Abstract
INDONESIA:
Permasalahan yang muncul pada tiap individu merupakan kondisi yang membuat seseorang belajar untuk bersikap dan bertindak lebih baik. Namun permasalahan tertentu menimbulkan tekanan dalam diri seseorang. Untuk mengatasinya tiap individu memiliki cara yang berbeda-beda. Sebagai mahasiswi permasalahan yang menimbulkan stres dapat berasal dari luar seperti masalah hubungan dengan teman, masalah keluarga, masalah cinta, maupun penyelesaian tugas perkuliahan. Sedangkan permasalahan dari dalam diri berupa masalah kesehatan, perasaan minder atau tidak mampu, pikiran negatif, dan target diri yang terlampau tinggi tanpa diiringi kemampuan. Sebagai mahasiswi Fakultas Psikologi yang mempelajari tentang dinamika kehidupan manusia secara psikologis, mereka diharapkan memiliki kemampuan yang lebih baik dalam mengatasi tekanan akibat permasalahan yang muncul atau lebih dikenal dengan coping.
Berdasarkan wawancara pada mahasiswi diketahui bahwa mereka mengalami gejala PMS seperti nyeri pada pinggul, paha dan kaki, payudara mengencang, sakit pada perut, pusing, mual, kebiasaan ngemil bertambah, perasaan malas, cemas, gelisah, mudah marah, dan lebih sensitif terhadap perkataan orang lain. Mereka mengatasinya dengan cara beristirahat sejenak, menyendiri, bermain dengan teman (hang out), atau menjelajah dunia maya (browsing). Menurut teori coping Lazarus, sebagian besar cara tersebut serupa dengan penghindaran yang tergolong emotion-focused coping, yaitu coping yang tidak mengatasi masalah secara langsung, melainkan hanya melakukan kontrol emosi untuk mengurangi tekanan akibat suatu masalah. Padahal sebagai mahasiswi psikologi yang mempelajari dinamika psikologis manusia, mereka diharapkan lebih mampu mengatasi masalah secara langsung, bukan dengan menghindarinya.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui ada tidaknya hubungan antara strategi coping dengan premenstrual syndrome pada mahasiswi Fakultas Psikologi UIN Maulana Malik Ibrahim Malang. Populasi dalam penelitian ini yaitu mahasiswi Fakultas Psikologi angkatan 2008-2011. Penarikan sampel menggunakan metode stratified propotionate random sampling. Pengukuran variabel premenstrual syndrome menggunakan angket yang diadaptasi dari Premenstrual Symptoms Screening Tools for Adolescent (PSST-A) milik Meir Steiner, dkk. Sedangkan pengukuran variabel strategi coping menggunakan skala yang terdiri dari 30 aitem. Teknik analisa menggunakan teknik korelasi spearman rho-correlation.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa tingkat strategi coping mahasiswi Fakultas Psikologi berada dalam taraf sedang, dengan prosentase tingkat problem-focused coping 16% kategori rendah, 68% kategori sedang, dan 16% kategori tinggi; prosentase tingkat emotion focused coping 16% kategori rendah, 68% kategori sedang, dan 16% kategori tinggi; dan prosentase tingkat coping berfokus religi 24% kategori rendah, 60% kategori sedang, dan 16% kategori tinggi. Sedangkan tingkat premenstrual syndrome mayoritas mahasiswi yang menjadi subjek penelitian berada dalam kategori PMS ringan, dengan prosentase 4% mengalami PMS berat, 22% mengalami PMS sedang, dan 74% mengalami PMS ringan.
Hasil analisa korelasi menunjukkan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara tingkat premenstrual syndrome dengan strategi coping. Hal ini ditunjukkan dengan koefesien korelasi tingkat premenstrual syndrome dengan problem-focused coping rxy 0,203 dengan sig. 0,058 > 0,05. Sedangkan koefesien korelasi tingkat premenstrual syndrome dengan emotion focused coping rxy 0,012 dengan sig. 0,909 > 0,05. Dan koefesien korelasi tingkat premenstrual syndrome dengan coping berfokus religi rxy 0,014 dengan sig. 0,895 > 0,05.
ENGLISH:
The problems that emerged in each individual are condition that makes a person learns to behave and act better. But certain problems cause stress in the person. To overcoming these, each person has a different ways As student, the problem causing stress can come from external, such as relationship problems with friends, family problems, love problems and completion of assignments. While problems come from internal such as health problems, feeling of inferiority or inadequacy, negative thoughts, and targets too high without accompanied by self-ability. As student of the Faculty of Psychology who learning about the psychological dynamics of human life, they are expected to have a better ability to cope stress caused by problems.
Based on student interviews, it is known that they were experiencing symptoms of PMS such as pain in the hips, thigs and legs, tighten breast, abdominal pain, dizziness, nausea, increased snacking habits, feeling lazy, anxiety, restlessness, irritability, and more sensitive with other’s word. They cope with it in a short rest, being alone, playing with friends or hangout, and explore the virtual word or browsing. According to coping theory of Lazarus, most of these ways is similar to avoidance, which is classified as emotion focused coping that do not overcome the problem directly but only to control emotions to relieve the pressure caused by problem. And as student of the Faculty of Psychology who learning about the psychological dynamics of human life, they expected to be able to solve problem directly not by avoiding.
This study aims to find out the relationship between Premenstrual Syndrome and coping strategies at the Faculty of Psychology student of UIN Maulana Malik Ibrahim Malang, both in using problem-focused coping, emotion-focused coping and religion-focused coping. The population in this study is female students at the Faculty of Psychology class of 2008 to 2011. The sampling method is using stratified propotionate random sampling. Measurement of premenstrual syndrome variables using questionnaire adapted from Premenstrual Symptoms Screening Tools for Adolescent (PSST-A) owned Meir Steiner, et al. While measurement of coping strategies variables using a scale consisting 30 items. Analitycal techniques using spearman rho-correlation.
The results showed that the level of student Faculty of Psychology coping strategies are moderate, with the percentage of problem-focused coping 16% low, 68% moderate, and 16% high; the percentage of emotion focused coping 16% low, 68% moderate, and 16% high; and the percentage religion-focused coping 24% low, 60% moderate, and 16% high. While levels of premenstrual syndrome mostly student whom is the subject of research are mild PMS, with percentage 4% had severe PMS, 22% had moderate PMS, and 74% had mild PMS.
The results of the correlation analysis showed that there were no significant relationship between levels of premenstrual syndrome and coping strategies. This is indicated by correlation coefficient of levels premenstrual syndrome with problem-focused coping rxy 0,203 with sig. 0,058 > 0,05. While correlation coefficient of levels premenstrual syndrome with emotion focused coping rxy 0,012 with sig. 0,909 > 0,05. And correlation coefficient of levels premenstrual syndrome with religion-focused coping rxy 0,014 with sig. 0,895 > 0,05.
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Masalah Setiap individu menghadapi
permasalahan hidup yang beragam dan berbedasesuai dengan kondisinya
masing-masing. Permasalahan tersebut pada dasarnya merupakan kondisi yang
membuat manusia belajar untuk bersikap dan bertindak dengan lebih baik. Namun
tak dapat dipungkiri bahwa terkadang permasalahan tertentu dapat menimbulkan
tekanan dalam diri seorang individu. Dalam mengatasi tekanan atau stres yang
muncul akibat permasalahan tersebut, tiap individu memiliki cara yang
berbeda-beda. Mahasiswi yang berada dalam proses perkembangan dari masa remaja menuju
masa dewasa, juga menghadapi permasalahan yang muncul dengan cara khas mereka
tersendiri. Dalam menjalani kehidupan sebagai mahasiswi, permasalahan yang
menimbulkan stres dapat berasal dari luar maupun dari dalam diri seseorang.
Permasalahan eksternal dapat berupa problem dalam hal hubungan dengan teman,
masalah keluarga, masalah cinta, maupun penyelesaian tugas perkuliahan.
Sedangkan permasalahan yang berasal dari internal atau dalam diri mahasiswi
dapat berupa masalah kesehatan, perasaan minder atau tidak mampu, pikiran
negatif, target diri yang terlampau tinggi tanpa diiringi kemampuan, dan
lainnya. Sebagai mahasiswi Fakultas Psikologi yang mempelajari tentang dinamika
kehidupan manusia secara psikologis, mereka diharapkan memiliki kemampuan yang
lebih baik dalam mengatasi tekanan akibat permasalahan yang muncul atau lebih
dikenal dengan coping. Namun kenyataannya masih terdapat 2 mahasiswi yang
mengatasi permasalahan yang muncul dengan cara yang kurang tepat. Cara
seseorang dalam mengatasi tekanan akibat permasalahan memang beragam. Menurut
Mu’tadin, seseorang memunculkan perilaku coping antara lain dipengaruhi oleh
kondisi kesehatan fisik, keyakinan atau pandangan positif, ketrampilan
memecahkan masalah, ketrampilan sosial, dukungan sosial, serta materi.
Kesehatan merupakan hal yang penting karena selama dalam usaha mengatasi stres,
individu dituntut untuk mengerahkan tenaga yang cukup besar. 1 Pada wanita yang
mulai menginjak usia remaja, tiap bulannya terjadi suatu siklus alamiah yaitu
menstruasi. Bobak mendefinisikan menstruasi sebagai perdarahan periodik pada
uterus yang dimulai sekitar 14 hari setelah ovulasi.2 Biasanya masa ini
diidentikkan dengan masa yang cukup sulit bagi wanita, karena saat menstruasi
umumnya terjadi reaksi fisik berupa nyeri haid yang banyak mengganggu wanita
pada berbagai tingkat umur.3 Tidak hanya saat menstruasi, beberapa masalah
dapat muncul pada beberapa hari sebelum datangnya menstruasi. Mereka biasanya
merasakan satu atau beberapa gejala yang disebut dengan kumpulan gejala sebelum
datang bulan atau istilah populernya premenstrual syndrome (PMS). Pada beberapa
hari tersebut 1 Mutadin, Z. Strategi Coping.
(http://www.e-psikologi.com/remaja/220702.htm, 2002) 2 Maulana, R. Hubungan
Karakterisrik Wanita Usia Produktif dengan Premenstrual Syndrome di Poli
Obstetri dan Ginekologi BPK-RSUD dr.Zainoel Abidin Banda Aceh. (Banda Aceh:
Bagian/SMF Ilmu Kedokteran Komunitas Fakultas Kedokteran Universitas Syiah
Kuala Dr. Zainoel Abidin Banda Aceh, 2008), hal 10. 3 Knight, J. F. Wanita Ciptaan
Ajaib-Beberapa Gangguan Sistem Tubuh Dan Perawatannya. (Jakarta: Indonesia
Publishing House, 1993), hal 22. 3 seringkali terjadi gejolak psikologis
seperti mudah tersinggung, menjadi lekas marah dan emosional.4 Sindrom
Pra-menstruasi (Premenstrual Syndrome) adalah gangguan yang menghasilkan
ketidaknyamanan fisik dan ketegangan emosional selama satu atau dua minggu
sebelum masa menstruasi. 5 Sedikitnya 50 persen wanita (mungkin lebih)
mengalami perasaan yang tidak menyenangkan pada suatu tahap di periode ini.6
Pada wanita yang mengalami sindrom pra menstruasi terjadi beberapa perubahan
fisik maupun psikis. Gejala fisik yang terjadi diantaranya yaitu, sakit kepala,
migren, nyeri dan pegal. Sedangkan gejala psikis diantaranya, menurunnya
konsentrasi, rasa cepat marah, kelesuan dan depresi. Beberapa gejala tersebut
dapat cukup parah hingga mempengaruhi aktivitas sehari-hari seseorang seperti
hubungan pribadi, aktivitas sosial dan prestasi kerja7 . Selanjutnya
berdasarkan wawancara pada beberapa mahasiswi Fakultas Psikologi, diperoleh
hasil bahwa pada beberapa hari menjelang menstruasi mereka mengalami perubahan
baik fisik maupun psikis. Perubahan-perubahan fisik yang dialami yaitu, nyeri
pada pinggul, paha & kaki, payudara sakit atau mengencang, sakit pada
perut, pusing, mual, dan kebiasaan ngemil bertambah. Sedangkan perubahan psikis
yang dirasakan yaitu, perasaan malas, cemas, 4 Ibid, hal 28. 5 Diane Papalia,
dkk. Human Development-edisi terjemahan. (Jakarta: Salemba Empat, 2009), hal
213. 6 Knight, J. F. Wanita Ciptaan Ajaib-Beberapa Gangguan Sistem Tubuh Dan
Perawatannya. (Jakarta: Indonesia Publishing House, 1993), hal 28. 7 Tempel, R.
2001. PMS In The Workplace: An Occupational Health Nurse's Guide To
Premenstrual Syndrome. AAOHN Journal, 49(2), 72-78. 4 gelisah, mudah marah, dan
lebih sensitif terhadap perkataan orang lain. Selain itu berdasarkan hasil
wawancara, juga diketahui bahwa cara yang dilakukan dalam mengatasi
permasalahan serta perubahan-perubahan pada masa pramenstruasi yaitu
beristirahat sejenak, menyendiri, bermain dengan teman (hang out), dan
menjelajah dunia maya (browsing).8 Apabila memperhatikan teori coping menurut
Lazarus, maka sebagian besar cara-cara tersebut serupa dengan penghindaran yang
tergolong coping berfokus emosi atau emotion-focused coping, yaitu coping yang
tidak mengatasi masalah secara langsung, melainkan hanya melakukan kontrol
emosi untuk mengurangi tekanan akibat suatu masalah.9 Padahal sebagai mahasiswi
psikologi yang mempelajari dinamika psikologis manusia, mereka diharapkan lebih
mampu mengatasi masalah secara langsung, bukan dengan menghindarinya.
Berdasarkan penelitian terdahulu menurut Roekani Hadi, diyakini suatu konsep
bahwa yang menjadi faktor penyebab utama dari premenstrual syndrome (PMS)
adalah faktor somatik, sedangkan faktor psikologis timbul kemudian sebagai
akibat perubahan faaliah, biokimia serta anatomik karena pengaruh perubahan
hormonal.10 Namun ada pula hasil studi lainnya yang menyebutkan bahwa
gejala-gejala pramenstruasi yang dialami oleh wanita bukan hanya akibat dari
perubahan-perubahan fisiologis, tapi juga dari keyakinan mereka sendiri. Saat
wanita percaya bahwa mereka sedang berada dalam kondisi pramenstruasi, 8
Wawancara pada Y.W. dan B.N. pada tanggal 6 Juni 2011 9 Lazarus,R. &
Folkman,S. Stres, Appraisal, and Coping. (New York: Springer, 1984), hal 179.
10 Anita Izzatul Mila. Pengaruh PreMenstrual Syndrome Terhadap Tingkat Amarah
Pada Mahasiswi Fakultas Psikologi Universitas Islam Negeri Malang. (Skripsi
Fakultas Psikologi UIN Malang, 2007), hal 54-55. 5 mereka cenderung
melebih-lebihkan kondisi fluktuasi tubuh yang sebenarnya alamiah. Atau
sebaliknya, gejala-gejala yang tidak jelas tentang ketidaksenangan akan
ditafsirkan sebagai bagian dari kondisi pramenstruasi.11 Kemungkinan adanya
satu teori umum yang dapat menerangkan keseluruhan manifestasi gejala-gejala
pramenstruasi pada seluruh wanita diakui tidaklah mungkin. Meskipun PMDD atau
PMS yang berat umumnya berhubungan dengan penyakit yang berdasarkan pada faktor
biologis, terdapat bukti kuat bahwa variabel-variabel seperti stres hidup,
respon terhadap stres, sejarah pelecehan seksual, dan sosialisasi budaya
merupakan faktor penting dari gejalagejala pramenstruasi. Pandangan yang
berlaku saat ini yaitu, wanita yang mengalami premenstrual syndrome lebih
sensitif pada perubahan hormon yang normal. Efek dari perubahan fisiologis ini
berbeda pada setiap wanita berdasarkan berbagai faktor psikososial dan budaya,
hal ini menciptakan beragam pengalaman pramenstruasi yang berbeda-beda.12
Prevalensi sindrom pramenstruasi dalam beberapa literatur sangat bervariasi.
Temuan dari suatu studi menunjukkan bahwa 5% sampai 8% dari wanita dengan
siklus hormonal memiliki gejala PMS sedang sampai berat. Namun, beberapa studi
lain menunjukkan bahwa 20% dari semua wanita usia subur memiliki keluhan
pramenstruasi yang dapat dianggap relevan secara klinis.13 11 Smet, B.
Psikologi Kesehatan. (Jakarta: PT.Grasindo, 1994), hal 218. 12 Taylor, D. 2006.
From “It’s All In Your Head” To “Taking Back To The Month”: Premenstrual
Syndrome (PMS) Research and The Contributions of The Society for Menstrual
Cycle Research. Sex Roles:54(5-6), hal 382. 13 The Lancet; V.371; 4/5/08;
p1200. (http://search.proquest.com/docview/1009179521? accountid=25704, 2012).
6 Pada studi lainnya disebutkan bahwa sekitar 75% wanita haid memiliki beberapa
gejala fisik, emosional, atau perilaku pramenstruasi, namun hanya 3% sampai 8%
wanita haid memiliki gejala parah yang mengganggu gaya hidup, hubungan, dan
fungsi pekerjaan mereka. Bentuk parah gejala pramenstruasi disebut gangguan
pramenstruasi dysphoric (PMDD). Hasil survei di masyarakat menyebutkan bahwa
90% wanita telah mengalami setidaknya satu gejala pramenstruasi. Sekitar 30%
perempuan menilai gejala mereka "sedang/moderat" dan 3 - 8% menilainya
sebagai gejala yang "parah". Namun, penelitian yang menggunakan
kriteria diagnostik ketat dan dikecualikan dari gangguan medis dan psikiatris
lainnya, menemukan bahwa prevalensi kejadian gangguan dysphoric pada fase
luteal akhir (atau PMS yang parah) yaitu 3% hingga 4,6%.14 Selanjutnya Logue
melaporkan sedikitnya 40% dari wanita mengalami beberapa gejala pramenstruasi,
dengan 2% sampai 10% melaporkan gejala berat. Sedangkan menurut Fankhauser
diperkirakan 60% sampai 80% wanita mengalami gejala pramenstruasi kecil atau
terisolasi, 20% sampai 50% melaporkan gejala sedang, dan 3% sampai 5% gejala
laporan begitu parah sehingga menurunkan produktivitas mereka.15 Kebanyakan
penelitian mengenai PMS memang dilakukan pada wanita Barat, meskipun demikian
menurut Chau dkk beberapa studi dengan ukuran sampel kecil pada perempuan Cina
menunjukkan bahwa pengaruh PMS pada wanita terlepas dari ras. Bahkan dalam
studi yang dilakukan Takeda dkk. pada 1152 14 Clinical Obstetrics and
Gynecology; V.40; No.3; 9/97; p564. (http://search.proquest.com
/docview/1009179521?accountid=25704, 2012). 15 Tempel, R. 2001. PMS In The
Workplace: An Occupational Health Nurse's Guide To Premenstrual Syndrome. AAOHN
Journal, 49(2), 72-78. 7 wanita berusia 20-49 tahun di Jepang, dilaporkan bahwa
sekitar 1 minggu sebelum menstruasi lebih dari dua pertiga wanita (68,5 %)
mengalami kecemasan, mudah marah (70,6 %), gejala fisik (81,2 %), dan
kelelahan/kekurangan energi (51,7 %). Gejala-gejala ini mengganggu efisiensi
& produktivitas kerja/tanggung jawab rumah tangga (49,9%), aktivitas
kehidupan sosial (23,6%) dan hubungan dengan rekan kerja/keluarga (22,9%).16
Walaupun demikian, prevalensi premenstrual syndrome di Jepang memang lebih
rendah dari beberapa negara-negara Barat. Misalnya di Kanada, kelompok yang
mengalami PMS parah/PMDD (5,1 %), kelompok PMS sedang sampai parah (20,7 %),
dan PMS ringan (74,2 %). Sementara jumlah wanita di Jepang yang mengalami PMS
parah (1,2 %), PMS sedang sampai parah (5,3 %) dan PMS ringan (93,5 %). Etika
konfusianisme diduga mempengaruhi pengakuan gejala pramenstruasi pada wanita
Jepang. Dalam masyarakat tradisional Jepang, kesejahteraan psikologis individu
adalah subordinasi bagi kesejahteraan kelompok. Oleh karena itu wanita Jepang
mungkin menekan ekspresi verbal dari gejala pramenstruasi untuk mendukung
pemeliharaan keharmonisan sosial. Selain itu asupan lemak tinggi mungkin
berhubungan dengan gejala pramenstruasi. Telah dilaporkan bahwa perempuan
Jepang memiliki asupan lemak yang lebih rendah dari orang Afrika dan Amerika.
Asupan lemak yang rendah ini dapat berkontribusi pada rendahnya tingkat
prevalensi PMDD dan PMS sedang sampai parah pada wanita Jepang.17 16 Takeda, T.
dkk. 2006. Prevalence of Premenstrual Syndrome and Premenstrual Dysphoric
Disorder In Japanese Women. Archives of Women's Mental Health, 9(4), hal 210.
17 Ibid, hal 211. 8 Di Indonesia, penelitian mengenai sindrom pramenstruasi
pernah dilakukan di Poli Obstetri dan Ginekologi BPK-RSUD dr.Zainoel Abidin
Banda Aceh. Dari 46 responden penelitian yang berusia 13-45 tahun, terdapat 17
(36,96 %) yang didiagnosis mengalami sindrom pramenstruasi, sementara 29 (63,04
%) lainnya digolongkan tidak mengalami sindrom pramenstruasi.18 Selain itu
penelitian lainnya pada 100 pekerja pabrik yang berusia 30-45 tahun, ditemukan
hasil bahwa terdapat 2 pekerja (8 %) digolongkan mengalami sindrom
pra-menstruasi, sementara 98 sisanya (92 %) hanya mengalami beberapa gejala
pramenstruasi. 19 Terlepas dari masalah perbedaan ras, terdapat penelitian lain
yang menghubungkan PMS dengan faktor lain. Telah diketahui bahwa perubahan
hormonal akibat siklus ovulasi-menstruasi memainkan peran mendasar. Namun,
penelitian belum berhasil membenarkan penyebab PMS hanya melalui sarana
hormonal. Faktor lain seperti karakteristik kepribadian mungkin berhu-bungan
dengan PMS, karena meskipun faktanya kebanyakan wanita pada dasarnya mengalami
fluktuasi hormon yang sama sepanjang siklus menstruasi, tapi hanya beberapa
yang mengalami PMS. Mengenai hal tersebut diyakini bahwa wanita-wanita ini
mungkin memiliki ciri kepribadian rentan, yang dalam menanggapi beberapa
rangsangan yang memicu, mereka memunculkan gejala pramenstruasi.20 18 Maulana,
R. Hubungan Karakterisrik Wanita Usia Produktif dengan Premenstrual Syndrome di
Poli Obstetri dan Ginekologi BPK-RSUD dr.Zainoel Abidin Banda Aceh. (Banda
Aceh: Bagian/SMF Ilmu Kedokteran Komunitas Fakultas Kedokteran Universitas
Syiah Kuala Dr. Zainoel Abidin Banda Aceh, 2008), hal 46. 19 Pujiastuti, Aria.
Pengaruh Pre Mentrual Syndrom Terhadap Produktivitas Tenaga Kerja Di Pabrik
Korek Api Pematang Siantar. (Tesis Program Magister Kesehatan Kerja Universitas
Sumatera Utara Medan, On-line, 2007), hal 59. 20 Gaion, P. A., & Vieira, L.
F. 2011. Influence of Personality on Pre-Menstrual Syndrome in Athletes. The
Spanish Journal of Psychology, 14(1), 336-43, hal 337. 9 Sejumlah peneliti
telah melaporkan bahwa wanita yang menggambarkan dirinya menderita PMS juga
menunjukkan bahwa mereka mengalami stres tingkat tinggi dari sumber tertentu
seperti beban dan kemonotonan pekerjaan, masalah finansial, ketidakpuasan
perkawinan, jadwal yang padat dan konflik keluarga. Beberapa data menunjukkan
bahwa wanita dengan gejala PMS yang berat tidak mengatasi stres dengan baik
seperti halnya wanita tanpa gejala (atau yang memiliki gejala ringan). Wanita
yang menggambarkan dirinya menderita PMS dibandingkan wanita lain cenderung
untuk menggunakan metode coping seperti penghindaran, berangan-angan,
menenangkan diri, coping religi, menarik diri, berfokus pada emosi atau
melampiaskannya dan kurang mungkin dibandingkan perempuan lainnya untuk
menggunakan coping dukungan sosial, coping berfokus pada problem, dan tindakan
langsung.21 Jadi, premenstrual syndrome yang dialami wanita dapat dikaitkan
dengan cara mereka mengatasi stres. Maramis mendefinisikan stres sebagai segala
masalah atau tuntutan menyesuaikan diri, yang karena tuntutan itulah individu
merasa terganggu keseimbangan hidupnya.22 Sedangkan Sutherland dan Cooper
menyebutkan bahwa stres adalah pengalaman subjektif yang didasarkan pada persepsi
terhadap situasi yang tidak semata-mata tampak dalam lingkungan.23 Meskipun
tuntutan dan tekanan lingkungan tertentu menghasilkan stres pada sebagian besar
orang, jelas bahwa masing-masing individu dan kelompok memiliki perbedaan dalam
tingkat dan jenis reaksinya. Masing-masing individu dan 21 Chrisler, J.C &
Caplan. P. 2002. How PMS Become a Cultural Phenomenon and a Psychiatric
Disorder. Annual Review of Sex Research, 13, hal 277. 22 Maramis. Ilmu
Kedokteran Jiwa. (Surabaya: Airlangga Press, 1994), hal 134. 23 Smet, B.
Psikologi Kesehatan. (Jakarta: Grasindo, 1994), hal 112. 10 kelompok berbeda
dalam hal sensitivitas dan kerentanan terhadap jenis kejadian tertentu, begitu
pula dalam interpretasi dan reaksi mereka.24 Jadi, stres merupakan persepsi
yang dinilai seseorang dari sebuah situasi atau peristiwa. Sebuah situasi yang
sama dapat dinilai positif, netral atau negatif oleh orang yang berbeda.
Penilaian ini bersifat subjektif pada setiap orang. Oleh karena itu, seseorang
dapat merasa lebih stres daripada yang lainnya walaupun mengalami kejadian yang
sama. Menurut Lazarus dalam melakukan penilaian tersebut ada dua tahap yang
harus dilalui, yaitu Primary Appraisal dan Secondary Appraisal. Primary
appraisal merupakan proses penentuan makna dari suatu peristiwa yang dialami
individu. Peristiwa tersebut dapat dipersepsikan positif, netral, atau negatif
oleh individu. Peristiwa yang dinilai negatif kemudian dicari kemungkinan
adanya harm, threat, atau challenge. Harm adalah penilaian mengenai bahaya yang
didapat dari peristiwa yang terjadi. Threat adalah penilaian mengenai
kemungkinan buruk atau ancaman yang didapat dari peristiwa yang terjadi.
Challenge merupakan tantangan akan kesanggupan untuk mengatasi dan mendapatkan
keuntungan dari peristiwa yang terjadi.25 Pentingnya primary appraisal
digambarkan dalam suatu studi klasik mengenai stres oleh Speisman, Lazarus,
Mordkoff, dan Davidson. Studi ini menunjukkan bahwa stres bergantung pada
bagaimana seseorang menilai suatu peristiwa.26 24 Lazarus,R. & Folkman,S. Stres,
Appraisal, and Coping. (New York: Springer, 1984), hal 22. 25 Ibid, hal 32-34.
26 Reina Wangsadjaja, Stres,
(http://rumahbelajarpsikologi.com/index.php/konsepumum-mainmenu-31/stres-mainmenu-98)
11 Selanjutnya tahap kedua, secondary appraisal yang merupakan penilaian
mengenai kemampuan individu melakukan coping, beserta sumber daya yang
dimilikinya, dan apakah individu cukup mampu menghadapi harm, threat, dan
challenge dalam peristiwa yang terjadi.27 Secondary appraisal memiliki tiga
komponen, yaitu blame and credit, penilaian mengenai siapa yang bertanggung
jawab atas situasi menekan yang terjadi atas diri individu; coping-potential,
penilaian mengenai bagaimana individu dapat mengatasi situasi menekan atau
mengaktualisasi komitmen pribadinya; dan future expectancy, penilaian mengenai
apakah untuk alasan tertentu individu mungkin berubah secara psikologis untuk
menjadi lebih baik atau buruk. Pengalaman subjektif akan stres merupakan
keseimbangan antara primary dan secondary appraisal. Ketika harm dan threat
yang ada cukup besar, sedangkan kemampuan untuk melakukan coping tidak memadai,
stres yang besar akan dirasakan oleh individu. Sebaliknya, ketika kemampuan
coping besar, stres dapat diminimalkan.28 Setelah dilakukan penilaian terhadap
stres, maka selanjutnya akan ditentukan strategi coping mana yang akan
digunakan. Coping adalah suatu tindakan merubah kognitif secara konstan dan
merupakan suatu usaha tingkah laku untuk mengatasi tuntutan internal atau
eksternal yang dinilai membebani atau melebihi sumber daya yang dimiliki
individu. Coping yang dilakukan ini berbeda dengan perilaku adaptif otomatis,
karena coping membutuhkan suatu usaha, yang mana 27 Lazarus,R. & Folkman,S.
Stres, Appraisal, and Coping. (New York: Springer, 1984), hal 53. 28 Reina
Wangsadjaja, Stres,
(http://rumahbelajarpsikologi.com/index.php/konsepumum-mainmenu-31/stres-mainmenu-98)
12 hal tersebut akan menjadi perilaku otomatis lewat proses belajar. Coping
dipandang sebagai usaha untuk menguasai situasi tertekan, tanpa memperhatikan akibat
dari tekanan tersebut. Namun coping bukan merupakan usaha untuk menguasai
seluruh situasi menekan, karena tidak semua situasi tersebut dapat benar-benar
dikuasai. Maka, coping yang efektif untuk dilakukan adalah coping yang membantu
seseorang untuk mentoleransi dan menerima situasi menekan dan tidak merisaukan
tekanan yang tidak dapat dikuasai.29 Menurut Taylor dalam pengaturan terhadap
tuntutan eksternal dan internal pada individu meliputi: usaha untuk menguasai
kondisi yang ada, menerima kondisi yang dihadapi, serta melemahkan atau
memperkecil masalah yang dihadapi.30 Menurut Lazarus dan Folkman, dalam
melakukan coping ada dua strategi yaitu, problem-focused coping dan
emotion-focused coping. Problem-focused coping, yaitu usaha mengatasi stres
dengan cara mengatur atau mengubah masalah yang dihadapi dan lingkungan
sekitarnya yang menyebabkan terjadinya tekanan. Sedangkan emotion-focused
coping, yaitu usaha mengatasi stres dengan cara mengatur respon emosional dalam
rangka menyesuaikan diri dengan dampak yang akan ditimbulkan oleh suatu kondisi
atau situasi yang dianggap penuh tekanan.31 Individu cenderung untuk
menggunakan problem-focused coping dalam menghadapi masalah-masalah yang
menurut individu tersebut dapat dikontrolnya. Sebaliknya, individu cenderung
menggunakan emotion focused 29 Lazarus,R. & Folkman,S. Stres, Appraisal,
and Coping. (New York: Springer, 1984), hal 141-142. 30 Kertamuda, F. &
Herdiansyah H. Pengaruh Strategi Coping Terhadap Penyesuaian Diri Mahasiswa
Baru. (Jurnal Universitas Paramadina Vol.6 No.1, April 2009:11-23), hal 14. 31
Op cit, hal 150-152. 13 coping dalam menghadapi masalah-masalah yang menurutnya
sulit untuk dikontrol.32 Coping terdapat yang bersifat negatif maupun positif.
Menurut Weitten dan Lloyd (Ekaputri, 2012) coping yang bersifat negatif antara
lain (a) melarikan diri dari kenyataan atau situasi stres (giving up atau
withdraw): sikap apatis, kehilangan semangat atau perasaan tak berdaya, dan
mengkonsumsi minuman keras atau obat-obatan terlarang; (b) agresif: berbagai
perilaku yang ditujukan untuk menyakiti orang lain baik secara verbal maupun
non-verbal; (c) memanjakan diri sendiri (indulging yourself): berperilaku
konsumerisme yang berlebihan, minum minuman keras, berbelanja menghabiskan
uang; (d) mencela diri sendiri (blaming yourself): menilai negatif diri sendiri
sebagai respon terhadap frustasi atau kegagalan dalam memperoleh sesuatu yang
diinginkan; dan (e) mekanisme pertahanan diri (defense mechanism): menolak
kenyataan dengan cara melindungi diri sendiri dari suatu kenyataan yang tidak
menyenangkan, berfantasi, intelektualisasi (rasionalisasi), dan
overcompencation. 33 Sementara itu coping yang positif adalah yang bersifat
konstruktif, yang diartikan sebagai upaya-upaya untuk menghadapi stres secara
sehat. Coping yang konstruktif ini memiliki ciri-ciri sebagai berikut: (a)
menghadapi masalah secara langsung, mengevaluasi alternatif secara rasional
dalam upaya memecahkan masalah tersebut; (b) menilai atau mempersepsi situasi
stres 32 Lazarus,R. & Folkman,S. Stres, Appraisal, and Coping. (New York:
Springer, 1984), hal 150. 33 Ekaputri, N.R. Perbandingan Efektivitas Strategi
Problem Focused Coping dan Emotion Focused Coping dalam Meningkatkan
Pengelolaan Stres Siswa. (Skripsi Fakultas Ilmu Pendidikan Jurusan Bimbingan
dan Konseling Universitas Pendidikan Indonesia, 2012), hal 35-36. 14 didasarkan
kepada pertimbangan yang rasional; dan (c) mengendalikan diri (selfcontrol)
dalam mengatasi masalah yang dihadapi.34 Menurut Rutter (Smet, 1994) tidak ada
satu pun metode yang dapat digunakan untuk semua situasi stres. Tidak ada
strategi coping yang paling berhasil. Strategi coping yang paling efektif
adalah strategi yang sesuai dengan jenis stres dan situasi. Sebagaimana Taylor
menyebutkan bahwa keberhasilan coping lebih tergantung pada penggabungan
strategi coping yang sesuai dengan ciri masing-masing kejadian yang penuh
stres, daripada mencoba menemukan satu strategi coping yang paling berhasil.35
Cohen dan Lazarus (Ekaputri, 2012) mengemukakan, agar coping dilakukan dengan
efektif, maka strategi coping perlu mengacu pada lima fungsi tugas coping yang
dikenal dengan coping task. Kelima tugas itu adalah (a) mengurangi kondisi
lingkungan yang berbahaya dan meningkatkan prospek untuk memperbaikinya; (b)
mentoleransi atau menyesuaikan diri dengan kenyataan yang negatif; (c)
mempertahankan gambaran diri yang positif; (d) mempertahankan keseimbangan
emosional; dan (e) melanjutkan kepuasan terhadap hubungannya dengan orang
lain.36 Kondisi premenstrual syndrome - yang masing-masing wanita memiliki
kemungkinan mengalaminya dengan tingkat yang berbeda, bisa menjadi stressor
ataupun penguat stressor lainnya yang dihadapi mahasiswi. Mahasiswi yang
tingkat premenstrual syndrome-nya tinggi, mungkin menilai stressor yang 34
Ekaputri, N.R. Perbandingan Efektivitas Strategi Problem Focused Coping dan
Emotion Focused Coping dalam Meningkatkan Pengelolaan Stres Siswa. (Skripsi
Fakultas Ilmu Pendidikan Jurusan Bimbingan dan Konseling Universitas Pendidikan
Indonesia, 2012), hal 36. 35 Smet, B. Psikologi Kesehatan. (Jakarta: Grasindo,
1994), hal 145-146. 36 Op cit, hal 42. 15 muncul menjadi lebih berat sehingga
mengatasinya dengan menghindari atau bertindak pasif. Sedangkan mahasiswi yang
tingkat premenstrual syndrome-nya rendah, mungkin menilai stressor yang sama
sebagai hal yang umum sehingga mampu mengatasinya dengan tindakan yang lebih
aktif, seperti merencanakan langkah-langkah untuk bertindak langsung dalam
mengurangi atau menghilangkan tekanan akibat stressor. Oleh karena ketertarikan
pada permasalahan diatas, maka peneliti bermaksud mengkaji lebih dalam mengenai
“Hubungan Strategi Coping dengan Tingkat Premenstrual Syndrome pada Mahasiswi
Fakultas Psikologi Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang”. B.
Rumusan Masalah 1. Bagaimanakah strategi coping mahasiswi Fakultas Psikologi
Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang? 2. Bagaimanakah tingkat
Premenstrual Syndrome pada mahasiswi Fakultas Psikologi Universitas Islam
Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang? 3. Adakah hubungan antara strategi coping
dengan tingkat Premenstrual Syndrome pada mahasiswi Fakultas Psikologi
Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang? C. Tujuan Penelitian 1.
Untuk mengetahui strategi coping mahasiswi Fakultas Psikologi Universitas Islam
Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang 16 2. Untuk mengetahui tingkat Premenstrual
Syndrome pada mahasiswi Fakultas Psikologi Universitas Islam Negeri Maulana
Malik Ibrahim Malang 3. Untuk mengetahui ada tidaknya hubungan antara strategi
coping dengan tingkat Premenstrual Syndrome pada mahasiswi Fakultas Psikologi
Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang D. Manfaat Penelitian 1.
Manfaat teoritis: Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi bagi
pengembangan teori keilmuan psikologi yang terkait dengan strategi coping dan
premenstrual syndrome, serta dapat menjadi bahan acuan bagi penelitian
selanjutnya. 2. Manfaat praktis: Secara praktis, penelitian ini dapat membantu
mahasiswi untuk mengetahui seberapa tinggi tingkat strategi coping maupun
tingkat premenstrual syndrome mereka. Selain itu dapat memberikan wawasan atau
sumbangan informasi bagi para pembaca, khususnya di lingkungan Fakultas
Psikologi Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang, serta
masyarakat pada umumnya.
DOWNLOAD
No comments:
Post a Comment