Abstract
INDOENSIA:
Harmonisasi hukum merupakan suatu konsep pengharmonisasian hukum yang tertulis yang mengacu pada nilai-nilai filosofis, sosiologis, ekonomis dan yuridis. Sehingga harmonisasi fiqih hadlânah dengan Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindunngan Anak, merupakan seutu proses penyerasian dan penyelarasan hadlânah dalam persepektif fiqih dan undang- undang.
Fokus dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana harmonisasi fiqih hadlânah dengan Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Hal ini bertujuan untuk mengetahu bagaimana letak harmonisasi antara fiqih dengan Undang-Undang No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian yuridis normatif. Bahan hukumnya berupa bahan hukum primer yaitu Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dan hukum Islam yaitu fiqih hadlânah. Sedangkan bahan hukun sekunder berupa dokumen dan buku-buku penunjang. Analisis yang digunakan adalah deskritif kualitatif, yang menguraikan dengan jelas dan ringkas tentang hadlânah dalam persepektif fiqih dan Undang-Undang perlindungan anak guna menunjukkan harmonisasi kedua produk hukum ini.
Hasil penelitian yang diperoleh adalah pada hakekatnya hadlânah atau pengasuhan anak dalam perspektif fiqih dan Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, merupakan suatu bentuk jaminan dan perlindunagan terhadap anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumuh, dan berkembang secara optimal. Sehingga konsep hadlânah ini merupakan konsep perlindungan anak itu sendiri. Dan letak harmonisasi antara kedua produk hukum ini dapat dilihat dari asas kedewasaan, asas perlindungan terhadap anak, asas maksimalitas dalam melakukan hadlânah, dan penempatan hukum Islam sebagai sumber hukum. Sehingga Harmonisasi fiqih hadlânah dengan Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, merupakan suatu transformasi hukum Islam kedalam hukum nasional.
ENGLISH:
Law harmonization is a concept of harmonizing written law based on the philosophical, sociological, economic and juridical values. Therefore, the harmonization of hadlânah fiqh and the Law No. 23 of 2002 concerning Child Protection is a harmonization and alignment process in the perspective of hadlânah fiqh and law.
This study focuses on determining how the harmonization of hadlânah fiqh and the Law No. 23 of 2002 concerning Child Protection. It aims to examine the exact position in harmonizing of hadlânah fiqh and the Law No. 23 of 2002 concerning Child Protection.
This study is a juridical normative study. The legal materials are in the form of primary legal materials i.e hadlânah fiqih as Islamic law and the Law No. 23 of 2002 oncerning Child Protection. Meanwhile, the secondary legal materials include documents and supporting references. It employs a descriptive qualitative method, which outlines clearly and concisely about hadlânah in the perspective of fiqh and law of child protection in order to show the harmonization of both laws.
The results shows that hadlânah or child care in the perspective of fiqh and law No. 23 of 2002 concerning Child Protection, is a form of guarantee and protection on children and their rights to live, grow, and develop optimally. So the concept of hadlânah resembles the child protection itself. The harmonization of both law can be seen from the maturity principle, the principle of the child protection, maximum principle in conducting hadlânah, and the enactment of Islamic law as a source of law. Thus, the harmonization of hadlânah fiqh and the Law No. 23 of 2002 concerning Child Protection, is a transformation of Islamic law into a national law.
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Penelitian
Anak adalah amanah sekaligus karunia Tuhan Yang Maha Esa, yang senantiasa harus
dijaga karena dalam dirinya melekat harkat, martabat, dan hak-hak sebagai
manusia yag harus dijunjung tiggi. Hak asasi anak merupakan bagian dari hak
asasi manusia yang termuat dalam Undang-Undang Dasar 1945 dan Konvensi
Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang hak-hak anak. Dari sisi kehidupan berbangsa
dan bernegara, anak adalah masa depan bangsa dan generasi penerus cita-cita
bangsa. Sehingga setiap anak mempunyai hak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan
kembang, berpartisipasi, serta berhak atas perlindungan dari tindak kekerasan
dan diskriminasi serta hak sipil dan kebebasannya. Anak dalam hal generasi
penerus bangsa dan negara mempunyai peran yang sangat penting. Di dalam
implementasinya, anak merupakan sumber daya manusia bagi pembangunan 2 suatu
bangsa, penentu masa depan dan penerus generasi.1 Namun demikian kita sadari
bahwa kondisi anak masih banyak yang memprihatinkan. Hal ini dapat dilihat
bahwa belum semua anak diasuh oleh orang tua, keluarga maupun orang tua asuh
atau wali dengan baik, masih belum semua anak mendapatkan pendidikan yang
memadai, masih belum semua anak mempunyai kesehatan optimal, daerah konflik,
korban bencana alam, anak-anak korban eksploitasi, kelompok minoritas dan
anak-anak yang berhadapan dengan hukum mendapatkan perlindungan khusus. Data
yang dilangsir UNICEF Indonesia pada tahun 2006, bahwasanya kekerasan terhadap
anak secara nasional selama tahun 2006 telah terjadi sekitar 2,81 juta tindak
kekerasan dan sekitar 2,29 juta anak pernah menjadi korbannya.2 Jumlah tersebut
apabila dibandingkan dengan jumlah anak menunjukkan besarnya angka korban
kekerasan terhadap anak pada tahun 2006 mencapai 3 persen, yang berarti setiap
1000 anak terdapat sekitar 30 anak berpeluang menjadi korban tindak kekerasan.
Di pedesaan lebih tinggi dibandingkan perkotaan yakni 3,2 berbanding 2,8
persen. Dikalangan anak-anak, angka korban kekerasan lebih tinggi pada anak
laki-laki dibandingkan perempuan, yaitu 3,1 berbanding 2,9 persen. Hal ini
kemungkinan terkait dengan perilaku “bandel” yang pada umumnya lebih tinggi
dikalangan anak laki-laki dari pada perempuan. Baru-baru ini di media massa
lagi buming menyorot tentang kasus-kasus yang terjadi pada anak. Mulai dari kekerasan
terhadap anak yang dilakukan oleh keluarganya, pelecehan seksual, eksploitasi
anak, dan lain-lainnya. Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mengakui
banyak menerima pengaduan kasus kekerasan dan pelecehan seksual terhadap anak-
1 Eny Kusdarini, M. Hum : Perlindungan Anak di Indonesia Sebagai Perwujudan HAM
di Era Otonomi Daerah, dalam Jurnal Civics Volume 2 ,Nomor 1, Juni 2005 2
http://www.unicef.or.id/Indonesia/id/ Ringkasan Kajian Perlindungan Anak. yang
diakses pada 21 Mei 2014. 3 anak, hal ini berdasarkan data yang telah
dikumpulkan KPAI pada periode Januari hingga Maret 2014. Selama tiga bulan itu,
terdapat 379 kasus yang dilaporkan ke KPAI, yang salah satunya adalah kekarasan
seksual yang menimpa murid TK di Jakarta International School (JIS). Menurut
Indra Sugiharno kekerasan pada anak atau perlakuan salah pada anak adalah suatu
tindakan semena-mena yang dilakukan oleh seseorang seharusnya menjaga dan
melindungi anak (caretaker) pada seorang anak baik secara fisik, seksual,
maupun emosi. Pelaku kekerasan disini karena bertindak sebagai caretaker, maka
mereka umumnya merupakan orang terdekat disekitar anak. Ibu dan bapak kandung,
ibu dan bapak tiri, kakek, nenek, paman, supir pribadi, guru, tukang ojek
pengantar ke sekolah, tukang kebun, dan seterusnya. Padahal kita ketahui, di
Indonesia ini banyak sekali peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang
anak, mulai dari Undang-Undang No. 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak,
Undang-Undang No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, dan Undang-Undang No.
23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Hal ini menunjukkan bahwa pemerintah
benar-benar secara maksimal mungkin untuk memberikan perlindungan dan
pengayoman terhadap hak-hak seorang anak, karena mereka adalah aset bangsa
kedepan. Pembentukan Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
didasarkan pada pertimbangan bahwa perlindungan anak dalam segala aspeknya
merupakan landasan yuridis dan bagian dari kegiatan pembangunan nasional,
khususnya dalam mewujudkan kehidupan anak dalam berbangsa dan bernegara. 3
Berdasarkan pemikiran tersebut maka semua bentuk perhatian, pemeliharaan, dan
seluruh aspek yang dapat dikategorikan dan dijangkau oleh kata perlindungan
anak maka dapat dijadikan sebagai landasan yuridis. Sebelumnya perhatian 3
http://kinkin-mulyati.blogspot.com/2013/12/perlindungan-anak-menurut-undang-undang
6502 .html, di akses pada hari Rabo, 21 Mei 2014. 4 terhadap hak dan kewajiban
anak hanya terfokus kepada para orang tua sebagai orang yang terdekat dan yang
paling bertanggung jawab terhadap tumbuh kembang anak. Namun sejalan dengan
banyaknya perlakuan tidak baik dan tidak manusiawi terhadap anak, baik di luar
maupun di tengah-tengah keluarganya sendiri, maka negara dalam hal ini
pemerintah berkewajiban untuk memberikan perlindungan hukum terhadap anak.
Perlindungan anak yang diberikan oleh negara harus dapat menjamin terpenuhinya
hak-hak anak secara optimal demi terwujudnya keadilan dan kesejahteraan bagi
anak. Namun perlindungan yang diberikan hendaknya sesuai dengan asas dan
prinsip dasar kemanusiaan serta norma-norma yang ada. Sehingga perlindungan
yang diberikan tidaklah melanggar hak-hak orang lain dan juga tidak melanggar
norma agama sebagai norma yang harus dijunjung tinggi kemurnian ajarannya.
Selain didalam hukum positif, perlindungan anak juga dianjurkan juga dalam
ajaran Islam yang biasanya kita kenal dengan istilah hadlânah. Secara etimologi
kata hadlânah berasal dari bahasa Arab al-hadn, yang berarti "sisi"
karena seorang pengasuh mengambil anaknya kesisinya.4 Sedangkan menurut istilah
hadlânah adalah sebagai hak pengasuhan anak, baik lakilaki maupun perempuan
yang masih kecil maupun yang sudah besar tetapi belum tamyiz. 5 Sebagaimana
juga yang dikatakan oleh ulama Mazhab Hanafi, yang dikutip oleh Andi Syamsu Alam
dan M. Fauzan yang mengatakan bahwa "mengasuh, merawat, dan mendidik anak
merupakan hak pengasuh laki-laki maupun perempuan, akan tetapi lebih diutamakan
pada pihak perempuan". 6 4 Shalih bin Fauzan al-Fauzan, Al-Mulakhkhash
Al-Fiqih, yang di terj. Asmuni, Ringkasan Fiqih Lengkap (Cet. I, Jakarta: Darul
Falah, 2005), h. 948. 5 Syayid Sabiq, Fiqhus Sunnah, yang di terjemahkan oleh
Nor Hasanuddin, Fiqih Sunnah (Jakarta: Pena Pundi Aksara, 2006), h. 237. 6 Andi
Syamsudin Alam dan M Fauzan, Hukum Pengangkatan Anak Persepektif Islam
(Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2008 ), h. 116. 5 Di dalam al-Qur’an
sendiri berkaitan tentang perintah melakukan pengasuhan anak (hadlânah)
diantaranya adalah surat An.Nisa’(4): 9 : #´Ïy Zwöqs% (#qä9qà)uø9ur © !$# (#qà)Guù=sù öNÎgøn=tæ (#qèù%s{ $¸ÿ»yèÅÊ ZpÍhè óOÎgÏÿù=yz ô`ÏB (#qä.ts? öqs9 úïÏ%©!$# |·÷uø9ur Artinya:Dan Hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang
seandainya meninggalkan di belakang mereka anak-anak yang lemah yang mereka
khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. Oleh sebab itu hendaklah mereka
bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar. 7
QS. al-Anfal (8): 27: tbqßJn=÷ès? öNçFRr&ur öNä3ÏG»oY»tBr& (#þqçRqèrBur tAqߧ9$#ur © !$# (#qçRqèrB w (#qãZtB#uä z`Ï%©!$# $pk r'¯»t
Artinya:Hai orang-orang yamg beriman, janganlah kamu menghianati Allah dan
Rasulnya dan janganlah kamu menghianati amanat-amanat yang dipercaya kepadamu,
sedang kamu mengetahuinya. 8 Sedangkan di dalam hadis Rasulullah Saw:
Artinya:Dari Abdullah bin Amr, bahwasannya seorang perempuan berkata: ya
Rasulullah! sesungguhnya anak saya (ini), perut saya mengandungnya dan tetek
saya yang menyusuinya, dan pangkuan saya tempat perlindungannya; tetapi
bapaknya telah menceraikan saya dan hendak mengambil dia dari saya, maka
Rasulullah bersabda: engkau lebih berhak kepadanya selama belum kawin. ( HR.
Ahmad Abu Daud).9 Dari kedua ayat diatas, maka orang tua diperintahkan oleh
Allah untuk memelihara keluarganya dan menjalankan amanat yang telah dipercakan
kepadanya. Dengan berusaha agar 7 QS. an-Nisa’(4): 9. 8 QS. al-Anfal (8); 27. 9
Imam Ahmad, Musnad Imam Ahmad bin Hambal (Juz 2, Bairut: Dar Al Kutub Al
Ilmiah, 1993), h. 246. 6 seluruh anggota keluarganya itu untuk melaksanakan
perintah-perintah Allah dan menjauhi larangan-larangan-Nya, termasuk anggota
keluarga disini adalah anak. Dalam konteks Indonesia sebagai negara hukum
(rechtstaat) bukan negara kekuasaan (machtsaats) sebagaimana tertuang dalam
bunyi UUD 1945 Pasal 1 ayat (3) Negara Indonesia adalah negara hukum. Sebagai
negara hukum, maka sudah menjadi suatu kewajiban bahwa setiap penyelenggaraan
negara dan pemerintahannya selalu berpedoman pada peraturan perundang-undangan.
Maka negara hukum yang dimaksud disini bukan hanya merupakan pengertian umum
yang dapat dikaitkan dengan berbagai konotasi. Bukan hanya rechstaat dan rule
of law sebagaimana dipraktekkan di Barat, namun juga nomokrasi Islam dan negara
hukum Pancasila yang dipraktekkan di Indonesia. Sistem hukum yang digunakan di
Indonesia masih berkiblat pada sistem hukum Belanda yang menganut roman law
system atau civil law yang cenderung pada aliran positivisme.10 Di mana dalam
aliran hukum positivisme dalam pengambilan kebijakan hukum atau putusan hukum
para penegak hukum selalu terbelenggu dalam teks bunyi undang-undang. Sehingga
produk hukum dalam aliran positivisme ini harus dikodifikasikan guna memperoleh
legislasi hukum itu sendiri. Hukum Islam sebagai tatanan hukum yang dipegangi
dan ditaati oleh mayoritas penduduk dan rakyat Indonesia. Adalah hukum yang
telah hidup di dalam masyarakat, yang sudah ada sejak abad ke-7 M yang ditandai
dengan kedikjayaan kerajaan Samudra Pasai di Aceh. Sehingga nilai-nilai hukum
Islam selalu ada di dalam hukum nasional dan merupakan bahan dalam pembinaan
dan pengembangan hukum nasional.11 10 A. Qodri Azizy, Hukum Nasional Elektisme
Hukum Islam dan Hukum umum ( Jakarta: Teraju, 2004), h. 247. 11 Jimly
Asshiddiqie dan Natasya Yunita Sugiantuti, Sejarah Hukum dan Konstitusi (Hukum
Islam) (Jakarta: Universitas Indonesia Fakultas Hukum Pascasarjana), h. 431. 7
Untuk melakukan positivisasi hukum Islam ke dalam hukum nasional, maka
norma-norma hukum Islam harus dibuat oleh otoritas negara. Dimana dalam hal ini
hukum diartikan perintah penguasa, baik dalam bentuk ketetapan parlemen
(lembaga legislatif dan eksekutif) maupun keputusan lembaga yang memegang
otoritas kehakiman (lembaga yudikatif).12 Sebagaimana yang direncanakan Syahrur
untuk menjadikan fiqih bergerak ke arah positivisme, baik analitik maupun
pragmatis.13 Sehingga hukum Islam ini (fiqih Islam) menjadi ketetapan-ketetapan
hukum yang diproduksi oleh para pemegang otoritas yang sah dari sebuah negara
dengan tetap mengindahkan hudud Allah. Di mana dalam hal ini juga, proses
produksi hukum Islam menjadi hukum nasional harus dilakukan secara demokratis,
dalam arti melalui mekanisme voting dan polling, atau paling tidak sesuai
dengan prinsip-prinsip demokratis. Sehingga produk hukum yang dihasilkan dapat
diterima dan dilaksanakan oleh masyarakat. Berkembangnya wacana positivisasi
hukum Islam, maka dilakukanlah upaya positivisasi hukum Islam yang dilakukan
oleh para pemegang kekuasan legislasi di Indonesia. Menurut Maskuri Abdullah
upaya positivisasi hukum Islam di Indonesia ini ada dua bentuk, yaitu pertama,
sebagai hukum formal yang dilegislasikan sebagai hukum positif utuk umat Islam
di Indonesia dan kedua, sebagai hukum normatif yang diimplementasikan secara
sadar oleh umat Islam. Bentuk yang pertama ini dilakukan secara struktural dan
bentuk yang kedua melalui pendekatan kultural.14 Untuk bentuk pertama produk
hukumnya seperti Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan,
Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, 12 John Austin, Legal
Positivisme, yang dikutip oleh Muhyar Fanani, Fiqih Madani Konstruksi Hukum
Islam di Dunia Modern (Yogyakarta: LKIS, 2010), h. 299. 13 Muhyar Fanani, Fiqih
Madani Konstruksi Hukum Islam di Dunia Modern, h. 199-300. 14 Maskuri Abdillah,
Keudukan Hukum Islam dalam Sistem Hukum Nasional (Jakarta: Jurnal Jauhar Vo. 1
No. 1, Desember 2000), h. 61. Lihat juga Abdul halim, Politik Hukum Islam di
Indonesia: Kajian Posisi Hukum Islam dalam Politik Hukum Pemerintahan Orde Baru
dan Era Reformasi (Jakarta: Badan Litbang dan Diklat Departemen Agama RI,
2008), h. 132. 8 Undang-Undang No. 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat,
Inpres No. 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam, dan lain-lainnya.
Sedangkan untuk bentuk kedua produk hukumnya adalah seperti Undang-Undang No. 2
Tahun 1979 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Undang-Undang No. 4 Tahun 1979
tentang Kesejahteraan Anak, Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Agraria,
Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, dan lain-lainnya.
Dalam hal ini, peneliti tertarik untuk mengkaji secara mendalam tentang
Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Dilakukan dengan
cara mencari nilai harmonisasi antara hukum Islam dan hukum nasional. Dalam
analisis sementara peneliti melihat bahwa adanya dialektika antara kajian hukum
Islam dalam lahirnya Undang-undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
Teruma kajian tentang fiqih hadlânah dalam muatan pasal-pasalnya yang terdapat
dalam undang-undang tersebut, baik secara tekstualis maupun secara subtantif.
Harmonisasi hukum Islam ke dalam hukum nasional, merupakan hal-hal yang sering
kita dengar dalam media elektronik dan jurnalistik. Di mana jika kita melihat
dari segi etimologi harmonisasi dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) berasal
dari kata harmonis yang diartikan sebagai bersangkut paut dengan (mengenai)
harmoni15 . Kata harmonisasi sering kali disamakan dengan singkronisasi. Dan
kata singkronisasi, dalam pandangan Tim Redaksi Tesaurus Bahasa Indonesia
mempunyai arti (1) berbarengan, serempak, serentak, simultan, (2) bertemu,
cocok, harmonis, klop, masuk, selaras, sesuai.16 15 Kamus Besar Bahasa
Indonesia Online, www. kamusbahasaindonesia.org, diunduh 25 Maret 2014. 16 Tim
Redaksi Tesaurus Bahasa Indonesia Pusat Bahasa, Tesaurus Bahasa Indonesia Pusat
Bahasa (Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional, 2008), h. 462. 9 Badan
Pembinaan Hukum Nasional Depkumham, memberikan pengertian bahwa harmonisasi
hukum sebagai kegiatan ilmiah untuk menuju proses pengharmonisasian
(penyelarasan/kesesuaian/keseimbangan) hukum tertulis yang mengacu pada
nilai-nilai filosofis, sosiologis, ekonomis dan yuridis.17 Sehingga dari uraian
diatas, harmonisasi hukum Islam ke dalam hukum nasional adalah suatu proses
penyerasian dan penyelarasan hukum Islam ke dalam hukum nasional sebagai wujud
pembuatan produk hukum itu sendiri. Dari uraian diatas, peneliti melihat bahwa
kajian harmonisasi antara hukum Islam dan hukum nasional merupakan seuatu
kajian yang menarik, karena posisi hukum Islam sebagai salah satu pembina hukum
nasional. Selain itu juga undang-undang ini merupakan salah satu bentuk payung
hukum terhadap pengasuhan anak itu sendiri. Sehingga dalam kacamata peneliti
undang-undang ini merupakan salah satu wujud pembumisasian hukum Islam ke dalam
hukum positif. Sebagai langkah awal dalam melakukan positifikasi hukum Islam ke
dalam hukum positif. Oleh sebab itu dalam penelitian skripsi ini berjudul
“HARMONISASI ANTARA FIQIH HADLÂNAH DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2002
TENTANG PERLINDUNGAN ANAK. B. Rumusan Masalah Berdasarkan deskripsi singkat
dalam latar belakang masalah atau isu-isu hukum diatas, maka penelitian ini
difokuskan pada harmonisasi antara fiqih hadlânah dengan Undang-Undang No. 23
Tahun 2002 tetang Perlindungan Anak? 17 Setio Sapto Nugraho, Harmonisasi
Pembentukan Perundang-Undangan ( Jakarta: Kepala Biro Peraturan
Perundang-Undangan, 2009), h. 30. 10 C. Tujuan penelitian. Berdasarkan rumusan
masalah diatas, maka tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui letak
harmonisasi antara fiqih hadlânah dengan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002
tetang Perlindungan Anak. D. Manfaat penelitian Adapun manfaat dari penelitian
ini adalah: 1. Secara teoritis Diharapkan hasil penelitian ini dapat memberikan
kontribusi terhadap penguatan konsep-konsep akademik kajian fiqih hadlânah
dalalm rangka memberikan sumbangan pada proses harmonisasi hukum Islam kedalam
hukum nasional. 2. Secara praktis Diharapkan hasil penelitian ini dapat
dimanfaatkan oleh lembaga legislatif, eksekutif, dan yudikatif dalam proses
pembentukan norma-norma hukum nasional. Selain itu juga penelitian ini,
ditujukan untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum Islam (S.H.I) bagi peneliti dari
Fakultas Syariah UIN Maulana Malik Ibrahim Malang. E. Definisi Operasional
Supaya pembahasan penelitian ini mudah dipahami dan dimengerti maka definisi
operasional atau istilah kunci dari pembahasan penulisan penelitian ini adalah:
1. Harmonisasi hukum, Harmonisasi hukum adalah suatu proses untuk merealisasi
keselarasan, kecocokan, kesesuain, dan keseimbangan antara norma-norma hukum di
dalam peraturan perundangundangan sebagai sistem hukum dalam satu kesatuan
kerangka sistem hukum nasional. 11 2. Fiqih Hadlânah Fiqih hadlânah adalah
suatu bentuk kajian hukum Islam yang mengatur tentang pengasuhan anak yang
meliputi hak merawat, mendidik, menjaga, memimpin, melindungi dan mengatur
segala hak seorang anak yang belum dapat menjaga mengatur dirinya sendiri. 3.
Positivisasi hukum Islam Merupakan upaya melegalisasikan hukum Islam menjadi
hukum positif. Dimana positivisasi hukum Islam merupakan langkah awal untuk
menjadikan hukum Islam sebagai hukum yang diakui secara formalistik-legalistik
sebagai hukum nasional, sehingga dapat diaplikasikan secara nyata dalam
kehidupan masyarakat. Dimana ketika suatu produk hukum sudah diakui secara
formalistik-legalistik, maka secara politik negara telah mengakui bahwa produk
hukum Islam sebagai produk hukum yang sesuai dengan kriteria hukum yang di
inginkan oleh masyarakat dan dapat dijadikan sebagai payung hukum dalam kehidupannya.
F. Metode Penelitian 1. Pendekatan Penelitian Pendekatan penelitian adalah
metode atau cara mengadakan penelitian agar peneliti mendapatkan informasi dari
berbagai aspek untuk menemukan isu yang dicari jawabannya.18 Sesuai dengan
jenis penelitiannya yaitu penelitian yuridis-normatif, penulis menggunakan
pendekatan Perundang-undangan (Statute Approach) dalam penelitian ini. 18
Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktek (Jakarta:
Rieneka Cipta, 2002), h. 23. 12 Adapun yang dimaksud dengan pendekatan
perundang-undangan (Statute Approach) yaitu penelitian terhadap produk-produk
hukum. Pendekatan ini dilakukan oleh penulis guna menelaah perundang-undangan
yang berkaitan dengan fokus permasalahan yang diteliti, sekaligus melihat konsistensi
perundang-undangan.19 Dalam hal ini, hukum Islam (fiqih hadlânah) dan
Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan anak sebagai objek kajian
penelitian skripsi ini. Penelitian ini, peneliti menggunakan metode analisis
deskriptif kualitatif.20 Analisis deskriptif kualitatif merupakan suatu metode
untuk mendeskripsikan, menjelaskan, menguraikan, dan menggambarkan suatu objek
yang diteliti secara jelas dan ringkas. Yaitu berkaitan tentang harmonisasi
antara fiqih hadlânah dengan undang-undang perlindungan anak. 2. Jenis
Penelitian Bila kita lihat dari tema harmonisasi antara fiqih hadlânah dengan
Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, yang sumber hukumnya
berupa kitabkitab atau karya tulis lainnya maka penelitian ini termasuk dalam
kategori penelitian yuridis normatif atau penelitian hukum doktrinal. Dalam
penelitian hukum jenis ini, hukum seringkali dikonsepkan sebagai apa yang
tertulis sebagai peraturan perundangundangan (law in books) atau sebagai kaidah
yang merupakan patokan prilaku manusia yang dianggap pantas.21 19 Peter Mahmud
Marzuki, Penelitian Hukum (Cet. 6, Jakarta: Kencana, 2010), h. 93. 20 Amiruddin
& Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum (Cet. III, Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 2006), h. 6. 21 Cik Hasan Bisri, Pilar-Pilar Penelitian Hukum
Islam dan Pranata Sosial (Cet. I, Jakarta: Raja Grafino Persada, 2004), h. 118.
13 Penelitian hukum normatif adalah penelitian hukum yang dilakukan dengan cara
penelitian bahan pustaka atau data sekunder. Dalam penelitian karya ilmiah
dapat menggunkan salah satu dari tiga bagian grand methad yaitu library
research, field research, dan biblioraphic research. 22 Berdasarkan pada subjek
studi dan jenis masalah yang ada, maka dari tiga jenis metode diatas, pada
penelitian ini digunakan metode penelitian biblioraphic research atau
penelitian gagasan-gagasan dalam teori. Hal ini berdasarkan objek penelitian
yang dikaji berkaitan tentang bahan-bahan hukum yang berkaitan tentang fiqih
hadlânah dan undang-undang perlindungan anak, sebagai salah satu upaya
positivisasi hukum Islam ke dalam hukum nasional.23 3. Bahan Hukum Penelitian
hukum normatif tidak mengenal data, sebab dalam penelitian yuridis normatif
sumber penelitian diperoleh dari perpustakaan bukan lapangan, sehingga dikenal
dengan istilah bahan hukum. 24 Lebih lanjut pada penelitian yuridis normatif
bahan pustaka merupakan bahan dasar penelitian yang disebut dengan bahan hukum
sekunder dan terbagi menjadi tiga bagian yaitu bahan hukum primer, bahan hukum
sekunder, dan bahan hukum tersier.25 a. Bahan hukum primer, yaitu bahan hukum
yang bersifat autoritatif, yang artinya memiliki otoritas lebih dalam proses
penelitian. Di mana dalam penelitian ini 22 Adapun yang dimaksud dengan library
research ialah karya ilmiah yang didasarkan pada literature atau pustaka; field
research, ialah penelitian yang didasarkan pada penelitian lapangan; dan
biblioraphic research, ialah penelitian yang memfokuskan pada gagasan yang
terkandung dalam teori.Noeng Muhajir, Metode Penelitian Kualitatif (Yogyakarta:
Rake Surasin, 1998), h. 159. 23 Jhanny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian
Hukum Normatif (Malang: Bayumedia Publishing, 2006), h. 46. 24 Peter Mahmud
Marzuki, Penelitian Hukum, h. 93. 25 Amiruddin & Zainal Asikin, Pengantar
Metode Penelitian Hukum, h. 31-32. 14 fokusnya tentang harmonisasi antara fiqih
hadlânah dengan undang-undang perlindungan anak. Sehingga dalam penelitian ini,
bahan hukum primernya berupa kitab fiqih dan undang-undang. Kitab fiqih yang
digunakan yaitu Fiqih Madzhab Syafi’i dan Bidayatul Mujtahid, sedangkan bahan
hukum undang-undangnya yaitu Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak. b. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan hukum yang bersifat
menunjang dan memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer. Dalam hal ini
meliputi buku-buku, jurnal, dokumen atau literasi lain yang berkaitan dengan
penelitian ini. c. Bahan hukum tersier, yaitu bahan yang memberikan petunjuk
maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder, seperti kamus hukum
dan ensiklopedia. 4. Metode Pegumpulan Bahan Hukum Penelitian ini merupakan
jenis penelitian kepustakaan (library research), maka langkah-langkah yang
harus ditempuh dalam teknik pengumpulan bahan hukum adalah mencari dan
menemukan bahan hukum yang berkaitan dengan pokok permasalahan, membaca dan
meneliti bahan hukum yang didapat untuk memperoleh data yang lengkap sekaligus
terjamin dan mencatat bahan hukum secara sistematis dan konsisten. 26 5. Metode
Pengelolahan dan Analisis Bahan Hukum Secara umum pengumpulan dan analisis
bahan hukum dilakukan dengan cara menghubungkan antara apa yang diperoleh dari
suatu proses kerja sejak awal, terutama relasi antara unsur yang tercakup dalam
masalah penelitian. Dalam penelitian normatif 26 Cik Hasan Bisri, Pilar-pilar
Penelitian Hukum Islam dan Pranata Sosial, h. 10. 15 analisis bahan hukum dapat
dilakukan dengan menggunakan metode analisis deskriptif,27 pengeloan data ini
meliputi: a. Pemeriksaan (Editing), adalah seleksi atau pemeriksaan ulang
terhadap bahan hukum yang telah terkumpul. Kemudian bahan hukum yang sudah
terkumpul diseleksi sesuai dengan ragam pengumpulan bahan hukum, untuk menjawab
pertanyaan yang terkandung dalam fokus penelitian. Diman hal ini bertujuan
untuk memeriksa kesalahan jika terdapat tidak kesesuai dengan variabel yang
dikaji dalam penelitian ini. 28 Pada penelitian ini pemeriksaan ulang dilakukan
berdasarkan ragam pengumpulan bahan hukum yang diperoleh tentang harmonisasi
hukum antara fiqih hadlânah dengan undang-undang perlindungan anak. b. Klasifikasi
(Classifying), adalah mengklasifikasikan bahan hukum. Dimana hasil kerja awal
pada penelitian bahan hukum yang terkumpul diklasifikasikan berdasarkan fokus
permasalahan yang diteliti. Klasifikasi yang dilakukan oleh peneliti pada
penelitian ini yaitu peneliti melakukan pengelompokan hasil pengumpulan bahan
hukum yang diperoleh berdasarkan fokus penelitian yakni harmonisasi hukum,
fiqih hadlânah, dan Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
c. Analis (Analysing), adalah analisa hubungan bahan hukum yang telah
dikumpulkan. Dimana hal ini sebagai upaya analisis dengan menghubungkan apa
yang telah ditemukan pada bahan hukum yang diperoleh dengan fokus masalah
harmonisasi hukum, fiqih hadlânah, dan Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan
Anak. 27 Abdulkadir Muhammad, Hukum Dan Penelitian Hukum ( Bandung: Citra
Aditya Baksti, 2004 ), h. 126. 28 Husin Sayuti, Pengantar Metode Rised (
Jakarta: Fajar agung, 1989 ),h. 64. 16 Metode analisis yang digunakan dalam
penelitian ini adalah analisis deskriptif kualitatif. Analisis deskriptif
kualitatif merupakan cara mendeskripsikan, menjelaskan, menguraikan, dan
menggambarkan sesuatu yang diteliti dengan jelas dan ringkas. Dalam penelitian
ini, fiqih hadlânah dan Undang-undang No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan
Anak dibedah secara detail dengan menggunakan teori harmonisasi hukum, guna
menemukan keselarasan hukum antara kedua produk hukum yang berbeda ini.
Sehingga dapat menciptakan efektifitas hukum dalam masyarakat, terutama terkait
masalah hadlânah (pengasuhan anak). Analisis deskriptif kualitatif hasil
penelitian yang diuraikan dapat disusun secara sistematis, sehingga tampak
jelas dan mudah dipahami makna harmonisasi antara fiqih hadlânah dengan
Undang-undang No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.29 G. Penelitian
Terdahulu Penelitian terdahulu merupakan suatu bentuk perbandingan yang
peneliti lakukan agar dapat diketahui persamaan dan perbedaan yang terkandung
dalam penelitian yang telah dilakukan dengan penelitian yang akan dilakukan
oleh peneliti. Berdasarkan apa yang telah peneliti temukan dilapangan bahwa
peneliti menemukan beberapa skripsi yang mempunyai tema yang sama yaitu tentang
hadlânah, sebagaimana yang akan dijelasakan berikut ini. 1. Penelitian yang
dilakukan oleh Mujaid Kumkelo, dengan judul: Harmonisasi dan Positivisasi Fatwa
MUI Kedalam Tata Hukum Nasional (Kajian Pembaharuan Fatwa MUI dalam Hukum
Islam), yang merupakan desertasinya di Universitas Brawijaya pada tahun 2014.
Di dalam penelitian ini, peneliti mengkaji tentang harmonisasi dan 29 Djam’an
Satori, Metodologi Penelitian Kualitatif (Bandung: Alfabeta, 2010), h. 140. 17
positivisasi fatwa MUI dan proyeksi pembaharuan fatwa MUI kedalam tata hukum
nasional.30 Di mana hasil penelitian ini menunjukkan bahwa harmonisasi fatwa
MUI ke dalam tata hukum nasional dengan model mengisi kekosongan hukum yang
ditanyakan langsung para peminta fatwa. Problem hukum yang ditanyakan belum
diatur dalam tata hukum nasional. Dan model fatwa seperti demikian ini, dapat
ditemukan dalam fatwa-fatwa MUI yang berhubungan dengan surat berharga
syari’ah, perbankan syari’ah, dan fatwa MUI tentang perwakafan. Disharmoni yang
terjadi adalah proses penyerapan fatwa MUI kedalam tata hukum nasional tidak
ditemukan dalam hirarki peraturan perundang-undangan sebagaimana disebutkan
dalam Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-Undangan. Dalam bidang positivisasi fatwa MUI ke dalam tata hukum
nasional adalah model fatwa MUI pembaharuan. Yaitu fatwa-fatwa MUI kontekstual
yang dapat bersinergi dengan peraturan perundang-undangan. Sedangkan dalam
bidang proyeksi ideal fatwa MUI menjadi hukum pisitif sangatlah prospektif
dalam dunia hukum di Indonesia. 2. Penelitian yang dilakukan oleh
Nihlatusshoimah, dengan judul: Hak Hadlânah Anak yang Belum Mumayiz Kepada Ayah
Kandung (Menurut pasal 105 Kompilasi Hukum Islam dan Pasal 10 Undang-undang No.
23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan 30 Mujaid Kumkelo, Harmonisasi dan
Positivisasi Fatwa MUI Kedalam Tata Hukum Nasional: Kajian Pembaharuan Fatwa
MUI dalam Hukum Islam (Malang: Desertasi, Fakultas Hukum UB, 2014). 18 Anak),31
dalam skripsinya di UIN Malik Ibrahim pada tahun 2010. Di dalam penelitian ini,
peneliti mengkaji tentang bagaimana penetapan usia tamyiz menurut KHI dan
implikasi yuridis terhadap anak yang belum mumayiz dalam penetapan hadlânah.
Selain itu juga di dalam skripsi ini, juga mengkaji tentang pola harmisasi
antara KHI dan Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak,
terhadap anak yang belum memayiz alam menentukan hadlânah atas pilihannya
kepada ayah kandung. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa batasan usia mumayiz
seorang anak yaitu ketika dia berusia 12 tahun. Rasionalisasi yang digunakan
dalam menentukan usia tersebut bahwa anak yang sudah berusia 12 tahun sudah
mampu berfikir secara optimal. Sehingga anak usia 12 tahun dihadapkan dalam
suatu masalah penentuan orang tua asuh, anak dapat memahami dan mampu
memberikan jawaban dengan baik mengenai keadaan orang tuannya. Dan dia juga
mampu untuk memilih dengan siapa ia akan diasuh orang tuannya. Dan implikasi
yuridis dari terhadap anak yang belum mumayiz dalam penentuan hadlânah adalah
anak akan merasa dirugikan jika penentuan hadlânah jika tetap mengacu pada
regulasi yang ada dalam KHI. Sedangkan pola harmonisasi antara KHI dan
Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak bahwa peneliti
menyimpulkan adanya disharmonisasi dalam perundang-undangan tersebut. Dimana
dalam KHI anak yang usianya 6 tahun tidak dikatakan sebagai mumayiz, sehingga
berimplikasi dilarangnya untuk memilih hadlânah. Sedangkan dalam Undang-Undang
No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak, bahwa meskipun 31 Nihlatusshoimah,
Hak Hadhonah Anak Yang belum Mumayyiz Kepada Ayah Kandung: Menurut pasal 105
Kompilasi Hukum Islam dan Pasal 10 Undang-undang No. 23 Tahun 2002 Tentang
Perlindungan Anak (Malang: Skripsi, Fakultas Syariah UIN Maliki Ibrahim, 2010).
19 anak belum mumayiz anak tetap boleh memilih orang tua asuhnya sendiri,
dengan syarat ayah telah memenuhi syarat-syarat hadlânah. 3. Sofyan Afandi,
dengan Judul: Hak Asuh Anak Akibat Pembatalan Perkawinan Tinjauan Hukum Islam
Dan Keperdataan (Burgerlijk Wetbook), dalam skripsinya di UIN Malik Ibrahim
pada tahun 2009.32 Dalam kajian skripsi ini peneliti mengkaji tentang persamaan
dan perbedaan hak asuh anak dan hubungan hukum jika pernikahan orang tua batal
dalam tinjauan hukum Islam dan KUHPdt. Dimana hasil penelitiannya menunjukkan
bahwa bagi anak-anak yang lahir dari perkawinan yang dibatalkan, bahwa anak
tersebut tetap dianggap sebagai anak yang sah dan anak tersebut juga mempunyai
hubungan keperdataan dan hubungan keluarga dengan keluarga si ayah dan ibu. Dan
hal ini berbeda jika pembatalan yang dilakukan akibat syarat materil, seperti
berzina atu perkawinan karena nasab maka kedudukan anak dari sisi hubungan
keperdataan dan hubungan keluarga dengan si ibu. Tabel I Tabulasi Perbandingan
dengan Penelitian Terdahulu No. Penelitian Paradikma, Fokus Penelitian, dan
Jenis Penelitian 1. Mujaid Kumkelo, “ Harmonisasi dan Positivisasi Fatwa MUI
kedalam Tata Hukum Nasional (Kajian Pembaharuan Fatwa MUI dan Hukum Islam)”,
Desertasi, Pogram Studi Doktor Ilmu Hukum di Fakultas Hukum Universitas
Brawijaya Malang, 2014. Hukum, Pembaharuan Fatwa MUI dan Hukum Islam, dan
Penelitian Normatif 2. Nihlatusshoimah, “Hak Hadlânah Anak Yang belum Mumayyiz
Kepada Hukum, Hak Hadlânah anak yang belum mumayiz dalam perspektif KHI 32
Sofyan Afandi, Hak Asuh Anak Akibat Pembatalan Perkawinan Tinjauan Hukum Islam
Dan Keperdataan (Burgerlijk Wetbook) (Malang, Skripsi, Fakultas Syariah UIN
Malang, 2009). 20 Ayah Kandung: Menurut pasal 105 Kompilasi Hukum Islam dan
Pasal 10 Undang-undang No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak”, Skripsi,
di Fakultas Syariah Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang,
2010. dan Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. 3. Sofyan
Afandi, “ Hak Asuh Anak Akibat Pembatalan Perkawinan Tinjauan Hukum Islam Dan
Keperdataan (Burgerlijk Wetbook)”, Skripsi, Fakultas Syariah Universitas Islam
Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang, 2009. Hukum, hadlânah akibat pembatalan
perkawinan tinjauan terhadap Burgerlijk Wetbook, dan penelitian Normatif.
Mencermati uraian dari penelitian terdahulu sebagaimana di atas, ada beberapa
perbedaan dengan penelitian yang dilakukan oleh penulis. Penelitian Mujaid
Kumkelo meneliti tentang harmonisasi dan positivisasi fatwa MUI ke dalam tata
hukum nasional. Hal ini fokus penelitiannya berkaitan tentang fatwa MUI untuk
dijadikan sebagai hukum positif dan juga sebagai salah rekomendasi pembaharuan
hukum nasional. Sedangkan dalam penelitian penulis, yang menjadi fokus
penelitianya adalah harmonisasi fiqih hadlânah dengan Undang-Undang No. 23
Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Titik tekannya berkaitan dengan
harmonisasi diantara dua produk hukum yang berbeda. Skripsi Nihlatusshoimah
yang menelisik hadlânah anak yang belum mumayiz dalam persepektif pasal 105
Kompilasi Hukum Islam dan Pasal 10 Undang-nndang No. 23 Tahun 2002 Tentang
Perlindungan Anak. Sedangkan penulis mencoba mengulas hadlânah dalam
persepektif fiqih dan Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan
Anak. Penelitian Sofyan Afandi yang melakukan penelitian tentang hak asuh anak
akibat pembatalan perkawinan tinjauan hukum Islam dan keperdataan. Sedangkan
penulis mencoba 21 mengulas pengasuhan (hadlânah) dalam perspektif fiqih dan
Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, yang menggunakan
teori harmonisasi hukum. Dengan demikian, tampak perbedaan mendasar antara
penelitian terdahulu dengan penelitian yang dilakukan penulis, baik dari sisi
objek kajiannya, persepektif analisisnya, bahan penelitiannya, dan
lain-lainnya. Meskipun demikian, antara penelitian terdahulu dengan penelitian
yang dilakukan oleh penulis saat ini ada korelasi. H. Sistematika Pembahasan
Agar pembahasan penelitian ini tersetruktur dengan baik dan dapat ditelusuri
dengan mudah, penulisan ini disusun dengan menggunakan sebuah sistematika.
Adapun sistematika pembahasan dalam penelitian ini sebagai berikut. Bab I:
Pendahuluan, merupakan bab yang pertama dalam penulisan karya ilmiah ini, agar
tujuan dari penelitian benar-benar tercapai. Oleh karena itu, di bab
pendahuluan ini kami sajikan latar belakang, rumusan masalah, yang kemudian
dari rumusan masalah tersebut di jawab oleh tujuan penelitian. Lalu dilanjutkan
dengan mendiskripsikan manfaat penelitian baik secara teoritis dan praktis,
definisi operasional yang berguna untuk mengetahui maksud peneliti dari setiap
kata dalam judul yang telah dipilih. Setelah itu dilanjutkan lagi kajian teori,
metode penelitian dan sistematika penulisan dalam penelitian ini. Hal ini
berguna untuk memudahkan para pembaca dalam memahami skripsi ini. Bab II: Pada
Bab II ini membahas tentang tinjauan pustaka tentang konsep konsep hadlânah
dalam persepektif fiqih, yang pembahasannya meliputi pengertian hadlânah, hak
hadlânah, syarat-syarat hadlânah, dan silsilah yang berhak 22 melakukan
hadlânah. Hal ini bertujuan untuk menguraikan secara detail konsep hadlânah
dalam perspektif fiqih. Bab III: Selanjutnya Bab III ini membahas tentang
tinjauan pustaka tentang konsep pengasuhan anak dalam Undang-Undang No. 22
Tahun 2003 tentang Perlindungan Anak, yang pembahasannya meliputi gambaran
umum, definisi anak dan perlindungana nak, asas dan tujuan perlindungana anak,
hukum perlindungan anak, dan hak serta kuwajiban anak. Hal ini bertujuan untuk
menguraikan ssecara detail konsep pengasuhan anak dalam perspektif
Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Bab IV: Selanjutnya
Bab IV ini membahas tentang tinjauan pustaka tentang konsep harmonisasi hukum,
yang meliputi tentang pengertian harmonisasi hukum, ruang lingkup harmonisasi
hukum, fungsi harmonisasai hukum, langkah-langkah harmonisasi dan pendekatan
harmonisasi hukum. Yang mengulas secara detail tentang teori harmonisasi hukum.
Bab V: Berdasarkan bahan hukum yang diperoleh dan diolah pada bab-bab
sebelumnya, maka dalam Bab V ini disajikan dalam bentuk mendiskripsikan tentang
harmonisasi antara fiqih hadlânah dengan Undang-Undang No. 23 tahun 22 Tentang
Perlindungan Anak. yang meliputi tentang gambaran umum letak disharmoni
hadlânah dalam perspektif fiqih dan undang-undang perlindungan anak dan
harmonisasi fiqih hadlânah dengan Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak. 23 Bab IV: Pada Bab ini berisi kesimpulan yang merupakan
jawaban dari rumusan masalah yang telah dipaparkan sebelumnya. Serta berisi
tentang rekomendasi dan saran peneliti, guna menegaskan kembali mengenai
penulisan penelitian ini dengan memahami secara kongkrit dan utuh. Dengan demikian,
kesimpulan ini dapat memberikan pengertian harmonisasi fiqih hadlânah dengan
Undang-Undang No. 23 tahun 22 Tentang Peerlindungan Anak secara singkat dan
padat.
Untuk Mendownload Skripsi "Skripsi al-Ahwal al-Syakhshiyyah" :Harmonisasi antara fiqih hadlanah dengan Undang-undang nomor 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak" Untuk Mendownload skripsi ini silakan klik link dibawah ini
DOWNLOAD
No comments:
Post a Comment