Abstract
INDONESIA:
Kehamilan, melahirkan, dan pasca melahirkan merupakan peristiwa yang dapat menjadi sumber stress pada wanita. Setiap wanita harus bisa menyesuaikan diri dengan berbagai perubahan-perubahan, dan tuntutan-tuntutan pada peristiwa-peristiwa tersebut. Respon setiap wanita berbeda-beda, sebagian wanita berhasil menyesuaiakan diri dengan baik, sebagian lainnya tidak berhasil menyesuaikan diri dan mengalami gangguan-gangguan psikologis, salah satunya baby blues syndrome. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui Tingkat penyesuaian diri pada ibu yang mengalami baby blues syndrome, untuk mengetahui Tingkat kecenderungan baby blues syndrome pada ibu melahirkan, untuk mengetahui Hubungan antara penyesuaian diri dengan kecenderungan baby blues syndrome.
Penyesuaian diri adalah suatu proses yang dinamis dan terus menerus yang mencakup respon-respon mental dan tingkah laku sebgai usaha yang dilakukan individu untuk mencapai harmoni dan keselarasan pada diri sendiri, orang lain dan lingkungan. Baby blues syndrome adalah suatu periode pendek kestabilan emosi yang dialami oleh kebanyakan ibu yang baru melahirkan, dengan gejala muncul pada minggu pertama pasca persalinan, dengan criteria proses kelahiran normal maupun operasin Caesar dan mendapatkan point 8-12 pada skala EPDS.
Penelitian ini menggunakan metode penelitian Kualitatif yang berjenis korelasional, bertujuan untuk mengetahui ada tidaknya hubungan antara dua variable atau beberapa variable yang menjadi obyek penelitian. Subyek penelitian yang digunakan adalah 30 orang ibu pasca melahirkan yang mengalami baby blues syndrome.
Penelitian ini menggunakan analisis produk moment dari Karl Pearson untuk mengetahui hubungan antara penyesuaian diri dengan kecenderungan baby blues syndrome. Hasil penelitian diperoleh bahwasanya tidak terdapat hubungan yang signifikan. Hal ini dapat dilihat dari nilai koefisien korelasi (rxy) antara penyesuaian diri dengan kecenderungan baby blues syndrome adalah sebesar -0,141 dengan p= 0,456 > 0,05. Dengan ini dapat disimpulkan bahwa tidak adanya hubungan yang signifikan antara penyesuaian diri dengan baby blues syndrome.
ENGLISH:
Pregnancy, giving a birth and postpartum are moments where traumas should be happened to every mother that can be give much pressure for women. Each woman should adapt her self with all over transformation by themselves, and requirements of it. Their The problems responses are different by each of them from one another. Part of them can well adapting her self but not for some then become reason of what it’s called as Baby Blues syndrome. A psychology disorders how they treat their child. the others cannot do that. They have a psychological disorder namely baby blues syndrome. The purpose of this research are knowing a adjustment levels of a mother who has a syndrome adaptation who has baby blues syndrome. Than; to know the syndrome leaning of the probably that syndrome to mother who giving a birth. And, and to describe responsibility the correlation between adjustment and trend leaning of baby blues the syndrome.
Self adaptation is a dinamic and continue process about mentality responses and habitual behaviors, which are self efforts to obtain harmony, create balancing for self, the other person and environment. While Baby Blues Syndrome is a short emotion stability periodic which most woman feels after they give birth. This symptom appear in first week after give birth normally or caesarean section and they get 8 until 12 point on EPDS scale. This research use Moment Product of Karl Pearson qualitative method, specially about correlation. This method can explain each variable. Thirty people who has baby blues syndrome became respondent.
The other side, this research use product moment analysis from Karl Pearson to know relationship between adjustment and that syndrome. The results show that there’s no has no significant correlation between self-adapting and the syndrome leaning. It can be seen from correlation coefficient correlation value (rxy) between adjustment and baby blues syndrome leaning which is are -0,141 and with p = 0,456 > 0,05. The summary of this research are is that there is no significant relation between self adaptation and tendency of baby blues syndrome leaning.
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang Masalah
Manusia sejak dilahirkan akan berhadapan
dengan lingkungan yang menuntutnya untuk menyesuaikan diri. Penyesuaian diri
yang dilakukan oleh manusia diawali dengan penyesuaian secara fisiologis, yang
dikenal dengan adaptasi. Pada dasarnya manusia telah diberikan kemampuan untuk
melakukan adaptasi terhadap lingkungannya. Seiring dengan perkembangannya,
manusia tidak hanya membutuhkan adaptasi, akan tetapi juga dituntut untuk mampu
menyesuaikan diri secara psikologis yang disering disebut dengan adjustment
(penyesuaian diri). Penyesuaian diri dapat diartikan sejauh mana orang dapat
bergaul dengan baik dengan dirinya sendiri dan dengan orang lain. Penyesuaian
diri (adjustment) menurut Semiun, (2006, h 37) adalah sebagai usaha individu
dalam mengatasi kebutuhan, ketegangan, frustrasi serta konflik dan tercapainya
keharmonisan antara tuntutan diri dan lingkungan dengan melibatkan proses
mental dan perilaku. Penyesuaian diri merupakan salah satu persyaratan penting
bagi terciptanya kesehatan mental. Menurut Fahmy (1982, h 20) dasar pertama
dari tidak terjadinya penyesuaian diri pada seseorang adalah kegoncangan emosi
yang dideritanya, 2 kegoncangan emosi yang umum dialam hampir semua manusia
adalah stres. Manusia sejak lahir telah dihadapkan dengan lingkungan, yang
menjadi sumber stres. Caracara yang dilakukan untuk menghadapi lingkungan
beranekaragam, dan keberhasilan dalam penyesuaian diri pun beranekaragam. Bagi
mereka yang berhasil menyesuaikan diri, maka akan dapat hidup dengan harmonis,
tetapi bagi mereka yang gagal, akan mengalami maladjustment yang ditandai
dengan perilaku menyimpang dan tidak sesuai dengan nilai-nilai yang berlaku di
lingkungan. Stres atau tekanan terjadi apabila seseorang mengalami tekanan dari
lingkungan atau ia mengalami hambatan dalam memenuhi kebutuhannya yang
mengakibatkan frustasi dan ia tidak mampu mengatasinya (Ali, M & Ansori, M.
2006, h 21). Hurlock (1980, h.250) mencirikan masa dewasa dini sebagai masa
mengalami perubahan tanggung jawab menjadi orang dewasa mandiri dengan
menentukan pola hidup baru, memikul tanggung jawab baru dan membuat komitmen-komitmen
baru. Mereka diharapkan mampu mengembangkan sikap-sikap baru,
keinginan-keinginan, dan nilai-nilai baru yang sesuai dengan tugas
perkembangannya (Hurlock, 1980, h.246). Tugas perkembangan pada masa dewasa
muda yang dikemukakan oleh Havighurst (dalam Hurlock, 1980, h.10) diantaranya
adalah mulai membina keluarga, mengasuh anak, dan mengelola rumah tangga.
Berkaitan dengan tugas-tugas perkembangan pada masa dewasa dini, seorang wanita
perlu melakukan sejumlah penyesuaian yang diperlukan seiring dengan pencapaian
peran tersebut melalui 3 tahapan yang meliputi terjadinya kehamilan, proses
kehamilan, persalinan, dan pasca persalinan. Dapat disimpulkan bahwa, masa
dewasa dini merupakan periode penyesuaian diri terhadap pola-pola kehidupan
baru dan harapan-harapan sosial baru. Menyesuaikan diri dalam pola-pola
kehidupan baru, berarti dia memainkan peran sebagai suami atau istri, orang
tua, pekerja, atau pencari nafkah. Sedangkan, menyesuaikan diri sesuai dengan
harapan sosial, berarti mengembangkan sikap baru, keinginan baru dan
nilai-nilai baru sesuai tugas perkembangannya. Masa dewasa dini juga merupakan
periode yang paling banyak menghadapi perubahan dan penyesuaian diri. Peristiwa
yang banyak menghadapi perubahan dan membutuhkan penyesuaian diri pada masa dewasa
dini salah satunya adalah peristiwa kehamilan dan persalinan pada wanita.
Kehamilan dan kelahiran merupakan suatu peristiwa normal bagi setiap wanita di
seluruh dunia. Meskipun kehamilan dan persalinan pada umumnya merupakan
peristiwa yang normal dan membahagiakan bagi wanita yang mengalaminya, akan
tetapi kehamilan dan persalinan juga dapat menjadi suatu periode krisis dan
sumber stres dalam proses kehidupan seorang wanita. Karena, kehamilan merupakan
awal dari berbagai perubahan fisik dan psikis yang sangat berpengaruh terhadap
emosional seorang wanita yang mengalaminya (Mansur, 2008, h 134), dan
persalinan merupakan peristiwa bertambahnya anggota keluarga baru yang menuntut
tanggung jawab baru. Keduanya, kehamilan dan persalinan 4 merupakan peristiwa yang
membutuhkan penyesuaian diri dan adaptasi bagi pelakunya. Setiap tahap usia
kehamilan, ibu akan mengalami perubahan baik bersifat fisik maupun psikologis.
Sehingga ibu harus melakukan penyesuaian dan adaptasi pada setiap perubahan
yang terjadi. Perubahan fisik pada masa kehamilan, yaitu perut ibu akan semakin
membesar dengan bertambahnya usia kehamilan, dan berberapa perubahan lain
seperti : bertambahnya berat badan, semakin membesarnya payudara, pembekakan
pada kaki dan tangan, mudah lelah dan masih banyak perubahan fisik yang terjadi
pada masa kehamilan. Sedangkan, awal perubahan psikologis wanita hamil yaitu
periode syok, menyangkal kehamilannya, bingung dan sikap menolak (Pieter &
Lubis, dkk, 2010, h 232). Perubahan-perubahan tersebut tidak jarang menjadi
stressor tersendiri bagi seorang wanita. Pernyata tersebut didukung hasil
penelitian yang dilakukan oleh Putri (dkk) pada dalam penelitianya yang
berjudul “Hubungan antara Penyesuaian Diri dengan Stres Kehamilan Pertama”,
dengan hipotesis penelitian yang dilakukan pada 40 orang ibu hamil dengan usia
kehamilan 3-8 bulan dengan menggunakan metode analisis product moment dari
Pearson menunjukkan korelasi sebesar r = -0,411 dengan p = 0,010 (p < 0,05)
yang artinya ada hubungan negative yang signifikan antara penyesuaian diri
dengan stress kehamilan pertama. Dari hasil penelitian tersebut dapat diambil
kesimpulan bahwa semakin rendah penyesuaian diri semakin besar kemungkinan
wanita dapat mengalami stress pada kehamilan pertama. 5 Respon setiap wanita berbeda-beda
dalam menghadapi kehamilannya. Beberapa wanita menerima kehamilannya dan
beberapa yang lain menolak kehamilan. Penerimaan wanita terhadap kehamilannya
mempengaruhi penyesuaian dirinya. Biasanya, wanita hamil yang menerima dan
mengharapkan kehamilannya, akan lebih mudah menyesuaikan diri dari berbagai
perubahan daripada wanita yang menolak kehamilannya. Lederman, 1984 (dalam
Bobbak dkk, 2005, hal 126) yang mengemukakan bahwa langkah pertama dalam
beradaptasi peran ibu ialah menerima ide kehamilan dan mengasimilasi status
hamil ke dalam gaya hidup wanita tersebut. Hal ini sejalan dengan penelitian
yang dilakukan oleh Amalia Rahmadani (2007) yang melakukan penelitian yang
berjudul “ Strategi Penanggulangan (coping) pada Ibu yang Mengalami Postpartum Blues
di Rumah Sakit Umum Daerah Kota Semarang”. Menurutnya, penelitian ini penting
karena postpartum blues dapat berkembang menjadi depresi postpartum bila tidak
tertangani dengan baik sedangkan postpartum blues biasanya dianggap sebagai hal
wajar karena aktivitas hormon sementara. Hasil penelitian menunjukkan, sikap
hati yang terbuka terhadap kehamilan, persalinan, dan segala macam konsekuensi
yang muncul setelah persalinan sangat penting dalam penanggulangan postpartum
blues. Dukungan sosial dari keluarga merupakan faktor lain yang sangat membantu
penyelesaian masalah. Faktor biopsikososial akan membedakan pemaknaan
pengalaman postpartum blues dan penggunaan strategi penanggulangan antara
subjek yang satu dengan yang lain. 6 Jika kehamilannya tersebut diterima dengan
baik dan disambut gembira dan wanita hamil mempunyai hubungan yang baik dan
harmonis dengan keluarga, suami ataupun teman akan menjadikan kehidupan
sosialnya ideal. Akan tetapi, tidak semua wanita hamil memiliki suasana yang
ideal, dan tidak semua wanita hamil mempunyai hubungan harmonis dengan
orangtuanya maupun dengan keluarganya. Ada beberapa wanita yang justru
cenderung menolak kehamilannya. Permasalah-permasalah dengan sosialnya seperti
konflik dengan keluarga atau suami juga dapat memberikan tekanan tersendiri
sehingga ujian berupa kehamilan itu pasti akan terasa semakin berat dan menjadi
sebuah beban. Disamping itu, kehamilan tersebut mengandung resiko
mempertaruhkan nyawa, khususnya pada saat melahirkan, karena kehamilan dan
melahirkan merupakan perjuangan yang cukup berat bagi setiap wanita, yang tidak
luput dari ketakutan dan kesakitan. Pemikiran yang negatif dan perasaan takut
selalu menjadi penyebab reaksi stress pada masa kehamilan. Ibu yang mengalami
stress selama hamil mempengaruhi perkembangan fisiologis dan psikologis bayi
(Pieter & Lubis, 2010, h 236). Bidang kedokteran maupun bidang psikologi
sepakat bahwa proses melahirkan merupakan peristiwa yang paling rumit dalam
pengalaman manusia. Proses melahirkan juga memberikan banyak pengalaman-pengalaman
psikologis pada wanita. Kartono (1992, h 167) mengatakan bahwa meskipun zaman
sudah modern, kemajuan dalam bidang teknologi, ilmu pengetahuan khususnya dalam
bidang kedokteran dan kebidanan yang dapat membantu dan meringankan proses kelahiran,
7 namun keadaan psikis wanita yang akan melahirkan di zaman purba sampai
sekarang sama yaitu adanya kecemasan-kecemasan dan ketakutan-ketakutan.
Meskipun melahirkan merupakan proses biologis, namun hampir tidak ada tingkah
laku manusia terutama yang disadari dan proses biologisnya yang tidak
dipengaruhi oleh proses psikis. Begitu pula dengan melahirkan, proses
melahirkan bayi tidak hanya bersifat somatik tetapi juga bersifat psikosomatis.
Karena banyak elemen psikis yang ikut berperan dan mempengaruhi kelancaran atau
kelambatan proses melahirkan bayi tersebut (Kartono, 1992, h 167). Menjelang
minggu-minggu terakhir menuju kelahiran, kegelisahan dan ketidaknyamanan
jasmaniah ibu hamil telah mencapai titik puncaknya. Beban sangat berat selama
masa kehamilan akan memicu agresivitas perempuan pada bayi saat dilahirkan.
Sebagian perempuan menganggap bahwa masa-masa melahirkan adalah masa-masa yang
sulit yang menyebabkan mereka mengalami tekanan emosional yang mempengaruhi
hubungan antara anak dan ibu, khususnya pengaruh penerimaa atau respon ibu
terhadap bayinya (Saleha, 2009, h 44). Sehingga kehamilan yang seharusnya
menjadi puncak pemuliaan bagi perempuan karena dapat mereproduksi makhluk baru,
justru menjadi bencana bagi perempuan. Menjadi seorang ibu, merupakan keadaaan
yang membawa perubahan sangat besar dan merupakan suatu hal yang baru, karena
beban baru serta tanggung jawab perempuan sebagai seorang ibu semakin besar.
Sadar atau tidak kelahiran seorang bayi membawa perubahan dan menjadi orang tua
bukanlah hal yang mudah. Menjadi 8 seorang ibu berarti penyesuaian hubungannya
dengan bayi, suami, dan anggota keluarga lainnya. Maka daripada itu wanita
harus menyesuaikan diri dengan perannya yang baru sebagai ibu. Periode post
partum atau pasca melahirkan merupakan masa periode yang cukup sulit bagi
wanita, karena fisik wanita harus dapat menyesuaikan diri terhadap persalinan.
Selain itu wanita juga harus menyesuaikan diri terhadap tanggung jawab barunya
sebagai ibu untuk merawat bayinya. Perubahan fisik dan emosional yang kompleks
pada masa melahirkan dan pasca melahirkan memerlukan adaptasi dan penyesuaian
dari seorang wanita yang mengalaminya. Sedangkan pada masa melahirkan, wanita
juga akan mengalami perubahan-perubahan fisik dan psikis. Menurut Mansur (2008,
hal 152) menjadi orang tua merupakan suatu krisis tersendiri bagi wanita, dan
seorang wanita harus mampu melewati masa transisi, dari semula belum ada
momongan, kemudian lahir bayi yang menjadi tanggung jawabnya, seorang wanita
harus mampu menyesuaikan diri terhadap peran barunya tersebut sebagai seorang
ibu, sebagian wanita berhasil menyesuaikan diri dengan baik, tetapi sebagian
lainnya tidak berhasil menyesuaikan diri dan mengalami gangguan-gangguan
psikologis dengan berbagai gejala atau sindrom. Salah satu gangguan-gangguan
psikologis tersebut adalah baby blues. Proses melahirkan merupakan peristiwa
yang melelahkan, para ibu-ibu ini mudah mengalami depresi dan reaksi-reaksi
emosional. Sebenarnya ada tiga jenis reaski emosional yang dialami wanita setelah
melahirkan, yaitu : postpartum blues 9 atau baby blues, post partum depression
atau depresi setelah melahirkan dan psikosis post partum atau psikosis setelah
melahirkan. Gangguan emosional yang paling sering dijumpai pada hampir setiap
ibu baru melahirkan adalah postpartum blues atau baby blues. Post partum Blues
atau baby blues adalah perasaan sedih yang dialami wanita setelah melahirkan,
hal ini berkaitan dengan bayinya. Gejala blues disini menampilkan : tangisan
singkat, perasaan kesepian/ditolak, cemas, bingung, gelisah, letih, pelupa dan
tidak dapat tidur (Hansen,1990; Jones, 1990) dalam Bobak dkk., 1994, h 757).
Selain itu, wanita juga mengalami perubahan perasaan, khawatir mengenai sang
bayi, dan kurang percaya diri terhadap kemampuannya menjadi seorang ibu
(Ambarawati 2009) dalam Mansur, 2008, hal 154). Reaksi ini dapat terjadi pada
hari ketiga atau keempat pasca melahirkan dan memuncak antara hari kelima dan
keempat belas pasca melahirkan. Blues ini biasanya bersifat sementara dari bisa
mempengaruhi 75% sampai 80% wanita melahirkan (Bobak dkk.,2005, h 756).
Mendukung pernyataan tersebut Pieter & Lubis, (2010, h 257) juga menyatakan
bahwa 50% - 70% dari seluruh wanita pasca melahirkan akan mengalami sindrom
ini. Sedangkan di Indonesia gejala seperti post partum blues dan depresi
postpartum belum banyak dikeahui secara pasti, karena belum adanya lembaga
terkait yang melakukan penelitian terhadap kasus tersebut (Saleha, 2009, h 65).
Postpartum Blues ini dikategorikan sebagai gangguan mental ringan sehingga
sering tidak dipedulikan, tidak terdiagnosa dan akhirnya tidak 10 ditangani.
Meskipun baby blues dianggap sebagai hal yang normal dan sifatnya sementara,
dan dapat menghilang dengan sendirinya, akan tetapi jika tidak ditangani lebih
lanjut dan dibiarkan, sejumlah wanita dapat memiliki gejala yang lebih buruk
atau lebih lama yang disebut sebagai depresi postpartum dengan jumlah
bervariasi dari 5% hingga lebih dari 25% setelah ibu melahirkan (Daw dan
Steiner dalam Bobak dkk., 1994, h.757). Depresi postpartum hampir sama dengan
baby blues syndrome, perbedaan keduannya terletak pada frekuensi, intensitas,
serta durasi berlangsungya gejalagejala yang timbul. Pada post partum
depression, ibu akan merasakan berbagai gejala yang ada pada baby blues
syndrome, tetapi dengan intensitas yang lebih sering , lebih hebat, serta lebih
lama. Jadi, baby blues symdrome lebih ringan daripada post partum depression.
Jika ibu dapat tertidur sementara orang lain mengasuh bayinya disebut baby
blues (Danuatmaja & Meiliasari, 2003, h 83). Tetapi jika ibu tidak dapat
tidur karena ansietas itu berarti depresi setelah melahirkan atau post partum
depression (Wheeler, 2003, hal 182). Depresi postpartum tidak hanya berpengaruh
terhadap kondisi kejiwaan ibu saja, tetapi juga berpengaruh pada bayinya juga.
Tidak seperti postpartum blues, depresi postpartum tidak hilang dengan
sendirinya (Tackett, 2004, h 1). Jika wanita melahirkan sudah mengalami depresi
postpartum, ini akan sangat berbengaruh pada respon terhadap bayi yang
dilahirkannya. Selain itu ibu yang terkena depresi postpartum juga tidak bisa
menyusui bayinya karena ASI tidak dapat diproduksi, hal 11 tersebut disebabkan
karena depresi akan mengurangi sensitivitas pada ibu. Sementara, sensitivas
merupakan elemen terpenting dalam keberhasilan pemberian ASI (Tackett, 2004, h
2). Banyak faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya baby blues. Faktor
hormonal sering kali disebut sebagai pemicu timbulnya baby blues. Berupa
perubahan kadar estrogen, progesterone, prolaktin, dan estriol yang terlalu
rendah atau terlalu tinggi (Mansur, 2008, hal 156). Menurut Bobak, dkk., (2005,
h 757) kadar hormone prolaktin dan progesterone secara signifikan berhubungan
dengan depresi. Selain faktor hormonal tersebut, dukungan keluarga khususnya
suami merupakan faktor terbesar untuk memicu terjadinya Postpartum Blues. Hal
ini dikarenakan dukungan suami merupakan strategi koping penting pada saat
mengalami stress dan berfungsi sebagai strategi preventif untuk mengurangi
stress( Ingela 1999, dalam Fatimah 2009). Hal ini sejalan dengan penelitian
yang dilakukan oleh Siti Fatimah (2009), yang meneliti tentang “Hubungan
Dukungan Suami dengan Kejadian Postpartum Blues pada Ibu Primipara di Ruang
Bugenvile RSUD Tugurejo Semarang”. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui
hubungan dukungan suami dengan kejadian Postpartum Blues pada Ibu primipara
(kelahiran pertama) di ruang Bugenvile RSUD Tugurejo Semarang. Desain
penelitian ini menggunakan metode analitik korelasional dilaksanakan pada 25
ibu primipara yang melahirkan di Ruang Bugenvile RSUD Tugurejo Semarang pada
bulan Oktober 2009. Analisa data 12 menggunakan chi square untuk menguji
hubungan dukungan Suami dengan kejadian Postpartum Blues pada Ibu primipara.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa hasil uji chi square membuktikan adanya
hubungan dukungan suami dengan kejadian Postpartum Blues pada ibu primipara di
ruang Bugenvile RSUD Tugurejo Semarang dengan ρ value = 0,033. Maka diperlukan
dukungan suami yang lebih kepada istri melahirkan untuk mencegah gejala Postpartum
Blues. Dari hasil penelitian di dapatkan ada hubungan antara dukungan suami
dengan kejadian Postpartum Blues pada ibu primipara di ruang bugenvile RSUD
Tugurejo Semarang. Meskipun demikian, masih banyak faktor lain yang perlu
dipertimbangkan dalam terjadinya baby blues seperti pengalaman dalam proses
kehamilan dan persalinan, umur terlalu muda untuk melahirkan, kehamilan yang
tidak diinginkan, status ekonomi sosial, proses melahirkan tidak seperti yang
diharapkan, dan kelelahan fisik karena aktivitas menasuh bayi sepanjang hari.
Kennerly, bath, 1989 (dalam Bobak, dkk., 2005, h 757) menyebutkan tekanan dalam
pernikahan, riwayat PMS (Pre Mestruation Syndrome), dan penyesuaian sosial yang
buruk dapat menyebabkan terjadinya blues. Banyak perempuan mengalami perasaan
berubah-ubah secara ekstrem (mood swings) pascamelahirkan. Semua perempuan
berpotensi mengalaminya, seperti contoh kasus di bawah ini: Seorang perempuan,
A, berusia 25 tahun, merasa sedih, gundah, malas menyentuh dan mengurus
bayinya. Ia baru melahirkan seminggu sebelumnya. Ini adalah kelahiran bayi
pertama. Ia sebetulnya sangat 13 menginginkan memiliki bayi, namun bukan saat
ini. Saat-saat ini ia masih ingin membina karir dan mengumpulkan uang agar
kelak dapat menyediakan pendidikan dan fasilitas yang memadai bagi
anak-anaknya. A merupakan seorang yang senang dengan keteraturan dan kerapihan
dan baik sejak kecil. Ia juga selalu membuat jadwal atas semua kegiatan yang
akan dan sedang ia lakukannya, dan ia konsekuean mentaati jadwal yang telah
dibuatnya tersebut. Ketika mengetahui hamil dan hal itu di luar rencana dan
perkiraannya, maka ia merasa tidak siap, gundah dan gelisah. Ia sempat
memikirkan untuk menggugurkan kandungannya karena membayangkan apa dan
bagaimana yang akan terjadi tanpa persiapan yang matang, namun ketika hal ini
diungkapkan kepada suminya ternyata suminya tidak sependapat. Pada bulan-bulan
pertama kehamilan ia mengalami kecemasan dan kegundahan hati; ia juga mengalami
muntah-muntah lebih dari tiga bulan lamanya sehingga makanan sulit sekali
masuk. Perasaan gundah dan cemas kian berkurang dengan bertambahnya usia
kehamilan. Ny A mulai merasakan kemabali kekhawatiran yang sangat pada saat
akan melahirkan. Ia khawatir tidak mampu melahirkan secara normal, walaupun
akhirnya ia berhasil bersalin dengan lancar. Hari-hari pertama pasca melahirkan
ia mulai enggan menyusui bayinya, malas memandikan dan mengganti popok.. (Dalam
Elvira, 2006) Jika perempuan normal saja dapat mengalami gangguan kejiwaan
setelah melahirkan, apalagi yang memang tengah terimpit berbagai masalah, dari
masalah ekonomi sampai berbagai masalah sosial, seperti hamil di luar nikah,
pernikahan dini, atau penolakan dari keluarga, tak aneh jika kasus pembuangan
atau pembunuhan bayi meningkat belakangan ini ( Taufik, Tempo 10 Oktober 2010).
Hal-hal seperti di atas dapat saja terjadi karena periode pasca persalinan
merupakan periode yang cukup sulit bagi wanita, karena fisik ibu harus dapat
menyesuaikan diri terhadap proses persalinan. Menurut Mansur (2008, hal 152)
dan Saleha (2009, h 50-51) Seorang wanita harus mampu menyesuaikan diri
terhadap peran barunya tersebut sebagai seorang ibu, sebagian wanita berhasil
menyesuaikan 14 diri dengan baik, tetapi sebagian lainnya tidak berhasil
menyesuaikan diri dan mengalami gangguan-gangguan psikologis dengan berbagai
gejala atau sindrom. Hudono (dalam Farrer, H. 2001, h 207) ahli obsentri dan
ginekologi menyatakan bahwa beberapa penyakit atau komplikasi dalam obsentri
dan ginekologi ditimbulkan akibat gangguan psikologik uatau emosional atau
diperberat karenanya. Sebagai latar belakang timblnya penyakit atau komplikasi
pada ibu hamil dapat dijumpai berbagai tingkat ketidakmatangan dalam
perkembangan emosional dan psikososial, bersama-sama dengan derajat kecakapan
seseorang untuk menyesuaikan diri dengan situasi yang dihadapi, khususnya dalam
hubungannya dengan hubungan dengan keperempuanan, kehamilan, persalinan dan
keibuan. Melihat latar belakang di atas, pengenalan baby blues syndrome sebagai
bentuk gangguan emosional yang beresiko terhadap terjadinya depresi postpartum
dengan berbagai dampak yang menyertainya sangatlah penting. Menerima kehamilan
dan kemampuan penyesuain diri yang baik merupakan langkah awal yang harus di
lakukan oleh seorang wanita dalam menghadapi setiap perubahan dan tuntutan yang
terjadi selama proses kehamilan, persalinan dan periode pasca persalinan.
Namun, dalam penelitian ini peneliti ingin meneliti “Hubungan Penyesuain Diri
dengan Kecenderungan Baby Blues Syndrome pada Ibu Pasca Melahirkan. 15 B.
RUMUSAN MASALAH Dilihat dari latar belakang masalah yang ada, maka rumusan
masalah dalam penelitian ini adalah: 1. Bagaimana tingkat penyesuaian diri pada
ibu baby blues syndrome ? 2. Bagaimana tingkat kecenderungan baby blues
syndrome pada ibu melahirkan ? 3. Apakah ada hubungan antara penyesuaian diri
dengan baby blues syndrome pada ibu melahirkan ? C. Tujuan Penelitian 1. Untuk
mengetahui tingkat penyesuaian diri pada ibu yang mengalami baby blues
syndrome. 2. Untuk mengetahui tingkat kecenderungan baby blues syndrome pada
ibu melahirkan. 3. Untuk mengetahui hubungan antara penyesuaian diri dengan
kecenderungan baby blues syndrome pada ibu melahirkan. D. Manfaat Penelitian 1.
Manfaat Teoritis Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan
teoritis dalam memperkaya dan mengembangkan khasanah teori psikologi khususnya
subteori Psikologi Klinis dan Psikologi Perkembangan Dewasa mengenai
penyesuaian diri ibu yang mengalami baby blues syndrome. 16 2. Manfaat Praktis
Hasil penelitian ini dapat menjadi pengetahuan bagi ibu-ibu yang baru
melahirkan dan wanita pada umumnya terkait dengan fungsi maternal-nya sesuai
dengan kodratnya sebagai wanita. Melalui penelitian ini diharapkan adanya
persiapan yang lebih matang dalam menghadapi persalinan dan kemampuan adaptasi
yang lebih baik pada masa pasca salinnya sehingga dapat meminimalkan peluang
munculnya gangguan baby blues pada ibu.
Untuk Mendownload Skripsi "Skripsi Psikologi" : Hubungan antara penyesuaian diri dengan kecenderungan baby blues syndrome pada ibu pasca melahirkan: Studi korelasi pasien di RSIA Melati Husada Kota Malang dan RSIA IPHI Kota Batu." Untuk Mendownload skripsi ini silakan klik link dibawah ini
DOWNLOAD
No comments:
Post a Comment