga disebutkan bahwa Negara memprioritaskan anggaran pendidikan skurang-kurangnya dua puluh persen dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara serta dari Pendapatan dan Belanja Daerah untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional. 15 Tetapi pada kenyataannya pendidikan nasional untuk saat ini sepertinya semakin jauh dari visi kerakyatan. Bahkan dengan gerakan otonomi sekolahsekolah tinggi semakin jelas menunjukkan gejala kapitalisme pendidikan. Saat ini pengajaran maupun pendidikan dikelola dengan menggunakan manajemen bisnis yang kemudian menghasilkan biaya yang melangit. Biaya pendidikan makin mahal, bahkan terkesan telah menjadi komoditas bisnis bagi kaum pemilik modal (kapitalis). 16 Dengan menggunakan label "sekolah unggulan", "sekolah favorit", sekolah panutan dan sebagainya biaya pendidikan semakin mencekik "wong cilik". Pendidikan kita semakin menindas terhadap kaum marginal.
Rakyat lemah tidak lagi mampu mengenyam pengajaran maupun pendidikan bermutu akibat mahal-nya biaya pendidikan itu. Kita tentunya masih ingat dengan kasus Haryanto, seorang murid Sekolah Dasar Muara Sanding VI Garut yang putus asa lalu bunuh diri dengan menggantung diri akibat tidak mampu membayar biaya kegiatan ekstrakurikuler. Orang tuanya tidak mampu memberikan biaya kegiatan yang hanya sebesar dua 15 Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Dan Amandemennya (Bandung: Fokus Media, 2004), hlm. 23. 16 Mu'arif, Wacana Pendidikan Kritis Menelanjangi Problematika, Meretas Masa Depan Pendidikan Kita (Jogjakarta: IRCISOD, 2005), hlm. 115. 23 ribu lima ratus rupiah. Ia kemudian putus asa lalu menggantung diri. Inilah salah satu dari sekian potret kaum marginal yang serba dalam kesulitan. 17 Akibat eksklusivitas pengajaran maupun pendidikan tersebut, masyarakat miskin pun menjadi sulit untuk mengubah kehidupannya. Mereka pun akhirnya sering diidentikkan dengan kebodohan. Parahnya, sifat fatalistik yang begitu kuat melekat pada masyarakat kita menyebabkan kemiskinan dianggap sebagai nasib atau takdir yang harus diterima. Masyarakat miskin dengan tabah menjalani nasibnya, tanpa ada perlawanan terhadap sistem yang telah membuat mereka miskin. Seharusnya kondisi ini tidak terjadi, jika masyarakat kita sadar bahwa kemiskinan itu bisa dicegah melalui proses pengajaran maupun pendidikan.yang dibangun dari komunitasnya sendiri. pengajaran maupun pendidikan seharusnya menjadi alat perlawanan bagi kaum tertindas untuk melawan kemiskinan dan kesewenang-wenangan dari penguasa yang tidak berpihak pada rakyat jelata. Menurut aktivis pendidikan Boy Fidro, pengajaran maupun pendidikan seharusnya menjadi alat untuk membangun kesadaran yang kritis, sehingga dia menjadi individu yang begitu peka terhadap lingkungannya. Jika masyarakat kita sudah mencapai kesadaran maka mereka tidak akan lagi memposisikan kemiskinan sebagai sesuatu yang harus diterima apa adanya. Mereka akan mempertanyakan mengapa kemiskinan tersebut terjadi pada mereka.
Jika sikap  Jika ditarik kebelakang, kondisi yang terjadi di atas juga memiliki beberapa kesamaan dalam beberapa hal pada masa Al-Ghazali dan John dewey. Pada masa Al-Ghazali terdapat gerakan ilmiah yang sangat radikal dan berkelanjutan. Proses pengajaran maupun pendidikan mengacu capaian-capaian kebendaan, hedonis, materialistik 19 , dan terjadinya kerusakan moral. 20 Dalam situasi kekacauan seperti ini, Al-Ghazali terdorong oleh rasa tanggung jawabnya untuk memperbaiki kekacauan pikiran dan perbuatan yang menggoncangkan kehidupan, sehingga pemikiran Al-Ghazali tentang Proses pengajaran maupun pendidikan secara makro merupakan koreksi terhadap sistem pengajaran maupun pendidikan output yang dihasilkan. Sebenarnya Al-Ghazali telah menyusun konsep pengajaran maupun pendidikan yang ideal dan lengkap untuk mendidik manusia secara utuh. Kesamaan pada masa John dewey, ia mengubah sekolah tradisional yang dianggapnya sudah tidak layak untuk dijalankan, karena dalam sekolah tradisional terdapat kekacauan dan kesalahan, diantaranya: pertama, ia membrantas dengan keras kesalahan sekolah tradisional dan memasukkan “kerja” dalam ruangan sekolah; kedua, dalam sekolah lama jarak antara pengajaran dan penghidupan anak sangat jauh. Dialah yang mendekatkan kehidupan anak di sekolah dengan 18 Pikiran Rakyat, Saatnya Siswa Menjadi Subyek Pendidikan, Opini (Http: Www. Yahoo. Com, Diakses 7 April 2006) 19 Sulaiman Dunya, Al-Haqiqat Pandangan Hidup Imam Al-Ghazali (Surabaya: Pustaka Himah Perdana, 2002), hlm. 29. 20 Ali Al-Jumbulati dan A. Futuh At-Tuwanisi, Perbandingan Pendidikan Islam (Jakarta: Rineka Cipta, 1994), hlm. 128. 25 kehidupan masyarakat. Ia mengubah sekolah kuno yang pasif mati itu menjadi sekolah baru, yang aktif hidup, hingga anak dapat menambah pengetahuan dan kecakapannya serta menemukan skill dan bakatnya dengan baik. Ketiga, di sekolah kuno pelajaran tiap tahun selalu berlangsung sama, tetapi pengajaran proyek mengubah keadaan yang statis itu menjadi dinamis, tiap tahun pengajaran maupun pendidikan berganti sesuai dengan masalah yang diambil dari masyarakat yang selalu hidup dan berubah, dan sesuai dengan perkembangan perhatian anak. Keempat, anak dilatih belajar sungguh-sungguh dan bekerja sama, tidak seperti di sekolah kuno. Di sekolah tradisional anak hanya mengahafal dan berbuat untuk kepentingan diri saja. 21 Untuk dapat menguasai dunia sekitarnya, manusia memerlukan alat berupa pengetahuan dan tekhnologi. Selain menguasai dunia sekitarnya, ia perlu mengetahui dirinya sendiri.
Pengetahuan akan diri sendiri, kemampuan dan keterbatasan diri merupakan syarat untuk mengetahui dan mengeksploitasi dunia sekitar. Pengembangan potensi diri ini merupakan salah satu proses penting menuju terbentuknya manusia Indonesia seutuhnya. Subyek yang menjadi pusat lingkungan bukanlah berdiri di ruangan kosong. Dia berada dalam lingkungan hidup bersama yang berbudaya dengan konfigurasi nilai-nilai. Dia adalah produk, pendukung, sekaligus penggerak kebudayaan dan nilai-nilai yang di kandungnya. 22 21 Muis Sad Iman, Pendidikan Partisipatif: Menimbang Konsep Fitrah dan Progresivisme John Dewey (Yogyakarta, Safiria Insani Press, 2004) hlm. 63-64. 22 HR. Tilaar, Pendidikan Dalam Pembangunan Nasional Menyongsong Abad XXI (Jakarta: Balai Pustaka, 1990), hlm. 71. 26 Seorang pemikir Islam Al-Jundi, sebagaimana dikutip Mohammad Arkoun mengatakan, manusia bebas atau kebebasan manusia merupakan satu diantara ciri khas Islam, karena Islam adalah agama yang pertama kali menganjurkan kebebasan manusia. 23 Menurut Islam kebebasan merupakan sikap dasar manusia dan salah satu wujud jati diri manusia yang sebenarnya jika dibandingkan dengan makhluk lain. Jati diri inilah yang manusia seutuhnya, berkarakter dan mandiri. Sebenarnya untuk mewujudkan fungsi dari Proses pengajaran maupun pendidikan harus berusaha mengembangkan potensi yang telah ada pada diri manusia, yang dibawanya sejak menghirup udara kehidupan di dunia ini, agar manusia benar-benar menjadi manusia. Sebab tanpa adanya usaha stimulatif yang bersifat eksternal terhadap perkembangan potensi tersebut, manusia sulit dan jauh untuk menjadi manusia yang sempurna. 24 Bagi Al-Ghazali, pengembangan potensi diri (fitrah) manusia tersebut harus dilakukan dan menjadi keharusan dari pengajaran dan pendidikan. Menurutnya, sasaran pengajaran dan pendidikan. menurut Al-Ghazali adalah kesempurnaan insani didunia dan akhirat. Dan manusia akan sampai pada kesempurnaan hanya dengan melalui sifat keutamaan melalui jalur ilmu, sehingga menjadi bahagia dunia dan akhirat
 Menurut konsep ini, dapat dinyatakan bahwa semakin lama seseorang duduk di bangku pendidikan atau mendapatkan pengajaran, semakin bertambah ilmu pengetahuannya, maka semakin dekat kepada Allah. Tentu saja, untuk mewujudkan hal itu bukanlah sistem pengajaran maupun pendidikan dan pendidikan sekuler yang memisahkan ilmu-ilmu keduniaan dari nilai-nilai kebenaran dan sikap religius, juga bukan pengajaran maupun pendidikan Islam tradisional yang konservatif. Tetapi sistem Proses pengajaran maupun pendidikan yang memadukan keduanya secara integral. Sistem inilah yang dapat membentuk manusia mampu melaksanakan tugas-tugas kekhalifahannya. Bahkan lebih jauh, hakekat ilmu menurut Al-Ghazali mengandung makna menghilangkan pengertian ilmu secara terpisah. Karena sentralisasi ilmu ada pada Tuhan sebagai pemiliknya dan manusia (hanya) sebagai pengembangannya. Sehingga jelas tercipta hubungan satu arah yakni ilmu untuk Allah dan ilmu untuk manusia oleh manusia yang berporos kepada Allah, sebagaimana firman Allah dalam surat Al-Baqarah ayat 32 : (. .ÃÞ Â) . Ô ü Æ ¾È û ¾ ¾ û ÔÂã ¾ Artinya: “Maha suci Engkau, tidak ada yang kami ketahui selain dari apa yang telah Engkau ajarkan kepada kami; sesungguhnya Engkaulah yang Maha mengetahui lagi Maha bijaksana“.
Ide luhur ini akan memberikan tetesan-tetesan kebawah (Trickle down effects) apabila Proses pengajaran maupun pendidikan sebagai proses pendewasaan sosial manusia menuju tataran ideal tersebut dibangun melalui pola 28 ignasian, cara seorang pendidik dalam mendampingi para pelajar dengan mengenalkan refleksi sebagai unsur essensial. 26 Munculnya Ide cemerlang “Paedagogi of the Oppresed“ 1978, merupakan angin segar bagi perkembangan teori pengajaran maupun pendidikan, dan secara politis memberikan alternatif solusi yang ‘bersemangat‘ atas kebuntuan yang melanda praktek pengajaran maupun pendidikan di seantero dunia. Democration, Conscientizacao dan Humanism adalah asumsi dasar yang digunakan oleh John dewey “pendidik revolusioner” dalam mega proyek pemberantasan sekolah tradisional di negaranya (Amerika). Apa yang telah digagas oleh John Dewey bukan semata-mata sebatas wacana Proses pengajaran maupun pendidikan saja. Namun lebih jauh John dewey telah menggunakan pendekatan filosofis yang kemudian membangun paradigma konsep pengajaran dan pendidikan yang pragmatis dan progresiv. Setiap Proses pengajaran maupun pendidikan, baginya merupakan proses masyarakat mengenal diri. Dengan perkataan lain, pengajaran maupun pendidikan adalah proses agar masyarakat menjadi hidup dan dapat melangsungkan aktivitasnya untuk masa depan. Dengan demikian, Proses pengajaran dan pendidikan adalah proses pembentukan impulse (perbuatan yang dilakukan atas desakan hati).
 pengajaran maupun pendidikan pragmatisme John Dewey lebih menekankan pada futuralistik (sebuah pendidikan yang berwawasan masa depan). Karena sifatnya yang future oriented, pragmatisme menolak model pengajaran maupun pendidikan yang ingin kembali ke masa lampau. Dari karakter yang demikian, maka pengajaran maupun pendidikan pragmatisme sering disebut sebagai pengajaran maupun pendidikan modern. pengajaran maupun pendidikan modern menganjurkan agar yang berbuat, yang menghasilkan, dan yang mengajar adalah peserta didik sendiri. Sedangkan peran pendidik lebih berfungsi sebagai fasilitator dan pembimbing. 28 Hakekat pengajaran maupun pendidikan. menurut pragmatisme adalah menyiapkan anak didik dengan membekali seperangkat keahlian dan ketrampilan teknis agar mampu hidup di dunia yang selalu berubah dan berkembang. pengajaran maupun pendidikan diyakini mampu merubah kebudayaan baru dan dapat menyelamatkan masa depan manusia yang semakin kompleks dan menantang. pengajaran maupun pendidikan adalah tempat pembinaan manusia untuk survive menyesuaikan diri dengan perubahan cultural dan tantangan zaman.
Pragmatisme berkeyakinan bahwa pengajaran maupun pendidikan dapat menolong manusia menghadapi periode transisi antara pola pikir tradisonal dengan pola pikir progresif (modern) yang selalu berubah. Fase ini merupakan permulaan bagi periode revolusi menuju tata hidup sosial, teknologi, dan moral yang semakin modern. 30 Konsep pengajaran maupun pendidikan Dewey yang 28 Hasan Langgulung, Pendidikan Dan Peradaban Islam: Suatu Analisa Sosio-Psikologis, (Grafindo: Jakarta, 1985), hlm. 28. 29 Ali Maksum Dan Luluk Yunan Ruhendi, Paradigma Pendidikan Universal Di Era Modern Dan Post-Modern. ( IRCISOD: Yogyakarta, 2004), hlm. 259. 30 Mohammd Noor Syam,. Filsafat Pendidikan Dan Dasar Filsafat Pendidikan Pancasila. (Usaha Nasional: Surabaya, 1988), hlm. 228. 30 berlandaskan pada filsafat pragmatisme, menilai suatu pengetahuan dalam masyarakat. Yang diajarkan adalah pengetahuan yang segera dapat dipakai dalam penghidupan masyarakat sehari-hari. 31 Dari latar belakang di atas, terdapat dua konsep pengajaran yang berbeda antara Al-Ghazali dan John dewey. Perbedaan tersebut dipengaruhi oleh latar belakang kehidupan sosio kultural yang berbeda. Oleh karena itu, peneliti sangat tertarik untuk mengkaji kedua tokoh tersebut dengan judul “Komparasi Konsep Pengajaran Antara Al-Ghazali Dan John Dewey" agar menemukan titik relevansinya sebagai kajian yang aktual dalam moment inovasi yang terjadi di negara ini.
B.     Rumusan Masalah
 Bertitik tolak dari deskripsi di atas, penulis merumuskan masalahnya sebagai berikut:
 1. Bagaimanakah konsep pengajaran Al-Ghazali? 2. Bagaimanakah konsep pengajaran John Dewey? 3. Bagaimanakah komparasi konsep pengajaran antara al-Ghazali dan John Dewey?
C. Tujuan Penelitian
 Dalam pembahasan ini penulis mempunyai tujuan sebagai berikut:
1. Untuk mendiskripsikan konsep pengajaran Al-Ghazali 2. Untuk mendiskripsikan konsep pengajaran John Dewey 3. Untuk mengetahui komparasi konsep pengajaran Al-Ghazali dan John Dewey. Dari proses penelitian ini diharapkan memberi manfaat kepada peneliti secara pribadi dan manfaat bagi semua pihak, antara lain: 1. Bagi penulis Penelitian ini sebagai suatu wacana untuk memperluas cakrawala pemikiran tentang konsep atau teori pengajaran.
2. Bagi khalayak umum Penelitian ini diharapkan dapat menjadi sebuah informasi dan memperkaya khasanah keilmuan yang dapat dibaca, dikonsumsi dan dikaji oleh khalayak umum, khususnya para kaum terpelajar yang ingin mengetahui tentang konsep pengajaran Al-Ghazali dan John dewey.

3. Bagi pengembangan ilmu pendidikan Penelitian ini diharapkan mampu memberikan nuansa baru bagi proses perkembangan keilmuan pendidikan, sekaligus menjadi sumbangan pemikiran bagi dunia pendidikan, terutama dalam dunia pendidikan di Indonesia. 

Untuk Mendownload Skripsi "Pendidikan Agama Islam" :Komparasi konsep pengajaran antara Al-Ghazali dan John Dewey" Untuk Mendownload skripsi ini silakan klik link dibawah ini
DOWNLOAD

Artikel Terkait: