Abstract
INDONESIA :
Fenomena adanya tarekat-tarekat kesufian dalam perkembangan keagamaan Islam merupakan salah satu gejala yang selalu menimbulakan polemik. Tidak semua masyarakat Islam dapat menerima kebenaran tarekat, sekalipun masyarakat itu berada di wilayah yang tadinya sebagai basis kelahiran dan pusat keunggulan tarekat. Ada alasan yang berbeda dalam mensikapi eksistensi terekat. Ada yang menolak dengan alasan karena tarekat dipandang sebagai gejala kebodohan umum dan tidak sesuai dengan jiwa modernisasi. Tarekat sendiri merupakan bagian dari tasawuf, yang kedudukannya sebagai praktik ajaran tasawuf, lebih lanjut dikatakan tarekat merupakan cara untuk mencapai tujuan tasawuf, dan sebagai bentuk final dari ajaran tasawuf yang merupakan produk dari sejarah perkembangan Islam yang memiliki dimensi ajaran mengenai ke-Tuhanan. Tarekat Qhadhiriyah wa Naqsyabandiyah adalah salah satu nama tarekat yang berkembang di Indonesia, dimana penamaan tarekat tersebut didasarkan atas para guru sufi yang menyebarkan ajaran ini. Tarekat Qhadiriyah wa Naqsyabandiyah yang ada di Pondok Pesantren Al Falah Kolomayan merupakan salah satu komunitas tarekat yang memiliki ruang gerakan dalam menyebar luaskan serta melestarikan ajaran sufi dengan menggunakan metode dzikir sebagai bentuk ritual dari ajaran tasawuf. Selain menjalankan aktifitas ritual para anggota tarekat ini juga memiliki dimensi sosial yang salah satunya adalah melakukan persepsi terhadap kehidupan bermasyarakat. Hal ini menjadi sebuah tolak ukur penting dalam meneliti perkembangan keagamaan yang ada di Indonesia. Komunitas tarekat yang ada di Pesantren Al Falah pada dasarnya memiliki ikatan emosional sesama anggota tarekat dengan ikatan normatif yang ada di dalam kelompok mereka sesuai dengan ajaran yang ada di dalam tasawuf. Namun demikian mereka juga memiliki tujuan dari sebuah komunitas yang salah satunya adalah mencapai ridha Tuhan.
Penelitian ini hendak mengetahui bentuk ritual yang dilakukan oleh pengikut tarekat Qadhiriyah wa Naqsyabandiyah di Pesantren Al-Falah Kolomayan. Selain itu penelitian bertujuan untuk mengetahui makna dan tujuan dari aktifitas ritual yang dilakukan oleh anggota tarekat Qadhiriyah wa Naqsybandiyah serta mengetahui persepsi sosial anggota tarekat terhadap kehidupan bermasyarakat.
Penelitian ini menggunakan metode kualitatif deskriptif. Peneliti memahami bahwa untuk mendapatkan pemahaman yang komperhensif tentang tarekat Qadhiriyah wa Naqsyabandiyah, deskriptif kualitatif adalah pendekatan yang dirasa tepat. Selain itu, dengan menggunakan metode ini peneliti senantiasa berada dilokasi penelitian dan mengamati serta mengikuti berbagai ritual yang dilakukan tarekat.
Berdasarkan penelitian dan analisis yang dilakukan, dapat dapat diambil kesimpulan bahwa bentuk ritual dari tarekat Qhadhiriyah wa Naqsyabandiyah adalah sebuah kegiatan yang dijadikan sebagai rutinitas yang terdiri dari aktifitas yang berasal dari ajaran pokok yang berupa membaca dzikir Laa Ilaaha illallah sebanyak 165 kali yang merupakan unsur tarekat Qadhiriyah dan dzikir sirri Allahu (ﷲا) dalam jumlah tertentu yang merupakan unsur tarekat Naqsyabandiyah yang dilaksanakan setelah melaksanakan shalat lima waktu. Sedangkan ritual tambahannya berupa aktifitas khusyusiyah dan membaca manaqib sebagai wujud kecintaan terhadap Gurunya. Sedangkan tujuan dari keseluruhan aktifitas ritual yang dilaksanakan dalam tarekat Qhadhiriyah wa Naqsyabandiyah adalah mendekatkan diri kepada Allah. Sedangkan secara spesifik tujuan dari keseluruhan ritual yang dilaksanakan itu berupa harapan dari upaya untuk mencapai kedekatan dengan Allah sebagai tujuan akhir. Selain itu penelitian juga menemukan bahwa persepsi sosial pengikut tarekat terhadap kehidupan bermasyarakat memiliki kecenderungan positif yang dapat dikategorikan sebagai persepsi masyarakat komunitarian yang selalu mempertahankan tradisi demi kemaslahatan sebagai bentuk dari ibadah sosial.
ENGLISH :
Phenomenon of existence of kesufian tarekat-tarekat in religious development of Islam represent one of the symptom which has polemical efect. It’s not all of Islam society can accept the truth of tarekat, even that society reside in region which at first as birth bases and center excellence of tarekat. There is different reason in respond of terekat eksistention. There is refusing by the reason of because tarekat viewed as the symptom stupidity of public and unsuitable with modernization head. Tarekat is represent the part of tasawuf, which dimiciling as teaching praktik of tasawuf, told by furthermore of tarekat represent the way to reach the target of tasawuf, and as final form of tasawuf teaching and as the product history development of Islam which has teaching concerning dimension of God theaching. Tarekat Qhadhiriyah Naqsyabandiyah is one of the name of tarekat which is expanding in Indonesia, where named of the tarekat based to the all of sufi’s theacher propagating this teaching. Tarekat Qhadiriyah wa Naqsyabandiyah exist in Maisonette of Pesantren Al Falah Kolomayan represent one of the tarekat community who has movement area in spreading abroad and also preserve teaching of sufi by using dzikir method as form ritual teaching of tasawuf. Besides running ritual aactivity, all member of tarekat this also have social dimension which one of them is perception to social life. This matter become a important yardstick in checking religious growth which is exist in Indonesia. Community of Tarekat which is exist in Pesantren Al Falah basically have emotional tying of member humanity of tarekat with tying of normatif exist in their group as according to teaching exist in in tasawuf. But they also have the intention of a community which one of them is to get God ridha.
This Research will know form of ritual which is done by follower of tarekat Qadhiriyah wa Naqsyabandiyah in Pesantren Al-Falah Kolomayan. Besides research aim to know the meaning and intention of ritual activity which is conducted by member of tarekat Qadhiriyah wa Naqsybandiyah and also to know social perception of tarekat member to social life.
This research use descriptive qualitative method. Researcher comprehend that to get the understanding of which is komperhensif about tarekat Qadhiriyah wa Naqsyabandiyah, descriptive qualitative is felt approach precisely. Besides, by using this method of researcher ever reside in research location and perceive and also follow various whics is done by ritual tarekat.
By this conducted analysis and research, it’s can take the conclusion that form of tarekat ritual Qhadhiriyah wa Naqsyabandiyah is an activity as continouing consist of activity which come from fundamental teaching which in the form of reading Laa Ilaaha illallah dzikir counted 165 times;rill which is represent element of tarekat Qadhiriyah and of dzikir sirri Allahu (ﷲا) certain in number that represent element of tarekat Naqsyabandiyah which is done after doing shalat five times. While his additional ritual in the form is khusyusiyah activity and read manaqib as love form to their Teacher. While intention of the overall of ritual activity which is executed in tarekat Qhadhiriyah wa Naqsyabandiyah is to draw self approach to Allah. While specificly the intention of the overall the executing ritual in the form is expectation of effort to reach contiguity with Allah as final purpose. Besides research also found that social perception the follower of tarekat to societal life have positive tendency which can be categorized as society perception of komunitarian which always maintain the tradition for the shake the peacefull as social forming of religious service.
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Perkembangan pengetahuan psikologi
dalam dunia pendidikan semakin mendapatkan peluang untuk menjadi sebuah
disiplin pengetahuan yang mendapatkan posisi signifikan diantara pengetahuan
modern lainnya. Khususnya psikologi sosial yang telah mendapatkan posisi
penting dalam psikologi modern, padahal psikologi sosial sebelumnya tidak
terlalu berperan. Hal ini disebabkan psikologi sosial telah memberikan
pencerahan bagaimana pikiran manusia berfungsi dan memperkaya jiwa dari
masyarakat kita. Melalui berbagai penelitian laboratorium dan lapangan yang
dilakukan secara sistematis, para psikolog sosial telah menunjukkan bahwa untuk
dapat memahami perilaku manusia, kita harus mengenali bagaimana peranan
situasi, permasalahan, dan budaya mereka.1 Fokus penelitian pengetahuan sosial
seperti Antropologi, Sosiologi, Psikologi saat ini adalah mengenai kebudayaan
dan agama yang dianggap paling penting dalam kajian tentang kemasyarakatan,
khususnya masyarakat di Indonesia. Hal ini disebabkan negara Republik Indonesia
memiliki idiologi Pancasila sebagai dasar negara, dimana Sila Pertama berbunyi
“Ketuhanan Yang Maha Esa” sebagai manifestasi dari negara yang memiliki prinsip
keagamaan. Hal ini secara historis dikemukakan oleh Ir. Soekarno: 1 Baron,
Robertt, A., & Byrne, Donn. Psikologi Sosial Jilid I, (Jakarta: Erlangga,
2003) hal. xv. “Menyusun Indonesia merdeka dengan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha
Esa. Prinsip Ketuhanan! Bukan saja bangsa Indonesia berTuhan. Tetapi
masing-masing orang Indonesia hendaknya ber-Tuhan Tuhannya sendiri. Yang
Kristen menyembah Tuhan menurut petunjuk Nabi al Masih, yang Islam bertuhan
menurut petunjuk Nabi Muhammad saw. Orang Budha menjalankan ibadatnya menurut
kitabkitab yang ada padanya. Tetapi marilah kita semuanya ber-Tuhan. Hendaknya
negara Indonesia ialah negara yang tiap-tiap orangnya dapat menyembah Tuhannya
dengan cara yang leluasa. Segenap rakyat hendaknya ber-Tuhan secara kebudayaan.
Yakni dengan tidak “egoisme-agama”. Dan hendaknya negara Indonesia satu negara
yang ber-Tuhan. Marilah kita amalkan, jalankan agama, baik Islam, Kristen
dengan cara yang berkeadaban. Apakah cara yang berkedaban itu?, iIalah hormat
menghormati satu sama lain. Nabi Muhammad saw telah memberi bukti yang cukup
tentang verdraagzaamheid, tentang menghormati agama-agama lain. Nabi Isa pun
telah menunjukkan verdraagzaamheid itu. Marilah kita di dalam Indonesia merdeka
yang kita susun ini, sesuai dengan itu, menyatakan : bahwa prinsip kelima dari
pada negara kita, ialah ke-Tuhanan yang berkebudayaan, keTuhanan yang berbudi
pekerti yang luhur, ke-Tuhanan yang hormatmenghormati satu sama lain. Hatiku
akan berpesta raya jikalau saudara- saudaraku menyetujui bahwa ‘Negara
Indonesia Merdeka’ berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. 2 Tentunya dalam
perguliran zaman, seiring dengan berjalannya ruang dan waktu, adanya sebuah
nilai yang dijunjung tinggi seperti Dasar Negara, dimana akan menjadi rujukan oleh
semua warga negara dan masyarakatnya dalam keseharianya, akan mengalami pasang
surut mengikuti dinamika sosial yang ada. Begitu pula perkembangan sebuah nilai
dalam komunitas beragama di Indonesia ini, dimana agama menjadi sesuatu yang
integral dalam 2 Dari kutipan dalam sidang BPUPKI 1 Juli 1945 tersebut,
tersirat dan tersurat bahwa dasar negara Indonesia yang pertama yang berbunyi
Ketuhana Yang Maha Esa, memiliki pengaruh penting serta menjadi salah satu
faktor penentu terbentuknya masyarakat Indonesia yang semua penduduknya memeluk
agama, serta menurut Soekarno prinsip tentang agama yang berkeTuhanan di
Indonesia menjadi salah satu bentuk budaya Indonesia. Lebih lanjut baca:
Sunoto, Mengenal Filsafat Pancasiala, Pendekatan MelaluiMetafisika, Logika Dan
Etika, (Yogyakarta: Hanindita Offset. 1987) hal. 53-55. masyarakat indonesia,
tentunya juga akan mengalami perubahan dan perkembangan mengikuti perkembangan
pengetahuan dan teknologi. Dewasa ini umat seluruh dunia sedang dilanda
keguncangan yang luar biasa akibat proses globalisasi yang bersifat mendunia.3
Hal ini disebabkan adanya kemajuan teknologi dibidang komunikasi yang sangat
pesat. Akibatnya tidak ada masyarakat yang bisa mengasingkan diri dari pengaruh
peradaban global, betapapun mereka berada di daerah terpencil. Bermunculannya
sektor-sektor industri besar yang kemudian beriringan dengan tumbuhnya
mekanisme pengaturan organisasi sosial yang lebih rumit dan kompleks, menuntut
tumbuhnya masyarakat nasional yang memungkinkan terciptanya ketertiban dan
ketenteraman, sehingga lalu lintas barang dan informasi terjamin. Kemajuan
teknologi komunikasi dan transportasi menaikkan intensitas mobilitas sosial dan
ruang dari masyarakat. Dalam konteks ini, sistem nilai dan kepercayaan
masyarakat terhadap dunia mengalami perubahan. Terjadi proses sekularisasi dan
memudarnya fungsi agama, termasuk Islam. Di Indonesia, agama dipertahankan
sebagai landasan moralitas bagi pelaksanaan pemerintahan dan modernisasi, baik
pada masa Orde Lama, sebagaimana terlihat dalam kebijakan Nasakom, maupun pada
masa Orde Baru, sebagaimana tercermin dalam pernyataan: "Indonesia bukan
negara sekuler, namun bukan pula negara teokratik, yang didasarkan pada suatu
agama, tetapi ‘Ketuhanan Yang Maha Esa’ mendapatkan tempat yang 3 Simuh, Sufisme
Jawa, Transfomasi Tasawuf Islam Ke Mistik Jawa (Yogyakarta: Bentang Budaya.
2002) hal. 1. agung".4 Persoalannya tidak terletak pada masalah penerimaan
atau penolakan terhadap agama atau modernisasi, melainkan intensitas pengaruh
modernisasi dan agama terhadap perilaku keagamaan masyarakat Indonesia.
Sehingga secara moral, pengawalan terhadap modernisasi menjadi tanggung jawab
pemerintah Indonesia serta semua rakyat dan semua agama di Indonesia termasuk
agama Islam. Menurut pandangan teori structural fungsionalis yang khas,
berpendapat bahwa masyarakat merupakan sistem sosial yang benar-benar
terintegrasikan, dan berusaha menjelaskan kehadiran berbagai struktur sosial
yang penting atau item kebudayaan dengan didasarkan pada kontribusinya bagi
pertahanan efektif dari suatu sistem sosial. Dalam mempostulasikan
persyaratan-persyaratan dasar bagi seluruh sistem sosial, para ilmuwan tersebut
menyatakan pentingnya integrasi moral, bahwa supaya masyarakat dapat hidup
berdampingan, anggota-anggotanya harus saling memiliki seperangkat nilai-nilai,
konsepsi tentang moralitas dan kehendak moral.5 Lebih lanjut Emile Durkheim
menambahkan bahwa keyakinankeyakinan keagamaan tiada lain merupakan refleksi
dari masyarakat itu sendiri, dengan ritual keagamaan yang melaluinya solidartas
kelompok diperkuat, dan kepercayaan pada tatanan moral ditegaskan kembali.
Karena alasan itulah, Parson tidak menginterpretasikan pernyataan Durkheim
bahwa 4 Sunoto, Mengenal Filsafat Pancasiala, Pendekatan MelaluiMetafisika,
Logika Dan Etika, (Yogyakarta: Hanindita Offset. 1987) hal. 95-96. 5 Stark,
Ropndey, One True God Resiko Sejarah Bertuhan Satu (Yogyakarta: Qalam. 2003)
hal. 356-357. “agama adalah sebuah fenomena sosial”, tetapi “masyarakat adalah
merupakan fenomena keagamaan”.6 Berdasarkan atas penelitian tentang organisasi
sistem ekonomi yang ada di Jawa dengan mengamati fenomena keagamaan yang ada di
Jawa. Clifford Geertz menemukan bahwa kategori masyarakat di Jawa dapat
dibedakan menurut kepercayaan keagamaan, preferensi etnis dan idiologi politik
masyarakat. Menghasilkan tiga tipe utama kebudayaan yang mencerminkan
organisasi moral kebudayaan Jawa sebagaimana dicerminkan di Mojokuto Pare
Kediri. Ide umum tentang ketertiban yang berkenaan dengan tingkah laku petani,
buruh, pekerja tangan , pedagang dan pegawai Jawa dalam semua arena kehidupan.
Tiga tipe kebudayaan di Jawa itu adalah abangan, santri, dan priyayi.7
Sedangkan watak dasar pengalaman umat Islam di Indonesia menurut Howard M.
Federpiel yang telah melakukan penelitian kajian Islam di Indonesia selama
seperempat abad, pada abad pertama ke-20 yang pertama, menemukan bahwa animisme
telah merusak pemikiran kebanyakan bangsa Indonesia dan merupakan kekuatan yang
dominan sehingga semua agama formal di negeri ini harus menyesuaikan diri
dengannya, baik secara sadar atau tidak. Telah sering diklaim bahwa Buddhisme
telah melakukan itu lebih 6 Ibid. hal. 357. 7 Tri kotomi Geertz ini didasarkan
pada perspektif sejarah masuknya Islam ke Indonesia serta benturan Islam dengan
Barat pada masa kolonialisme. Islam ke Indonesia tidak memasuki suatu kawasan
yang "hampa" sama sekali. Ia memasuki sebuah kawasan yang telah
mendapat bimbingan moral dari Hindu dan Budha serta "agama asli",
yaitu agama yang secara umum dianut oleh masyarakat di Asia Tenggara. Selain
itu, kedatangan Islam di Indonesia tidak langsung dari Arab, melainkan melalui
India. Dengan demikian wujud Islam di Indonesia menunjukkan wujud sinkretik.
Lebih lanjut baca: Geertz, Clifford. Abangan, Santri Priyayi Dalam Masyarakat
Jawa, (Jakarta: Dunia Pustaka Jaya. 1983) hal. 5-7. dahulu daripada Islam yang
mengikutinya dan menyesuaikan diri dengannya pula. Sebagai konsekwensinya,
banyak hal yang pada saat itu diwarnai dengan budaya sebelum Islam masuk,
khususnya yang terkait dengan masalah kematian, kuburan, dan pengagungan peran
orang-orang suci.8 Watak kedua adalah kehidupan masyarakat desa yang bersifat
tertutup dari masyarakat Indonesia yang sarat dengan berbagai macam
adat-istiadat, sebagai kekuatan sosial yang menurut sarjana Belanda cukup kuat
pengaruhnya dan dianggap sebagai hukum lisan yang mengatur semua warganya
selaku anggota masyarakat yang tertutup. Berdasarkan praktik dari generasi ke
generasi, tatanan sosial yang berlaku dipandang sebagai suatu yang berhak
menerima atau menolak pengaruh yang datang dari luar. Dan di dalam
pengklasifikasiannya, mereka bisa menentukan ukuran apa saja untuk menilai
pengaruh dari luar tersebut untuk bisa diterima, dan sarat apa saja yang harus
dipenuhi agar pengaruh tersebut dapat diakomodasikan. Hinduisme dan Buddhisme
sama-sama telah melakukan hal itu jauh lebih dahulu dari pada Islam, dan Islam
pun telah diterima tempat berbeda dengan persyaratan yang telah ditetapkan. 9
Watak ketiga berkaitan dengan sifat Islam itu sendiri yang dipandang sebagai suatu
yang sangat kuat dipengaruhi oleh unsur mistik, bahkan lebih besar dibandingkan
dengan bagian dunia Islam lainnya, dan bahwa standar pemikiran dan praktik
keagamaan telah dikaitkan untuk mengekspresikan 8 Saleh, Fauzan, Teologi
Pembaharuan, (Jakarta: Serambi Ilmu Semesta. 2004) hal. 5-7. 9 Ibid. Islam
melalui formulasi gerakan sufi atau tarekat besar seperti Naqsyabandiyah,
Syatariyah, dan Qadiriyah.10 Perlu juga difahami, bahwa unsur sufistik yang
ditemukan berdasarkan hasil penelitian diatas merupakan fenomena yang ada pada
subyek keagamaan yang ada di Indonesia yang juga memiliki latar belakang
historis. Dimana pada awal mula penyebaran agama Islam di nusantara terjadi
pergeseran serta negosiasi antar dua budaya yaitu budaya agama Islam dan budaya
lokal. Kesenjangan kemampuan mengatasi tantangan hidup dan kesulitan yang
dihadapi antara satu dengan yang lain kelompok dalam masyarakat, akan
menimbulkan perbedaaan diantara kelompok tersebut . Disamping itu, ketimpangan
distribusi pemilikan dan penguasaan fasilitas kehidupan dapat mengancam
kelangsungan solidaritas emosional yang bersifat mekanik dalam suatu
masyarakat. Fenomena adanya tarekat-tarekat kesufian (ordo sufisme) dalam
perkembangan keagamaan Islam merupakan salah satu gejala yang selalu menimbulakan
polemik. Tidak semua masyarakat Islam dapat menerima kebenaran tarekat,
sekalipun masyarakat itu berada di wilayah yang tadinya sebagai basis kelahiran
dan pusat keunggulan tarekat. Ada alasan yang berbeda dalam mensikapi
eksistensi terekat. Ada yang menolak dengan alasan karena tarekat dipandang
sebagai gejala kebodohan umum dan tidak sesuai dengan jiwa modernisasi. Dan ada
pula yang beralasan karena tarekat dianggap kegiatan yang menyimpang dari agama
Islam. Sedangkan selain dari 10 Ibid. kedua masyarakat di atas, boleh dikatakan
masyarakatnya bersifat netral atau berpendirian campuran dengan pola menolak
atau mengizinkan dan membiarkan tanpa peduli, atau bahkan mengikuti tradisi
ritual tarekat secara fanatik, seperti kasus di Kolomayan.11 Dimana terdapat
sebuah pesantren yang diberi nama Al-Falah, yang secara fungsional dijadikan
sebagai wadah pendidikan agama Islam untuk mendalami kitab kuning serta basis
penganut tradisi tarekat Qadiriyah wa Naqsabandiyah. Salah satu tradisi agung
(great tradition) di Indonesia adalah tradisi pengajaran agama Islam seperti
yang muncul di pesantren dan lembagalembaga serupa di luar Jawa serta
semenanjung Malaya. Alasan pokok munculnya pesantren ini adalah untuk
mentransmisikan Islam tradisional sebagaimana yang terdapat dalam kitab-kitab
klasik yang ditulis berabad-abad yang lalu. Kitab-Kitab ini di Indonesia
disebuat sebagai kitab kuning.12 Dimana pesantren di Indonesia dijadikan
sebagai salah satu institusi agama khususnya di Jawa menjadi sebagai basis
infiltrasi dan proses regenerasi nilainilai Islam terhadap generasi muda dan
para pelajar muslim yang mendalami tentang pengetahuan Agama Islam. Sebagai
sebuah pesantren, pondok pesantren Al-Falah juga masih mempertahankan corak
pendidikan tradisional yang menjadi ciri pondok pesantren pada umumnya, seperti
proses belajar mengajar dengan sistem 11 Kolomayan adalah sebuah Desa yang ada
di Kecamatan Srengat Kabupaten Blitar, dimana dijadikan sebagai salah satu
basis Tarekat qodiriah dan Naqsyabandiyah. Disana terdapat sebuah pondok
pesantren yang bernama Al-Falah yang dipimpin oleh seorang Mursyid K.H Imron
Mahbub sebagai guru tarekat. 12 Kitab ini di Indonesia dikenal sebagai kitab
kuning. Lebih lanjut baca: Bruinessen, Martin, Van. Kitab Kuning, Pesantren dan
Tarekat (Tradisi-Tradisi Islam di Indonesia), (Bandung: Mizan. 1999) hal. 17.
sorogan dan wetonan.13 Sistem ini di Pondok Pesantren Al-Falah diikuti oleh
para santri sedang mendalami Al-Qur’an dan kitab-kitab lain yang sifatnya masih
mendasar. Sedang sistem wetonan diikuti oleh para santri yang langsung di bawah
asuhan Kyai. Perkataan weton berasal dari perkataan bahasa Jawa “wektu” yang
artinya waktu. Asal mula disebut weton karena pelajaran diberikan pada
waktu-waktu tertentu, seperti waktu setelah subuh dan setelah dhohor. 14 Selain
proses belajar mengajar yang bercirikan sistem pendidikan tradisional, Pondok
Pesantren Al-Falah juga menerapkan sistem madrasah dengan menggunakan sistem
klasikal. Madrasah yang berada dalam naungan Pondok Pesantren Al-Falah dapat dikategorikan
dalam empat unit pendidikan. Kategori pertama adalah tingkat dasar (Madrasah
Ibtidaiyah), tingkat menengah (Madrasah Tsanawiyah), tingkat terakhir adalah
tingkat atas (Madrasah Aliyah), dan unit pendidikan menghafalkan Al-Quran bagi
santri putri (Tahfidhil Qur’an Putri). Para santri terdiri dari mereka yang
menetap di pesantren, karena berasal dari luar kota dan yang berdomisili di
sekitar pesantren. Dalam konteks kegiatan yang dilakukan Pondok Pesantren
Al-Falah memiliki kegiatan-kegiatan rutinitas diantaranya adalah majlis
istimail qur’an (menyimak santri yang hafal Al-Qur’an), bil ghaib “Sunan Ampel”
(ziarah 13 Sorogan dari perkataan sorog dari bahasa Jawa artinya mendorong.
Asal mula disebut sorogan adalah karena santri-santri yang mau belajar mendorongkan
kitabnya kepada seorang Guru. Lebih lanjut baca: Wiyosukarto, Amir hamzah.
Bacaan Terpilih Tentang Sejarah Pendidikan Nasional, (Malang: IKIP. 1985) hal.
26. 14 Ibid. hal 27. khusus ke makam Sunan Ampel di Surabaya), praktek manasik
Haji, muhafadhah aliyah, dan qira’atul qutub (mengkaji kitab-kitab kuning).
Sisi lain yang sangat menarik dari Pondok Pesantren Al-Falah ini adalah adanya
ajaran tarekat yang memiliki organisasi dengan baik. Indikatornya adalah mereka
memiliki sebuah tradisi amalan dzikir yang dilakukan setiap setelah shalat lima
waktu dan memiliki kegiatan yang dilakukan dengan rutin secara kontinyu melalui
aktifitas yang mereka sebut dengan Khususiyah (Tawajuhan), pembacaan manaqiban,
dan istighosah yang dilakukan secara terjadwal oleh para pengikut tarekat
Qadiriyah wa Naqsabandiyah di Kolomayan. Tarekat sendiri merupakan tuntunan
hidup praktis dari ajaran tasawuf dari pada corak konseptual yang bersifat
filosofis, dimana tarekat merupakan suatu dari trilogi dalam ajara Islam yang mencangkup
Iman, Islam, dan Ihsan.15 Secara etimologi tarekat berasal dari kata dalam
bahasa arab Thariq, yang artinya jalan. Dalam konteks ini jalan yang dimaksud
adalah cara menuju kepada tingkat kesufian. Soekomono mengatakan, untuk
mencapai tingkatan sufi seorang harus mencapai tingkat tingkatan dalam hidup,
yaitu syariat, tarekat, ma’rifat, dan hakikat.16 15 Dalam terminologi Islam
mengenai kajian tasawuf, tarekat berkedudukan sebagai praktik dari ajaran
tasawuf. Di mana sebuah agama yang memiliki konsep imanen, yaitu mengenai
pemahaman atas keimanan, yang untuk itu harus mempelajari ilmu Ushuluddin, dan
untuk memahami Islam (rukun Islam ) harus mempelajari Ilmu Fiqh, dan untuk
mempelajari Ihsan harus mempelajari Ilmu Tasawuf (tarekat). Ketiga-tiganya itu
mempunyai tempa tersendiri namun tidak dapatdipisahkan. Karena kebulatan
trilogi inilah yang disebut beragama Islam. Lebih lanjut lihat Mustofa Zahri,
Butir-Butir Mutiara Berita Pikiran Ilmiah Memahami Tauhid dan Tarekat Islam
(Surabaya. Bina Ilmu Offset. 1984) hal. 13. 16 Soekmono, Pengantar Sejarah
Kebudayaan Indonesia, (Yogyakarta: kanisius. 1988). hal 40. Sedangkan tasawuf
sendiri meskipun banyak para ahli yang talah memberikan definisi beragam dengan
penelitian mereka, namun pada intinya menyatakan bahwa tasawuf merupakan suatu
ilmu yang berupaya untuk memerangi hawa nafsu dan membersihkan hati agar dapat
berhubungan dengan Allah.17 Dari beberapa pendapat yang telah dijelaskan di
atas, dapat disimpulkan bahwa tarekat merupakan suatu cara atau metode untuk
mencapai tujuan tasawuf. Tercatat dalam sejarah Islam, tasawuf mempunyai
kontribusi yang besar terhadap Islamisasi di muka bumi ini.18 Bahkan Soetomo
menyatakan, Islam yang pertama kali masuk ke Indonesia adalah Islam sufi,
disamping ajaran tasawuf sendiri merupakan ajaran yang tidak terpisahkan dari
ajaran Islam. Ajaran ini dikembangkan oleh para wali melalui tarekat dan
pesantren.19 Lebih lanjut dinyatakan oleh Ach. Nashichuddin ; “Sufism come to
Indonesia along with the spread of Islam brought to the region by Moslem
traders. There is still controversy among scholars about who first brought
Islam to Indonesia. Some point to Moslem traders from Persia and Gujarat,
others offer evidences of Arab (either from Egypt, Hejaz, or Hadramaut)
influences on early Indonesian Moslems. Another point is mentionet by A. H.
Johns, an Australian philologist. He said that Islam was brouht to Indonesia by
Moslem traders who were members of a Sufi order from Baghdad after Mongolians
attacked it around 1258. (Abdullah; 1994) However, everyone agrees that Islam
entered Indonesia peacefully without holy wars or rebellions. That is perhaps
because Sufism played a big role 17 M. H, Rasyidi. Islam Untuk Disiplin Ilmu
Filsafat, (Jakarta: Proyek Pembinaan Pendidikan Agama Islam Pada Perguruan
Tingi Umum. 1984).hal 75. 18 Zahri, Musthafa. Kunci Memahami Ilmu Tasawuf,
(Surabaya : Bina Ilmu. 1983). hal. 157. 19 Sutomo, Adi, Heru. Perbandingan
Ajaran Sufi Dengan Kebatinan Jawa, (Surabaya: Bina Indra Karya. 1987). hal. 16.
in spreading Islam among Indonesians who were and still are very fond of
mysticism.”20 Dalam perkembangan tasawuf sendiri terdapat berbagai macam
pendapat serta opini yang diwacanakan di masyarakat yang terkadang memberikan
asumsi bahwa tasawuf dan tarekat memberikan pengajaran terhadap pengikutnya ke
askapisme atau melarikan diri dari dunia serta memberikan penekanan terhadap
pola hidup yang eklusif serta menolak segala sesuatu yang bersumber dari
lingkungan luar penganut tarekat. Di sisi lain juga terjadi penyalah gunaan
fungsi tarekat menurut Mustafa Zahri, bahwa terkadang tarekat dijadikan sebagai
kendaraan untuk mencapai sebuah kekuasaan mutlak.21 Dalam perguliran perjalanan
sejarah kemerdekaan Indonesia, ditemukan mengenai keterlibatan erat tarekat
dalam peperangan politik melawan agresi penjajah, seperti yang dilakukan oleh
Syeikh Abdussamad yang dikenal sebagai pengarang sastra melayu yang merujuk
terhadap ihya dan Bidayah Al-Hidayah-nya Al-Ghazali22, namun hal ini
menimbulkan dua asumsi mengenai keterlibatan pengikut tarekat dalam 20 Lihat
dalam el-Harakah, Jurnal Studi Islam dan Kebudayaan Vol. 63, No. 1,
JanuariApril 2006 oleh Ach. Nashichuddin. Sufisme in Java, The Meeting Point
between Sufism and Javanese Mysticism. (Malang. 2006) hal. 43. 21 Hal ini dijadikan
sebagai salah satu indikator penyebab yang membinasakan tasawuf di Indonesia,
karena ajaran tasawuf yang telah dibangun oleh wali songo pada awal penyebaran
Islam di Nusantra sudah mengakar kuat dalam masyarakat sehingga mudah sekali
dimanfaatkan oleh mereka yang hanya mencari pengaruh dengan memanfaatkan guru
tasawuf misalkan, seperti yang telah digambarkan dalam percaturan politik
kekuasaan diera Amangkurat II dan di era Kerajaan Demak ketika menghadapi era
kemelut politik, menggunakan salah satu dasar ajaran tasawuf yang berupa “Nur
Muhammad”dijadikan sebagai dasar Filsafat Negara untuk menenangkan pergolakan
politik yang ada ketika itu. Lebih lanjut baca Mustafa Zahri. Butir-Butir
Mutiara Berita Pikiran Ilmiah Memahami Tauhid dan Tarekat Islam. (Surabaya:
Bina Ilmu Offest.1984) Hal. 54-61. 22 Selain melakukan perlawanan terhadap
penjajah belanda pada penghujung abad ke-18 bersama dengan para pengikutnya,
Syaikh Abdussamad Al-Palibani juga menulis surat terhadap sulta Mataram
(Hamengkubuwono I) dan Susuhunan Prabu Jaka (putra Amangkurat IV) untuk melawan
para penjajah seperti yang telah dilakukan para sulta Mataram sebelumnya. Lebih
lanjut baca Martin Van Bruinessen. Kitab Kuning, Pesantren dan Tarekat
(Bandung: Mizan. 1999 ). hal. 330-336. sejarah perkembangannya sebagai predikat
milatansi yang dicerminkan melalui perlawanan yang dilakukan terhadap penguasa,
atau perilaku yang bersifat apolitik yang diindikasikan melalui pandangan
pengikut tarekat yang lebih berorientasi kepada urusan ukhrawi ketimbang masalah
dunia (eskapisme). Namun berdasarkan pendekatan teologi yang dilakukan oleh
Ihsan Ilahi Dhahir, berdasarkan pada sumber ajaran tasawuf serta
praktik-praktik mereka yang didasarkan pada konsep kasyaf dan ilham (mistik),
dalam karyanya yang diberi judul ‘Darasat fi At-Tasawuf’ memberikan penilaian
bahwa praktik tasawuf merupakan konspirasi untuk melawan Islam. Dimana praktik
yang mereka lakukan memasarkan akidah-akidah Yahudi, Kristen, sekte-sekte di
India, melestarikan kehinaan, statisme,serta menjauhkan kaum Muslimin dari
kekuasaan, pemerintahan, hak memilih dan dipilih.23 Namun pernyataan yang
diungkapkan oleh Dhahir ini menurut penulis lebih condong terhadap sisi
ideologi dari pada pendekatan teologi, karena dalam kerangka teologis yang
digunakan menggunakan pendekatan konflik antara dua teologi yang berseberangan
di wilayah penafsiran atas Al-Quran. Dalam kasus di Indonesia seperti yang
telah dilakukan oleh para pengikut tarekat yang ada di Rejoso Jombang, yang
sempat mengalami konflik antar penganut tarekat, yaitu tarekat Qadhiriyah wa
Naqsabandiyah, ketika Kiai Musta’in sebagai pemimpin Pesantren Darul Ulum
sekaligus 23 Dhahir, Ihsan Ilahi. Darah Hitam Tasawuf, Studi Kritis Kesesatan
Kaum Sufi.(Jakarta: Darul falah. 2001).hal. 128-129. sebagai Guru tarekat
mendukung partai Golkar menyongsong pemilu 1977.24 Hal ini diasumsikan sebagai
pembelotan yang terjadi dalam perkembangan tasawuf di Indonesia, karena
berbenturan dengan politik praktis yang mengesankan pemanfaatan kelompok
tarekat untuk mencapai kekuasaan. Dari beberapa contoh kasus di atas,
berdasarkan penelitian yang telah dilakukan terlihat benang merah penilaian
terhadap tarekat berdasarkan fenomena yang ada yang masing-masing memilki kasus
yang berbeda. Perbedaan pemikiran dan pengetahuan yang dimiliki masing-masing
individu yang bernaung di bawah bendera kultur tarekat, ternyata memiliki
variasi bentuk perilaku yang didasarkan pada lingkungan yang ada. Berangkat
dari hal inilah yang mendorong penulis untuk meneliti dan menuangkan idenya dalam
bentuk kerja penelitian lapangan. Dari akar masalah yang sudah dijelaskan di
latar belakang, penilitian ini sengaja dihadirkan untuk mengetahui perkembangan
internal pengikut tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah dan eksistensinya. Titik
persoalan yang diangkat adalah mengenai bentuk ritual yang dilakukan, makna
serta tujuan dari aktivitas ritual, dan pola persepsi sosial anggota tarekat
Qadhiriyah wa Naqsyabandiyah di Kolomayan tarhadap kehidupan masyarakat
dilingkungannya. 24 Dukungan ini tidak hanya menendai penyimpangan dan gangguan
terhadap struktur sosial yang ada, tetapi juga menunjukkan dimulainya
perpecahan diantara Kiai di Jombang, yang kemudian diikuti oleh konflik
tersembunyi diantara para pengikutnya. Konflik ini terjadi antar Kiai NU, yang
mempertahankan afiliasi dengan partai PPP, dan Kiai Mustain yang berafiliasi
dengan rekan-rekan dekatnya dengan partai Golkar. Lebih lanjut baca Endang
Turmudi. Perselingkuhan Kiai dan Kekuasaan. (Yogyakarta: LKiS Pelangi Aksara.
2004). hal. 128-129. Sifat spesifik dari organisasi tarekat yang ada di Pondok
pesantran AlFalah adalah organisasi yang bersifat terbuka, artinya
keanggotaannya tidak terbatas pada santri saja, tetapi memberi kesempatan
kepada warga di luar pesantren untuk menjadi anggotanya. Satu hal yang patut
menjadi catatan khusus dari keberadaan angota tarekat di pesantren ini adalah
santri itu sendiri, karena sebagai mana yang telah dijelaskan para anggota
berasal dari berbagai latar belakang sosial yang bersifat heterogen yang
berasal dari berbagai lapisan sosial, yang dapat dikategorikan sebagai berikut
: 1. Santri yang ikut menjadi anggota tarekat, namun juga melakukan aktivitas
menuntut ilmu keagamaan dan berdomisili di dalam pesantren. 2. Mereka yang
berasal dari luar pesantren yang memiliki berbagai macam aktifitas sosial
masyarakat yang berbeda. Namun para pengikut tarekat ini memiliki ikatan
emosional dalam suatu wadah tarekat yang membentuk norma kelompok yang
direalisasikan dalam bentuk tradisi. B. Rumusan Masalah Dari latar belakang di
atas, penelitian ini berupaya menjelaskan perilaku keagamaan di kalangan
penganut tarekat Qadhiriyah wa Naqsyabandiyah dengan perumusan sebagi berikut:
1. Bagaimana bentuk ritual yang dilakukan oleh pengikut tarekat Qadhiriyah wa
Naqsyabandiyah di Pesantren Al-Falah Kolomayan ? 2. Apakah makna dan tujuan
dari aktifitas ritual yang dilakukan oleh anggota tarekat Qadhiriyah wa
Naqsybandiyah ? 3. Bagaimana persepsi sosial anggota tarekat terhadap kehidupan
bermasyarakat ? C. Tujuan Penelitian Berdasarkan latar belakang dan
permasalahan yang telah dirumuskan di atas, maka tujuan umum dari penelitian
ini adalah menjelaskan karakteristik ajaran tasawuf yang sebenarnya, sehingga
dapat memberikan pemahaman yang komprehensif tentang manfaat dan ajaran
tasawuf, sedangkan secara khusus tujuan penelitian ini adalah : 1. Untuk
mendeskripsikan bentuk ritual yang dilakukan oleh pengikut tarekat di Pesantren
Al Falah Kolomayan ? 2. Mengetahui tujuan dari aktivitas ritual yang dilakukan
oleh anggota tarekat Qadhiriyah wa Naqsybandiyah di Kolomayan ? 3. Untuk
menemukan persepsi sosial anggota tarekat terhadap kehidupan bermasyarakat ? D.
Kegunaan Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi
pihak-pihak yang terkait baik secara praktis maupun teoritis, yang meliputi: 1.
Manfaat Praktis Secara praktis penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan
kebijakan pembinaan keagamaan dan masyarakat, kerukunan beragama dan
masyarakat, dan aspek-aspek kehidupan keagamaan lainnya dalam meningkatkan
ketahanan dan stabilitas sosial. Untuk lembaga tempat penelitian ini semoga
bisa bermanfaat bagi pihak-pihak yang terkait, antara lain: a. Pengasuh Pondok
Pesantren Al Falah sebagai guru tarekat Qadhiriyah wa Naqsyabandiyah yang
bertanggung jawab dalam pembinaan para anggota tarekat. b. Para anggota tarekat
dalam membina “ukhuwah Islamiyah” di masyarakat. c. Sebagai bahan informasi dan
bahan kajian penelitian tentang perilaku keagamaan khususnya mengenai tarekat
untuk selanjutnya. 2. Manfaat Teoritik Secara teoritis penelitian ini diharapkan
dapat memberi sumbangan keilmuan bagi pihak yang terkait, sekaligus sebagai
bahan telaah bagi penelitian selanjutnya.lebih lanjut mengenai hubungan antara
tradisi agama dan masyarakat, khususnya mengenai perilaku keagamaan para
penganut tarekat, serta menambah wawasan dalam studi Psikologi Sosial dan agama
Untuk Mendownload Skripsi "Skripsi Psikologi" : Persepsi sosial santri tarekat Qadhiriyah wa Naqsyabandiyah terhadap kehidupan bermasyarakat: Studi kasus mengenai ritus tarekat di Pondok Pesantren al-Falah Kolomayan Blitar." Untuk Mendownload skripsi ini silakan klik link dibawah ini
DOWNLOAD
No comments:
Post a Comment