Abstract
INDONESIA:
Manusia merupakan makhluk holistik, artinya berfungsi sebagai makhluk individual, social dan religi. Artinya manusia telah memiliki bibit religiusitas dalam alam ruhaniahnya. Seadngkan arti Religiusitas adalah suatu system yang kompleks dari kepercayaan sikap-sikap dan upacara-upacara yang menghubungkan individu dengan satu keberadaan atau makhluk yang bersifat ketuhanan, ada lima dimensi yaitu: dimensi keyakinan, dimensi praktik agama, dimensi penghayatan, dimensi pengetahuan agama, dimensi pengalaman dan konsekwensi Sedangkan perilaku agresif adalah segala bentuk perilaku yang dimaksud untuk menyakiti orang lain secara fisik maupun verbal. Meliputi beberapa perilaku diataranya agresi verbal, non- verbal, agresi kemarahan, dan agresi permusuhan. Oleh karenanya ada hubungan yang signifikan antara religiusitas dengan perilaku agresif, religiusitas berperan dalam pembinaan moral dan bersifat universal, dengan begitu bila tingkat religiusitas seseorang itu tinggi maka dapat menurunkan perilaku agresif.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui tingkat religiusitas dan tingkat agresifitas serta hubungan antara religiusitas dengan agresifitas pada remaja Madrasah Tsanawiyah Persiapan Negeri Batu. Hipotesis yang diajukan adalah ada hubungan negatif antara religiusitas dengan agresifitas.
Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif, dimana data yang diperoleh dari hasil penelitian digunakan untuk mengungkap sejumlah variabel tertentu. Sampel yang diambil adalah siswa kelas VII dan VIII MTs Persiapan Negeri Batu dengan dengan jumlah 100 responden, menggunkan startified sampel. Instrument penelitian mengggunakan angket religiusitas yang berjumlah 15 item dan angket perilaku agresif yang berjumlah 24 item. Data analisis menggunakan Product Moment Correlation dengan bantuan SPSS versi 11.5 for windows.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa tingkat religiusitas berada pada tingkat sedang yang ditunjukkan dalam prosentasinya 36% dan untuk perilaku agresif berada pada tingkat sedang juga yang ditunjukkan dengan prosentasenya 52%. Korelasi antara variabel adalah rxy sebesar -0,418 dengan nilai probabilitas sebesar 0,000 yang lebih kecil dari taraf signifikan sebesar 5% (0,000<0,05). Artinya ada hubungan negatif yang signifikan antara religiusitas dengan perilaku agresif.
Berdasarkan hasil penelitian tersebut, diharapkan dapat dijadikan pertimbangan dan memberi manfaat serta masukan yang baik bagi subjek yang diteliti, bagi lembaga, dan bagi peneliti selanjutnya.
ENGLISH:
Human is a holistic creature. It means that he taked a roles as an individual, social and religious creature. Human who show a spirit of religiosity in his life indicate that he has the spirit in a dept of his heart. Religiosity is a person quality of life with the god, human, and universe by obeying and devoting to the rule of his religion. Human has to prepare and get responsible to do the religion’s precept. Whereas, the aggressive behavior is the personal attitude which is intended physically or verbally to suffer anyone else. It includes the behavior of verbal, non-verbal, anger, and hostility aggression. So, there is a correlation between religiosity and aggressive behavior. Religiosity has important role to guide morality and has universal quality. In this case, if someone has a high spirit of religiosity, he will be able in a good order and it can cut down the aggressive behavior.
The purpose of this study is to know the percentage of religiosity and aggressive, and the relationship between both of them to the teenage at MTs started state of batu. Here, the hypothesis found is the negative correlation between religiosity and aggressive. This research used the quantitative method which is the data get from the result of research used to show a number of certain variables. The sample is 100 respondents. They are the student of class VII and VIII MTsN Pasuruan by stratified random sample. The research instrument is 64 items of questioners for religiosity and 24 items of questioner for aggressive behavior. While, Karl Pearson’s product moment correlation method used as the data analysis by windows SPSS version 11, 5.
The results of this study find that the level of religiosity at the mid-level that showed in 44 percent, whereas the level of aggressive behavior at the mid-level that showed in 47 percent. The correlation among variables are rxy equal -0,418 with probability 0,000 lower than significant level around 5% (0.0000<0, 05). It means that there is a significant relative relation between the religiosity and the aggressive behavior.
This study hoped give contribution, and useful to the research subject, institution, and the researcher its self and can be considered material for the next researcher that interested in similar study or research
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Remaja selalu menjadi perbincangan yang sangat
menarik, orang tua sibuk memikirkan anaknya yang menginjak remaja, sedangkan
guru merasa gembira ketika menghadapi anak didiknya yang mendapatkan prestasi,
namun terkadang pusing dan kehilangan akal ketika menghadapi anak didiknya yang
berperangai tidak terpuji, mengganggu dan meremehkan peraturan dan disiplin
sekolah. Kebanyakan para remaja sibuk dengan dirinya sendiri yang tidak mudah
untuk dimengerti dan diterima oleh orang tuanya. Terkadang oleh orang tua
dipandang sebagai anak yang sudah dewasa, tetapi disisi lain dianggap sebagai
anak yang masih ingusan, selain itu juga hubungan dengan teman-temannya
terjalin tidak menentu, adakalanya akrab dan ada kalanya bermusuhan sebab
itulah yang menjadikan ketidakjelasan pada diri seorang remaja, hal tersebut
dikarenakan emosinya yang belum stabil, sehingga kerap sekali terjadi
permusuhan kelompok yang dapat menimbulkan korban pada kedua belah pihak.
Aksi-aksi kekerasan yang terjadi saat ini baik individu maupun kelompok
(massal) sudah merupakan berita harian, apalagi tawuran (perkelahian) yang
terjadi pada kalangan pelajar saat ini yang mengakibatkan citra dari sekolah
tersebut ikut tercemar, padahal yang melakukan bukan atas dasar intruksi
sekolah melainkan dari inisiatif para pelajar sendiri, hal itu dipicu dengan
adanya perilaku agresi dari para pelaku yang meluapkannya dalam bentuk
kekerasan. Dari penelitian tentang perkelahian atau tawuran pelajar secara
kuantitas sebenarnya boleh dikatakan kecil. Pusat Pengendalian Gangguan Sosial
DKI Jakarta Raya mencatat, pelajar yang terlibat tawuran hanya sekitar 1.369
orang atau sekitar 0,08 % dari keseluruhan siswa yang jumlahnya mencapai
1.685.084 orang1 . Namun dari segi isu, korban, dan dampaknya, tawuran tidak
bisa dianggap enteng. Jumlah korban tewas akibat tawuran pelajar, sejak 1999
hingga kini yang tercatat mencapai 26 orang. Ini belum termasuk yang luka berat
dan ringan. Secara sosial, tawuran juga telah meresahkan masyarakat dan secara
material banyak fasilitas umum yang rusak, seperti dalam kasus pembakaran atau
pelemparan bus umum. Akhir tahun 2006 terdapat kasus kekerasan yang terjadi
pada anak usia sekolah dasar yang memakan korban temannya sendiri. Kasus ini
berupa aksi smackdown yang dipraktekkan dengan temannya sendiri sehingga
temannya harus menanggung sakit patah tulang pada tangan kanannya. Ketika anak
tersebut dikonfirmasi. Jawaban yang dilontarkan adalah dia hanya meniru adegan
smackdown. Begitu tragis apabila kita mendengar dan menyaksikan kejadian
tersebut, betapa pendidikan itu sangat di perlukan dalam kehidupan baik itu
pendidikan agama (religius) maupun pendidikan umum yang mengajarkan tentang
tingkah laku. Peniruan tidak langsung terhadap tontonan agresi di media massa
bisa terjadi apabila terdapat peningkatan respon agresif dari penontonnya dalam
bentuk perilaku yang ditonton. jika informasi kekerasan menjadi menu harian
kegiatan mental kita, misalnya dengan hobi menonton Smackdown, hal ini akan
meninggalkan jejak kuat dalam otak kita. Selanjutnya, dalam merespon berbagai
situasi yang kita hadapi, informasi tentang kekerasan yang telah merasuk kuat
dalam memori ini siap untuk mempengaruhi keputusan-keputusan tindakan
kita.Tanpa disadari, kita akan 1 M. Saad, Hasballah , 2004, Perkelahian Pelajar
(Potret Siswa SMU di DKI Jakarta) hal. 1 menjadi pelaku kekerasan; biasanya
untuk membuat orang lain memenuhi apa yang kita inginkan. Hal ini tidak hanya
berlaku pada anak-anak, tetapi juga orang dewasa. Namun, tidak semua orang
membiarkan dirinya dikendalikan oleh keadaan yang membanjir dalam lingkungannya
sebagian dari masyarakat sendiri secara mandiri menentukan apa yang dimasukkan
ke dalam proses-proses mentalnya, dan bagaimana mengolahnya. Hal ini berkembang
seiring dengan bertambahnya kematangan seseorang. Itulah sebabnya orang dewasa
tidak semudah anak-anak dan remaja dalam menerima pengaruh media massa.
Gambaran di atas menunjukkan bahwa nilai-nilai anti kekerasan merupakan filter
utama perilaku agresi. Lingkungan sekitar yang sarat dengan provokasi kekerasan
dapat mendorong orang untuk menjadi agresif, terutama bila seseorang bersikap
positif terhadap hal tersebut. Di sisi lain, nilai-nilai pribadi (yang menolak
kekerasan) serta mampu menguatkan individu untuk melepaskan diri dari provokasi
kekerasan dari lingkungannya dan tidak membiarkan diri berperilaku agresi. Pada
dasarnya setiap manusia yang hidup di dunia ini mempunyai sifat agresif dalam
dirinya, sebagai orang dewasa perlu belajar bagaimana cara mengontrol sifat
agresif tersebut. Begitu pula dengan anak dan remaja yang terkadang mereka melakukan
tindakan agresi seperti menendang, menggigit, dan melukai orang lain. Perilaku
agresi tersebut hampir sering terjadi dan hal itu mulai tampak pada masa
kelahiran anak, namun hal tersebut masih dalam kategori normal. Hal ini juga
tampil sebagai kesiapan anak untuk melindungi dirinya agar aman, tetapi memang
jika pola-pola itu menetap secara berlebihan, maka akan menjadi masalah yang
serius dan harus segera dikontrol. Seorang anak yang diabaikan (neglected
childern) sering menerima perhatian lebih sedikit dari teman sebaya mereka,
tetapi bukannya mereka tidak begitu disukai, sedangkan anak yang ditolak
(rejected childern) tidak disukai oleh teman sebaya mereka tampak lebih
mengganggu dan agresif yang dimunculkan dalam pergaulan sehari-hari, karena
merasa ditolak dan tidak disukai oleh teman sebayanya, hal itu sangat berbahaya
apabila tidak dikontrol dan ditangani secara khusus akan mendapatkan hambatan
dalam perkembangannya. Pengertian dari agresif sendiri adalah setiap tindakan
makhluk yang ditujukan untuk menyerang dan menyakiti makhluk lainnya, meskipun
agresi yang terjadi pada manusia lebih banyak bersifat verbal.2 Belajar
berperilaku dengan cara yang disetujui oleh masyarakat dan belajar menjadi
pribadi yang sosial itu memerlukan waktu dan proses yang panjang dan terus
berlanjut mulai dari anak-anak hingga masa dewasa sekalipun. Sehingga masa
remaja merupakan salah satu tugas perkembangan yang penting. Teori belajar
sosial menekankan interaksi antara perilaku dan lingkungan yang memusatkan diri
pada pola perilaku yang dikembangkan individu untuk menguasai lingkungan dan
bukan pada dorongan naluriah.3 Seperti yang telah diketahui bahwasanya masa
remaja usia (12-18) adalah masa pancaroba. Karena saat itu seorang anak
mengalami perubahan besar secara fisik, cognitive, psiko-sosial, dan moral.
Pada masa remaja membutuhkan pendamping atau pembimbing yang bisa mengerti akan
diri mereka. Pembimbing yang terbaik tentunya adalah orang tua mereka sendiri,
sedangkan disini orang tua menitipkan anaknya untuk di didik dan diajarkan ilmu
yang tidak mungkin mereka terima dirumah. Dalam hal ini adalah dunia pendidikan
yang melibatkan beberapa aspek dalam kehidupan remaja, dimana remaja
berinteraksi antara satu dengan yang lainnya (masyarakat sekolah). 2 Davidoff
Linda L. 1981. Psikologi Suatu Pengantar. Jakarta: Erlangga. Hal. 72 3
Atkinson. Rita L. 1980. Pengantar Psikologi. Jakarta: Erlangga. Hal. 56 Selain
pendidikan umum yang diajarkan disekolah juga tidak kalah penting pendidikan
agama, usia remaja merupakan masa yang sangat menentukan karena pada masa ini
adalah masa peralihan antara anak-anak dengan masa dewasa, sehingga terjadi
banyak perubahan baik secara fisik maupun psikis dalam hal kematangan
religiusitas dapat memberikan kontribusi lebih bagi remaja, dimana remaja bisa
mengontrol diri dalam bersikap dan bertutur kata, karena dalam ajaran agama
mengajarkan moral, tentang etika atau akhlaq yang harus dijalankan oleh seorang
hamba. Selain itu juga lingkungan keluarga juga menjadi faktor utama bagi
perkembangan remaja karena setelah mereka sekolah, dan sisa waktu yang lama
sekitar 17 jam itu dihabiskan dirumah, sehingga orang tuapun harus mengerti
tentang perkembangan remaja itu sendiri. Sebuah riset yang dilakukan pusat
studi hukum Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta tahun 2007 dengan
judul Hubungan religiusitas dengan porno aksi dikalangan remaja, yang
menyebutkan sekitar 15 % dari 202 responden remaja berumur 15-25 tahun sudah
melakukan hubungan seks, karena terpengaruh oleh tayangan porno aksi, melalui internet,
VCD, TV dan bacaan porno. Dari riset itu juga terungkap 93,5 % remaja sudah
menyaksikan VCD porno dengan alasan sekedar ingin tahu 69,6 % dan alasan lain
18,9 %.4 Dari hasil penelitian yang diperoleh diatas, maka benar religiusitas
sangat diperlukan setiap individu dalam membentuk moralitas. Sedangkan tingkat
religius tidak dapat diukur namun dapat dilihat dari pengalaman dan ilmu yang
dimiliki oleh individu dalam mengamalkan ajaran agamanya, tingkat religiusitas
merupakan kualitas kehidupan seseorang dalam berinteraksi dengan Tuhan, sesama
manusia, dan alam semesta yang disertai keterikatan dan ketaatan manusia
terhadap agama 4 Admin. 2007. Hubungna religiusitas dengan porno aksi
dikalangan remaja. Skripsi. Universitas islam indonesia yogyakarta. yang
dianutnya, mempunyai kesiapan dan tanggung jawab untuk melaksanakan ajaran dan
menjahui segala larangan agama. Pendidikan moral yang diberikan kepada remaja
sangat berpengaruh terhadap perilakunya, hal ini berhubungan erat dengan
kognitif, afektif dan konatif yang saling berinteraksi. Lembaga pendidikan
serta lembaga agama. Karena keduanya meletakkan dasar pengertian dan konsep
moral dalam diri remaja, pemahaman akan baik dan buruk, garis pemisah antara
sesuatu yang boleh dan tidak boleh dilakukan, diperoleh dari pendidikan dan
dari pusat keagamaan serta ajaran-ajarannya. Dikarenakan konsep moral dan
ajaran agama sangat menentukan sistem kepercayaan dalam hal ini sangat erat
hubungannya dengan emosional yang dimiliki oleh remaja. Faktor emosional merupakan
suatu bentuk perilaku yang didasari oleh emosi, yang berfungsi sebagai
penyaluran frustrasi atau pengalihan bentuk mekamisme pertahanan ego. Sikap
demikian dapat merupakan sikap yang sementara dan segera berlalu begitu
frustrasi telah hilang akan tetapi dapat pula merupakan sikap yang bertahan
lama. Perubahan perilaku dapat berubah dan berkembang karena hasil dari proses
belajar, proses sosialisasi, arus informasi, pengaruh kebudayaan dan adanya
pengalaman-pengalaman baru yang dialami oleh remaja (individu).5 Begitu banyak
pemicu yang ditimbulkan dari perilaku agresi, karena banyaknya faktor yang
mempengaruhi perilaku tersebut, salah satunya adalah jenis pendidikan, baik
pendidikan umum maupun agama, selain itu faktor lingkungan juga sangat berperan
penting dalam pembentukan karakteristik remaja, karena hal itu terkait dengan
model imitasi atau dorongan untuk meniru orang lain. Menurut Tarde faktor
imitasi ini merupakan satu-satunya faktor yang mendasari interaksi 5 Davidoff
Linda L., op. cit.. hlm.78 sosial.6 Seseorang akan berlaku sopan ataupun
bertindak keras sesuai dengan yang dilihatnya pada tingkah laku sehari-hari
baik dilingkungan sekolah, masyarakat dan yang lebih utama adalah lingkungan
keluarga. Jika religiusitas dan perilaku agresi dapat dilihat dari remaja itu
sendiri. Tingkat religiusitas disini merupakan kualitas kehidupan seseorang
dalam interaksinya dengan Tuhan, sesama manusia, dan alam semesta yang disertai
keterikatan dan ketaatan manusia terhadap agama yang dianutnya, temasuk juga
pegontrolan emosi dalam hal ini terdapat dalam moral atau akhlaq yang dimiliki
oleh seseorang, serta mempunyai kesiapan dan tanggungjawab untuk melaksanakan
ajaran agama serta menjahui larangan-Nya, sedangkan perilaku agresi berupa
kekerasan fisik, seksual dan emosi, individu atau kelompok yang menyerang satu
sama lain, termasuk sebagai suatu perilaku agresi. Perilaku agresi yang
dilakukan secara fisik adalah situasi dimana seorang anak, remaja atau suatu
kelompok secara langsung atau tidak langsung mengancam, melukai atau bahkan
melakukan pembunuhan pada seorang anak, remaja atau kelompok lainnya. Perilaku
agresi termasuk diantaranya mendorong, mengguncang, menendang, memeras,
membakar atau bentuk-bentuk kekerasan fisik lain baik yang dilakukan terhadap
manusia atau benda (property). Kekerasan secara emosi adalah suatu kondisi
dimana penyerangan dilakukan dalam bentuk verbal, ancaman, olokolok, mengejek,
berteriak, mengasingkan, menyebarkan rumor. Beberapa faktor yang menyebabkan
terjadinya kenakalan pada remaja yaitu: pengaruh teman sebaya, lingkungan
sosial, pola asuh dalam keluarga, dan pengaruh nonton flim/TV ataupun media
massa. Alangkah baiknya para orang tua khususnya dan para pendidik menanamkan
disiplin, pemberian contoh dan pendidikan mental 6 Walgito bimo. 1994.
Psikologi social. Yogyakarta: Andi offset. Hlm 66 spiritual kepada para remaja
sehingga hal ini dapat mencegah terhadap kenakalan dan perbuatan menyimpang
lainya yang dapat dilakukan oleh remaja. Dengan kondisi seperti yang telah
disebutkan diatas tentunya, banyak sekali unsur-unsur yang melatar belakangi
perilaku agresi. Mengingat pentingnya pendidikan umum untuk mencegah perilaku
agresi dikalangan remaja dan pendidikan agama dalam pengendalian perilaku
agresi yang berhubungan dengan moral atau akhlaq. Maka dipandang penting bagi
peneliti untuk melakukan penelitian “Hubungan Religiusitas Dengan Perilaku
Agresif Remaja Madrasah Tsanawiyah Persiapan Negeri Batu” B. Rumusan Masalah
Merujuk dari latar belakang diatas, maka dirumuskan masalah sebagai berikut: 1.
Bagaimana tingkat religiusitas remaja Madrasah Tsanawiyah Persiapan Negeri
Batu? 2. Bagaimana tingkat perilaku agresif remaja Madrasah Tsanawiyah
Persiapan Negeri Batu? 3. Apakah ada hubungan religius dengan tingkat agresif
pada remaja Madrasah Tsanawiyah Persiapan Negeri Batu? C. Tujuan Penelitian
Dari rumusan masalah diatas, maka dapat diambil tujuan sebagai berikut: 1.
Untuk mengetahui tingkat religiusitas remaja Madrasah Tsanawiyah Persiapan
Negeri Batu. 2. Untuk mengetahui tingkat perilaku agresif remaja Madrasah
Tsanawiyah Persiapan Negeri Batu. 3. Untuk mengetahui hubungan religiusitas
dengan perilaku agresif pada remaja Madrasah Tsanawiyah Persiapan Negeri Batu.
D. Manfaat Penelitian Dari penelitian ini diharapkan memperoleh beberapa kegunaan
antara lain: 1. Secara Teoritis Penelitian ini diharapkan dapat memberikan
kontribusi khazanah keilmuan psikologi khususnya psikologi perkembangan,
psikologi sosial, dan psikologi pendidikan. 2. Secara Praktis a. Sekolah
Sebagai bahan informasi dalam usaha sekolah untuk menciptakan interaksi sosial
antara guru dengan murid, murid dengan murid, dan murid dengan karyawan
sehingga tercipta suasana belajar yang kondusif demi terciptanya tujuan
belajar. b. Konseling dan Psikolog Sebagai bahan rujukan dalam membantu siswa
memecahkan masalahnya yang berhubungan dengan perkembangan sosial yang
berhubungan dengan perilaku agresif sehingga mampu menciptakan hubungan
interpersonal yang baik dengan teman-teman sebayanya sehingga anak mampu
berperilaku sesuai dengan keadaan dirinya dan dapat diterima dalam kelompok
teman sebaya. c. Peneliti Sebagai bahan informasi untuk belajar memahami
permasalahanpermasalahan remaja terutama dalam bidang pribadi dan sosial siswa.
DOWNLOAD
No comments:
Post a Comment