Abstract
INDONESIA:
Sertifikasi merupakan program tunjangan dari pemerintah yang diberikan kepada para pendidik yang lulus standar kualifikasi dan standar kompetensi melalui lembaga sertifikasi. Penelitian terdahulu membuktikan bahwa adanya dampak negatif dari sertifikasi, salah satunya adalah pola gaya hidup (perilaku konsumtif) guru. Perilaku konsumtif merupakan kecenderungan seseorang untuk menggunakan/mengkonsumsi suatu produk tanpa batas. Seseorang lebih mementingkan faktor keinginan (want) dari pada kebutuhan (need).
Rumusan Masalah penelitian ini adalah: (1) Bagaimana perilaku konsumtif guru MI pria yang tersertifikasi, (2) Bagaimana perilaku konsumtif guru MI pria yang belum tersertifikasi, (3) Bagaimana perilaku konsumtif guru MI perempuan yang tersertifikasi, (4) Bagaimana perilaku konsumtif guru MI perempuan yang belum tersertifikasi. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan perilaku konsumtif pada guru Madrasah Ibtidaiyah berdasarkan status sertifikasi dan jenis kelamin di Kementerian Agama Kecamatan Lenteng, Kabupaten Sumenep. Hipotesis yang diajukan yaitu ada perbedaan perilaku konsumtif guru MI yang terserifikasi dan yang tidak tersertifikasi baik laki-laki maupun perempuan.
Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif. Subjek penelitian adalah Guru Madrasah Ibtidaiyah di Kementerian Agama Kecamatan Lenteng, Kabupaten Sumenep yang berjumlah 100 orang. Alat pengumpul data yang digunakan adalah skala perilaku konsumtif yang diadaptasi dari hasil penelitian Alfia Aisara. Analisis data dalam penelitian ini menggunakan ANOVA satu arah dengan teknik Uji F menggunakan bantuan SPSS versi 16.0 for windows.
Dari hasil penelitian ini diketahui tingkat perilaku konsumtif berdasarkan status sertifikasi dengan perolehan total guru yang tersertifikasi (46,36) dan guru yang tidak tersertifikasi (40,38) dengan nilai F = 24,484 (p < 0,001) dan nilai signifikan 0,000 (p<0,05) serta perilaku konsumtif guru berdasarkan jenis kelamin dengan perolehan total guru berjenis kelamin laki-laki (39,24) dan guru yang berjenis kelamin perempuan (47,50) dengan nilai F = 46,713 (p < 0,001) dan nilai signifikan 0,000 (p<0,05). Berdasarkan hasil dari Uji F dan ANOVA satu arah, maka dapat disimpulkan bahwa adanya perbedaan signifikan perilaku konsumtif guru Madrasah Ibtidaiyah berdasarkan status sertifikasi dan jenis kelamin di Kementerian Agama Kecamatan Lenteng, Kabupaten Sumenep.
ENGLISH:
Certification is a program of government allowances given to educators who passed the qualifying standard and the standard of competence through certification agency. Past research has proved that the negative impact of certifications, one of which is the pattern of life style (consumer behavior) teachers. Consumer behavior is a person's tendency to use / consume a product indefinitely. A person is more concerned with the desire factor (want) than demand (need).
Problem Formulation of this research are: (1) How is the consumer behavior of teachers MI men who are certified, (2) How is the consumer behavior of teachers MI man who has not been certified, (3) How is the consumer behavior of teachers MI women who are certified, (4) How is the consumer behavior of teachers MI women who have not been certified. This study aims to determine differences in consumer behavior based on Islamic Elementary School teacher certification status and gender in the Ministry of Religion District of Lanteng Sumenep. The proposed hypothesis that there are differences in consumer behavior that terserifikasi MI teacher and who is not certified both men and women.
This research is quantitative. Subjects were Islamic Elementary School Teacher in the Ministry of Religion District of Lanteng and Sumenep totaling 100 people. Data collection tool used is the scale of consumer behavior which is adapted from the research Alfia Aisara. Analysis of the data in this study using one-way ANOVA with F test techniques using SPSS version 16.0 for Windows.
From the results of this study to determine the level of consumer behavior based on the status of certification with the acquisition of a total of certified teachers (46.36) and teachers who are not certified (40.38) with a value of F = 24.484 (p <0.001) and a significant value of 0.000 (p <0.05) as well as the consumer behavior of teachers by gender with the acquisition of the total teacher male gender (39.24) and the teachers were female (47 , 50) with a value of F = 46.713 (p <0.001) and a significant value of 0.000 (p <0.05). Based on the results of the test and one-way ANOVA F, it can be concluded that there are significant differences of consumer behavior based on the Islamic Elementary School teacher certification status and gender in the Ministry of Religion District of Lanteng Sumenep
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Bagi manusia pendidikan merupakan sistem dan
cara meningkatkan kualitas hidup dalam segala bidang, sehingga dalam sepanjang
sejarah hidup umat manusia di muka bumi ini, hampir tidak ada manusia yang
tidak menggunakan pendidikan sebagai alat pembudayaan dan kualitasnya.
Pendidikan juga merupakan proses budaya untuk meningkatkan harkat dan martabat
manusia, dan berlangsung sepanjang hayat, yang dilaksanakan di lingkungan
keluarga, sekolah dan masyarakat. Karena itu, pendidikan merupakan tanggung
jawab bersama antara keluarga, masyarakat dan pemerintah (Arifin, M.1995).
Perkembangan zaman yang ditandai dengan persaingan kualitas atau mutu, menuntut
semua pihak dalam berbagai bidang dan sektor pembangunan untuk senantiasa
berlomba-lomba meningkatkan kompetensinya. Hal tersebut mendudukkan pentingnya
upaya peningkatan kualitas pendidikan baik secara kuantitatif maupun kualitatif
yang harus dilakukan terus menerus, sehingga nantinya pendidikan dapat
digunakan sebagai wahana dalam membangun watak bangsa (nation character
building). Salah satu faktor penting dalam sebuah pendidikan adalah Guru, untuk
itu guru sebagai main person harus ditingkatkan kompetensinya dan diadakan
sertifikasi sesuai dengan pekerjaan yang diembannya. Berdasarkan kerangka
inilah pemerintah merasa perlu 2 mengembangkan Standar Nasional Pendidikan
(SNP) dan Standar Nasional Indonesia (SNI) (E. Mulyasa.2007:7). Sertifikasi
guru dapat diartikan sebagai suatu proses pemberian pengakuan bahwa seseorang
telah memiliki kompetensi untuk melaksanakan pelayanan pendidikan pada satuan
pendidikan, setelah lulus uji kompetensi yang diselenggarakan oleh lembaga
sertifikasi dalam jabatan. Sekalipun sebagian warga masyarakat masih berpolemik
mengenai sertifikasi guru, dapatkah sertifikasi guru menjamin peningkatan
kualitas guru terutama dalam peningkatan kinerjanya. (Habibah, 2014)
Sertifikasi profesi merupakan jantungnya reformasi pendidikan. Indonesia sudah
berhasil melangkah maju dengan melahirkan UndangUndang Guru dan Dosen pada
tahun 2006, Peraturan Menteri Pendidikan Nasional RI Nomor 18 tahun 2007
tentang sertifikasi bagi guru dalam jabatan dan 13 Juli 2007 tentang penetapan
perguruan tinggi penyelenggara sertifikasi bagi guru dalam jabatan. Sebuah
tonggak sejarah yang menempatkan guru dan dosen sebagai profesi sebagaimana
halnya dokter, insinyur, dan lain sebagainya (Moh. Uzer Usman, 2010) yang
dikutip dalam Ramdan (2013). Kusnandar (2007) menuturkan bahwa tuntutan akan
kesejahteraan guru perlahan tetapi pasti ternyata direspons oleh pemerintah.
Namun, tampaknya pemerintah menempatkan peningkatan kesejahteraan guru dalam
kompetensi. Hal ini dapat dilihat dari beberapa indikator. Pertama, 3
pencanangan guru sebagai profesi oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada
tanggal 2 Desember 2004. Kebijakan ini adalah suatu langkah maju menuju
perbaikan kesejahteraan guru sekaligus tuntunan kualifikasi dan kompetensi
guru, guna menjawab tantangan dunia global yang semakin kompleks dan
kompetitif. Dalam kondisi seperti ini dibutuhkan sumber daya manusia yang handal
dan ini biasa dihasilkan dari dunia pendidikan yang dikelola guru yang
professional. Kedua, ditetapkan UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional. Melalui UU ini diatur hak dan kewajiban guru yang muaranya
adalah kesejahteraan dan kompetensi guru. Ketiga, lahirnya Peraturan Pemerintah
Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan. Peraturan Pemerintah
ini juga mensyaratkan adanya kompetensi, sertifikasi, dan kesejahteraan guru.
Keempat, UU Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen yang telah disahkan
tanggal 6 Desember 2005. UU ini juga menekankan pada tiga aspek penting dalam
peningkatan mutu pendidikan di Indonesia dilihat dari tenaga pendidik dan
kependidikan, yakni kualifikasi, sertifikasi, dan kesejahteraan. Sertifikasi
profesi diberikan oleh penyelenggara pendidikan dan lembaga pelatihan sebagai
pengakuan terhadap kompetensi untuk melakukan pekerjaan tertentu setelah lulus
uji kompetensi yang diselenggarakan oleh satuan pendidikan yang terakreditasi
atau lembaga sertifikasi. Sebagai penghargaannya pemerintah akan memberikan
tunjangan profesi setara gaji pokok. Dengan demikian uji kompetensi memiliki
peran yang sangat penting 4 karena akan menjadi pintu masuk yang menentukan
seorang guru itu profesional atau tidak. (Ramdan, 2013) Namun, untuk mewujudkan
profesionalitas guru ini masih terkendala beberapa masalah. Berdasarkan
Observasi yang dilakukan oleh peneliti, ada beberapa faktor yang menyebabkan
rendahnya kualitas guru di semua jenjang pendidikan. Pertama, kurangnya kesadaran
para guru untuk mengembangkan profesi keguruannya sehingga guru tersebut
berpengetahuan statis, tidak kreatif, dan tidak peka terhadap perkembangan ilmu
pengetahuan. Kedua, kompetensi guru yang belum maksimal. Hal itu disebabkan
kompetensi guru yang belum maksimal dan mengajar bukan pada bidang studinya.
Kedudukan guru merupakan jabatan profesional yang dibuktikan sertifikasi
sebagai wujud pengakuan akan kualifikasi dan kompetensi. Ketiga, penghasilan
yang minim sehingga tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Keadaan
seperti inilah, yang memaksa guru untuk bekerja diluar mengajar, seperti
berdagang, buruh, bertani bagi yang tinggal di desa, bahkan ada yang menjadi
tukang ojek. Hal ini terbukti berdasarkan pengamatan saya (peneliti) diperkuat
dengan wawancara pada salah satu guru: “Sekarang enak mbak jadi guru,
tunjangannya banyak, ditambah lagi dengan adanya sertifikasi, kalau dulu mbak
gajinya ya hanya gaji pokok yang berdasarkan golongan juga, jadi ya untuk
memenuhi kebutuhan sehari-hari belum tercukupi tapi kalau buat dapur saja
cukup, kalau anak mau minta ini itu harus cari uang dari luar kerja guru, kalau
saya pribadi buka toko sembako dirumah, sekarang dengan adanya program
sertifikasi ya alhamdulillah mbak bisa terpenuhi kebutuhan selain di dapur dan
bisa renovasi rumah lebih bagus lagi, bisa punya kendaraan sendiri-sendiri
soalnya dulu gantian sama suami” (wawancara AY, 30 Mei 2016) 5 Adanya stigma
bahwa menjadi guru ingin kerja yang mapan, pekerjaan yang bisa menjamin
kehidupan adalah sulit, dan ketatnya persaingan menjadi guru atau PNS apalagi
dengan adanya kebijakan pemerintah dalam memberikan sertifikasi guru dan
manfaatnya. Hal tersebut menjadi fenomena viral di masyarakat. Harus diakui
sekarang, tingkat kesejahteraan guru yang sudah menikmati tunjangan profesi
sebesar satu kali gaji pokok memang membaik. Setidaknya, mereka sudah tidak
lagi direpotkan urusan dapur. Namun, untuk mampu beli rumah dan mobil baru,
agaknya terlalu berlebihan kalau tunjangan profesi guru dikaitkan dengan stigma
semacam itu. Tanpa mengabaikan rasa syukur, gambaran kemakmuran guru yang
demikian menghebohkan bisa jadi akibat lamanya guru menanggung beban hidup,
yang selama ini bergaji pas-pasan sehingga mesti nyambi jadi tukang ojek atau
penjual rokok ketengan untuk menyambung hidup tiba-tiba dimanjakan dengan
tunjangan profesi. Barangkali bayangan imajiner semacam itu yang menggiring
opini publik bahwa guru masa kini hidup melimpah dan kaya raya. (Habibah, 2014)
“Saya dulu kalau mau beli – beli pakaian, perabotan rumah, dsb itu masih
berpikir lagi soalnya uangnya pas-pasan dan masih ada juga yang lama, tapi
semenjak ada program sertifikasi, tunjangan, jadikan ada uang lebih diluar
gapok (gaji pokok), ya bisa di pakai beli pakaian, kendaraan, sama renovasi
rumah, ya walaupun barang-barang itu masih ada yang lama dan masih bisa dipakai
tapi namanya ibu-ibu mbak kalau ada tas keluaran baru rasanya mau beli aja
apalagi kalau liat teman-teman tas nya baru jadi ikutan beli tas baru, kalau
anak minta motor ya saya bisa belikan juga, kalau dulu 1 motor dipakai gantian,
sekarang masing-masing anak saya sudah punya motor sendiri-sendiri, dan 1 mobil
yang dipakai sama bapaknya anak – anak, mbak, kalau uangnya belum cukup, bisa
pinjam koperasi kantor mbak, tiap bulannya dipotong langsung dari gapok nya.”
(wawancara AS, 30 Mei 2016) 6 Berdasarkan fakta diatas, kondisi ini dapat
mengubah kebiasaan dan gaya hidup masyarakat menuju kearah kehidupan mewah yang
cenderung terlalu berlebihan, yang pada akhirnya akan menyebabkan pola hidup cenderung
menjadi konsumtif. Perilaku konsumtif semakin didukung dengan adanya pusat
perbelanjaan yang kian menjamur. Adanya pusat-pusat perbelanjaan menimbulkan
keinginan untuk memiliki berbagai macam varian produk untuk item yang sama.
Pada gilirannya, aspek kebutuhan dan kegunaan bukan lagi menjadi pertimbangan
utama, melainkan pembelian dilakukan berdasarkan keinginan untuk mengoleksi
aneka varian tersebut. Solicha menuturkan bahwa hal tersebut didukung dengan
menjamurnya berbagai pusat perbelanjaan (shopping center), supermarket, toserba
(toko serba ada) bahkan bisnis online. Produk-produk yang ditawarkan pun bukan
hanya produk untuk memenuhi kebutuhan seseorang, tetapi juga produk pemuas
kesenangan, mulai dari fashion, gadget, kendaraan, alat-alat olahraga sampai
property (Solicha, 2012). Ditambah lagi semakin banyak toko yang menawarkan
berbagai fasilitas menarik perhatian, seperti fasilitas cafe, dan free wifi,
fasilitas cicilan dalam membeli suatu produk dan juga fasilitas free parking
(Setiana, 2013). Kata konsumtif biasanya digunakan untuk merujuk pada perilaku
konsumen yang memanfaatkan nilai uang lebih besar dari nilai yang dihasilkannya
untuk barang dan jasa yang bukan menjadi kebutuhan pokok. Dapat dikatakan juga
bahwa perilaku konsumtif merupakan perilaku 7 konsumen yang mengkonsumsi barang
yang sebenarnya kurang diperlukan secara berlebihan untuk mencapai kepuasan
yang maksimal (Tambunan, 2001). Senada dengan pendapat Sarwono (Farida, 2006)
yang menjelaskan perilaku konsumtif biasanya lebih dipengaruhi oleh faktor
emosi dari pada rasio, karena pertimbangan-pertimbangan dalam membuat keputusan
untuk membeli suatu produk lebih menitikberatkan pada status sosial, mode, dan
kemudahan dari pada pertimbangan ekonomis. Lubis (Sumartono, 2002) mengatakan
perilaku konsumtif adalah suatu perilaku yang tidak lagi didasarkan pada
pertimbangan yang rasional, melainkan karena adanya keinginan yang sudah
mencapai taraf yang tidak rasional lagi. Pengertian ini sejalan dengan
pandangan Lina & Rosyid (1997:7) dalam Habibah (2014) yang menyatakan
perilaku konsumtif melekat pada seseorang bila orang tersebut membeli sesuatu
di luar kebutuhan yang rasional, pembelian tidak lagi didasarkan pada faktor
kebutuhan, tetapi sudah pada taraf keinginan yang berlebihan. Menurut Tamburian
dalam (Anisa Kirana, 2014) Perilaku konsumtif dapat dilihat dari pola kebiasaan
berbelanja seseorang, seperti publiksi ilmiah yang telah dirilis sebuah lembaga
riset AS Global Consumer Confidence Index Nielsen pada tahun 2012, konsumen
Indonesia tercatat pasling optimistis di dunia, atau tetap percaya diri untuk
berbelanja ditengah krisis ekonomi dunia. Diperkirakan tahun ini tingkat
pembelanjaan konsumen akan tetap kuat seiring dengan semakin makmurnya konsumen
indonesia dan semakin majunya kebutuhan mereka. Survey tersebut juga
menjelaskan 8 bahwa rata-rata perempuan Indonesia bisa melakukan aktivitas
belanja 301 kali per tahun, dengan total 399 jam 43 menit. Hal tersebut diluar
online shopping atau window shopping, akan tetapi belanja tidak hanya dilakukan
oleh kaum hawa saja, namun sudah menjadi pola hidup masyarakat Indonesia.
Faktor demografi dapat mempengaruhi seseorang dalam menggunakan uangnya,
seperti diantaranya jenis kelamin, pendidikan, pendapatan, usia, dan lain
sebagaianya. Demografi adalah ilmu yang mempelajari struktur, proses, dan
kualitas sumber daya manusia (Mantra, 2003). Lewat demografi dapat melihat
seseorang berperilaku boros atau tidak. Faktor demografi yang di gunakan dalam
penelitian kali ini yaitu jenis kelamin. Dilihat dari faktor jenis kelaminnya,
wanita lebih mudah untuk tertarik dengan barang-barang dengan bentuk serta
warna yang menarik, dan wanita lebih memiliki rasa antusias yang tinggi dalam
berbelanja dibandingkan dengan pria, pria lebih tertarik untuk mengkonsumsi
barangbarang berupa elektronik seperti handphone, laptop, tab, dan
barang-barang elektronik lainnya namun pria biasanya lebih dapat mengontrol
keinginannya dibandingan dengan wanita. Hal ini seperti yang diungkapkan
(Rosandi, 2004) “jenis kelamin adalah sifat jasmani atau rohani yang membedakan
dua mahluk sebagai pria atau wanita. Dilihat dari jenis kelamin, biasanya
wanita lebih konsumtif dibandingkan dengan pria”. 9 Menurut Robb dan Sharpe
(2009) (dalam Setyawan, 2011) jenis kelamin adalah suatu konsep karakteristik
yang membedakan seseorang antara laki-laki dan perempuan. Perempuan lebih
konsumtif dibandingkan laki-laki. Hal ini terlihat perempuan lebih banyak
membelanjakan uangnya daripada laki-laki untuk keperluan penampilan seperti
pakaian, kosmetik, aksesoris, dan sepatu (Rosandi, 2004). Berdasarkan pola
perilaku membeli, laki-laki lebih mudah terpengaruh, sering tertipu Karena
tidak sabar dalam memilih, dan kurang menikmati kegiatan berbelanja. Sedangkan
perempuan lebih tertarik pada warna dan bentuk tanpa melihat kegunannya, tidak
mudah terpengaruh bujukan penjual, dan senang dalam melakukan kegiatan
berbelanja walaupun hanya window shopping (melihat-lihat saja tanpa membeli)
(Tambunan, 2001). Engel, Blackwell dan Miniard (1995) mengatakan bahwa perilaku
konsumif dipicu oleh beberapa faktor : pertama adalah lifestyle (gaya hidup).
Wagner (2009) mengatakan bahwa gaya hidup masyarakat modern seperti saat ini
mempengaruhi seseorang dalam berperilaku konsumtif. Kedua, selfesteem (harga
diri). Coopersmith (dalam Heatherton & Wyland, 2002) mengartikan
self-esteem sebagai seuatu evaluasi dimana individu membuat dan memelihara
suatu hal yang lazim dengan dirinya. Berkaitan dengan aktifitas konsumsi,
Santrock (2002) menyatakan bahwa terdapat hubungan yang kuat antara penampilan
diri dengan self-esteem. Faktor ketiga adalah reference group (Engel. dkk.
1995). Salah satu jenis reference group adalah 10 keluarga yang merupakan
pengaruh paling utama dalam perilaku membeli seseorang (Schiffman & Kanuk,
2004). Berdasarkan penelitian terdahulu (Habibah, 2014) tentang “Dampak
Tunjangan Sertifikasi Terhadap Gaya Hidup Konsumtif Guru”, menunjukkan bahwa
dampak yang terjadi cukup tinggi. Hal ini dapat dibuktikan berdasarkan analisa
dan interprestasi data yang dilakukan diperoleh hasil ratarata 59,85%. Dampak
ini dipengaruhi oleh adanya dana tunjangan yang cair tiap enam bulan sekali
yang sangat diandalkan untuk memenuhi kebutuhan lain yang tidak cukup bila
hanya mengandalkan remunerasi (gaji) tiap bulan dari sekolah dan juga
dipengaruhi oleh keinginan dan hasrat manusiawi seseorang untuk terlihat tampil
beda di depan orang lain dapat memicu munculnya perilaku konsumtif pada diri
siapapun termasuk guru. Gaya hidup yang semakin modern sudah menyentuh hampir
di setiap daerah terpencil. Hal ini sesuai dengan yang terjadi di daerah
Kecamatan Lenteng Sumenep, Madura yang merupakan objek penelitian yang diambil.
Hal tersebut sebagaimana hasil obeservasi yang telah dilakukan oleh peneliti di
dapatkan data bahwa dengan adanya program sertifikasi guru dan tunjangan
profesi, para guru mulai merenovasi rumah agar terlihat lebih mewah dan modern
serta membeli kendaraan pribadi di luar kebutuhan mereka. Mengenai fasilitas
dalam rumah hampir semua guru di Kecamatan Lenteng memiliki kendaraan roda dua
untuk setiap kepala dirumahnya, televisi tapi ada juga yang mempunyai mobil dan
pasang AC di rumahnya. Mengambil keputusan untuk membeli mobil dengan kredit,
adakalanya 11 memiliki mobil belum jadi kebutuhan tetapi karena kompetisi
penampilan maka mereka juga terdorong untuk memiliki. Guru – guru perempuan
juga berlomba untuk membeli aksesoris, pakaian, perhiasan, tas agar mereka bisa
tampil menarik seperti figur – figur dalam televisi atau orang – orang yang
datang dari metropolitan sebagai kultur baru, ditunjang juga dengan adanya
gadget (Handphone Android), maka waktu yang dihabiskan untuk memenuhi nafsu
konsumerisme juga telah menyita waktu atau kita yang seharusnya dibaktikan
untuk pendidikan. Menurut Kepala Kemenag Kabupaten Sumenep. Bapak Drs. Ec. H.
Moh Shodiq, M.Pd.I menjelaskan bahwa wilayah pelosok yang rentan terhadap
perilaku konsumtif adalah Kecamatan Lenteng Sumenep, karena wilayah tersebut
merupakan wilayah yang saat ini mengalami pertumbuhan pesat dibandingkan dengan
wilayah pelosok Sumenep yang lain. Ibarat kata, diantara wilaya pelosok yang
ada di Sumenep, Kecamatan Lenteng merupakan wilayah yang cukup cepat menerima
modernisasi. Oleh karena itulah, peneliti diminta untuk mengambil sampel di
wilayah tersebut, dan lebih spesifik pada guru Madrasah Ibtidaiyah (MI) karena
jumlah guru Madrasah Ibtidaiyah lebih besar dari jumlah guru MTs dan MA.
Terlihat dari jumlah Satuan Pendidikan (Sekolah) yang ada di Kecamatan Lenteng
yaitu 14 Sekolah di tingkat MA, 26 Sekolah di tingkat MTs, dan 46 Sekolah di
tingkat MI. Dari jumlah seluruh guru di tingkat satuan pendidik MI yang ada di
Kecamatan Lenteng Sumenep hampir 50% statusnya sudah tersertifikasi. 12
Berdasarkan fenomena diatas, dapat dinyatakan bahwa adanya pengaruh sertifikasi
terhadap gaya hidup guru. Hal ini mendorong peneliti untuk membuktikan
kebenaran asumsi tersebut dengan mengadakan penelitian “Perbedaan Perilaku
Konsumtif Pada Guru Madrasah Ibtidaiyah Berdasarkan Status Sertifikasi Dan
Jenis Kelamin Di Kementerian Agama Kecamatan Lenteng Kabupaten Sumenep” B.
Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang diatas, maka dalam penelitian ini
dikemukakan rumusan masalah sebagai berikut : 1. Bagaimana perilaku konsumtif
guru MI pria yang tersertifikasi di Kecamatan Lenteng, Kabupaten Sumenep? 2.
Bagaimana perilaku konsumtif guru MI pria yang belum tersertifikasi di
Kecamatan Lenteng, Kabupaten Sumenep? 3. Bagaimana perilaku konsumtif guru MI
perempuan yang tersertifikasi di Kecamatan Lenteng, Kabupaten Sumenep? 4.
Bagaimana perilaku konsumtif guru MI perempuan yang belum tersertifikasi di
Kecamatan Lenteng, Kabupaten Sumenep? C. Tujuan Penelitian Berdasarkan Rumusan
masalah penelitian di atas maka tujuan dari pada penelitian ini adalah: 1.
Untuk mengetahui perilaku konsumtif guru MI pria yang tersertifikasi di
Kecamatan Lenteng, Kabupaten Sumenep. 13 2. Untuk mengetahui perilaku konsumtif
guru MI pria yang belum tersertifikasi di Kecamatan Lenteng, Kabupaten Sumenep.
3. Untuk mengetahui perilaku konsumtif guru MI perempuan yang tersertifikasi di
Kecamatan Lenteng, Kabupaten Sumenep. 4. Untuk mengetahui perilaku konsumtif
guru MI perempuan yang belum tersertifikasi di Kecamatan Lenteng, Kabupaten
Sumenep. D. Pembatasan Masalah Agar penelitian ini dapat dilaksanakan dengan
mudah, terarah, tidak meluas dan mendapatkan hasil sesuai dengan yang
diinginkan, maka perlu adanya pembatasan masalah. Penulis membatasi masalah
dalam penelitian ini adalah tentang perbedaan perilaku konsumtif pada guru
Madrasah Ibtidaiyah berdasarkan jenis kelamin dan status sertifikasi di
Kementerian Agama Kecamatan Lenteng, Kabupaten Sumenep. E. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat penelitian yang diharapkan dari penelitian ini adalah sebagai
berikut: 1. Manfaat teoritis Penelitian ini diharapkan mampu memberikan
sumbangan pemikiran terhadap perilaku konsumtif, khususnya tentang perbedaan
perilaku konsumtif pada guru MI berdasarkan jenis kelamin dan status
sertifikasi di Kecamatan Lenteng, Kabupaten Sumenep. 14 2. Manfaat praktis
Penelitian ini sebagai referensi perilaku konsumtif seseorang khususnya guru MI
di Kecamatan Lenteng, Kabupaten Sumenep agar lebih mengerti baik buruknya
pengaruh sertifikasi terhadap perilaku konsumtif. 3. Bagi peneliti, pendidik,
dan mahasiswa sebagai bahan acuan referensi bacaan yang dapat dijadikan sebagai
informasi dan ilmu pengetahuan.
Untuk Mendownload Skripsi "Skripsi Psikologi" : Perbedaan perilaku konsumtif pada Guru Madrasah Ibtidaiyah berdasarkan status sertifikasi dan jenis kelamin di Kementerian Agama Kecamatan lenteng Kabupaten Sumenep." Untuk Mendownload skripsi ini silakan klik link dibawah ini
DOWNLOAD
No comments:
Post a Comment