Jasa Pembuatan Skripsi

Jasa Pembuatan Skripsi
Jasa Pembuatan Skripsi

Monday, June 12, 2017

Jasa Buat Skripsi: download Skripsi Psikologi:Hubungan religiusitas dengan perilaku agresif remaja Madrasah Tsanawiyah Persiapan Negeri Batu


Abstract

INDONESIA:
Manusia merupakan makhluk holistik, artinya berfungsi sebagai makhluk individual, social dan religi. Artinya manusia telah memiliki bibit religiusitas dalam alam ruhaniahnya. Seadngkan arti Religiusitas adalah suatu system yang kompleks dari kepercayaan sikap-sikap dan upacara-upacara yang menghubungkan individu dengan satu keberadaan atau makhluk yang bersifat ketuhanan, ada lima dimensi yaitu: dimensi keyakinan, dimensi praktik agama, dimensi penghayatan, dimensi pengetahuan agama, dimensi pengalaman dan konsekwensi Sedangkan perilaku agresif adalah segala bentuk perilaku yang dimaksud untuk menyakiti orang lain secara fisik maupun verbal. Meliputi beberapa perilaku diataranya agresi verbal, non- verbal, agresi kemarahan, dan agresi permusuhan. Oleh karenanya ada hubungan yang signifikan antara religiusitas dengan perilaku agresif, religiusitas berperan dalam pembinaan moral dan bersifat universal, dengan begitu bila tingkat religiusitas seseorang itu tinggi maka dapat menurunkan perilaku agresif.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui tingkat religiusitas dan tingkat agresifitas serta hubungan antara religiusitas dengan agresifitas pada remaja Madrasah Tsanawiyah Persiapan Negeri Batu. Hipotesis yang diajukan adalah ada hubungan negatif antara religiusitas dengan agresifitas.
Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif, dimana data yang diperoleh dari hasil penelitian digunakan untuk mengungkap sejumlah variabel tertentu. Sampel yang diambil adalah siswa kelas VII dan VIII MTs Persiapan Negeri Batu dengan dengan jumlah 100 responden, menggunkan startified sampel. Instrument penelitian mengggunakan angket religiusitas yang berjumlah 15 item dan angket perilaku agresif yang berjumlah 24 item. Data analisis menggunakan Product Moment Correlation dengan bantuan SPSS versi 11.5 for windows.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa tingkat religiusitas berada pada tingkat sedang yang ditunjukkan dalam prosentasinya 36% dan untuk perilaku agresif berada pada tingkat sedang juga yang ditunjukkan dengan prosentasenya 52%. Korelasi antara variabel adalah rxy sebesar -0,418 dengan nilai probabilitas sebesar 0,000 yang lebih kecil dari taraf signifikan sebesar 5% (0,000<0,05). Artinya ada hubungan negatif yang signifikan antara religiusitas dengan perilaku agresif.
Berdasarkan hasil penelitian tersebut, diharapkan dapat dijadikan pertimbangan dan memberi manfaat serta masukan yang baik bagi subjek yang diteliti, bagi lembaga, dan bagi peneliti selanjutnya.
ENGLISH:
Human is a holistic creature. It means that he taked a roles as an individual, social and religious creature. Human who show a spirit of religiosity in his life indicate that he has the spirit in a dept of his heart. Religiosity is a person quality of life with the god, human, and universe by obeying and devoting to the rule of his religion. Human has to prepare and get responsible to do the religion’s precept. Whereas, the aggressive behavior is the personal attitude which is intended physically or verbally to suffer anyone else. It includes the behavior of verbal, non-verbal, anger, and hostility aggression. So, there is a correlation between religiosity and aggressive behavior. Religiosity has important role to guide morality and has universal quality. In this case, if someone has a high spirit of religiosity, he will be able in a good order and it can cut down the aggressive behavior.
The purpose of this study is to know the percentage of religiosity and aggressive, and the relationship between both of them to the teenage at MTs started state of batu. Here, the hypothesis found is the negative correlation between religiosity and aggressive. This research used the quantitative method which is the data get from the result of research used to show a number of certain variables. The sample is 100 respondents. They are the student of class VII and VIII MTsN Pasuruan by stratified random sample. The research instrument is 64 items of questioners for religiosity and 24 items of questioner for aggressive behavior. While, Karl Pearson’s product moment correlation method used as the data analysis by windows SPSS version 11, 5.
The results of this study find that the level of religiosity at the mid-level that showed in 44 percent, whereas the level of aggressive behavior at the mid-level that showed in 47 percent. The correlation among variables are rxy equal -0,418 with probability 0,000 lower than significant level around 5% (0.0000<0, 05). It means that there is a significant relative relation between the religiosity and the aggressive behavior.
This study hoped give contribution, and useful to the research subject, institution, and the researcher its self and can be considered material for the next researcher that interested in similar study or research

BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
 Remaja selalu menjadi perbincangan yang sangat menarik, orang tua sibuk memikirkan anaknya yang menginjak remaja, sedangkan guru merasa gembira ketika menghadapi anak didiknya yang mendapatkan prestasi, namun terkadang pusing dan kehilangan akal ketika menghadapi anak didiknya yang berperangai tidak terpuji, mengganggu dan meremehkan peraturan dan disiplin sekolah. Kebanyakan para remaja sibuk dengan dirinya sendiri yang tidak mudah untuk dimengerti dan diterima oleh orang tuanya. Terkadang oleh orang tua dipandang sebagai anak yang sudah dewasa, tetapi disisi lain dianggap sebagai anak yang masih ingusan, selain itu juga hubungan dengan teman-temannya terjalin tidak menentu, adakalanya akrab dan ada kalanya bermusuhan sebab itulah yang menjadikan ketidakjelasan pada diri seorang remaja, hal tersebut dikarenakan emosinya yang belum stabil, sehingga kerap sekali terjadi permusuhan kelompok yang dapat menimbulkan korban pada kedua belah pihak. Aksi-aksi kekerasan yang terjadi saat ini baik individu maupun kelompok (massal) sudah merupakan berita harian, apalagi tawuran (perkelahian) yang terjadi pada kalangan pelajar saat ini yang mengakibatkan citra dari sekolah tersebut ikut tercemar, padahal yang melakukan bukan atas dasar intruksi sekolah melainkan dari inisiatif para pelajar sendiri, hal itu dipicu dengan adanya perilaku agresi dari para pelaku yang meluapkannya dalam bentuk kekerasan. Dari penelitian tentang perkelahian atau tawuran pelajar secara kuantitas sebenarnya boleh dikatakan kecil. Pusat Pengendalian Gangguan Sosial DKI Jakarta Raya mencatat, pelajar yang terlibat tawuran hanya sekitar 1.369 orang atau sekitar 0,08 % dari keseluruhan siswa yang jumlahnya mencapai 1.685.084 orang1 . Namun dari segi isu, korban, dan dampaknya, tawuran tidak bisa dianggap enteng. Jumlah korban tewas akibat tawuran pelajar, sejak 1999 hingga kini yang tercatat mencapai 26 orang. Ini belum termasuk yang luka berat dan ringan. Secara sosial, tawuran juga telah meresahkan masyarakat dan secara material banyak fasilitas umum yang rusak, seperti dalam kasus pembakaran atau pelemparan bus umum. Akhir tahun 2006 terdapat kasus kekerasan yang terjadi pada anak usia sekolah dasar yang memakan korban temannya sendiri. Kasus ini berupa aksi smackdown yang dipraktekkan dengan temannya sendiri sehingga temannya harus menanggung sakit patah tulang pada tangan kanannya. Ketika anak tersebut dikonfirmasi. Jawaban yang dilontarkan adalah dia hanya meniru adegan smackdown. Begitu tragis apabila kita mendengar dan menyaksikan kejadian tersebut, betapa pendidikan itu sangat di perlukan dalam kehidupan baik itu pendidikan agama (religius) maupun pendidikan umum yang mengajarkan tentang tingkah laku. Peniruan tidak langsung terhadap tontonan agresi di media massa bisa terjadi apabila terdapat peningkatan respon agresif dari penontonnya dalam bentuk perilaku yang ditonton. jika informasi kekerasan menjadi menu harian kegiatan mental kita, misalnya dengan hobi menonton Smackdown, hal ini akan meninggalkan jejak kuat dalam otak kita. Selanjutnya, dalam merespon berbagai situasi yang kita hadapi, informasi tentang kekerasan yang telah merasuk kuat dalam memori ini siap untuk mempengaruhi keputusan-keputusan tindakan kita.Tanpa disadari, kita akan 1 M. Saad, Hasballah , 2004, Perkelahian Pelajar (Potret Siswa SMU di DKI Jakarta) hal. 1 menjadi pelaku kekerasan; biasanya untuk membuat orang lain memenuhi apa yang kita inginkan. Hal ini tidak hanya berlaku pada anak-anak, tetapi juga orang dewasa. Namun, tidak semua orang membiarkan dirinya dikendalikan oleh keadaan yang membanjir dalam lingkungannya sebagian dari masyarakat sendiri secara mandiri menentukan apa yang dimasukkan ke dalam proses-proses mentalnya, dan bagaimana mengolahnya. Hal ini berkembang seiring dengan bertambahnya kematangan seseorang. Itulah sebabnya orang dewasa tidak semudah anak-anak dan remaja dalam menerima pengaruh media massa. Gambaran di atas menunjukkan bahwa nilai-nilai anti kekerasan merupakan filter utama perilaku agresi. Lingkungan sekitar yang sarat dengan provokasi kekerasan dapat mendorong orang untuk menjadi agresif, terutama bila seseorang bersikap positif terhadap hal tersebut. Di sisi lain, nilai-nilai pribadi (yang menolak kekerasan) serta mampu menguatkan individu untuk melepaskan diri dari provokasi kekerasan dari lingkungannya dan tidak membiarkan diri berperilaku agresi. Pada dasarnya setiap manusia yang hidup di dunia ini mempunyai sifat agresif dalam dirinya, sebagai orang dewasa perlu belajar bagaimana cara mengontrol sifat agresif tersebut. Begitu pula dengan anak dan remaja yang terkadang mereka melakukan tindakan agresi seperti menendang, menggigit, dan melukai orang lain. Perilaku agresi tersebut hampir sering terjadi dan hal itu mulai tampak pada masa kelahiran anak, namun hal tersebut masih dalam kategori normal. Hal ini juga tampil sebagai kesiapan anak untuk melindungi dirinya agar aman, tetapi memang jika pola-pola itu menetap secara berlebihan, maka akan menjadi masalah yang serius dan harus segera dikontrol. Seorang anak yang diabaikan (neglected childern) sering menerima perhatian lebih sedikit dari teman sebaya mereka, tetapi bukannya mereka tidak begitu disukai, sedangkan anak yang ditolak (rejected childern) tidak disukai oleh teman sebaya mereka tampak lebih mengganggu dan agresif yang dimunculkan dalam pergaulan sehari-hari, karena merasa ditolak dan tidak disukai oleh teman sebayanya, hal itu sangat berbahaya apabila tidak dikontrol dan ditangani secara khusus akan mendapatkan hambatan dalam perkembangannya. Pengertian dari agresif sendiri adalah setiap tindakan makhluk yang ditujukan untuk menyerang dan menyakiti makhluk lainnya, meskipun agresi yang terjadi pada manusia lebih banyak bersifat verbal.2 Belajar berperilaku dengan cara yang disetujui oleh masyarakat dan belajar menjadi pribadi yang sosial itu memerlukan waktu dan proses yang panjang dan terus berlanjut mulai dari anak-anak hingga masa dewasa sekalipun. Sehingga masa remaja merupakan salah satu tugas perkembangan yang penting. Teori belajar sosial menekankan interaksi antara perilaku dan lingkungan yang memusatkan diri pada pola perilaku yang dikembangkan individu untuk menguasai lingkungan dan bukan pada dorongan naluriah.3 Seperti yang telah diketahui bahwasanya masa remaja usia (12-18) adalah masa pancaroba. Karena saat itu seorang anak mengalami perubahan besar secara fisik, cognitive, psiko-sosial, dan moral. Pada masa remaja membutuhkan pendamping atau pembimbing yang bisa mengerti akan diri mereka. Pembimbing yang terbaik tentunya adalah orang tua mereka sendiri, sedangkan disini orang tua menitipkan anaknya untuk di didik dan diajarkan ilmu yang tidak mungkin mereka terima dirumah. Dalam hal ini adalah dunia pendidikan yang melibatkan beberapa aspek dalam kehidupan remaja, dimana remaja berinteraksi antara satu dengan yang lainnya (masyarakat sekolah). 2 Davidoff Linda L. 1981. Psikologi Suatu Pengantar. Jakarta: Erlangga. Hal. 72 3 Atkinson. Rita L. 1980. Pengantar Psikologi. Jakarta: Erlangga. Hal. 56 Selain pendidikan umum yang diajarkan disekolah juga tidak kalah penting pendidikan agama, usia remaja merupakan masa yang sangat menentukan karena pada masa ini adalah masa peralihan antara anak-anak dengan masa dewasa, sehingga terjadi banyak perubahan baik secara fisik maupun psikis dalam hal kematangan religiusitas dapat memberikan kontribusi lebih bagi remaja, dimana remaja bisa mengontrol diri dalam bersikap dan bertutur kata, karena dalam ajaran agama mengajarkan moral, tentang etika atau akhlaq yang harus dijalankan oleh seorang hamba. Selain itu juga lingkungan keluarga juga menjadi faktor utama bagi perkembangan remaja karena setelah mereka sekolah, dan sisa waktu yang lama sekitar 17 jam itu dihabiskan dirumah, sehingga orang tuapun harus mengerti tentang perkembangan remaja itu sendiri. Sebuah riset yang dilakukan pusat studi hukum Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta tahun 2007 dengan judul Hubungan religiusitas dengan porno aksi dikalangan remaja, yang menyebutkan sekitar 15 % dari 202 responden remaja berumur 15-25 tahun sudah melakukan hubungan seks, karena terpengaruh oleh tayangan porno aksi, melalui internet, VCD, TV dan bacaan porno. Dari riset itu juga terungkap 93,5 % remaja sudah menyaksikan VCD porno dengan alasan sekedar ingin tahu 69,6 % dan alasan lain 18,9 %.4 Dari hasil penelitian yang diperoleh diatas, maka benar religiusitas sangat diperlukan setiap individu dalam membentuk moralitas. Sedangkan tingkat religius tidak dapat diukur namun dapat dilihat dari pengalaman dan ilmu yang dimiliki oleh individu dalam mengamalkan ajaran agamanya, tingkat religiusitas merupakan kualitas kehidupan seseorang dalam berinteraksi dengan Tuhan, sesama manusia, dan alam semesta yang disertai keterikatan dan ketaatan manusia terhadap agama 4 Admin. 2007. Hubungna religiusitas dengan porno aksi dikalangan remaja. Skripsi. Universitas islam indonesia yogyakarta. yang dianutnya, mempunyai kesiapan dan tanggung jawab untuk melaksanakan ajaran dan menjahui segala larangan agama. Pendidikan moral yang diberikan kepada remaja sangat berpengaruh terhadap perilakunya, hal ini berhubungan erat dengan kognitif, afektif dan konatif yang saling berinteraksi. Lembaga pendidikan serta lembaga agama. Karena keduanya meletakkan dasar pengertian dan konsep moral dalam diri remaja, pemahaman akan baik dan buruk, garis pemisah antara sesuatu yang boleh dan tidak boleh dilakukan, diperoleh dari pendidikan dan dari pusat keagamaan serta ajaran-ajarannya. Dikarenakan konsep moral dan ajaran agama sangat menentukan sistem kepercayaan dalam hal ini sangat erat hubungannya dengan emosional yang dimiliki oleh remaja. Faktor emosional merupakan suatu bentuk perilaku yang didasari oleh emosi, yang berfungsi sebagai penyaluran frustrasi atau pengalihan bentuk mekamisme pertahanan ego. Sikap demikian dapat merupakan sikap yang sementara dan segera berlalu begitu frustrasi telah hilang akan tetapi dapat pula merupakan sikap yang bertahan lama. Perubahan perilaku dapat berubah dan berkembang karena hasil dari proses belajar, proses sosialisasi, arus informasi, pengaruh kebudayaan dan adanya pengalaman-pengalaman baru yang dialami oleh remaja (individu).5 Begitu banyak pemicu yang ditimbulkan dari perilaku agresi, karena banyaknya faktor yang mempengaruhi perilaku tersebut, salah satunya adalah jenis pendidikan, baik pendidikan umum maupun agama, selain itu faktor lingkungan juga sangat berperan penting dalam pembentukan karakteristik remaja, karena hal itu terkait dengan model imitasi atau dorongan untuk meniru orang lain. Menurut Tarde faktor imitasi ini merupakan satu-satunya faktor yang mendasari interaksi 5 Davidoff Linda L., op. cit.. hlm.78 sosial.6 Seseorang akan berlaku sopan ataupun bertindak keras sesuai dengan yang dilihatnya pada tingkah laku sehari-hari baik dilingkungan sekolah, masyarakat dan yang lebih utama adalah lingkungan keluarga. Jika religiusitas dan perilaku agresi dapat dilihat dari remaja itu sendiri. Tingkat religiusitas disini merupakan kualitas kehidupan seseorang dalam interaksinya dengan Tuhan, sesama manusia, dan alam semesta yang disertai keterikatan dan ketaatan manusia terhadap agama yang dianutnya, temasuk juga pegontrolan emosi dalam hal ini terdapat dalam moral atau akhlaq yang dimiliki oleh seseorang, serta mempunyai kesiapan dan tanggungjawab untuk melaksanakan ajaran agama serta menjahui larangan-Nya, sedangkan perilaku agresi berupa kekerasan fisik, seksual dan emosi, individu atau kelompok yang menyerang satu sama lain, termasuk sebagai suatu perilaku agresi. Perilaku agresi yang dilakukan secara fisik adalah situasi dimana seorang anak, remaja atau suatu kelompok secara langsung atau tidak langsung mengancam, melukai atau bahkan melakukan pembunuhan pada seorang anak, remaja atau kelompok lainnya. Perilaku agresi termasuk diantaranya mendorong, mengguncang, menendang, memeras, membakar atau bentuk-bentuk kekerasan fisik lain baik yang dilakukan terhadap manusia atau benda (property). Kekerasan secara emosi adalah suatu kondisi dimana penyerangan dilakukan dalam bentuk verbal, ancaman, olokolok, mengejek, berteriak, mengasingkan, menyebarkan rumor. Beberapa faktor yang menyebabkan terjadinya kenakalan pada remaja yaitu: pengaruh teman sebaya, lingkungan sosial, pola asuh dalam keluarga, dan pengaruh nonton flim/TV ataupun media massa. Alangkah baiknya para orang tua khususnya dan para pendidik menanamkan disiplin, pemberian contoh dan pendidikan mental 6 Walgito bimo. 1994. Psikologi social. Yogyakarta: Andi offset. Hlm 66 spiritual kepada para remaja sehingga hal ini dapat mencegah terhadap kenakalan dan perbuatan menyimpang lainya yang dapat dilakukan oleh remaja. Dengan kondisi seperti yang telah disebutkan diatas tentunya, banyak sekali unsur-unsur yang melatar belakangi perilaku agresi. Mengingat pentingnya pendidikan umum untuk mencegah perilaku agresi dikalangan remaja dan pendidikan agama dalam pengendalian perilaku agresi yang berhubungan dengan moral atau akhlaq. Maka dipandang penting bagi peneliti untuk melakukan penelitian “Hubungan Religiusitas Dengan Perilaku Agresif Remaja Madrasah Tsanawiyah Persiapan Negeri Batu” B. Rumusan Masalah Merujuk dari latar belakang diatas, maka dirumuskan masalah sebagai berikut: 1. Bagaimana tingkat religiusitas remaja Madrasah Tsanawiyah Persiapan Negeri Batu? 2. Bagaimana tingkat perilaku agresif remaja Madrasah Tsanawiyah Persiapan Negeri Batu? 3. Apakah ada hubungan religius dengan tingkat agresif pada remaja Madrasah Tsanawiyah Persiapan Negeri Batu? C. Tujuan Penelitian Dari rumusan masalah diatas, maka dapat diambil tujuan sebagai berikut: 1. Untuk mengetahui tingkat religiusitas remaja Madrasah Tsanawiyah Persiapan Negeri Batu. 2. Untuk mengetahui tingkat perilaku agresif remaja Madrasah Tsanawiyah Persiapan Negeri Batu. 3. Untuk mengetahui hubungan religiusitas dengan perilaku agresif pada remaja Madrasah Tsanawiyah Persiapan Negeri Batu. D. Manfaat Penelitian Dari penelitian ini diharapkan memperoleh beberapa kegunaan antara lain: 1. Secara Teoritis Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi khazanah keilmuan psikologi khususnya psikologi perkembangan, psikologi sosial, dan psikologi pendidikan. 2. Secara Praktis a. Sekolah Sebagai bahan informasi dalam usaha sekolah untuk menciptakan interaksi sosial antara guru dengan murid, murid dengan murid, dan murid dengan karyawan sehingga tercipta suasana belajar yang kondusif demi terciptanya tujuan belajar. b. Konseling dan Psikolog Sebagai bahan rujukan dalam membantu siswa memecahkan masalahnya yang berhubungan dengan perkembangan sosial yang berhubungan dengan perilaku agresif sehingga mampu menciptakan hubungan interpersonal yang baik dengan teman-teman sebayanya sehingga anak mampu berperilaku sesuai dengan keadaan dirinya dan dapat diterima dalam kelompok teman sebaya. c. Peneliti Sebagai bahan informasi untuk belajar memahami permasalahanpermasalahan remaja terutama dalam bidang pribadi dan sosial siswa.

Untuk Mendownload Skripsi "Skripsi Psikologi" : Hubungan religiusitas dengan perilaku agresif remaja Madrasah Tsanawiyah Persiapan Negeri Batu." Untuk Mendownload skripsi ini silakan klik link dibawah ini
DOWNLOAD

Artikel Terkait:

No comments:

Post a Comment