Abstract
INDONESIA:
Wali dari pihak perempuan merupakan salah satu syarat sah dalam sebuah penikahan. Hal ini dijelaskan dalam beberapa ayat dalam Al-Qur'an dan beberapa hadist nabi Muhammad Shollallohu alaihi wasallam. Hal ini diharuskan karena perempuan dianggap tidak mampu untuk mewakili dirinya sendiri. Hal ini belaku untuk perempuan yang masih perawan, sedangkan seorang janda berhak menikahkan dirinya sendiri walaupun tanpa wali. Hal ini merupakan penghargaan dan anugerah dari Tuhan yang sangat luar biasa terutama kepada bapak dan kakek yang diberi hak untuk memaksa anak gadisnya dengan laki-laki yang diinginkannya.
Namun, fenomena yang terjadi di masyarakat para wali yang berhak menikahkan perempuan dibawah perwaliannya justru mewakilkan haknya kepada orang lain, hal ini tejadi hampir di semua pernikahan di masyarakat. Biasanya yang menjadi wakil wali nikah adalah Penghulu, Modin, Kyai dan tokoh agama setempat. Dari kasus di atas penulis merasa perlu untuk mengetahui persepsi masyarakat tentang wakalah wali dalam akad nikah sekaligus apa yang melatarbelakangi kejadian tersebut
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan jenis penelitian exploratif. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer yakni para orang tua yang mewakilkan hak perwaliannya kepada orang lain sewaktu menikahkan anak gadisnya dan sekunder yakni data pendukung yang berkaitan dengan penelitian ini. Dalam pengumpulan data tersebut dilakukan dengan menggunakan metode interview dan dokumenter. Sedangkan untuk analisis data menggunakan deskriptif analisis.
Hasil penelitian yang dilakukan peneliti menghasilkan bahwa para orang tua sebagai wali nikah yang paling berhak untuk menikahkan anak gadisnya yang masih perawan kurang menyadari bahwa posisi mereka begitu istimewa dalam penikahan anaknya. Bahkan banyak juga di antara mereka yang berpendapat bahwa menikahkan anak-anak perempuan mereka adalah tugas penghulu atau kyai, tugas mereka hanya merestui pernikahan anak gadisnya dengan laki-laki pilihannya. Sebagian lagi mewakilkan hak perwaliannya kepada oang lain karena mereka merasa tidak bisa untuk mengucapkan lafadz akad nikah. Selain faktor-faktor di atas hal ini terjadi karena memang sudah jadi budaya di masyarakat karena para tokoh agamapun yang biasa menjadi wakil wali dalam pernikahan anak gadis orang lain biasanya mewakilkan hak perwaliannya juga kepada orang lain ketika dia menikahkan anak gadisnya.
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Masalah Pernikahan adalah akad yang
menghalalkan pergaulan serta membatasi hak dan kewajiban serta tolong menolong
antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan yang bukan mahram. 1
Pernikahan bukan saja merupakan suatu jalan yang amat mulia untuk mengatur
kehidupan rumah tangga dan keturunan, tetapi juga dapat dipandang sebagai suatu
jalan menuju pintu perkenalan antara suatu kaum dengan kaum lain.2 Nikah
menurut arti asal adalah hubungan seksual. Sedangkan menurut arti majazi adalah
akad (perjanjian) yang menjadikan halalnya hubungan seksual antara seorang pria
dan wanita karena sudah sah menjadi suami istri.3 Perkawinan merupakan
kebutuhan manusia dewasa karena dengan melakukannya manusia bisa memenuhi
kebutuhan biologis maupun psikologis, tujuan utama dalam perkawinan adalah
untuk menemukan ketentraman lahir dan batin, untuk itu diperlukan pola yang
bisa mengakomodir kepentingan tersebut yaitu dengan memakai prinsip saling
mendukung dan saling melengkapi, saling memperlakukan dengan baik,
bermusyawarah dalam semua urusan dalam rumah tangga.4 1 Idris Ramulyo, Hukum
Perkawinan Islam (Jakarta: Bumi Aksara, 1996), 97. 2 Ibid. 3 Sulaiman Rasjid,
Fiqh Islam (Bandung: Sinar Baru Algesindo, 2001), 374. 4 Istiadah, Membangun Bahtera
Keluarga yang Kokoh (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2005), 32-35. 1 Para
Fuqaha' memberikan definisi tentang pernikahan dengan pengertian yang
bermacam-macam. Syafi'i mendefinisikan perkawinan adalah akad yang mengandung
ketentuan hukum kebolehan melakukan hubungan suami istri dengan lafadz nikah
atau tazwîj atau yang semakna dengan keduanya. Sedangkan golongan Hanafiah
mendefinisikan pernikahan adalah akad yang memfaedahkan memiliki,
bersenang-senang dengan sengaja. Berbeda lagi Malikiyah memberikan makna
pernikahan adalah akad yang mengandung ketentuan hukum semata-mata untuk
membolehkan melakukan hubungan suami istri, bersenangsenang dan menikmati apa
yang ada pada diri seorang wanita yang boleh dinikahinya.5 Dari paparan di atas
dapat dipahami bahwa beberapa pengikut madzhab dalam memberikan pemaknaan
terhadap pernikahan ber-orientasi pada kebolehan antara dua orang yang
berlainan jenis kelamin untuk melakukan hubungan suami istri, yang mana sebelum
terjadi pernikahan hukumnya adalah haram, dengan adanya prosesi pernikahan
tersebut menjadi halal. Akan tetapi para imam madzhab tidak memberikan makna
nikah dilihat dari tujuan, dampak atau konsekuensi logis yang harus
dilaksanakan ketika sudah melaksanakan pernikahan. Menurut Abu Ishrah yang sebagaimana
dikutip oleh Djaman Nur6 pengertian nikah adalah akad yang memberikan faedah
hukum kebolehan mengadakan hubungan suami istri antara pria dan wanita dan
mengadakan tolong-menolong serta memberikan batasan hak bagi pemilik-nya dan
pemenuhan kewajiban masing-masing. Definisi yang diberikan oleh Muhammad
5Djamaan Nur, Fiqih Munakahat (Semarang: Dinas Utama, 1993), 1-3. 6 Ibid. 2 Abu
Ishrah sama dengan definisi pernikahan dalam Undang-undang Perkawinan Nomor 1
tahun 1974 yang tertuang dalam pasal 1 bahwa perkawinan adalah ikatan lahir
batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan
tujuan membentuk keluarga yang bahagia berdasarkan ketuhanan Yang Maha Esa.
Pernikahan adalah suatu kejadian yang kodrati dan alami seperti firman Allah
dalam surat an-Nisâ' ayat 1:Artinya: Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang
Telah menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanya Allah menciptakan
isterinya; dan dari pada keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan
perempuan yang banyak. dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan)
nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan
silaturrahim.
Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan Mengawasi kamu.7 Dari
Firman Allah tersebut dapat kita pahami bahwa tujuan perkawinan tidak hanya
terkandung unsur ubudiyah semata, akan tetapi bertujuan untuk pelestarian
manusia supaya ada kesinambungan generasi yang akan terus melanjutkan kehidupan
di muka bumi ini sehingga tercapai apa yang dicitacitakan yaitu kedamaian. Nabi
Muhammad SAW memberikan argumentasi tentang pernikahan seperti yang
diriwayatkan oleh Abdullah bin Mas'ud.: 7 Depag RI, Al-qur'an Dan Tejemahnya
ه) Adanya wali dari calon mempelai dari pihak perempuan. Dari rukun pernikahan yang disebutkan di atas terdapat perbedaan pendapat tentang rukun yang terakhir yaitu wali nikah, secara umum masyarakat muslim Indonesia bermazhab Syafi`i, menurut Mazhab syafi`i wali merupakan salah satu rukun yang harus dipenuhi bagi perempuan yang akan melakukan akad pernikahan. Pendapat lain mengatakan bahwa fungsi wali nikah sebenarnya adalah sebagai wakil dari perempuan, sebenarnya wali tersebut tidak diperlukan apabila yang mengucapkan ikrar ijab adalah laki-laki. Namun dalam praktek selalu pihak perempuan yang mengucapkan ijab (penawaran) sedangkan pengantin laki-laki mengucapkan ikrar qabul (penerimaan), karena pada dasarnya wanita itu pemalu maka pengucapan ijab tersebut diwakilkan pada walinya, jadi wali di sini hanya sekedar sebagai wakil karena yang paling berhak adalah perempuan tersebut. .11 Menurut KHI wali nikah terdiri dari wali nasab dan wali hakim . Wali nasab terdiri dari empat kelompok dalam urutan kedudukan, kelompok yang satu didahulukan dari kelompok yang lain sesuai erat-tidaknya susunan kekerabatan dengan calon mempelai wanita. Pertama, kelompok kerabat laki-laki garis lurus keatas yakni ayah, kakek dari pihak ayah, dan seterusnya. Kedua, kelompok kerabat saudara laki-laki kandung atau saudara laki-laki seayah atau keturunan laki-laki mereka. Ketiga, kelompok kerabat paman, yakni saudara laki-laki kandung ayah, saudara seayah, dan keturunan laki-laki mereka. Keempat, 11Idris Ramulyo, Op.Cit.,214. 5 kelompok saudara kandung kakek, saudara laki-laki seayah kakek, dan keturunan laki-laki mereka. Penting untuk diketahui bahwa seorang wali berhak mewakilkan hak perwaliannya itu kepada orang lain, meski orang tersebut tidak ternasuk dalam daftar para wali.hal itu biasa dilakukan di tengah masyarakat dengan meminta tokoh ulama setempat untuk menjadi wakil dari wali yang sah. Dan untuk itu harus ada akad antara wali dengan orang yang diberi hak untuk mewakilinya. Dalam hal akad nikah ini, apabila seseorang wali aqrab itu berada jauh, tidak dapat hadir pada majlis akad nikah atau wali itu bisa hadir tetapi ia tidak mampu untuk menjalankan akad nikah itu, maka wali itu diperbolehkan mewakilkan kepada orang lain yang mempunyai kelayakan syar’i. Begitu juga bagi bakal suami. Kalau ia tidak dapat hadir pada majlis akad nikah karena ia sedang belajar di luar negeri, maka ia diperbolehkan mewakilkan kepada orang lain yang mempunyai kelayakan syar’ie bagi menerima ijab (menjawab) nikah itu. Walau bagaimanapun bagi perempuan (bakal isteri) ia tidak ada bidang kuasa mewakilkan kepada orang lain untuk mengawinkannya karena haknya ada di tangan walinya. Dibolehkannya seseorang mewakilkan hak perwaliannya juga diatur dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 28 mengatur tentang kebolehan wali nikah untuk mewakilkan hak walinya kepada orang lain. Pasal 29 juga memberi ruang kepada calon mempelai pria dimana dalam keadaan tertentu dapat mewakilkan dirinya kepada orang lain dengan syarat adanya surat kuasa dan pernyataan bahwa orang yang diberi kuasa adalah mewakili dirinya12 . 12 Dr. H. Umiur Nuruddin, Hukum Perdata Islam di Indonesia (Jakarta: Kencana, 2006),74 6 Menurut Jumhur Fuqaha, syarat-syarat sah orang yang boleh menjadi wakil wali ialah: 1. Laki-laki 2. Baligh 3. Merdeka 4. Islam 5. Berakal ( tidak lemah akalnya) 6. Wakalah itu tidak boleh dibuat semasa orang yang memberi wakil itu menunaikan ihram haji atau umrah. Orang yang menerima wakil hendaklah melaksanakan wakalah itu dengan sendirinya sesuai dengan yang ditentukan semasa membuat wakalah itu karena orang yang menerima wakil tidak boleh mewakilkan pula kepada orang lain kecuali dengan izin memberi wakil atau bila diserahkan urusan itu kepada wakil sendiri seperti kata pemberi wakil: “Terserahlah kepada engkau (orang yang menerima wakil) melaksanakan perwakilan itu, engkau sendiri atau orang lain”. Maka ketika itu, boleh wakil berwakil pula kepada orang lain untuk melaksanakan wakalah itu. Wakil wajib melaksanakan wakalah menurut apa yang telah ditentukan oleh orang yang memberi wakil. Misalnya seorang berwakil kepadanya untuk mengawinkan perempuan itu dengan si A, maka wajiblah dia untuk mengawinkan perempuan tersebut dengan si A. Kalau wakil itu mengawinkan peempuan itu dengan si B, maka perkawinan itu tidak sah. Demikianlah bidang kuasa wali adalah amat penting dalam perkawinan karena ia menentukan sah atau tidak sesuatu perkawinan. Oleh itu, setiap orang 7 tua dan pengantin perempuan sebelum melakukan sesuatu perkawinan hendaklah meneliti dahulu siapa yang berhak menjadi wali mengikut tertib dan susunan wali. Sekiranya orang tua tidak mengetahui tentang wali maka hendaklah berkonsultasi dengan orang yang mengetahui untuk mendapat penjelasan. Penelitian ini bermula dari fenomena di masyarakat di Desa Argotirto Kecamatan Sumbermanjing Wetan Kabupaten Malang yang sebagian besar memberikan hak perwaliannya kepada orang lain walaupun wali nasab seperti disebutkan di atas tidak berhalangan. Sedangkan yang biasa menjadi pengganti dari wali adalah kiyai, tokoh agama dan penghulu. Hukum menikahkan perempuan yang ada di bawah perwalian adalah sunnah yang apabila dilakukan akan mendapatkan pahala. Jadi sangat disayangkan sekali kalau sebagian besar masyarakat Desa Argotirto malah mewakilkan hak perwaliannya kepada orang lain. Selain itu menikahkan perempuan yang ada di bawah pewalian akan menunjukkan ikatan emosional yang kuat antara wali dengan perempuan di bawah perwaliannya. Berdasarkan latar belakang di atas, penulis merasa perlu untuk membahas tentang pentingnya wali dalam pernikahan, Peneliti juga akan berupaya untuk menjelaskan tentang persepsi masyarakat Desa Argotirto Kecamatan Sumbermanjing Wetan Kabupaten Malang tentang wakalah wali dalam akad nikah serta apa saja yag melatarbelakangi terjadinya wakalah wali dalam akad nikah di Desa Argotirto. Untuk itu penulis mengangkat judul “PERSEPSI MASYARAKAT ARGOTIRTO KECAMATAN 8 SUMBERMANJING WETAN TENTANG WAKALAH WALI DALAM AKAD NIKAH”.
B. Batasan Masalah
Batasan masalah ialah suatu kegiatan melihat bagian demi bagian dari masalah-masalah yang ada dan mempersempit lingkupnya sehingga masalah tersebut dapat dipahami. Menurut Nana Sudjana, Batasan masalah adalah, menetapkan satu atau dua masalah dari beberapa permasalahan yang telah di identifikasi serta ruang lingkupnya. Penelitian ini dibatasi pada permasalahan wakalah wali dalam akad nikah nikah, dan difokuskan pada pendapat masyarakat Argotirto Kecamatan Sumbermanjing Wetan.
C. Rumusan Masalah
Berdasarkan paparan di atas, maka peneliti merasa tertarik untuk mengkaji lebih dalam masalah wakalah wali dalam akad nikah dengan mengambil rumusan masalah sebagai berikut:
1. Bagaimanakah pendapat masyarakat Argotirto Kecamatan Sumbermanjing Wetan tentang wakalah wali dalam akad nikah?
2. Apa yang melatarbelakangi terjadinya wakalah wali dalam akad nikah di masyarakat Argotirto Kecamatan Sumbermanjing Wetan?
D. Tujuan Penelitian
Dari rumusan masalah di atas tujuan penelitian ini dapat disebutkan sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui pendapat masyarakat Argotirto Kecamatan Sumbermanjing Wetan tentang wakalah wali dalam akad nikah.
2. Untuk mengetahui Apa yang melatarbelakangi terjadinya wakalah wali dalam akad nikah di masyarakat Argotirto Kecamatan Sumbermanjing Wetan.
E. Kegunaan Penelitian
Kegunaan penelitian ini sebagai bahan acuan dan tambahan wacana tentang permasalahan dan apa yang melatarbelakangi terjadinya wakalah Wali dalam akad nikah bagi lingkungan akademis khususnya Fakultas Syariah. Secara praktis sebagai sumbangan pemikiran serta informasi bagi masyarakat khususnya bagi para orang tua yang mempunyai anak perempuan terkait dengan sejauh mana kekuasan wali dalam pernikahan anak tersebut. Serta sebagai dasar pijakan untuk penelitian-penelitian yang selanjutnya akan dilakukan oleh peneliti lain
Untuk Mendownload Skripsi "Skripsi Hukum Bisnis Syariah" : Persepsi masyarakat Desa Argotirto Kecamatan Sumbermanjing Wetan Kabupaten Malang tentang wakalah wali dalam akad nikah" Untuk Mendownload skripsi ini silakan klik link dibawah ini
No comments:
Post a Comment